Agama &
Filsafat
Adi Wahyudi
1184020007
2
Kpi 4A
KATA PENGANTAR
Penulis
i3
DAFTAR ISI
N JUDUL HAL
O
1. KATA PENGANTAR I
2. DAFTAR ISI II
3. BAB 1 1-11
ARTI SINKRETISME, AGAMA DAN
FILSAFAT
4. BAB II 11-26
KAJIAN SINKRETISME
5. BAB III 27-32
PENGGUNAAN ISTILAH
SINKRETISME
6. BAB IV 32-50
SINKRETISME AGAMA DAN
FILSAFAT IBNU RUSYD
7. BAB V 50-64
SINKRETISME AGAMA DAN
FILSAFAT IBNU THUFAIL
4
BAB I
BAB I
ARTI SINKRETISME, FILSAFAT DAN AGAMA
ARTI SINKRETISME, AGAMA DAN
FILSAFAT
A. SINKRETISME
5
kepercayaan-kepercayaan dari sebuah agama dengan
agama lainnya sehingga akan menciptakan adat tradisi
yang baru dan berbeda.
6
Seperti halnya di Asia Selatan, perkembangan
Islam di Asia Tenggara pada masa modern juga memiliki
pengalaman serupa dalam tarik-menarik antara konsesi-
konsesi kepada khazanah lokal di satu sisi, dan upaya-
upaya para reformis untuk menjaga kemurnian pesan
Islam di sisi lain. Tradisi estetika pribumi telah
dipengaruhi dengan amat kuat oleh varian Asia Tenggara
dari kisah Hindu Ramayana dan Mahabharata.
7
membentuk kembali tradisi-tradisi lokal dalam
berhadapan dengan upaya Muslim pembaru untuk
mempersempit rentang kepercayaan yang diperkenankan
dengan memperkenalkan kriteria baru dalam lingkup
Islam.
B. FILSAFAT
Kata filsafat
merupakan kata serapan dari
bahasa Arab فلس@@@فة. Kata
filosofi juga dari bahasa
Belanda yang di kenal di
Indonesia. Bentuk terakhir
ini lebih mirip dengan kata
aslinya, yang diambil dari
bahasa Yunani yang berarti philosophia. Arti
harafiahnya adalah seorang "pencinta kebijaksanaan"
atau "ilmu".
8
Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-
eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi
untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang
tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
9
Descartes (1590-1650)
Filsafat Adalah Kumpulan Ilmu Pengetahuan
Yang Dimana Tuhan, Alam Dan Manusia Menjadi
Poko Penyelidikannya.
D.C Mulder
Filsafat Adalah Pemikiran Teoritis Tentang
Susunan Kenyataan Sebagai Keseluruhan.
IR. Poedjawiyatna
Filsafat Ialah Ilmu (Tentang Segala Sesuatu)
Yang Menyelidiki Keterangan Atau Sebab Yang
Sedalam-Dalamnya.
M.J Langeveld
Filsafat adalah pembuktian yang dapat diterima
oleh akal dan dengan susun menyusun serta hubung
menghubung secara bertanggungjawab. Hasil
pembuktian ini dinamakan filsafat.
Dari berbagai pengertian diatas, Maka filsafat
dapat disumpulkan sebagai kajian ilmu yang
mendalam segala sesuatu mengenai ketuhanan, alam
semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh
10
yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana
sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai
pengetahuan itu.
Obyek filsafat adalah mengenai ketuhanan, alam
semesta dan manusia. Dan Tugas filsafat adalah
mempersoalkan segala sesuatu mengenai ketuhanan,
alam semesta dan manusia secara:
1. Sistematis
segala sesuatu dilihat sebagai bagian lainnya
dalam kerangka suatu sistem.
2. Radikal
berfikir sampai keakar-akar sesuatu hakekat,
sampai kepada konsekwensi-konsekwensinya
3. Universal
cara berpikir secara keseluruhan, tidak hanya
pada bagian-bagian tertentu saja
4. Skeptis
hasil dari cara berpikir sistematis, radikal dan
universal kembali diragukan kebenarannya
C. AGAMA
11
Agama adalah sistem kepercayaan dan
peribadahan kepada Tuhan serta tata kaidah yang
berhubungan dengan budaya, dan pandangan dunia yang
menghubungkan manusia dengan tatana kehidupan.
