Anda di halaman 1dari 4

RESUME Islamic Studies Berbasis Research

Pendahuluan

Belakangan ini, kita dihadapkan dengan semakin maraknya strudi keislaman, baik yang dilakukan
oleh umat islam (insider) maupun oleh orang barat (outsider). Perkembangan ini enimbulkan berbagai tafsir
mengenai agama baik secara normative maupun historis. Tentunya cara pandang yang berbeda ini juga
menimbulkan pemahaman mengenai agama yang juga berbeda. Oleh karenanya beragam pendekatan
dibutuhkan untuk memahami agama secara menyeluruh dan tidak bergantung pada satu perspektif saja.

Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita bahas mengenai nalar epistemologi yang mendominasi
dunia islam. Menurut Âbid al-Jâbirî terdapat tia kerangka epistimologi ketiga sistem tersebut adalah
bayânî, „irfânî, dan burhânî. . Epistemologi bayânî—al-niz}âm al-ma„rafî al-bayânî— dikembangkan
oleh para fuqaha. Sistem berpikir ini sangat bergantung pada teks, yang berada di atas akal (filsafat).
Adapun sistem episteme „irfânî adalah sistem filsafat yang dikembangkan oleh para sufi di mana intuisi
memegang peran penting dalam menggapai kebenaran dan memperoleh ilmu. Akal pada ketika ini,
menurut al-Jâbirî, menjadi „pensiun‟ (al-„aql al-mustaqill). Adapun episteme burhânî adalah episteme
yang dibangun oleh filsafat Arab yang berkembang di Afrika Utara dan Spanyol. Ibn Rushd, menurut al-
Jâbirî, merupakan sosok yang paling sempurna merepresentasikan tipe burhânî ini. Tipologi sistem ini
tidak berpegang pada nass semata, juga tidak pada intuisi, tapi pada akalnya Ibn Rushd dan eksperimen-
nya Ibn Khaldun.

Dengan memahami ketiga nalar (episteme) di atas akan memudahkan kita memetakan wilayah
religiusitas sebagai medan burhânî (demonstratif atau pembuktian inferensial) yang objektif, wilayah religius
yang subjektif sebagai medan bayânî (indikasi dan eksplikasi) dan wilayah being religious yang bersifat
intersubjektif sebagai medan „irfânî (iluminasi atau gnostisisme). Di sini terlihat betapa pentingnya
memahami basis epistemologis terhadap kehidupan keberagamaan sebuah komunitas.

Filsafat ilmu adalah semua refleksi refleksif atas pertanyaan-pertanyaan mengenai semua hal yang
berkaitan dengan dasar pengetahuan dan dengan hubungan ilmu pengetahuan dengan semua aspek
kehidupan manusia. Filsafat ilmu disebut juga sebagai theory of science atau science of science. Bahkan
filsafat ilmu disebut juga meta-sains, merupakan ilmu yang mengungguli ilmu-ilmu lainnya. Ilmu dalam
perspektif filsafat ilmu harus direduksi menjadi esensinya dengan menggunakan pendekatan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa pendekatan yang diambil untuk
mempelajari masalah bersifat fundamental dan komprehensif. Dengan demikian, pendekatan ilmiah
terhadap suatu masalah akan benar-benar berfungsi secara intelektual, moral dan sosial. Peirce,
perkembangan pemikiran manusia dimulai dari keyakinan, kebiasaan pikiran, keraguan, akal dan makna.

Keyakinan adalah sesuatu yang diyakini demikian sehingga menjadi dasar bagi seseorang. Metode
ilmiah adalah prosedur yang mencakup berbagai cara berpikir, model kerja, prosedur dan sarana teknis untuk
memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang sudah ada. Melalui ilmu ini,
pemikiran manusia dapat mencapai makna esensial yang secara fundamental lebih penting dari “kebenaran”
karena “makna” adalah esensi dan hakikat dari berbagai fenomena kehidupan manusia. Sebagai salah satu
pendiri pragmatisme, Peirce menyatakan bahwa dalam menentukan makna apa yang terkandung dalam
konsepsi rasional, kita harus memperhatikan konsekuensi praktis yang pasti akan mengalir dari kebenaran
konsepsi itu. Jika tidak memiliki konsekuensi praktis, tentu saja tidak masuk akal. Jika Descartes mengarahkan
logika ke matematika, mengarahkannya ke metafisika, maka Peirce mengarahkan logika melalui matematika
dan penelitian empiris untuk mencapai masalah linguistik yang menjadi grand-theory logika.
Kebutuhan Research dalam Islamic Studies

