Anda di halaman 1dari 64

1

Agama &
Filsafat

Adi Wahyudi

1184020007
2
Kpi 4A
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin puji syukur hanya


kepada Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, shalawat salam semoga tetap tercurah
kepada baginda Rasulullah Muhammad saw. Berkat
karunia-Nya pula buku “Sinkretise Agama dan Filsafat”
ini dapat penulis selesaikan.
Penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu dalam penyusunan buku ini.
Mudah-mudahan buku ini bermanfaat khususnya bagi
penulis, umumnya bagi semua untuk dijadikan sebagai
bahan diskusi.
Sesungguhnya manusia itu adalah tempatnya
salah dan lupa, oleh karena itu penulis berharap
partisipasi serta kritik dan saran guna kesempurnaan
makalah ini. Atas perhatian dan waktunya, penulis
sampaikan banyak terimakasih.

Bandung, 30 Juni 2020

Penulis

i3
DAFTAR ISI

N JUDUL HAL
O
1. KATA PENGANTAR I
2. DAFTAR ISI II
3. BAB 1 1-11
ARTI SINKRETISME, AGAMA DAN
FILSAFAT
4. BAB II 11-26
KAJIAN SINKRETISME
5. BAB III 27-32
PENGGUNAAN ISTILAH
SINKRETISME
6. BAB IV 32-50
SINKRETISME AGAMA DAN
FILSAFAT IBNU RUSYD

7. BAB V 50-64
SINKRETISME AGAMA DAN
FILSAFAT IBNU THUFAIL

4
BAB I
BAB I
ARTI SINKRETISME, FILSAFAT DAN AGAMA
ARTI SINKRETISME, AGAMA DAN
FILSAFAT

A. SINKRETISME

Sinkretisme adalah proses percampuran dari


beberapa paham atau aliran agama kepercayaan.
sinkretisme terjadi proses pencampur adukkan berbagai
unsur aliran paham, sehingga hasil yang didapat dalam
bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian,
keseimbangan.

Istilah ini mengacu kepada upaya untuk


bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa
ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi
agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah
kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan
untuk berlaku inklusif pada agama lain.

Dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,


Adalah Fenomena bercampurnya praktik dan

5
kepercayaan-kepercayaan dari sebuah agama dengan
agama lainnya sehingga akan menciptakan adat tradisi
yang baru dan berbeda.

Di zaman modern, beberapa contoh dari


gerakan-gerakan sinkretis terbuka ditemukan di Afrika
Barat, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan bagian lain di
mana umat Muslim bersinggungan secara langsung
dengan non-Muslim. Di Ghana, pada abad ke-19, raja
penyembah Ashanti bergantung kepada para pedagang
Muslim untuk menjadi penghubung dalam kafilah
dagang dan sebagai ahli pembuat azimat kekuatan.

Di bagian Afrika kala itu penyebaran sinkretisme


memberikan kontribusi pada persepsi bahwa Islam
sebagai salah satu sumber kekuatan mistis. Dengan
memfasilitasi penduduk untuk melakukan ritual-ritual
dan adat istiadat Islam, berarti pula sebagai jalan masuk
penerimaan mereka terhadap Islam. Praadaptasi sinkretis
tampak memainkan peran penting yang serupa dalam
perpindahan orang-orang Hindu di Asia Selatan ke
dalam Islam.

6
Seperti halnya di Asia Selatan, perkembangan
Islam di Asia Tenggara pada masa modern juga memiliki
pengalaman serupa dalam tarik-menarik antara konsesi-
konsesi kepada khazanah lokal di satu sisi, dan upaya-
upaya para reformis untuk menjaga kemurnian pesan
Islam di sisi lain. Tradisi estetika pribumi telah
dipengaruhi dengan amat kuat oleh varian Asia Tenggara
dari kisah Hindu Ramayana dan Mahabharata.

Sebagaimana di Afrika dan Anak Benua India,


sebagian penduduk asli Asia Tenggara, menafsirkan
tradisi sinkretis ini sebagai jalan untuk menolak sama
sekali hubungan dengan Islam. Pada abad ke-19 di Jawa,
masih terdapat kantung-kantung permukiman Buddha
yang di dalamnya terdapat ritual dan mitologi setempat
berupaya memasukkan pengaruh Islam, tapi menolak
perpindahan sepenuhnya ke dalam Islam.

Salah satunya ialah Ajisaka. Pahlawan


kebudayaan dalam cerita rakyat Jawa yang amat dicintai.
Di banyak wilayah, gerakan sinkretis amat dihargai
bukan sebagai sesuatu yang mampu bertahan hidup,
tetapi sebagai upaya-upaya baru dan dinamis untuk

7
membentuk kembali tradisi-tradisi lokal dalam
berhadapan dengan upaya Muslim pembaru untuk
mempersempit rentang kepercayaan yang diperkenankan
dengan memperkenalkan kriteria baru dalam lingkup
Islam.

B. FILSAFAT

Kata filsafat
merupakan kata serapan dari
bahasa Arab ‫فلس@@@فة‬. Kata
filosofi juga dari bahasa
Belanda yang di kenal di
Indonesia. Bentuk terakhir
ini lebih mirip dengan kata
aslinya, yang diambil dari
bahasa Yunani yang berarti philosophia. Arti
harafiahnya adalah seorang "pencinta kebijaksanaan"
atau "ilmu".

Filsafat adalah kajian ilmu tentang fenomena


kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis
mendalam dan dijabarkan dalam konsep mendasar.

8
Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-
eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi
untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang
tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.

Adapun menurut para ahli seperti :

 Sonny Keraf Dan Mikhael


Filsafat Sebagai Ilmu Tentang Bertanya Atau
Berpikir Tentang Segala Sesuatu (Apa Saja Dan
Bahkan Tentang Pemikiran Itu Sendiri) Dari Segala
Sudut Pandang.
 Al-Farabi (870-950m)
Filsafat Ialah Ilmu Pengetahuan Tentang Alam
Maujud Bagaimana Hakekatnya Yang Sebenarnya.
 Aristoteles (384 Sm - 322sm)
Filsafat Adalah Ilmu Pengetahuan Yang Meliputi
Kebenaran, Yang Terkandung Di Dalamnya Ilmu-
Ilmu Metafisika, Logika, Retorika, Etika, Ekonomi,
Politik, Dan Estetika.

9
 Descartes (1590-1650)
Filsafat Adalah Kumpulan Ilmu Pengetahuan
Yang Dimana Tuhan, Alam Dan Manusia Menjadi
Poko Penyelidikannya.
 D.C Mulder
Filsafat Adalah Pemikiran Teoritis Tentang
Susunan Kenyataan Sebagai Keseluruhan.
 IR. Poedjawiyatna
Filsafat Ialah Ilmu (Tentang Segala Sesuatu)
Yang Menyelidiki Keterangan Atau Sebab Yang
Sedalam-Dalamnya.
 M.J Langeveld
Filsafat adalah pembuktian yang dapat diterima
oleh akal dan dengan susun menyusun serta hubung
menghubung secara bertanggungjawab. Hasil
pembuktian ini dinamakan filsafat.
Dari berbagai pengertian diatas, Maka filsafat
dapat disumpulkan sebagai kajian ilmu yang
mendalam segala sesuatu mengenai ketuhanan, alam
semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh

10
yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana
sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai
pengetahuan itu.
Obyek filsafat adalah mengenai ketuhanan, alam
semesta dan manusia. Dan Tugas filsafat adalah
mempersoalkan segala sesuatu mengenai ketuhanan,
alam semesta dan manusia secara:
1. Sistematis
segala sesuatu dilihat sebagai bagian lainnya
dalam kerangka suatu sistem.
2. Radikal
berfikir sampai keakar-akar sesuatu hakekat,
sampai kepada konsekwensi-konsekwensinya
3. Universal
cara berpikir secara keseluruhan, tidak hanya
pada bagian-bagian tertentu saja
4. Skeptis
hasil dari cara berpikir sistematis, radikal dan
universal kembali diragukan kebenarannya

C. AGAMA

11
Agama adalah sistem kepercayaan dan
peribadahan kepada Tuhan serta tata kaidah yang
berhubungan dengan budaya, dan pandangan dunia yang
menghubungkan manusia dengan tatana kehidupan.
Banyak agama memiliki mitologi, simbol, dan sejarah
suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup
yang menjelaskan asal-usul kehidupan atau alam
semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan
sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika,
hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut
beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.