Banyak agama memiliki mitologi, simbol, dan sejarah
suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup
yang menjelaskan asal-usul kehidupan atau alam
semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan
sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika,
hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut
beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.
12
Kata agama kadang-kadang digunakan
bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau
kadang-kadang
mengatur hidup
manusia. Namun,
dalam kata-kata
Émile Durkheim,
agama berbeda
dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah "sesuatu
yang nyata sosial" Émile Durkheim juga mengatakan
bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang
terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan
dengan hal yang suci. Sebuah jajak pendapat global 2012
melaporkan bahwa 59% dari populasi dunia adalah
beragama, dan 36% tidak beragama, termasuk 13% yang
ateis, dengan penurunan 9 persen pada keyakinan agama
dari tahun 2005. Rata-rata, wanita lebih religius daripada
laki-laki. Beberapa orang mengikuti beberapa agama
atau beberapa prinsip-prinsip agama pada saat yang
sama, terlepas dari apakah atau tidak prinsip-prinsip
agama mereka mengikuti tradisional yang
memungkinkan untuk terjadi unsur sinkretisme.
13
Filsafat agama diartikan filsafat yang membuat
agama menjadi obyek penelitiannya. Filsafat agama
mengembangkan logika, teori pengetahuan dan
metafisika agama. Filsafat agama mengembangkan
logika, teori pengetahuan dan metafisika agama.
Masalah-masalah yang dipertanyakan antara lain
hubungan antara Allah, dunia dan manusia, antara akal
budi dan wahyu, pengetahuan dan iman, baik dan jahat,
dan akhrinya cara-cara untuk membuktikan kerasionalan
iman kepada Allah.
14
Jadi dimana hubungan filsafat dengan agama? Yang
melahirkan filsafat agama? Kalau agama difilsafati,
agama kehilangan dogmanya, justru kemungkinan besar
akan melahirkan “agama baru” bisa berbeda dengan
agama yang ada, bisa kombinasi antara pemikiran
filsafat dengan nilai –nilai agama yang ada.
15
BAB II
BAB II
KAJIAN SINKRETISME AGAMA DAN
KAJIAN SINKRETISME AGAMA DAN FILSAFAT
FILSAFAT
16
bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran dan
terbujuk oleh setan". Sementara para pendukung dan
pecinta filsafat harus berbuat sesuatu untuk meredakan
tajamnya perlawanan tersebut dan meletakkan filsafat di
tengah-tengah masyarakat Islam secara sewajarnya.
Untuk mewujudkan hal ini mereka mencari hadis-hadis
Nabi Muhammad yang mengagungkan akal manusia,
serta yang mengajak untuk berpegang teguh pada akal
dan menggunakannya untuk berpikir, seperti hadis,
17
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit danbumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal", (Ali Imran: 190).
18
mereka menggunakannya dalam konteks makna yang
membantu spesialisasi mereka. Begitu pula kata ini
digunakan para filsuf semisal al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu
Masarrah dan Ibnu Rusyd. Perlu kami singgung, bahwa
langkah awal ini belumlah cukup untuk membangun
sendisendi di tengah-tengah umat Islam. Namun perlu
dicari langkah lain yang lebih jauh dari langkah awal
yang dapat dijadikan dasar bagi para pendukung dan
pecinta filsafat atau antara wahyu dan akal.
19
(paradoks) antara keduanya. Ini berarti bahwa ide
sinkretisme secara esensial adalah suatu keharusan bagi
mereka, selama mereka berpegang teguh pada filsafat.
Tanpa mengurangi keteguhan mereka dalam memegang
Islam serta meletakkan filsafat pada posisi yang sejajar
dengan Islam. Karena filsafat pada prinsipnya tidaklah
bertentangan dengan agama. Bahkan bagi mereka
berfilsafat adalah suatu keharusan untuk menyelamatkan
agama itu sendiri, juga sebagai jalan untuk menunjukkan
manusia menuju kebenaran.