Ada beberapa alasan, kenapa studi Islam wajib dilakukan dengan jalan research dan tidak cukup
hanya dengan hafalan/tekstual, di antaranya: Pertama, karena kita tengah berada pada abad rasional.
Kemajuan ilmu memaksa kita untuk memikirkan segala sesuatu yang rasional dan dapat dibuktikan dengan
akal. Kedua, Islam sekarang harus terlibat dalam kepentingan komunitas global. Islam saat ini harus dapat
berdampingan dengan berbagai etnis, agama, kelas, kultur, bahkan sekte, mazhab atau aliran pemikiran
tertentu.

Mengglobalnya Islam lewat proses diaspora, juga diiringi dengan munculnya problem adaptasi dan
integrasi, terutama menyangkut “identitas” atau “komunitas”. Sebagai gejala sosial, diaspora tidak saja
terjadi secara fisik dan material, tetapi juga budaya. Kendati tetap melestarikan budaya asalpara migran perlu
melakukan negosiasi dengan budaya di tempat baru untuk melahirkan budaya baru. Dalam perspektif
diaspora, sedikitnya ada tiga pihak yang terlibat dalam arus pertukaran budaya. Pertama, pelakunya sendiri.
Kedua, tempat baru yang dituju, ketiga, generasi penerusnya. Konsep ini mengandung implikasi bahwa acuan
terhadap budaya asal di tempat baru masih tetap relevan, walau besar kemungkinan secara terus menerus
diproses dan berubah sesuai dinamika yang terjadi di tempat baru. Namun demikian, diaspora akan
menampakkan komunitas budaya baru yang berbeda dengan komunitas budaya lain.

Ketiga, meningkatnya radikalisme dalam pemikiran keagamaan. Adanya paham radikal karena hanya
mengartikan agama sebatas pada teks al-quran menyebabkan studi agama penting agar dapat melihat agama
dari berbagai sudut pandang.

Wilayah Research dalam Islamic Studies

Penelitian agama (Islam) dapat merujuk pada tawaran beberapa tokoh di antaranya: tawaran Taufik
Abdullah yaitu aspek kultural dan struktural, tawaran Nurcholis Madjid yaitu doktrinal dan peradaban,
tawaran Amin Abdullah yaitu normativitas dan historisitas, tawara Mudzhar yaitu teoretis dan praktis Atho
dan lain sebagainya.

Sejalan dengan pebdapat tersebut, Charles J Adams membagi studi islam menjadi dua yaitu
kepercayaan (faith) dan tradisi (tradition). Pembagian wilayah studi ini mengalami kendala karena sulitnya
membuat batasan antara studi satu dan yang lain. Selain itu terdapat kesulitan dalam memahami islam
sebagai keyakinan dan islam sebagai tradisi. Tema yang dapat dijadikan objek kajian keislaman menurut
Adam adalah sebagai berikut: 1. Sejarah Arabia pra Islam (pre-Islamic Arabia), 2. Kajian tentang Nabi (Studies
of The Prophet), 3. Kajian tentang al-Qur‟an, 4. Kajian tentang Hadith, 5. Kalam, 6. Hukum Islam, 7. Tasawuf
(Sufism), 8. Filsafat, 9. Sekte-sekte Islam 10. Kajian tentang Ibadah, dan 11. Kajian agama popular (agama
rakyat).

Adam mengemukakan bahwa studi agama mestinya berusaha dengan kemampuan terbaiknya dalam
mengeksploraspek tersembunyi maupun aspk nyata dalam fenomena beragama. Hal tersebut harus
dikuatkan karena dua aspek dalam beragama tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya bagaikan
simbiosis yang mutualis. Adam juga mengemukakan terdapat dua pendekatan dalam studi agama, yaitu
pendekatan normatif atau keagamaan dan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif dapat dilakukan
dalam bentuk apologetik sarjana Muslim, misionaris tradisional, dan pendekatan simpatik. Sedangkan
pendekatan deskriptif, dapat dkelompik pada pendekatan pendekatan ilmu-ilmu sosial, filologis dan sejarah,
dan pendekatan fenomenologis.

