Anda di halaman 1dari 2

Nama : Tri Sangga Prestiani

NIM : 243222033
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Kelas : A2M

Resume Week 3
“Filsafat, Ilmu Pengetahuan, Agama dan Masyarakat”

Ilmu pengetahuan mengalami berbagai perkembangan secara terus-menerus, tetapi kemajuan


ilmu pengetahuan ini bukan berarti menghapus dampak negatif bagi kelestarian hidup
masyarakat. Teknologi sebagai wujud kemajuan ilmu pengetahuan di satu sisi memberikan
banyak kemudahan bagi kehidupan manusia, tetapi di sisi lain merugikan manusia. Dengan
demikian, menjadi ‘PR’ bagi ilmuwan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat
meminimalkan dampak buruk yang ditimbulkan. Islam sebagai agama yang syarat nilai dan
etika, sudah sebaiknya dikaitkan dengan prinsip-prinsip dasar dan cara kerja ilmu pengetahuan.
Sejarah membuktikan bahwa ilmuwan muslim sejak dulu telah menyumbangkan pemikiran-
pemikirannya jauh sebelum filsafat ilmu ada.
Ilmu adalah induk dari sains. Konsep sains dan ilmu dalam pandangan Barat dan Islam
memiliki perbedaan. Islam mempertahankan hubungan antara ilmu dan sains sebagai induk dan
cabang, sedangkan pandangan Barat memisahkan. Menurut Al Qur’an, dasar interpretasi dari
seluruh ilmu adalah tauhid, artinya dikembangkan dalam bingkai dan spirit tauhid. Dalam Islam,
wahyu (yang terwujud dalam bentuk ayat-ayat Al Qur’an) merupakan sumber ilmu pengetahuan
yang paling signifikan yang dapat mengarahkan ilmu pengetahuan ke arah yang benar. Secara
aksiologis, tujuan dari ilmu adalah menuntun manusia untuk merealisasikan statusnya sebagai
hamba Allah dan pemimpin di muka bumi, serta menyiapkan manusia untuk memenuhi peran
dan tanggungjawab atas amal perbuatannya terhadap Allah.
Menurut Islam dengan ajaran tauhidnya, memandang ilmu harus satu kesatuan dengan
agama, karena ilmu datangnya dari Allah. Konsep tauhid mengajarkan bahwa ilmu tidak boleh
kompartementalisasi atau bifurkasi, antara ilmu “agama” dan ilmu “umum”. Dalam Islam
terdapat kesatuan antara ilmu, iman (tauhid), dan amal. Namun, dari sudut pandang ilmu barat
yang cenderung sekuler, meniadakan dan memisahkan iman dan ilmu. Intelektual Islam pada
jaman dulu, berfokus pada epistemologi atau teori tentang ilmu. Hal ini berbeda dengan
intelektual Islam kontemporer, dengan kesadaran epistemologis yang rendah. Padahal
epistemologis adalah prasyarat bagi kemajuan dan pondasi tegaknya peradaban. Akibatnya,
intelektual Islam kontemporer tidak mampu memberikan kontribusi yang signifikan, khas, dan
orisinil terhadap exiting body of knowledge.
Dalam perspektif Islam, ontologi, epistemologi, dan aksiologi dipahami secara integral dalam
bingkai tauhid. Sederhananya, konsep ilmu, manusia, dan alam semesta, dikaitkan secara erat
dengan Tuhan yang merupakan asal usul dari segala sesuatu. Sehingga tidak ada ilmu yang
bersifat semu (pseudo knowledge) yang menyebabkan krisis global di era modern serta mengusik
keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan
manusia dengan alam semesta. Sebaliknya, ketika ilmu diintegrasikan dalam bingkai tauhid,
maka transformasi sosial ke arah kehidupan yang lebih bermakna, berharkat, dan bermartabat
dapat dicapai.
Kata ilmu secara epistemologis berasal dari Bahasa Arab al-‘ilm yang diartikan mengetahui
sesuatu dengan sebenarnya. Dalam Bahasa Inggris, science, sepadan dengan kata al-ma’rifah
yang berarti pengetahuan (knowledge). Al-‘ilm digunakan untuk mengetahui sesuatu yang
bersifat umum, sedangkan al-ma’rifat dipakai untuk mengetahui sesuatu yang bersifat partikular.
Dalam Al-Qur’an pengertian ilmu dibedakan dalam dua kelompok. Pertama, ilmu yang diajarkan
langsung oleh Allah kepada manusia melalui wahyu bagi para nabi dan melalui ilham bagi orang
saleh selain nabi yang dinamakan al-ilm al-ladunni. Kedua, ilmu yang mencakup segala
pengetahuan di alam semesta yang dapat dijangkau oleh manusia (empiris) melalui proses
pengamatan, penelitian, dan percobaan, dan investigasi. Jenis kedua ini dinalakan thalab dan
dikelan sebagai al-‘ilm al-kasbi atau al-ulum al-muktasabah.
Sebenarnya, Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama Islam dan non Islam. Tetapi
berdasarkan pendekatan shar’i@y al-Ghazali secara garis besar ilmu dikelompokkan menjadi
ilmu agama dan non agama. Ilmu agama mencakup ajaran-ajaran Nabi dan wahyu, dan terbatas
pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat Islam, termasuk teologi. Sedangkan ilmu non
agama dibagi menjadi ilmu terpuji, dibolehkan, dan tercela (misalnya ilmu sihir). Ilmu filsafat
sebagian dimasukkan sebagai ilmu terpuji dan sebagian sebagai ilmu dibolehkan. Namun
pendapat Al-Ghazali ini dibantah oleh Murtadha yang berpendapat bahwa tidak terdapat
dikotomi. Bagi para ilmuwan muslim, dikotomi tidak perlu terjadi karena memang mereka tidak
melihat adanya konflik antara tujuan ilmu dan agama, dan meyakini bahwa agama maupun ilmu
sama-sama mengantarkan manusia pada pemahaman tentang kesatuan alam yang menjadi cermin
keesaan dan keagungan Penciptanya.
Terdapat kesepakatan umum di kalangan ilmuwan muslim, bahwa tradisi intelektual Islam
terdapat hirarki dan kesatuan ilmu. Nasr mengatakan bahwa tradisi intelektual Islam terdapat
hirarki dan interrelasi berbagai macam disiplin yang memungkinkan realisasi kesatuan dari
berbagai keragaman, bukan hanya pada kepercayaan dan pengalaman keagamaan, tetapi juga
dalam bidang ilmu. Osman Bakar mengatakan bahwa al-Farabi mengelompokkan ilmu
pengetahuan tidak tanpa tujuan. Tujuan pertama, sebagai petunjuk umum pada beragam ilmu
pengetahuan, sehingga siswa hanya memilih untuk mempelajari subjek yang bermanfaat. Kedua,
mempelajari hirarki ilmu pengetahuan. Ketiga, berbagai macam divisi dan subdivisi mmberikan
cara yang bermanfaat bagi penentuan spesialisasi. Keempat, memberi informasi pada siswa
terkait apa yang seharusnya dipelajari sebelum memutuskan keahlian dalam bidang ilmu tertentu.
Menurut Nasr, tujuan utama klasifikasi ilmu adalah mengetahui tatanan dan hubungan yang tepa
tantara berbagai macam disiplin.

Pertanyaan :
1. Selain karena kurang kemampuan dalam menentukan skala prioritas, Apa yang menyebabkan
intelektual muslim kontemporer tidak mampu berfokus pada epistemologis, sehingga mereka
tidak berkontribusi secara signifikan seperti intelektual jaman dulu ?

Anda mungkin juga menyukai