12
Kata agama kadang-kadang digunakan
bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau
kadang-kadang
mengatur hidup
manusia. Namun,
dalam kata-kata
Émile Durkheim,
agama berbeda
dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah "sesuatu
yang nyata sosial" Émile Durkheim juga mengatakan
bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang
terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan
dengan hal yang suci. Sebuah jajak pendapat global 2012
melaporkan bahwa 59% dari populasi dunia adalah
beragama, dan 36% tidak beragama, termasuk 13% yang
ateis, dengan penurunan 9 persen pada keyakinan agama
dari tahun 2005. Rata-rata, wanita lebih religius daripada
laki-laki. Beberapa orang mengikuti beberapa agama
atau beberapa prinsip-prinsip agama pada saat yang
sama, terlepas dari apakah atau tidak prinsip-prinsip
agama mereka mengikuti tradisional yang
memungkinkan untuk terjadi unsur sinkretisme.

13
Filsafat agama diartikan filsafat yang membuat
agama menjadi obyek penelitiannya. Filsafat agama
mengembangkan logika, teori pengetahuan dan
metafisika agama. Filsafat agama mengembangkan
logika, teori pengetahuan dan metafisika agama.
Masalah-masalah yang dipertanyakan antara lain
hubungan antara Allah, dunia dan manusia, antara  akal
budi  dan wahyu, pengetahuan dan iman, baik dan jahat,
dan akhrinya cara-cara untuk membuktikan kerasionalan
iman kepada Allah.

Ada lagi yang memahami filsafat agama


merupakan kajian terhadap hal-hal fundamental dari
agama, inilah yang dikaji dalam filsafat agama dewasa
ini. Berdasarkan contoh dari keterangan di atas, filsafat
agama menggunakan akal, pikiran logika dalam
memahami agama, Pemahaman agama ini dilakukan
secara sistematis, radikal, universal  dan  skeptis.

Kalau agama dibawa ke dalam pemikiran yang


sistematis, radikal, universal  dan  skeptis, maka  agama
kehilangan dogmanya. Agama yang kehilangan
dogmanya adalah agama yang kehilangan daya tariknya.

14
Jadi dimana hubungan  filsafat dengan agama? Yang
melahirkan filsafat agama?  Kalau agama difilsafati,
agama kehilangan dogmanya, justru kemungkinan  besar
akan melahirkan  “agama baru”  bisa berbeda dengan
agama yang ada,  bisa kombinasi antara pemikiran
filsafat dengan nilai –nilai agama yang ada.

15
BAB II
BAB II
KAJIAN SINKRETISME AGAMA DAN
KAJIAN SINKRETISME AGAMA DAN FILSAFAT
FILSAFAT

Kajian tentang agama dengan filsafat termasuk


salah satu objek kajian yang menjadi tuntuta agama
islam terutama ahli filsuf islam. Karena pada dasar nya
setelah filsafat Yunani di terjemahkan pada dunia Islam,
filsafat kemudian mendapat penolakan keras, karena
diduga memaparkan problematika-problamatika
metafisika yang berlawanan dengan akidah-akidah
agama.

Menurut para ahli fiqh, telah melakukan


perlawanan keras, yang mencapai kondisi dimana
memberi pernyataan bahwa filsafat adalah sumber
kebodohan dan penelewengan, bahkan sumber
kesesetan.

Barangsiapa berfilsafat butalah hatinya dari


kebaikan-kebaikan syari'at yang suci, yang didukung
dengan dalil-dalil yang jelas dan bukti-bukti yang
cemerlang". " Barangsiapa mempelajari filsafat berarti ia

16
bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran dan
terbujuk oleh setan". Sementara para pendukung dan
pecinta filsafat harus berbuat sesuatu untuk meredakan
tajamnya perlawanan tersebut dan meletakkan filsafat di
tengah-tengah masyarakat Islam secara sewajarnya.
Untuk mewujudkan hal ini mereka mencari hadis-hadis
Nabi Muhammad yang mengagungkan akal manusia,
serta yang mengajak untuk berpegang teguh pada akal
dan menggunakannya untuk berpikir, seperti hadis,

"Ketika Allah menciptakan akal, Aliah berkata


kepadanya: menghadaplah! Maka akal menghadap,
kemudian Allah berkata lagi Berpa linglah! Maka akal
pun berpaling. Allah berkata: Aku tidak menciptakan
makhluk yang lebih Ku-cintai dari pada engkau".

Mereka juga mencari ayat-ayat al Qur' an yang


menyerukan untuk berpikir dan ayat yang
memberitahukan kewajiban mempergunakan daya
pikiran manusia untuk menyingkap rahasia alam, agar ia
sampai kepada keagungan Zat Pencipta, sifat-sifat
kesempurnaan dan keagungan yang dimilikiNya. Ayat-
ayat dalam konteks ini tak terhitung banyaknya, seperti:

17
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit danbumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal", (Ali Imran: 190).

"Katakanlah! Perhatikanlah apa yang ada di langit dan


dibumi.." (Yunus: 101).

Tidaklah diragukan lagi bahwa para pendukung


filsafat-berangkat dari ayat-ayat di atas-ingin
membuktikan bahwa Islam tidakmenentang pemikiran-
rasional, bahkan Islam justru menyerukan dan
menggalakkan berpikir. Sebab ajakan Islam untuk
berpikir rasional bukan berarti ajakan berfilsafat dengan
gaya Yunani. Mencermati orientasi ini --yakni langkah
awal berfilsafat--mayoritas filsuf lebih cenderung
menggunakan kata al-I'tibar (mengambil pelajaran)
daripada kata filsafat. Pemilihan kata yang berdasarkan
idiomatik al-Qur'an ini membuat filsafat lebih bisa
diterima.

Kata ini telah mendapat porsi perhatian yang


besar di banyak kalangan umat Islm seperti para filsuf,
kaum sufi dan para sejarawan. Masingmasing di antara

18
mereka menggunakannya dalam konteks makna yang
membantu spesialisasi mereka. Begitu pula kata ini
digunakan para filsuf semisal al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu
Masarrah dan Ibnu Rusyd. Perlu kami singgung, bahwa
langkah awal ini belumlah cukup untuk membangun
sendisendi di tengah-tengah umat Islam. Namun perlu
dicari langkah lain yang lebih jauh dari langkah awal
yang dapat dijadikan dasar bagi para pendukung dan
pecinta filsafat atau antara wahyu dan akal.

Para filsuf Islam atau para pendukung filsafat


sebenarnya percaya bahwa agama mereka adalah suatu
kebenaran yang tak dapat diragukan. Dan mereka
menghormati nilai-nilai serta prinsip-prinsipnya. Namun
mereka juga percaya akan keluhuran dan orisinalitas
filsafat. Mereka melihat filsafat sebagai kebenaran
yangtak diragukan, oleh karenanya mereka tidak ingin
mengorbankan filsafat kerena agama dan tidak ingin
membunuh agama demi filsafat.

Jadi, bagi mereka tidak ada jalan lain kecuali


berupaya memadukan agama dan filsafat serta
menyingkirkan hal yang nampak bertentangan

19
(paradoks) antara keduanya. Ini berarti bahwa ide
sinkretisme secara esensial adalah suatu keharusan bagi
mereka, selama mereka berpegang teguh pada filsafat.
Tanpa mengurangi keteguhan mereka dalam memegang
Islam serta meletakkan filsafat pada posisi yang sejajar
dengan Islam. Karena filsafat pada prinsipnya tidaklah
bertentangan dengan agama. Bahkan bagi mereka
berfilsafat adalah suatu keharusan untuk menyelamatkan
agama itu sendiri, juga sebagai jalan untuk menunjukkan
manusia menuju kebenaran.

Di sinilah, mereka tampil untuk memadukan


antara agama dan filsafat sebagai pemyataan keinginan
keras, kecintaan, dan penguasaan mereka terhadap
filsafat. Akan tetapi, sebagian orientalis semisal Gauthier
berpendapat bahwa pemaduan agama dan filsafat oleh
para filsuf muslim tidaklah disebabkan oleh penerimaan
mereka yang sepenuh hati terhadap filsafat Yunani, dan
tidak pula disebabkan oleh kepuasan mereka terhadap
orisinilitas filsafat. namun timbul karena kekhawatiran
mereka terhadap mayoritad kaum muslimin terhadap
filsafat.