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat diterapkan dalam penelitian agama tergantung pada tingkat
kepentingannya, namun belakangan ini pendekatan yang mengintegrasikan beberapa bidang keilmuan
menjadi trend yang memperkaya khazanah studi Islam. Amin Abdullah, misalnya, mengajukan integratif-
interkonektif (interdisiplinary) dalam studi Islam. Menurutnya, bangunan keilmuan apapun baik agama,
sosial, humaniora, eksakta tidak dapat berdiri sendiri (to be single entity) akan tetapi kerja sama, saling tegur-
sapa, saling membutuhkan, saling koneksi dan koreksi, sehingga lebih dapat membantu manusia dalam
memahami dan memecahkan kompleksitas kehidupan.

Pentingnya Belajar Studi Islam pada “Outsider”

Kajian Islam menurut Fazlur Rahman memiliki dua kutub yang berbeda, pertama, insider (orang
dalam), kedua outsider (orang luar). Kedua kelompok ini tentunya berbanding terbalik dalam mengkaji Islam.
Karena itu, orientalis dianggap sebagai outsider dan Ilmuwan Islam sebagai insider. Rahman berpendapat
bahwa laporan outsider tentang pernyataan insider mengenai pengalaman agamanya sendiri bisa sebenar
laporan insider sendiri.

Kajian Islam dari para outsider menyumbangkan ide-ide ilmiah besar yang memicu gerakan
intelektual dalam peradaban Islam. Berkat kajian-kajian para outsider lahirlah daya kritis Islam. Dengan cara
berfikir kritis, intelektual Muslim mengetahui problem yang sedang diderita sembari mengusulkan berbagai
pemecahan yang harus dilakukan.

Kajian (research) lebih banyak dilakukan oleh outsider dan kurang mendapat perhatian insider. Hal
ini dikarenakan insider banyak yang memposisikan agama sebagai wahyu yang anti kritik. Moral pengkasi
studi ilmiah agama dapat dipertanyakan jika mempertanyakan kebenaran agama. Tradisi insider ini sangat
bertolak belakang dengan tradisi kalangan peneliti outsider yang memang tidak mempunyai beban apapun
terhadap Islam untuk melakukan kritik.

Kecenderungan tersebut menekankan pada sikap “objective” serta berusaha untuk tidak
menjustifikasi dalam mengkaji agama. Menurut Tele, studi agama secara netral dan objektif dapat dilakukan
oleh kalangan insider, insider sekalipun juga sangat bisa menjadi netral dan objektif. Sikap netral dan objektif
inilah yang kemudian dijadikan sebagai pertimbangan pokok bagi kalangan peneliti kemudian, khususnya
kalangan fenomenologi agama, semisal Kristensen, Van Der Leeuw40 dan Otto di Eropa Utara, dan kemudian
Elliade dan Cantwell.

Tidak mudah untuk mengkaji agama, terutama membahas pengalaman pribadi. Selain bertentangan
dengan nilai kesakralan, terdapat pula kesulitan dalam mendefinisikan agama secara universal. Kendala
tersebut dapat diatasi jika aama dikaji melalui pandangan umat muslim dan bukan dari perspektif maupun
paradigma pihak lain.

Untuk menghasilkan penelitian yang objektif dan netral seorang peneliti, lebih-lebih peneliti agama, menurut
Burhan, dituntut memiliki sikap sebagai berikut:47

a. Think, critically, systematically, yaitu memiliki wawasan, kemampuan kritis dan dapat berfikir sistematis.

b. Able to create, innovate, yaitu memampuan mencipta dan menemukan hal-hal baru.

c. Communicate affectivity, kemampuan berkomunikasi atau mengkomunikasikan hasil penelitiannya dengan


hasil-hasil penelitian lainnya.

d. Able to identify and formulate problem clearly, yaitu mampu mengenal dan merumuskan masalah dengan
jelas.

e. View a problem in wider context, yaitu mampu melihat suatu masalah dalam konteks yang luas,
“weltanschaung”, karena setiap masalah tidaklah berdiri sendiri.
Dengan penelitian mendalam diharapkan agama tidak hanya bermanfaat bagi pengikutnya namun juga dapat
menjadi solusi cerdas yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia.

Anda mungkin juga menyukai