20
Bagaimanapun juga, sebenarnya semua filsuf
Islam telah menyelami bidang ini, baik filsuf timur
(Arab) maupun filsuf barat (Andalusia). Bila filsuf timur
(al-Kindi) telah melakukan pemaduan antara agama dan
filsafat, maka para filsuf Andalusia pun melakukan hal
yang sama, bahkan mereka memberikan perhatian yang
lebih besar dibanding dengan filsuf timur dalam masalah
ini. Dengan demikian, seorang pengkaji dapat melihat
bahwa meskipun para filsuf timur memperhatikan
pemaduan antara agama dan filsafat tapi tak seorang pun
di antara mereka yang secara khusus membuat karya-
karya demi tujuan ini, baik berupa karangan pendek
(risalah) maupun kitab. Dan disaat lain seorang pengkaji
akan mendapati hal ini nampak jelas pada filsuf
Andalusia. Sebab di antara mereka ada yang secara
khusus membuat risalah, ada yang secara khusus
membuat kisah, dan ada pula yang secara khusus
menulis lebih dari satu buku, sebagaimana yang akan
kita lihat nanti.
21
tersebut. Sebab lingkungan di mana para filsuf timur
hidup memberikan banyak sekali toleransi kebebasan-
kebebasan berpikir. Sedangkan para filsuf Andalusia
Adapun para filsut Andalusia hidup di bawah
pemerintahan Dinasty Murabbithun dan disusul Dinasty
Muwahhidun. Kedua lingkungan dinasty tersebut penuh
dengan fanatisme yang anti pada setiap orang yang
menggunakan sedikit kebebasan berpikir. Dalam
lingkungan ini rasa fanatisme telah mencapai kondisi
yang membuat beberapa penguasa-karena mencari
kepuasan tokoh agama dan khalayak ramai- selalu
mengawasi (spionase) orang yang melindungi filsuf dan
orang yang kebetulan bersama mengkajaki filsafat
halnya Ibnu Bajjah dan Ibnu Rusyd.Oleh karena itu para
filsuf barat merasa bahwa dalam lingkungan seperti ini,
mereka terpaksa harus melakukan pemaduan antara
Islam dan filsafat, bahkan salah satu dari mereka
membuat karya khusus untuk tujuan ini. Hal itu dari satu
sisi, agar mereka dapat melakukan pembelaan dan dari
sisi yang lain, agar mereka dapat menjelaskan kepada
masyarakat umum bahwa filsafat itu sesungguhnya
tidaklah kontradiktif dengan agama dan keduanya sama-
22
sama bisa berjalan untuk tujuan yang sama, yaitu
mewujudkan kebaikan dan kebahagiaan bagi manusia.
23
(Aben Masarra) (W.319 H). Selain itu, ada juga yang
mengambil gaya roman yang bertujuan untuk
menetapkan kemampuan akal untuk mencapai dan
meningkat naik pada alam arwah (al-mala' al-a'la) serta
menggapai esensi kebenaran-kebenaran yang diserukan
oleh agama. Yang termasukbentuk roman ini adalah
kisah Hay bin Yaqdzan milik Ibnu Thufail (Abubacer)
(W. 581 H).
24
fundamental bagi masing-masing agama dan filsafat. Hal
ini bias kita dapati pada Ibnu Rusyd yang untuk tujuan
itu ia menulis karya khususnya: Fashl al-Magal fi ma
baina al-Hikmah wa al-Syari'ah min alIttishal (Makalah
Penentu mengenai Hubungan antara Filsafat dan
syari'ah). Karya ini tergolong kitab yang mentargetkan
metodologi rasional sebagai sarana untuk membuktikan
persesuaian antara akal dan syari'ah yang nantinya
merupakan persesuaian filsafat atau hikmah dengan
syari'ah sebagaimana Nampak pada judul kitab itu.
25
seorang filsuf Islam pun. Oleh karena itu benar kiranya,
jika dika takan posisi yang sama seperti Ibnu Rusyd.?
Setelah kami menyinggung gambaran penting yang
meliputi upaya-upaya sinkretisme agama dan filsafat
yang terdapat pada para filsuf Andalusia, kami akan
berusaha menyorotinya dengan sedikit terperinci dalam
bab-bab pembahasan berikutnya.
26
BAB III
27
Aristoteles. Di dalam bidang keagamaan, pada abad 17
Calextus seorang pengikut Luther disebut sebagai
seorang sinkretist, sebab dia berusaha mendamaikan dan
menyatukan teologia-teologia Protestan yang ada.