20
Bagaimanapun juga, sebenarnya semua filsuf
Islam telah menyelami bidang ini, baik filsuf timur
(Arab) maupun filsuf barat (Andalusia). Bila filsuf timur
(al-Kindi) telah melakukan pemaduan antara agama dan
filsafat, maka para filsuf Andalusia pun melakukan hal
yang sama, bahkan mereka memberikan perhatian yang
lebih besar dibanding dengan filsuf timur dalam masalah
ini. Dengan demikian, seorang pengkaji dapat melihat
bahwa meskipun para filsuf timur memperhatikan
pemaduan antara agama dan filsafat tapi tak seorang pun
di antara mereka yang secara khusus membuat karya-
karya demi tujuan ini, baik berupa karangan pendek
(risalah) maupun kitab. Dan disaat lain seorang pengkaji
akan mendapati hal ini nampak jelas pada filsuf
Andalusia. Sebab di antara mereka ada yang secara
khusus membuat risalah, ada yang secara khusus
membuat kisah, dan ada pula yang secara khusus
menulis lebih dari satu buku, sebagaimana yang akan
kita lihat nanti.

Barangkali hal itu disebabkan adanya perbedaan


situasi yang dialami masing-masing kedua kelompok

21
tersebut. Sebab lingkungan di mana para filsuf timur
hidup memberikan banyak sekali toleransi kebebasan-
kebebasan berpikir. Sedangkan para filsuf Andalusia
Adapun para filsut Andalusia hidup di bawah
pemerintahan Dinasty Murabbithun dan disusul Dinasty
Muwahhidun. Kedua lingkungan dinasty tersebut penuh
dengan fanatisme yang anti pada setiap orang yang
menggunakan sedikit kebebasan berpikir. Dalam
lingkungan ini rasa fanatisme telah mencapai kondisi
yang membuat beberapa penguasa-karena mencari
kepuasan tokoh agama dan khalayak ramai- selalu
mengawasi (spionase) orang yang melindungi filsuf dan
orang yang kebetulan bersama mengkajaki filsafat
halnya Ibnu Bajjah dan Ibnu Rusyd.Oleh karena itu para
filsuf barat merasa bahwa dalam lingkungan seperti ini,
mereka terpaksa harus melakukan pemaduan antara
Islam dan filsafat, bahkan salah satu dari mereka
membuat karya khusus untuk tujuan ini. Hal itu dari satu
sisi, agar mereka dapat melakukan pembelaan dan dari
sisi yang lain, agar mereka dapat menjelaskan kepada
masyarakat umum bahwa filsafat itu sesungguhnya
tidaklah kontradiktif dengan agama dan keduanya sama-

22
sama bisa berjalan untuk tujuan yang sama, yaitu
mewujudkan kebaikan dan kebahagiaan bagi manusia.

Bagaimanapun juga, yang jelas para filsuf


Andalusia telah memberikan perhatian yang besar
terhadap sinkretisme agama dan filsafat. Sehingga upaya
maksimal mereka itu dapat dianggap sebagai dasar yang
dapat mengokohkan filsafat, mengokohkan sendi-
sendinya, dan dapat meredam kecenderungan rasa
memusuhi dan membenci filsafat di tengah-tengah kaum
Muslimin yang sedang dalam kondisi demikian.Dalam
hal ini, para filsuf itu menempuh berbagai pendekatan
yang bermacam-macam dan menampilkan berbagai pola
serta bentuk pendekatan yang beragam. Antara lain ada
yang muncul dalam bentuk risalah-risalah ringkas yang
berisi penjelasan bagaimana suatu pemikiran bebas dan
bersih (obyektif) yang dapat mencapai hakekat-hakekat
mayor yang dibawa oleh agama dan kebenaran, yaitu
pembuktian adanya Allah dan sifat-sifat-Nya, dan
penjelasan tujuan hidup dalam format yang mudah
difahami bagi orang awam. Termasuk kategori karya ini
adalah risalah al-I'tibar milik Ibnu Masarrah al-Qurthubi

23
(Aben Masarra) (W.319 H). Selain itu, ada juga yang
mengambil gaya roman yang bertujuan untuk
menetapkan kemampuan akal untuk mencapai dan
meningkat naik pada alam arwah (al-mala' al-a'la) serta
menggapai esensi kebenaran-kebenaran yang diserukan
oleh agama. Yang termasukbentuk roman ini adalah
kisah Hay bin Yaqdzan milik Ibnu Thufail (Abubacer)
(W. 581 H).

Kisah ini menonjolkan adanya dua metode ilmu


pengetahuan (epistemologi), yaitu metode penalaran
(Tharig al-Nadhar), dan metode illuminasi-inisiatik
(Tharig al-Kasyf wa alIlham). Ibnu Thufail menjadikan
(Hayy) tokoh dalam kisahnya menempuh dua
pendekatan sekaligus. Sehingga ia mengambil
pengetahuan dari sesuatu secara inderawi lalu
pengetahuan itu digali, dianalisa dan dikorelasikan
secara rasional, selanjutnya pengetahuan tersebut akan
memancar (emanasi) kepadanya (Hayy) melalui ilham.
Termasuk bentuk sinkretisme agama dan filsafat dalam
lingkungan itu adalah suatu hal yang dengan
perbandingan umum dapat mencakup landasan-landasan

24
fundamental bagi masing-masing agama dan filsafat. Hal
ini bias kita dapati pada Ibnu Rusyd yang untuk tujuan
itu ia menulis karya khususnya: Fashl al-Magal fi ma
baina al-Hikmah wa al-Syari'ah min alIttishal (Makalah
Penentu mengenai Hubungan antara Filsafat dan
syari'ah). Karya ini tergolong kitab yang mentargetkan
metodologi rasional sebagai sarana untuk membuktikan
persesuaian antara akal dan syari'ah yang nantinya
merupakan persesuaian filsafat atau hikmah dengan
syari'ah sebagaimana Nampak pada judul kitab itu.

Apabila Ibnu Rusyd telah membahas


problematika ini dalam kitab tersebut dengan gambaran
yang masih global, maka Ibnu Rusyd mengkaji kembali
problematika pemadua antara agama dan filsafat dalam
bentuk yang lebih terperinci dalam kitabnya; al Kasyf 'an
Mahahij al Adillah fi 'Aqaid al Millah. Kiranya patut
diingat bahwa Ibnu Rusyd sebagaimana yang akan kita
lihat- memiliki keistimewaan tersendiri dibanding para
filsuf Andalusia atau bahkan juga para filsuf timur dalam
bidang pemaduan antara agama dan filsafat ini. la
memiliki metode tersendiri yang belum pernah dimiliki

25
seorang filsuf Islam pun. Oleh karena itu benar kiranya,
jika dika takan posisi yang sama seperti Ibnu Rusyd.?
Setelah kami menyinggung gambaran penting yang
meliputi upaya-upaya sinkretisme agama dan filsafat
yang terdapat pada para filsuf Andalusia, kami akan
berusaha menyorotinya dengan sedikit terperinci dalam
bab-bab pembahasan berikutnya.

26
BAB III

PENGGUNAAN ISTILAH SINKRETISME

Kata sinkretisme yang telah menjadi kata kita


sehari-hari ini adalah kata asing, yang bisa dilacak dari
kata Yunani."Sunistanto, Sunkretamos" artinya
"kesatuan"; dan kata "synkerannumi" yang berarti
"mencampur aduk". Istilah tersebut mula-mula adalah
istilah Politik, yang digunakan oleh Plutarch untuk
menggambarkan kesatuan orang-orang dari pulau Kreta
yang melawan musuh bersamanya. Kesatuan tersebut
adalah sebagai sinkretismos.

Kemudian Istilah ini juga dipakai di dalam


bidang filsafat dan agama guna menggambarkan suatu
keharmonisan dan perdamaian. Misalnya di dalam
bidang filsafat, pada abad 15 Kardinal Bessarion
menggunakan istilah tersebut dalam ungkapannya untuk
mendamaikan dan mengharmoniskan filsafat Plato dan

27
Aristoteles. Di dalam bidang keagamaan, pada abad 17
Calextus seorang pengikut Luther disebut sebagai
seorang sinkretist, sebab dia berusaha mendamaikan dan
menyatukan teologia-teologia Protestan yang ada.
Dengan demikian, di sini terkandung arti pula unsur-
unsur mencampur-adukkan antara satu dengan lainnya
sehingga semuanya menjadi satu.

