Anda di halaman 1dari 6

1.) A.

PENDEKATAN ILMU KALAM (TEOLOGIS)


Adalah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok
Islam (ushuluddin), Ilmu kalam mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan berupaya
membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-akidah
pokok. Sumber-sumbernya Al-Quran, hadist, pemikiran manusia. Obyek Pembahasan
Ilmu Kalam :

Masalah pengetahuan (al-Marifah) cara memperolehnya, tujuan


mengukuhkan keyakinan mengenai pengetahuan informatif (al-marifah alkhariyyah), khususnya yang dibawa oleh Rasul, tujuannya untuk mengcounter pandangan Thummamiyyah dan safsataiyyah (sofisme) yang
menolak pengetahuan informatif.

Masalah kebaruan alam (huduts alalam) yang bertujuan membuktikan


kewujudan zat yang maha pencipta. Ini merupakan bantahan terhadap
filosofi .

Masalah Keesaan Allah sebagai bantahan terhadap pandangan tsanawiyah


yang meyakini eksistensi tuhan cahaya (al-nur) dan tuhan kegelapan (alzulmah).

Masalah sifat Allah dan hubungannya dengan zat-Nya, apakah zat-Nya


sama dengan sifatnya, ataupun berbeda. Ini merupakan bantahan terhadap
kaum Mutazilah yang terpengaruh filsafat Yunani. Ketika konsep jawhar
(substansi) dan arad (aksiden) serta aqnumiyah (oknum dalam teologi
kristen) yang digunakan untuk menjustifikasi konsep teologis mereka,
dimana Tuhan dianggap akumulasi dari Bapak, anak, ruh kudus.

Masalah tanzih (pensucian) Allah dan penolakan tasybih (penyeruan


Allah), tujuan untuk membantah pandangan orang yahudi yang
menambahkan Tuhan dengan ciri-ciri manusia.

Masalah kalam Allah, baik qadim maupun baru, ini terpengaruh


dengan pandangan teologi Kristen mengenai al-Masih yang dianggap sebagai
kalimatullah. menurut teologi Kristen, Al-Masih adalah Tuhan sedangkan
pandangan Islam, beliau adalah Kalimatullah.

Masalah Kenabian yang bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan pada


kenabian Muhammad SAW, dan mengkonter sekte Sabiah dan Brahmana

(Hindu) yang menolak kebutuhan manusia pada nabi, Juga membantah orangorang yahudi dan Nasrani yang menolak kenabian Muhammad.

Masalah ke-mashum-an para Nabi yang bertujuan membantah pandangan


Yahudi bahwa Nabi mempunyai kelemahan, dosa, dan tidak Mashum.

Masalah tempat kembali (al-miad) yang membantah


reincarnation (penjelmaan kembali) Agama Budha dan lainnya.

Masalah al-jabr wa al-iktiyar (keterbatasan dan kebebasan berkehendak)


yang terpengaruh dengan pandangan freewill dan fatalisme filsafat Yunani.

pandangan

B. PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaa yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Cara-cara yang dilakukan dalam disiplin ilmu antropologi
dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Penelitian
antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada atau
setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang
pada dasarnya sangat abstrak yang sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan
lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi
sumbangan kepada penelitian historis.
Melalui pendekatan antropologis, kita dapat melihat agama dalam hubungannya
dalam mekanisme pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah menarik untuk
dikatahui oleh para peneliti social keagamaan. Kasus di Indonesia, peneliti Clifford Geertz
dalam karyanya The Religion of Java melihat adanya klasifikasi social dalam masyarakat
Muslim di Jawa, antara santri, priyayi dan abangan.
Selanjutnbya melalui pendekatan antropologis ini juga dapat ditemukan keterkaitan
agama dengan psikoterapi. Sigmun Freud (1856-1939) pernah mengaitkan agama dengan
Oedipus komplek, yakni pengalaman infantile seorang anak yang tidak berdaya dihadapan
kekuatan dan kekuasaan bapaknya. Agama dinilai sangat neurosis. Dalam psikoanalisanya,
dia mengungkapkan hubungan antara Id, Ego, dan Superego. Meskipun penelitian Freud
berakhir dengan kurang simpati realita keberagaman manusia, tetapi temuan ini cukup
memberi peringatan terhadap beberapa kasus keberagaman tertentu yang lebih terkait dengan
patologi social maupun kejiwaan. Jika Freud oleh beberapa kalangan dilihat terlalu minor
melihat fenomena keberagamanan manusia, lain halnya dengan psikoanalisa yang
dikemikakan C.G.Jung.Jung malah menemukan hasil psikoanalisanya yang terbalik arah dari
apa yang dikemukakan oleh Freud. Menurutnya, ada korelasi yang sangat positif antara
agama dengan kesehatan mental.
Dalam Al-Quran Al-Karim, sebagai sumber utama ajaran islam misalnya kita
memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunubg Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang

dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Di mana kira-kira
bangkai kapal Nabi Nuh itu, dan dimana kira-kira gua itu dan bagimana pula bisa terjadi hal
yang menakjubkan itu, ataukah hal yang demikian merupakan kisah fiktif, dan tentu masih
banyak lagi contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan
arkeologi.
Dengan demikian pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami
ajaran agama, akrena dalam ajaran agama tersebut etrdapat uraian dan informasi yang dapat
dijelaskan lewat bantuan ilmu geografi dan arkeologi.

C. PENDEKATAN SOSIOLOGIS
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan
meyelidiki ikatan-ikatan anatara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi
mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta
berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya keyakinan
yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam setiap
persekutuan hidup manusia. Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu
ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak
menetapkan kemana arah sesuatu yang seharusnya berkembang dalam arti petunjukpetunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan
bersama tersebut. Di dalam ilmu ini juga dibahas tentang proses-proses social,
mengingat bahwa pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk
memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.
D. PENDEKATAN FILOSOFIS
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada
kebenaran, ilmu dan hikmah, mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan
akibat serta menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Poerwadinata mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan
sebagainya terhadap segala yang ada di alam semestamaupun mengenai kebenaran
dan arti adanya sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah yang
dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berfikir secara mendalam,
sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau
hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.

Louis O. kattsof mengatakan, bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung.


Tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berfikir secara kebetulan yang
bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematik,
dan universal. Pendekatan agama secara filosofis adalah untuk memahami ajaran
agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat
dimengerti dan dipahami secara seksama. Dalam sebuah buku yang berjudul Hikmah
al-Tasyri wa falsafatubu yang ditulis oleh Muhammad al-Jurjawi, ia mengungkapkan
hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama islam.
Dengan menggunakan pendekatan filosofis ini, seseorang akan dapat memberi
makna terhadap sesuatu yang dijumpainya dan dapat pula menangkap hikmah dan
ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian ketika seseorang
mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat
menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu
ajaran agama, akan semakin meningkat pula sikap, penghayatn dan daya spiritualitas
yang dimiliki seseorang.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak apada
pengalaman agama yang bersifat formalistic, yakni mengamalkan agama dengan
susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa kosong tanpa arti yang mereka
dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengakuan formalistic, misalnya
sudah haji, sudah menunaikan rukun islam yang kelima dan berhenti sampai disitu.
Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.
Menurut Nasr mengapa hanya oleh segelintir orang, jawabannya bias dicari
dalam hakikat filsafat hanya mengabdikan pikirannya saja, melainkan seluruh
hidupnya. Ia menuntut suatu pengahayatan total, bukan hanya sebatas studi akademis
terhadap persoalan agama. Bagi aliran ini, studi agama dan agama-agama adalah
aktivitas keagamaan itu sendiri, dan mempunyai makna keagamaan. Semua studi
agama hanya bermakna kalau ia memiliki makna keagamaan.
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan
akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat diperlukan pendektan filosofis dalam
memahami ajaran agamanya, yang contoh-contohnya telah dikemukakan di atas.
Namun demikian pendekatan seperti ini masih belum diterima secara merata terutama
oleh kaum tradisionalis formalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada
ketetapan melaksanakan aturan-aturan formalistic dari pengalaman agama.
E. PENDEKATAN TASAWUF
TASAWUF, menurut etimologi, AHLU SUFFAH = kelompok orang pada
zaman rasulullah hidupnya banyak di serambi serambi mesjidm mereka mengabdikan
hidupnya untuk beribadah kepada Alah. Ada lagi mengatakan Tasawuf berasal dari
kata SHAFA, orang yang bersih dan suci, orang yang menyucikan dirinya Di hadapan