Dengan demikian, di sini terkandung arti pula unsur-
unsur mencampur-adukkan antara satu dengan lainnya
sehingga semuanya menjadi satu.
28
tidak terkecuali agama Kristen berusaha keluar dari
lingkungannya untuk mencapai lingkungan di luarnya,
maka mau tidak mau mesti bersifat sinkretistik. Hal ini
jelas, sebab lingkungan yang dihadapi dan di mana
agama Kristen tersebut ada adalah bukan lingkungan
yang steril dan vakum.
29
yang asli dengan sejelas mungkin, tanpa modifikasi yang
lebih besar daripada isi yang asli. Demikian pula
Absorption adalah juga bukan sinkretisme yang
sesungguhnya, selama hal itu diambil dengan pengertian
dan pembedaan yang jelas.
30
Agama di sini digambarkan seperti jalan-jalan yang
menuju ke satu tujuan puncak gunung atau seperti aliran
sungai yang sama-sama menuju ke Samudra luas.
Semuanya mempunyai tujuan yang sama yakni Tuhan
Yang Esa.
31
Demikian pula sekarang ini bukan Kekristenan
atau agama-agama lain lagi yang menjadi pusat
keagamaan, melainkan Tuhan sendirilah sebagai
matahari satu-satunya yang dikelilingi oleh planet-planet
atau agama-agama.Semua agama pada hakekatnya sama
saja dan dalam posisi yang sama pula serta agama
seseorang hanya ditentukan oleh tempat dan budaya di
mana dia dilahirkan.
32
BAB IV
33
Hadits sesudah Qur’an (ahlu al-Hadits), dengan madzhab
Hanafi yang mendasari pendapat-pendapatnya kepada
pikiran dan ijtihad (ahlu al-ra’yi).
Di samping itu, terdapat juga beberapa faktor lain yang
mendorong pemaduan antara agama dengan filsafat,
yaitu :
34
mereka bisa bekerja dengan tenang dan tidak terlalu
nampak pertentangannya dengan agama.
35
1. Ada beberapa ulama yang membeberkan
hikmah seluruhnya kepada masyarakat sekaligus
pendapat para ahli hikmah (filosof) menurut
pemahamannya sendiri, sehingga menimbulkan
kesalahan persepsi mengenai hubungan syari’at dengan
hikmah.
36
B. Karya-Karya Ibnu Rusyd
37
2. Fashl al-Maqaal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-
Syari’ah min al-Ittishal; Buku inidimaksudkannya untuk
memnunjukkan adanya kesesuaian antara agama dengan
filsafat.
38
Tahafut. Dengan segenap ketekunan, Ibnu Rusyd harus
mengadakan pemaduan antara agama dengan filsafat,
karena adanya serangan yang berat terhadap filsafat ,
terutama dari Al-Ghazali. Karenanya, Ibnu Rusyd harus
melakukan pembelaan terhadap filsafat dan menjelaskan
bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, bahkan
mengokohkannya dan menjelaskan perumusan-
perumusannya.
39
Syara’. Menurut Ibnu Rusyd, filsafat berfungsi untuk
mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan
memandangnya sebagai jalan untuk menemukan Zat
yang membuatnya. Qur’an berkali-kali memerintahkan
hal yang demikian, diantaranya dalam surat Al-A’raaf
ayat 185 dan surat Al-Hasyr ayat 2 yang mengandung
perintah i’tibar dan nazhar.
Premis minor :
40
Penyelidikan filsafat secara nazhari aqli di alam
ini bertujuan untuk mencapai ma’rifah kepada
pembuatnya, yaitu Allah.
Premis mayor :
Konklusi :
41
dan filsafat. Untuk itu, karena filsafat telah berkembang
sebelumnya dengan tokoh-tokoh seperti Plato dan
Aristoteles, maka mempelajari pemikiran para filosof
terdahulu tersebut adalah suatu keniscayaan. Tidaklah
mungkin bagi orang-orang yang datang kemudian
membangun filsafat yang baru sama sekali dengan
meninggalkan pemikiran-pemikiran filsafat yang telah
berkembang sebelumnya.
D. Keharusan Ta’wil
42
batinnya. Penafsiran (pena’wilan) semacam inilah
dipakai oleh ulama-ulama fiqh dan para filosof.