Gunkel, Harnadc dan Bultmann menggunakan istilah


sinkretisme secara luas untuk menggambarkan
Kekristenan sebagai suatu agama Synkretistic, karena
mengasimilasi konsep Judaistis, Hellenistis dan Gnostik.
Sedangkan Russell Chandran berargumentasi bahwa
segala formulasi dari theologia Kristen adalah dipaksa
dan diharuskan bersifat synkretistic.

Pandangan beberapa theolog tersebut di atas bisa


mengaburkan pengertian tentang sinkretisme yang
sesungguhnya. Jikalau yang dimaksud sinkretisme
adalah sebagaimana yang dinyatakan seperti tersebut di
atas, maka semua agama, tidak terkecuali agama Kristen
adalah bersifat sinkretistis. Sebab manakala suatu agama,

28
tidak terkecuali agama Kristen berusaha keluar dari
lingkungannya untuk mencapai lingkungan di luarnya,
maka mau tidak mau mesti bersifat sinkretistik. Hal ini
jelas, sebab lingkungan yang dihadapi dan di mana
agama Kristen tersebut ada adalah bukan lingkungan
yang steril dan vakum.

Di dalam pertemuan tersebut tidak mungkin


untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang hidup
dalam lingkungan berbeda tersebut tanpa menggunakan
pengungkapan (ekspresi) dan konsep-konsep yang dalam
beberapa hal dihubungkan dengan apa yang menyatu
dengan dunia adat istiadat dan agama di mana orang-
orang tersebut hidup. Namun pertanyaannya, apakah
fase-fase seperti penerjemahan (translation), peralihan
(transition), pengubahan (transformation) dan
penyerapan (absorption) semacam itu boleh disebut
sinkretisme dalam arti yang
sesungguhnya?"Translation", "transition" dan
"transformation" adalah bukan sinkretisme yang
sesungguhnya, selama semuanya itu dilakukan dengan
maksud untuk melaluinya dan mengisinya dengan berita

29
yang asli dengan sejelas mungkin, tanpa modifikasi yang
lebih besar daripada isi yang asli. Demikian pula
Absorption adalah juga bukan sinkretisme yang
sesungguhnya, selama hal itu diambil dengan pengertian
dan pembedaan yang jelas.

Ketika Upacara dan konsep-konsep dari


lingkungan asal yang berbeda dan dari kadar yang
berbeda telah disesuaikan ke dalam jiwa baru yang
menguasai sebegitu rupa sehingga mereka menjadi asli
dan merupakan bagian yang diterima dalam agama ini.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, Prof. Dr.


Hendrik Kraemer membedakan antara sinkretisme
sebagai "phenomenological", maksudnya dipandang dari
apa yang nampak, apa yang kita lihat sebagai mana
fungsi-fungsi nyata di dalam agama-agama dan budaya,
dengan sinkretisme sebagai "theological problem"
dipandang dari sudut kemutlakan "Kristus sebagai jalan
satu-satunya keselamatan manusia". "Theological
problem" ini misalnya pandangan orang Jawa bahwa
semua agama itu sama saja (sadaya agami sami mawon).

30
Agama di sini digambarkan seperti jalan-jalan yang
menuju ke satu tujuan puncak gunung atau seperti aliran
sungai yang sama-sama menuju ke Samudra luas.
Semuanya mempunyai tujuan yang sama yakni Tuhan
Yang Esa.

Oleh karena itu pada hakekatnya antara satu


dengan lainnya tidak berbeda. Atau suatu pandangan
bahwa Kristus saja belum cukup sebagai jalan untuk
keselamatan seseorang oleh karena itu perlu ditambah
hal-hal lain seperti sesajen, percaya kepada kuasa-kuasa
lain, dllnya.

Pandangan sinkretistik modern misalnya, seperti


yang dinyatakan oleh John Hick (lahir 1923), seorang
profesor filsafat agama dari Universitas Bermingham.
Melalui tulisannya "God and the Universe of Faiths",
dan artikel-artikel lainnya dia terkenal dengan teori
"Copernicon revolution"nya. Bahwa dahulu orang
berpandangan bumi adalah pusat alam semesta. Tetapi
sejak ditemukan oleh Copernicus maka bukan bumi,
tetapi mataharilah pusat alam semesta.

31
Demikian pula sekarang ini bukan Kekristenan
atau agama-agama lain lagi yang menjadi pusat
keagamaan, melainkan Tuhan sendirilah sebagai
matahari satu-satunya yang dikelilingi oleh planet-planet
atau agama-agama.Semua agama pada hakekatnya sama
saja dan dalam posisi yang sama pula serta agama
seseorang hanya ditentukan oleh tempat dan budaya di
mana dia dilahirkan.

32
BAB IV

SINKRETISME AGAMA DAN FILSAFAT


IBNU RUSYD

Islam sebagai agama moderat senantiasa


menganjurkan jalan pertengahan (tawasuth). Karenanya,
dapat diketahui bahwa semangat pemaduan dan
pertengahan merupakan salah satu corak pemikiran
kaum Muslimin dalam berbagai lapangan kehidupan.
Setiap kali ada aliran-aliran yang berlawanan, tentu akan
timbul penengahnya, seperti ditunjukkan dalam sejarah
aliran dan pemikiran dalam Islam.

Aliran Asy’ariyah dalam ilmu kalam dapat


dikatakan merupakan aliran pertengahan dari golongan
yang memegangi tekstual bunyi nash tanpa
mengemukakan penafsiran rasional, dengan aliran
Mu’tazilah yang mempertahankan kebebasan akal
sepenuhnya dalam memahami nash dan penafsirannya.
Dalam lapangan hukum Islam, madzhab Syafi’i
merupakan madzhab pertengahan yang terletak diantara
Madzhab Maliki yang mendasari pendapatnya kepada

33
Hadits sesudah Qur’an (ahlu al-Hadits), dengan madzhab
Hanafi yang mendasari pendapat-pendapatnya kepada
pikiran dan ijtihad (ahlu al-ra’yi).
Di samping itu, terdapat juga beberapa faktor lain yang
mendorong pemaduan antara agama dengan filsafat,
yaitu :

1. Adanya jurang pemisah yang dalam antara


Islam dengan filsafat Aristoteles dalam berbagai
persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri Nya,
Qadimnya alam, hubungan alam dengan Tuhan,
keabadian jiwa, dan lain sebagainya.

2. Adanya serangan yang banyak dilancarkan


oleh kalangan agamawan terhadap setiap pembahasan
pikiran yang tidak membawa hasil yang sesuai dengan
akidah yang telah ditetapkan sebelumnya. Sikap ini
sering diikuti dengan tekanan-tekanan yang dilakukan
oleh rakyat banyak dan penguasa-penguasa terhadap
para filosof.

3. Hasrat para filosof sendiri untuk dapat


menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan tersebut agar

34
mereka bisa bekerja dengan tenang dan tidak terlalu
nampak pertentangannya dengan agama.

A. Perhatian Sinkretisme Agama dan Filsafat

Secara faktual, Ibnu Rusyd bukanlah orang


pertama yang berupaya memadukan agama dan filsafat,
atau antara hikmah dan syari’at, ataupun antara akal dan
wahyu. Para filosof muslim sejak masa Al-Kindi telah
mencoba menawarkan berbagai pola dan bentuk
pendekatan yang beragam dalam hal sinkretisme antara
agama dan filsafat. Bahkan, di kalangan filosof Timur
(Andalus) pun telah didahului oleh Ibnu Masarrah dan
Ibnu Thufail . Namun demikian, seperti akan diuraikan
dalam bagian berikutnya, Ibnu Rusyd menwarkan suatu
penyelesaian dengan cara atau format yang sama sekali
baru dan orisinil.

Terdapat beberapa latar belakang kondisional dan


faktor yang mendorong Ibnu Rusyd untuk menyelami
masalah ini dan menyelesaikannya secara khusus, yaitu
antara lain :

35
1. Ada beberapa ulama yang membeberkan
hikmah seluruhnya kepada masyarakat sekaligus
pendapat para ahli hikmah (filosof) menurut
pemahamannya sendiri, sehingga menimbulkan
kesalahan persepsi mengenai hubungan syari’at dengan
hikmah.