Allah. Ada yang mengartikan berasal dari bahasa Yunani SAUFI yang berarti
kebijaksanaan. SHUF yang berarti bulu domba (wol).
Tasawuf berdasarkan istilah, (1) Menurut Al-Jurairi, Memasuki segala
budi (Akhlak) yang bersifat suni dan keluar dari budi pekerti yang rendah. (2)
Menurut Al- Junaidi, ia memberikan rumus bahwa tasawuf adalah bahwa yang hak
adalah yang mematikanmu dan Hak-lah yang menghidupkanmu. Adalh beserta Allah
tanpa adanya penghubung.
Dari Al-Junaid dapat disimpulkan tasawuf adalah memberikan hati dari apa
yang mengganggu perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh
budi yang asal (isntink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai
manusia. Menjauhkan segala seruahan dari hawa nafsu.mendekatkan sifat suci
kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memaki barang-barang yang
penting dan terlebih kekal. Menaburkan nasihat kepada semua umat manusia,
memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh
Rasulullah dalam hal syariat.
Dari Al-Junaid dapat disimpulkan tasawuf adalah memberikan hati dari apa
yang mengganggu perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh
budi yang asal (isntink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai
manusia. Menjauhkan segala seruahan dari hawa nafsu. Mendekatkan sifat suci
kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memaki barang-barang yang
penting dan terlebih kekal. Menaburkan nasihat kepada semua umat manusia,
memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh
Rasulullah dalam hal syariat.
Fase perkembangan tasawuf :

Fase Askestisme (zuhud). Berkembang pada abad kedua Hijriah, sikap


semacam ini dipandang pengantar kemunculan tasawuf diman setiap individu
dari kalangan muslim memusatkan dirinya pada ibadah dan pendekatan diri
pada Allah SWT, mereka tidak mementingkan kenikmatan duniawi dan
kemudian berpusat pada kenikmatan akherat, Tokoh yang populer pada fase
ini adalah hasan Al Basri (110 H) dan Rabiah Al Adawiyah (185 H) keduanya
dalam sejarah disebuth seorang zahid

Fase Akhlaki. Pada fase ini tasawuf berkembang pada abad ketiga Hijriah,
dimana para sufi mulai ekspansi pada wilayah prilaku dan moral manusia.
Pada saat manusia ketika itu berada ditengah-tengah terjadinya dekadensi
moral yang cukup akut, sehingga dari sini tasawuf mulai berkembang dengan
pesat sebagai ilmu moral keagamaan dan mendapat respon yang baik dari

masyarakat islam, dari sini kemudian nampaklah bahwa ajaran tasawuf


semakin sederhana dan mudah dipraktekkan dengan standar akhlak.

Fase Al-Hallaj. 1 abad kemudian, muncul tasawuf jenis lain yang lebih
ekslusif dan fenomental yang diwakili oleh al-Hallaj, beliau mengajarkan
tentang kebersatuan manusia dengan Tuhan Konsep yang dibawanya adalah
wahdatul wujud (bersatu dengan wujud yang satu). Dari konsep ini kemudian
Al-Hallaj diputuskan bersalah dan harus dihukum mati, untuk sebuah
konsistensi paham tasawufnya, Dimana masyarakat islam masih sangat
indentik dengan jenis tasawif aklaki, kemudian al- Hallaj dianggap
membahayakan stabilitas umat.

Fase Tasawuf Moderat. Kemunculan tasawuf pada fase ini, muncul sekitar
abad kelima hijriyah dengan seorang tokohnya yaitu Imam Ghazali, yang
sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasarkan al-Quran dan AlHadist, serta menekankan kembali askestisme. Al-Ghazali telah berhasil
menempatkan prinsip-prinsip tawawuf yang moderat, akibat pengaruh
kepribadian iman al-Ghazali yang begitu besar, maka pengaruh tasawuf
dengan dasar moderat ini telah meluas hampir keseluruh pelosok dunia
islam, lalu mulailah bermunculan para tokoh sufi yang kemudian
mengembangkan tarekat tertentu untuk murid-murid mereka, seperti
Sayyid Ahmad Ar-Rijai dan Sayyed Abdul Qadir Jaelani.

Fase Tasawuf Falsafi. Pada fase ini tasawuf mulai dipadukan dengan filsafat
yang muncul pada abad ke 6 Hijriah, tokoh yang muncul Syuhrowardi al
Maqtul (549 H), Syek Akbar Mulyadin Ibn Araby (638 H) dan Ibn faridh (632
H) mereka memcoba menggabungkan pola pikir tasawuf yang akhlaki dan
askestisme dengan filsafat yunani khususnya neo-Platonisme. Teori teori
yang mendalam khususnya mengenai jiwa, moral, ilmu tentang wijud menjadi
hal yang urgensi dalam prinsip berfikir mereka.

Anda mungkin juga menyukai