Dengan demikian, ada arti lahir dan arti batin. Bila arti
lahir sesuai dengan hasil pemikiran, maka arti ini harus
diambil dan kalau berlawanan maka harus dicari
pena’wilannya. Arti ta’wil adalah mengeluarkan sesuatu
kata dari arti yang sebenarnya kepada arti yang majazi
(allegorik).
43
yang diterima oleh semua orang atau sebagian besarnya
atau diterima oleh semua filosof, dan kesimpulannya
juga masih berada pada daerah kemungkinan pula. Qiyas
jadali ini tidak bisa menggantikan qiyas burhani dan
hanya bisa dipakai dalam arena perdebatan dan yang
sejenisnya.
44
mampu memahami qiyas jadali dan qiyas burhani.
Aturan-aturan Ta’wil
45
bahkan dinyatakan sebagai kekufuran.
qiyas burhani, yaitu para filosof, bukan kepada kepada
orang awam karena orang awam hanya mengetahui arti
lahirnya nash.
46
terdengar ada pendapat yang menyalahinya. Ketidak
mungkinan ijma’ seperti ini pula yang, sebagaimana
diakui pula oleh Al-Ghazali sendiri. Karena itu,
sangatlah berlebihan dalam hal yang tidak mungkin
terjadinya ijma’ ini, penta’wilan para filosof disalahkan ,
bahkan dinyatakan sebagai kekufuran.
47
Bagaimana mengetahui Tuhan, mengetahui arti
kebahagiaan, dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat,
dan mengetahui jalan untuk mencapai kebahagiaan dan
menjauhkan kesengsaraan tersebut.
48
Manahij al-Adilah dan Tahafut al-Tahafut. Sikap ini pula
yang kemudian mengundang banyak pertanyaan dan
kontroversi, apakah Ibnu Rusyd seorang rasionalis tulen
atau bukan.
49
BAB V
50
terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filosof Islam
banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan banyak
tertarik terhadap pemikiran Plotinus, sehingga banyak
teori filosof Yunani diambil oleh filosof lslam. Salah
satu di antara para filosof Islam yang disinyalir
berhubungan dengan pemikiran Yunani di atas adalah
Ibn Bajjah dan Ibnu Tufail yang hidup pada masa
kejayaan Islam di Spanyol.
Ibn Bajjah adalah ahli yang menyadarkan pada
teori dan praktik dalam ilmu-ilmu matematika,
astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi
spektakulatif seperti logika, filsafat alam dan metafisika.
Sebagaimana yang dikatakan oleh De Boer dalam “The
History of Philosophy in Islam”, bahwa Ibnu Bajjah
benar-benar sesuai dengan Al-Farabi dalam banyak
karya tulisnya tentang logika dan secara umum setuju
dengannya, bahkan dengan doktrin-doktin fisika dan
metafisikannya.2Sementara itu, filosof lain yang
didudukkan sebagai generasi yang bersinggungan
dengan pemikiran Yunani adalah Ibnu Thufail. Dia
adalah satu di antara sekian banyak filosof Islam yang
mampu menghasilkan karya fenomenal yang berbau
51
filosofis-mistis mengenai bagaimana akal pikiran
mampu menangkap, merenungkan dan menyimpulkan
bahwa segala sesuatu ada yang menggerakkan dan
penggerak itu tiada lain adalah Tuhan Pencipta Alam
Semesta. Pemikiran Islam pada masa itu berada dalam
perkembangan yang positif. Hal ini terbukti dengan
berkembangnya dunia filsafat Islam yang tidak berkutat
di daerah timur saja melainkan merambah ke daerah
Barat tepatnya di daerah Spayol yang salah satu
filosofnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-
Malik ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Thufail Al-
Qaisyi atau dikenal dengan Ibnu Thufail. Pemikiran
Filsafatnya tergambar jelas dalam karya novelnya “Hayy
ibnu Yaqzhan” meski akal mendominasi filsafat
ketuhanannya dan disebutkan dalam berbagai literatur
bahwa Hayy ibnu Yaqzhan sebagai reka ulang yang
terpengaruhi oleh pemikiran filsafat Ibn Shina, namun
karya tersebut mendapat tempat di dunia filsafat sebagai
karya pencarian jati diri seorang anak manusia bukan
hanya sebagai curahan pemikiran atau khayalan Ibnu
Thufail belaka.3Jika dilihat secara seksama dari usaha
yang ingin dibangun oleh Ibnu Thufail atas karya
52
monumentalnya tentang Hayy bin Yaqzhan, terlihat
bahwa secara hakiki usaha besarnya adalah
menunjukkan warna pemikiran kefilsafatan yang
bernuansakan prinsip-prinsip ketimuran dalam kaidah ini
adalah filsafat Islam. Usaha yang ingin dieksplorasi oleh
Ibnu Thufail di atas sejatinya ingin menunjukkan bahwa
disiplin kefilsafatan dalam dunia Islam adalah sebuah
realitas kedisiplinan yang berdiri secara terpisah dari
filsafat Yunani.