2. Latar belakang kondisi sosio kultural


masyarakat Islam terutama di wilayah Andalusia, dimana
pengikut madzhab Maliki yang mendominasi wilayah
tersebut tidak begitu respek terhadap filsafat, bahkan
cenderung memusuhi.

3. Konflik dan sengketa yang berkepanjangan


antara sekte-sekte Islam yang ada, yang masing-
masingnya mengaku tetap berpegang teguh pada
keaslian syari’at.

4. Ekstrimitas Ibnu Rusyd dalam mengagumi


Aristoteles. Ibnu Rusyd ingin menjelaskan bahwa
kekagumannya pada Aristoteles dan penyanjungannya
pada pemikiran dan filsafat Aristoteles tidaklah
mengeluarkannya dari agama.

36
B. Karya-Karya Ibnu Rusyd

Kegemarannya terhadap ilmu sulit dicari


bandingannya. Hal ini terlihat jelas dari karya-karyanya
yang meliputi berbagai cabang ilmu, seperti : fiqh, ushul,
bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan
filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar tulisan
telah ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya berupa
karangan sendiri, ulasan ataupun ringkasan.

Kekaguman dan penghormatannya kepada


Aristoteles membuatnya memberikan perhatian besar
untuk memberikan Ulasan dan ringkasan bagi pemikiran
dan karya-karya Aristoteles. Di samping itu, turut
diulasnya pula karya-karya Plato, Iskandar Aphrodisias,
Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan
Ibnu Bajah.
Karya-karyanya yang terpenting dan sampai kepada kita
antara lain :

1. Bidayah al-Mujtahid; sebuah buku bernilai


tinggi berisi perbandingan madzhab dalam fiqh

37
2. Fashl al-Maqaal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-
Syari’ah min al-Ittishal; Buku inidimaksudkannya untuk
memnunjukkan adanya kesesuaian antara agama dengan
filsafat.

3. Manahij al-Adillah ; berisi pandangan-


pandangannya tentang persoalan dan aliran dalam ilmu
kalam beserta kelemahan masing aliran tersebut.

4. Tahafut al-Tahafut; suatu buku yang terkenal


dalam lapangan filsafat, dimaksudkan untuk melakukan
pembelaan terhadap filsafat dari serangan hebat al-
Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah.

C. Pandangan Ibnu Rusyd Tentang Agama dan


Filsafat

Ibnu Rusyd turut terlibat dalam diskursus


pemaduan antara agama dengan filsafat, bahkan melebihi
para filosof sebelumnya, karena ia telah mampu
memberikan uraian yang cukup panjang dan mendalam.
Dalam tujuan ini, Ibnu Rusyd menulis kitab Fashl al-
Maqaal dan Manahij al-Adillah, serta Tahafut al-

38
Tahafut. Dengan segenap ketekunan, Ibnu Rusyd harus
mengadakan pemaduan antara agama dengan filsafat,
karena adanya serangan yang berat terhadap filsafat ,
terutama dari Al-Ghazali. Karenanya, Ibnu Rusyd harus
melakukan pembelaan terhadap filsafat dan menjelaskan
bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, bahkan
mengokohkannya dan menjelaskan perumusan-
perumusannya.

Dalam menguraikan perlunya pemaduan tersebut,


Ibnu Rusyd menguraikan empat persoalan. Pertama,
keharusan berfilsafat menurut Syara’. Kedua, pengertian
lahir dan pengertian batin serta keharusan ta’wil. Ketiga,
Aturan-aturan dan Kaidah ta’wil. Keempat, Pertalian
akal dengan wahyu.

Keharusan Berfilsafat Menurut Syara’


Menurut Ibnu Rusyd, persesuaian dan perpaduan antar
agama dan filsafat sudah sepantasnya dianggap sebagai
ciri terpenting dari filsafat Islam. Cara yang digunakan
oleh Ibnu Rusyd dalam hal ini adalah cara yang jenius.
Dalam Fashl al-Maqaal, Ibnu Rusyd mengawali
pembahasaannya dengan keharusan berfilsafat menurut

39
Syara’. Menurut Ibnu Rusyd, filsafat berfungsi untuk
mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan
memandangnya sebagai jalan untuk menemukan Zat
yang membuatnya. Qur’an berkali-kali memerintahkan
hal yang demikian, diantaranya dalam surat Al-A’raaf
ayat 185 dan surat Al-Hasyr ayat 2 yang mengandung
perintah i’tibar dan nazhar.

Kedua ayat tersebut secara tegas memerintahkan


untuk mengambil qiyas aqli atau qiyas aqli dan qiyas
syar’i bersama-sama. I’tibar dan nazhar yang
dimaksudkan dalam kedua ayat tersebut tidak lain adalah
pengambilan sesuatu hukum yang belum diketahui
(majhul) dari sesuatu yang telah diketahui (ma’lum). Ini
berarti, penyelidikan alam wujud tidak bisa tidak, mesti
menggunakan qiyas aqli. Karena itu, penyelidikan yang
bersifat filosofi menjadi suatu kewajiban.

Argumentasi Ibnu Rusyd tersebut, dapat


dipahami secara logika, dengan mengikuti premis–
premis yang disusun oleh Al-‘Iraqiy sebagai berikut :

 Premis minor :

40
Penyelidikan filsafat secara nazhari aqli di alam
ini bertujuan untuk mencapai ma’rifah kepada
pembuatnya, yaitu Allah.

 Premis mayor :

Agama memerintahkan dan mewajibkan manusia


untuk memperhatikan dan memikirkan penciptaan di
alam ini agar manusia mengenal Tuhannya (Allah)

 Konklusi :

Pengkajian filsafat dalam kerangka diatas adalah


kewajiban, sepanjang kemampuan, yaitu dengan metode
burhan (demontrasi) Kalau seorang faqih berdasarkan
ayat tersebut menetapkan adanya qiyas syar’i, maka
berdasarkan ayat tersebut pula seorang filosof lebih
berhak lagi untuk menetapkan adanya qiyas aqli. Bila
dikatakan qiyas aqli adalah sebuah bid’ah, maka
demikian pula halnya dengan qiyas syar’i, karena
keduanya tidak terdapat pada masa permulaan Islam.

Kalau pengambilan qiyas aqli diwajibkan oleh


Syara’ maka seorang ahli pikir harus mempelajari logika

41
dan filsafat. Untuk itu, karena filsafat telah berkembang
sebelumnya dengan tokoh-tokoh seperti Plato dan
Aristoteles, maka mempelajari pemikiran para filosof
terdahulu tersebut adalah suatu keniscayaan. Tidaklah
mungkin bagi orang-orang yang datang kemudian
membangun filsafat yang baru sama sekali dengan
meninggalkan pemikiran-pemikiran filsafat yang telah
berkembang sebelumnya.

D. Keharusan Ta’wil

Para filosof Islam bersepakat bahwa akal dan


wahyu keduanya menjadi sumber pengetahuan dan alat
untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi, dalam Qur’an
dan Hadits, terdapat banyak nash yang secara lahir
bertentangan dengan filsafat. Bagi Ibnu Rusyd, nash-
nash tersebut dapat dita’wilkan sepanjang memenuhi
aturan-aturan ta’wil dalam bahasa Arab, seperti halnya
lafazh-lafazh dari Syara’ dapat pula dita’wilkan dari segi
aturan fiqh. Karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak
semua kata-kata yang datang dari Syara’ diartikan
menurut lahirnya, tidak pula harus dikeluarkan
semuanya dari arti lahirnya, tetapi menggunakan makna

42
batinnya. Penafsiran (pena’wilan) semacam inilah
dipakai oleh ulama-ulama fiqh dan para filosof.
Dengan demikian, ada arti lahir dan arti batin. Bila arti
lahir sesuai dengan hasil pemikiran, maka arti ini harus
diambil dan kalau berlawanan maka harus dicari
pena’wilannya. Arti ta’wil adalah mengeluarkan sesuatu
kata dari arti yang sebenarnya kepada arti yang majazi
(allegorik).