Dalam kerangka inilah Asy’arie (2001)
menjelaskan bahwa filsafat Islam pada hakikatnya
adalah Filsafat Kenabian Muhammad. Filsafat Kenabian
(Prophetic Philosophy)ini lahir dalam periode filsafat
Islam, dan karenanya tidak ditemukan dalam tradisi
filsafat Yunani. Konsep Filsafat Kenabian secara teoritis
dibangun pertama oleh Al-Farabi, di mana Nabi
mempunyai kekuatan imajinatif yang memungkinnnya
berhubungan dengan ‘aqal fa’al untuk mencapai
kebenaran tertinggi. Al-Farabi dikenal sebagai Guru
Kedua, setelah Aristoteles sebagai Guru Pertama.
Kemudian dikembangkan oleh Ibnu Sina dengan
teorinya mengenai aqalsuci yang dimiliki Nabi, yang
53
memungkinkan Nabi menembus dimensi kegaiban dan
menyatu di dalamnya.
Beberapa perspesktif yang diketengahkan dalam
filsafat Islam secara niscaya diarahkan ke dalam suatu
usaha untuk menjelaskan bahwa warna Filsafat Kenabian
secara nyata muncul dalam peradaban filsafat Islam
namun hal tersebut tidak terjadi dalam filsafat Yunani.
Mengetengahkan tentang kondisi ini Ibnu Sina
menggambarkan bahwa gambaran dalam Filsafat.
Kenabian dijelaskan dalam jiwa manusia terdapat
kekuatan yang membedakannya dari binatang dan benda
lain. Kekuatan itu dinamakan jiwa rasional (an-nafs an-
nathiqah). Ia ada pada setiap orang tanpa kecuali, namun
tidak (ada pada setiap orang) dalam sifat-sifatnya yang
khusus, karena kemampuan jiwa rasional itu berbeda-
beda di antara banyak orang. Begitulah selanjutnya, ada
kekuatan pertama yang mampu menerima gambaran
tentang bentuk-bentuk universal yang diabstrakkan dari
benda, dan yang pada dirinya tidak mempunyai bentuk.
Oleh sebab itu, kekuatan pertama ini dinamakan intelek
meterial (al-‘aql al-hayuulani), secara kias dengan materi
pertama (al-hayuula). Kekuatan ini adalah kekuatan
54
dalam potensialitas, sama dengan api yang potensial
dingin, tidak dalam pengertian bahwa api mempunyai
kemampuan membakar. Kemudian ada kekuatan kedua
yang mempunyai kemampuan serta kesediaan positif
untuk menangkap bentuk-bentuk universal karena
bentuk-bentuk universal itu mengandung pikiran yang
telah diterima dan bersifat umum. Ia juga merupakan
kekuatan dalam potensialitas, tetapi dalam pengertian
seperti jika seseorang mengatakan bahwa api
mempunyai potensi untuk membakar. Untuk selanjutnya,
selain kedua kekuatan dalam berpikir manusia, terdapat
kekuatan ketika yang disebut dengan kekuatan perolehan
(mustafad, diperoleh karena latihan dan yang
sejenisnya). Kekuatan mustafad secara aktual tidak
terdapat dalam intelek material, jadi juga tidak terdapat
di dalamnya secara esensial.
Karena itu, adanya intelek mustafad dalam
intelek material itu adalah disebabkan oleh adanya
sesuatu yang lain yang di dalamnya terkandung intelek
mustafad secara esensial dan yang menyebabkan wujud;
dengan sesuatu itulah apa yang potensial menjadi aktual.
Sesuatu kekuatan ini dinamakan intelek universal, jiwa
55
universal, dan jiwa alam (al-‘aql al-kulli, an-nafs al-kulli,
nafs al’alam).
A. Kebijaksanaan dari Timur Hayy bin Yaqzhan
(Asrar Hikmah al-Masyriqiyyah)
56
sebagaimana diringkas oleh Nadhim al-Jisr dalam
karyanya Qissat al-Iman dan dikutip oleh Hanafi1 pada
beberapa rangkaian ringkasan berikut;
57
5) Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui
dsar-dasar akhlak yang bersifat amali dan
kemasyarakatan, serta berhiaskan diri dengan keutamaan
dasar akhlak tersebut, di samping menundukkan
keinginan-keinginan badan kepada hukum pikiran, tanpa
melalaikan hak badan atau meninggalkannya sama
sekali;
58
hasrat yang kuat untuk mengetahui menyelidiki tentang
sesuatu yang tidak dapat dimengerti olehnya. Dia
menyadari bahwa hewan-hewan mempunyai pakaian
alami dan alat pertahanan bagi dirinya, sedangkan dia
sendiri telanjang dan tidak bersenjata.
59
mencapai usia penalaran praktis, membuat baju dan
senjata, berlelah-lelah menunggu tanduk tumpuh di
kepalanya dan khawatir akan kalah berkelahi dengan
binatang.
60
dia menemukan unsur-unsur pertama atau substansi
pertama, susunannya, benda, bentuk, dan akhirnya jiwa
dan keabadiannya. Dengan memperhatikan aliran air dan
menyusuri sumbernya kepada suatu sumber air yang
memancar dan melimpah sebagai sungai, maka dia
terbimbing untuk mengatakan bahwa manusia juga mesti
mempunyai satu sumber sama. Beberapa aspek tentang
penalaran akan ‘Sebab Pertama’ atau ‘Pencipta Dunia’
secara hakiki ingin mengantarkan setiap pribadi kepada
suatu realitas bahwa seseorang yang sudah mampu
menemukan Tuhan sesungguhnya dia telah mampu
menemukan dorongan batin, keselamatan, dan
kebahagiaan kehidupan. Secara realistis pula, pribadi
yang sudah menemukan Tuhan, sungguh dirinya telah
mampu menemukan makna kenikmatan. Kondisi ini
sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Thufail pada bait
argumentasi berikut:“Jika ada wujud yang
kesempurnaan-Nya tak terhingga, kemegahan dan
kebaikan-Nya tidak mengenal batas, Yang melampaui
kesempurnaan, kebaikan, dan keindahan, suatu Wujud
yang tidak ada kesempurnaan, kebaikan, keindahan, dan
kemegahan yang tidak berasal dari-Nya, maka
61
kehilangan pegangan terhadap Wujud itu dan telah
mengenal-Nya, tetapi tak bisa menemukan-Nya, berarti
suatu penyiksaan yang tak terhingga sepanjang Dia tidak
ditemukan. Begitu juga, mempertahankan kesadaran
terus-menerus tentang-Nya berarti mengenal
kegembiraan tak berselang, kebahagiaan tak berujung,
suatu kenyamanan dan kenikmatan yang tak terkira”.
62
dari semua binatang lainnya menyebabkan dirinya
menjadi seperti benda-benda langit, Hayy menilai bahwa
ini berarti kewajiban baginya untuk menjadikan benda-
benda langit itu sebagai pola, meniru tindakan mereka,
dan melakukan semua yang dapat dilakukannya seperti
mereka. Dengan perkataan lain, dia melihat bahwa
bagian dari dirinya yang termulia, yang dengan bagian
itu ia mengetahui Wujud Niscaya, mempunyai kemiripan
dengan-Nya juga. Sebab, seperti Dia, dia melampaui
yang fisik Hayy bin Yaqzhan semakin menguatkan
bahwa hakikat doktrin agama merupakan sebuah fakta
yang bisa berkembang dengan alam yang telah dipenuhi
oleh nilai-nilai keilahian itu sendiri
63
DAFTAR PUSTAKA
64