Rangkapnya arti tersebut, dikarenakan perbedaan


pandangan orang dan kemampuannya untuk
mempercayai. Manusia dalam hal ini terdiri dari tiga
golongan, sesuai dengan pembagian qiyas, yaitu
golongan pemakai qiyas burhani, qiyas jadali, dan qiyas
khithabi.

Qiyas burhani adalah qiyas yang terdiri dari


dasar-dasar pikiran (premis) yang yakin dan berpijak
pada hukum-hukum aksioma. Karena itu, qiyas tersebut
memiliki konklusi yang meyakinkan, dan itulah qiyas
yang sebenar-benarnya dan lazim dipakai dalam dunia
pemikiran filsafat. Qiyas jadali terdiri dari dasar-dasar
pikiran yang masih berada dalam daerah kemungkinan,

43
yang diterima oleh semua orang atau sebagian besarnya
atau diterima oleh semua filosof, dan kesimpulannya
juga masih berada pada daerah kemungkinan pula. Qiyas
jadali ini tidak bisa menggantikan qiyas burhani dan
hanya bisa dipakai dalam arena perdebatan dan yang
sejenisnya.

Qiyas khithabi adalah qiyas yang didasarkan atas


pikiran-pikiran dasar yang lemah dan hanya sesuai untuk
pilihan si pendengar dan keadaan jiwanya. Qiyas ini
bersifat sentimentil, yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi atau memberi kepuasan jiwa, bukan
untuk memberikan pengertian yang benar.
Golongan para pemakai qiyas burhani adalah para filosof
yang mempunyai dalil-dalil yang kuat. Sedangkan
golongan pemakai qiyas jadali adalah para teolog Islam
(mutakallimin) yang hanya sampai ke tepi keyakinan
tetapi tidak sampai mengarunginya.

 Adapun qiyas khithabi adalah manusia pada


umumnya yang kurang memiliki kecerdasan otak,
dan fitrahnya masih kurang sempurna, sehingga tidak

44
mampu memahami qiyas jadali dan qiyas burhani.

 Aturan-aturan Ta’wil

Ibnu Rusyd meletakkan beberapa aturan sebagai


pegangan dalam melakukan ta’wil, yaitu :

1. Setiap orang harus menerima prinsip-prinsip


Syara’ dan mengikutinya, serta menginsyafi bahwa
Syara’ melarang untuk memperkatakan hal-hal yang
tidak disinggung olehnya.

2. Yang berhak mengadakan ta’wil hanyalah


golongan filosof semata, bahkan filosof tertentu saja,
yaitu mereka yang mendalam ilmunya. Ta’wil ini tidak
boleh dilakukan oleh ulama-ulama fiqh, termasuk juga
ulama-ulama mutakallimin, karena keterbatasan ilmunya
dan berbeda-beda pendapatnya, bahkan mereka telah
menyebabkan terjadinya perpecahan dan timbulnya
golongan-golongan dalam Islam.

3. Hasil pena’wilan hanya dapat dikemukakan


kepada golongan pemakai hal yang tidak mungkin
terjadinya ijma’ ini, penta’wilan para filosof disalahkan ,

45
bahkan dinyatakan sebagai kekufuran.
qiyas burhani, yaitu para filosof, bukan kepada kepada
orang awam karena orang awam hanya mengetahui arti
lahirnya nash.

4. Kaum Muslimin bersepakat bahwa dalam


Syara’ ada tiga bagian, yaitu : Bagian yang harus
diartikan menurut lahirnya; bagian yang harus
dita’wilkan; dan bagian yang masih diperselisihkan.
Dalam hal pena’wilan terhadap sesuatu yang sudah
disepakati untuk diartikan menurut lahirnya ataupun
pengartian menurut lahirnya dari sesuatu yang
semestinya dita’wilkan, diperlukan ijma’ kaum
muslimin.

Dalam kaitan ini, menurut Ibnu Rusyd, para


ulama membagi ijma’ menjadi dua, yaitu ijma’ dalam
amalan lahir dan ijma’ dalam amalan penyelidikan akal.
Mereka menetapkan bahwa ijma’ dalam soal-soal akidah
tidak mungkin terjadi dengan jalan yang yakin,
sebagaiman yang mungkin terjadi dalam soal-soal
amalan. Dalam soal-soal amalan, ijma’ bisa terjadi
apabila sesuatu amalan tersebut luas, kemudian tidak

46
terdengar ada pendapat yang menyalahinya. Ketidak
mungkinan ijma’ seperti ini pula yang, sebagaimana
diakui pula oleh Al-Ghazali sendiri. Karena itu,
sangatlah berlebihan dalam hal yang tidak mungkin
terjadinya ijma’ ini, penta’wilan para filosof disalahkan ,
bahkan dinyatakan sebagai kekufuran.

E. Kedudukan Wahyu dan Pertaliannya dengan


Akal Ibnu Rusyd

Meskipun beliau memuja kekuatan akal dan


mempercayai kesanggupannya, untuk mengetahui,
namun ia menyatakan bahwa dalam dunia ini ada hal-hal
yang terletak diluar kesanggupan akal untuk dapat
diketahuinya. Karena itu, dalam hal ini harus
dikembalikan kepada wahyu yang diturunkan memang
untuk menyempurnakan akal. Dalam bukunya, Tahafut
al-Tahafut ia menyatakan, “Segala sesuatu yang tidak
disanggupi akal, maka Tuhan memberikannya kepada
manusia melalui wahyu”.

Dalam hal ini yang dimaksudkan oleh Ibnu


Rusyd adalah dalam permasalahan :

47
Bagaimana mengetahui Tuhan, mengetahui arti
kebahagiaan, dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat,
dan mengetahui jalan untuk mencapai kebahagiaan dan
menjauhkan kesengsaraan tersebut.

Persoalan-persoalan tersebut, seluruhnya atau


sebagian besarnya, tidak akan bisa dijelaskan secara
sempurna kecuali dengan wahyu, atau apabila dijelaskan
dengan wahyu maka lebih utama. Hal ini dapat
dimengerti, karena filsafat bertujuan mengamalkan
tentang kebahagiaan manusia kepada sebagian dari
mereka, yaitu mereka yang mempunyai kesanggupan
untuk mempelajarinya. Atau dengan kata lain, ditujukan
kepada orang yang pandai saja.

Sedangkan Syara’ bermaksud memberikan


tuntunan atau pelajaran kepada orang banyak secara
umum. Karena itu, ilmu yang dibawa oleh wahyu
menjadi rahmat bagi semua orang.
Jadi, wahyu dianggap oleh Ibnu Rusyd sebagai suatu
keharusan untuk semua orang, dan kekuatan akal dalam
mencari kebenaran berada di bawah kekuatan wahyu.
Inilah yang terungkap dari dalam kedua bukunya

48
Manahij al-Adilah dan Tahafut al-Tahafut. Sikap ini pula
yang kemudian mengundang banyak pertanyaan dan
kontroversi, apakah Ibnu Rusyd seorang rasionalis tulen
atau bukan.

49
BAB V

SINKRETISME AGAMA DAN FILSAFAT


IBNU THUFAIL

Dalam perjalanan panjang sejarah kefilsafatan di


dunia Timur eksistensinya senantiasa disandingkan
dengan konstruk pemikiran kefilsafatan pada masa
Yunani. Tak pelak lagi, periodisasi perjalanan
kefilsafatan yang berlaku seringkali dikompromisasikan
sebagai suatu keadaan yang saling bersilang di antara
satu peradaban dengan peradaban lain. Filsafat Islam
‘disinyalir’ sebagai bentukan baru dari pemikiran filsafat
Yunani yang terkemas dengan kaidah-kaidah keislaman
yang diperbaharukan. Tidak dapat dipungkiri banyak
perspektif dimunculkan oleh para pengkaji bahwa
filsafat Islam didudukkan eksistensinya sebagai
penerjemah dari realitas kefilsafatan yang muncul pada
zaman Yunani.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syafieh
(Syafieh, “Filsafat Islam Dunia Islam Barat Ibnu Bajjah
dan Ibnu Thufail”1 bahwa proses sejarah masa lalu,
tidak dapat mengelakkan pemikiran filsafat Islam

50
terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filosof Islam
banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan banyak
tertarik terhadap pemikiran Plotinus, sehingga banyak
teori filosof Yunani diambil oleh filosof lslam. Salah
satu di antara para filosof Islam yang disinyalir
berhubungan dengan pemikiran Yunani di atas adalah
Ibn Bajjah dan Ibnu Tufail yang hidup pada masa
kejayaan Islam di Spanyol.
Ibn Bajjah adalah ahli yang menyadarkan pada
teori dan praktik dalam ilmu-ilmu matematika,
astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi
spektakulatif seperti logika, filsafat alam dan metafisika.
Sebagaimana yang dikatakan oleh De Boer dalam “The
History of Philosophy in Islam”, bahwa Ibnu Bajjah
benar-benar sesuai dengan Al-Farabi dalam banyak
karya tulisnya tentang logika dan secara umum setuju
dengannya, bahkan dengan doktrin-doktin fisika dan
metafisikannya.2Sementara itu, filosof lain yang
didudukkan sebagai generasi yang bersinggungan
dengan pemikiran Yunani adalah Ibnu Thufail. Dia
adalah satu di antara sekian banyak filosof Islam yang
mampu menghasilkan karya fenomenal yang berbau

51
filosofis-mistis mengenai bagaimana akal pikiran
mampu menangkap, merenungkan dan menyimpulkan
bahwa segala sesuatu ada yang menggerakkan dan
penggerak itu tiada lain adalah Tuhan Pencipta Alam
Semesta. Pemikiran Islam pada masa itu berada dalam
perkembangan yang positif. Hal ini terbukti dengan
berkembangnya dunia filsafat Islam yang tidak berkutat
di daerah timur saja melainkan merambah ke daerah
Barat tepatnya di daerah Spayol yang salah satu
filosofnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-
Malik ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Thufail Al-
Qaisyi atau dikenal dengan Ibnu Thufail. Pemikiran
Filsafatnya tergambar jelas dalam karya novelnya “Hayy
ibnu Yaqzhan” meski akal mendominasi filsafat
ketuhanannya dan disebutkan dalam berbagai literatur
bahwa Hayy ibnu Yaqzhan sebagai reka ulang yang
terpengaruhi oleh pemikiran filsafat Ibn Shina, namun
karya tersebut mendapat tempat di dunia filsafat sebagai
karya pencarian jati diri seorang anak manusia bukan
hanya sebagai curahan pemikiran atau khayalan Ibnu
Thufail belaka.3Jika dilihat secara seksama dari usaha
yang ingin dibangun oleh Ibnu Thufail atas karya

52
monumentalnya tentang Hayy bin Yaqzhan, terlihat
bahwa secara hakiki usaha besarnya adalah
menunjukkan warna pemikiran kefilsafatan yang
bernuansakan prinsip-prinsip ketimuran dalam kaidah ini
adalah filsafat Islam. Usaha yang ingin dieksplorasi oleh
Ibnu Thufail di atas sejatinya ingin menunjukkan bahwa
disiplin kefilsafatan dalam dunia Islam adalah sebuah
realitas kedisiplinan yang berdiri secara terpisah dari
filsafat Yunani.
Dalam kerangka inilah Asy’arie (2001)
menjelaskan bahwa filsafat Islam pada hakikatnya
adalah Filsafat Kenabian Muhammad. Filsafat Kenabian
(Prophetic Philosophy)ini lahir dalam periode filsafat
Islam, dan karenanya tidak ditemukan dalam tradisi
filsafat Yunani. Konsep Filsafat Kenabian secara teoritis
dibangun pertama oleh Al-Farabi, di mana Nabi
mempunyai kekuatan imajinatif yang memungkinnnya
berhubungan dengan ‘aqal fa’al untuk mencapai
kebenaran tertinggi. Al-Farabi dikenal sebagai Guru
Kedua, setelah Aristoteles sebagai Guru Pertama.
Kemudian dikembangkan oleh Ibnu Sina dengan
teorinya mengenai aqalsuci yang dimiliki Nabi, yang

53
memungkinkan Nabi menembus dimensi kegaiban dan
menyatu di dalamnya.
Beberapa perspesktif yang diketengahkan dalam
filsafat Islam secara niscaya diarahkan ke dalam suatu
usaha untuk menjelaskan bahwa warna Filsafat Kenabian
secara nyata muncul dalam peradaban filsafat Islam
namun hal tersebut tidak terjadi dalam filsafat Yunani.
Mengetengahkan tentang kondisi ini Ibnu Sina
menggambarkan bahwa gambaran dalam Filsafat.
Kenabian dijelaskan dalam jiwa manusia terdapat
kekuatan yang membedakannya dari binatang dan benda
lain. Kekuatan itu dinamakan jiwa rasional (an-nafs an-
nathiqah). Ia ada pada setiap orang tanpa kecuali, namun
tidak (ada pada setiap orang) dalam sifat-sifatnya yang
khusus, karena kemampuan jiwa rasional itu berbeda-
beda di antara banyak orang. Begitulah selanjutnya, ada
kekuatan pertama yang mampu menerima gambaran
tentang bentuk-bentuk universal yang diabstrakkan dari
benda, dan yang pada dirinya tidak mempunyai bentuk.
Oleh sebab itu, kekuatan pertama ini dinamakan intelek
meterial (al-‘aql al-hayuulani), secara kias dengan materi
pertama (al-hayuula). Kekuatan ini adalah kekuatan

54
dalam potensialitas, sama dengan api yang potensial
dingin, tidak dalam pengertian bahwa api mempunyai
kemampuan membakar. Kemudian ada kekuatan kedua
yang mempunyai kemampuan serta kesediaan positif
untuk menangkap bentuk-bentuk universal karena
bentuk-bentuk universal itu mengandung pikiran yang
telah diterima dan bersifat umum. Ia juga merupakan
kekuatan dalam potensialitas, tetapi dalam pengertian
seperti jika seseorang mengatakan bahwa api
mempunyai potensi untuk membakar. Untuk selanjutnya,
selain kedua kekuatan dalam berpikir manusia, terdapat
kekuatan ketika yang disebut dengan kekuatan perolehan
(mustafad, diperoleh karena latihan dan yang
sejenisnya). Kekuatan mustafad secara aktual tidak
terdapat dalam intelek material, jadi juga tidak terdapat
di dalamnya secara esensial.
Karena itu, adanya intelek mustafad dalam
intelek material itu adalah disebabkan oleh adanya
sesuatu yang lain yang di dalamnya terkandung intelek
mustafad secara esensial dan yang menyebabkan wujud;
dengan sesuatu itulah apa yang potensial menjadi aktual.
Sesuatu kekuatan ini dinamakan intelek universal, jiwa

55
universal, dan jiwa alam (al-‘aql al-kulli, an-nafs al-kulli,
nafs al’alam).
A. Kebijaksanaan dari Timur Hayy bin Yaqzhan
(Asrar Hikmah al-Masyriqiyyah)

Ibnu Rusyd, Ibnu Thufail mengetahui benar


masalah-masalah yang memisahkan Al-Ghazali dari
penganut Aristotelianisme yang Neoplatonis, yaitu Al-
Farabi dan Ibnu Sina. Dalam Hayy bin Yaqzhan, dia
mencari sintesis tema-tema mereka dengan menyusun
kembali mistisisme dan kesalehan Islam yang
dipengaruhi pandangan sufi Al-Ghazali. Sebab, semua
jalan ini diyakininya mengejar tujuan yang sama. Al-
Ghazali sendiri telah mendalami teori emanasi
Neoplatonik dan etika kebajikan Aristotelian.

Dan para filosof muslim, seperti diakui oleh Al-


Ghazali, paling tidak dalam niat-niat mereka, adalah
kaum teis, muhaqqiqun, para pemikir yang mengabdikan
diri kepada kebenaran.16Ringkasan dari cerita Hayy bin
Yaqzhan yang ditulis oleh Ibnu Thufail sejatinya ingin
menguraikan kebenaran-kebenaran tertentu dalam
realitas keagamaan setiap muslim. Ringkasan tersebut

56
sebagaimana diringkas oleh Nadhim al-Jisr dalam
karyanya Qissat al-Iman dan dikutip oleh Hanafi1 pada
beberapa rangkaian ringkasan berikut;

1) Urut-urutan tangga ma’rifat (pengetahuan)


yang ditempuh oleh akal, dimulai dari objek-objek
inderawi yang khusus sampai kepada pikiran-pikiran
universal;

2) Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia


bisa mengetahui wujud Tuhan, yaitu dengan melalui
tanda-tandanya pada makhluk-Nya, dan menegakkan
dalil-dalil atas wujud-Nya

3) Akal manusia ini kadang-kadang mengalami


ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan
dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan
keazalian mutlak, ketidakakhiran, zaman, qadim, huduts
(baru) dan hal-hal lain yang sejenis dengan itu;

4) Baik akal menguatkan qadim-nya alam atau


kebaharuannya namun, kelanjutan dari kepercayaan
tersebut adalah satu juga, yaitu adanya Tuhan;

57
5) Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui
dsar-dasar akhlak yang bersifat amali dan
kemasyarakatan, serta berhiaskan diri dengan keutamaan
dasar akhlak tersebut, di samping menundukkan
keinginan-keinginan badan kepada hukum pikiran, tanpa
melalaikan hak badan atau meninggalkannya sama
sekali;

6) Apa yang diperintahkan oleh syariat Islam dan


apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan
sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keidnahan
dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik, tanpa
diperselisihkan lagi;

7) Pokok dari semua hikmah ialah apa yang telah


ditetapkan oleh syara’, yaitu mengarahkan pembicaraan
kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa
membuka kebenaran dan rahasia-rahasia filsafat kepada
mereka. Juga pokok pangkal segala kebaikan ialah
menetapkan batas-batas syara’ dan meninggalkan
pendalaman sesuatu.Seorang anak tinggal sendirian di
suatu pulau, yaitu Hayy bin Yaqzhan, disusui dan diasuh
seekor rusa. Ketika dia sudah besar, dirinya mempunyai

58
hasrat yang kuat untuk mengetahui menyelidiki tentang
sesuatu yang tidak dapat dimengerti olehnya. Dia
menyadari bahwa hewan-hewan mempunyai pakaian
alami dan alat pertahanan bagi dirinya, sedangkan dia
sendiri telanjang dan tidak bersenjata.

Oleh karena itu dia menutup dirinya pertama-


tama dengan kulit-kulit hewan yang telah mati, serta
memakai tongkat sebagai alat pertahanan diri. Lambat
laut dia mengenal kebutuhan-kebutuhan hidup yang lain
mengetahui cara memakai api, manfaat bulu, tahu
menenun, dan akhirnya membangun gubug sebagai
tempat berteduhnya.18Hayy bin Yaqzhan, seperti
manusia dambaan Aristoteles, mempunyai hasrat bawaan
untuk mengetahui. Dirawat dan diasuh oleh ibu
angkatnya seekor rusa. Dia belajar dan bergantung
padanya dan percaya pada pengasuhannya. Kemauan dan
kesungguhannya menjadi fokus dalam pembicaraan
perkembangan psikologi Stoik tentang kesadaran moral;
dan dia belajar malu, cemburu, meniru, dan iri pada
kondisi masa kanak-kanak dalam pemikiran Ibnu
Thufail. Pada masa remaja, Hayy bin Yaqzhan telah

59
mencapai usia penalaran praktis, membuat baju dan
senjata, berlelah-lelah menunggu tanduk tumpuh di
kepalanya dan khawatir akan kalah berkelahi dengan
binatang.

Ketika ibu angkatnya melemah karena usia, dia


belajar merawatnya dan menemukan sisi aktif cinta yang
pada masa kanak-kanak hanya merupakan
ketergantungan pasif. Ketika ibu angkatnya meninggal,
dia mencoba untuk menghidupkan kembali, tetapi
kemudian dia menyadari bahwa ruh kehidupan telah
pergi dan bahwa jasad yang tertinggal hanyalah benda
busuk tanpa memiliki lagi prinsip yang mengaturnya.
Dalam keyakinan Ibnu Thufail pada eksplorasi karyanya
Hayy bin Yaqzhan dijelaskan bahwa di balik
keanekaragaman tentu ada keseragaman (kesatuan) dan
kekuatan yang tersembunyi dan yang ganjil, suci dan
tidak terlihat. Dia menyebutnya “Sebab Pertama” atau
“Pencipta Dunia”. Kemudian dia merenungkan dirinya
sendiri dan alat yang dipakai untuk memperoleh
pengetahuan. Kemudian arah penyelidikannya berubah
menjadi perenungan terhadap dirinya sendiri. Akhirnya

60
dia menemukan unsur-unsur pertama atau substansi
pertama, susunannya, benda, bentuk, dan akhirnya jiwa
dan keabadiannya. Dengan memperhatikan aliran air dan
menyusuri sumbernya kepada suatu sumber air yang
memancar dan melimpah sebagai sungai, maka dia
terbimbing untuk mengatakan bahwa manusia juga mesti
mempunyai satu sumber sama. Beberapa aspek tentang
penalaran akan ‘Sebab Pertama’ atau ‘Pencipta Dunia’
secara hakiki ingin mengantarkan setiap pribadi kepada
suatu realitas bahwa seseorang yang sudah mampu
menemukan Tuhan sesungguhnya dia telah mampu
menemukan dorongan batin, keselamatan, dan
kebahagiaan kehidupan. Secara realistis pula, pribadi
yang sudah menemukan Tuhan, sungguh dirinya telah
mampu menemukan makna kenikmatan. Kondisi ini
sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Thufail pada bait
argumentasi berikut:“Jika ada wujud yang
kesempurnaan-Nya tak terhingga, kemegahan dan
kebaikan-Nya tidak mengenal batas, Yang melampaui
kesempurnaan, kebaikan, dan keindahan, suatu Wujud
yang tidak ada kesempurnaan, kebaikan, keindahan, dan
kemegahan yang tidak berasal dari-Nya, maka

61
kehilangan pegangan terhadap Wujud itu dan telah
mengenal-Nya, tetapi tak bisa menemukan-Nya, berarti
suatu penyiksaan yang tak terhingga sepanjang Dia tidak
ditemukan. Begitu juga, mempertahankan kesadaran
terus-menerus tentang-Nya berarti mengenal
kegembiraan tak berselang, kebahagiaan tak berujung,
suatu kenyamanan dan kenikmatan yang tak terkira”.

Perspektif yang dibangun oleh Ibnu Thufail di


atas menunjukkan bahwa hakikat dari Dzat Yang Satu,
Allah swt., adalah kesempurnaan yang harus dicari dan
diperjuangkan perwujudannya. Pencapaian kesadaran
atas hakikat Yang Ada sebagai sumber utama realitas
menggiring setiap pribadi ke dalam suatu kesadaran
bahwa eksistensi-Nya mustahil berjalan di antara
kealpaan. Di atas kenyataan ini pula, usaha yang
dilakukan oleh Hayy bin Yaqzhan ketika dirinya
menyadari bahwa lingkungan sekitarnya tidaklah
memiliki kesamaan dengan dirinya pengembaraan
intelektualnya pun muncul dan menyelidiki aspek-aspek
yang bisa menyadarkan dirinya akan eksistensinya yang
mengitari.Mengamati bahwa yang membuatnya berbeda

62
dari semua binatang lainnya menyebabkan dirinya
menjadi seperti benda-benda langit, Hayy menilai bahwa
ini berarti kewajiban baginya untuk menjadikan benda-
benda langit itu sebagai pola, meniru tindakan mereka,
dan melakukan semua yang dapat dilakukannya seperti
mereka. Dengan perkataan lain, dia melihat bahwa
bagian dari dirinya yang termulia, yang dengan bagian
itu ia mengetahui Wujud Niscaya, mempunyai kemiripan
dengan-Nya juga. Sebab, seperti Dia, dia melampaui
yang fisik Hayy bin Yaqzhan semakin menguatkan
bahwa hakikat doktrin agama merupakan sebuah fakta
yang bisa berkembang dengan alam yang telah dipenuhi
oleh nilai-nilai keilahian itu sendiri

63
DAFTAR PUSTAKA

Zaprulkhan. 2014. Filsafat Islam; Sebuah Kajian


Tematik. Jakarta: Rajawali Press

Nurcholish Madjid,(Ed.), 1994, Khazanah Intelektual


Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai


Aspeknya, Jakarta: Universitasindonesia Press, 2008

Ya’qub, H. Hamzah,Filsafat Agama, Jakarta: Pedoman


Ilmu Jaya, 1991.

Maqsud Abdul, Filsafat Dan Agama, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2000

64

Anda mungkin juga menyukai