MAKALAH
disusun oleh:
Sinta Almar’atus S 1808076056
Melida Sholikhah D. F 1808056057
Fauziatul Khusna 1808076058
JURUSAN PENDIDIKANKIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam
juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan
keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan
kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Metodologi Pembelajaran pada
Program Studi Pendidikan Kimia dengan ini penyusun membahas judul “Konsep Ilmu
dalam Islam”.
Dalam penulisan makalah ini, penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penyusun sangat
mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu adalah sesuatu yang sangat menonjol dalam agama Islam, hal ini dapat
dilihat dalam Al-Qur’an maupun hadist, yang menunjukkan bahwa manusia
diwajibkan untuk mengembangkan ilmu baik ilmu agama maupun ilmu sosial. Dalam
islam kedudukan dari orang yang berilmu dan yang tidak berilmu berbeda .
Ilmu dan derivasinya muncul berulang kali dalam alqurn dan menempati
posisi kedua setelah kata tauhid. Dalam shahih Bukhari, bab ilmu (kitab al-‘ilm)
disandingkan dengan bab iman (Kitab al-iman). Hal ini menunjukkan betapa konsep
terpenting dan komprehensif yang terkandung dalam alquran dan as-Sunnah adalah
ilmu (‘ilm) setelah iman. Signifikansi ini dapat dilihat dari fakta lima ayat pertama
yang diturunkan dalam alqur‘an, serta puluhan hadith nabi yang menegaskan
wajibnya mencari ilmu. Senada dengan hal ini, Franz Rosental mengungkapkan
bahwa di dalam Islam ilmu menempati posisi yang tidak ada padanannya dalam
peradaban atau agama lain.
Namun seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme menyebabkan
umat Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat secara
buta. Kecenderungan sikap imitatif ini menyebabkan kebingungan (confusition) yang
berlanjut pada hilangnya identitas. Dengan demikian, upaya membangkitkan kembali
konsep ilmu dalam Islam, urgen dan krusial. Tentu saja dengan menggali dan
mengembangkan konsep ilmu dalam alquran dapat dijadikan landasan bagi upaya
merumuskan kerangka integrasi ilmu pengetahuan yang bagus. Berangkat dari
pemikiran ini, makalah ini mencoba mendeskripsikan konsep ilmu dalam Islam sesuai
dengan alquran dan as-Sunnah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ilmu?
2. Bagaimanakah ilmu dalam perspektif islam?
3. Bagaimana karakter ilmu dalam islam?
4. Apa saja klasifikasi ilmu?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa penertian ilmu.
2. Untuk mengetahui bagaimana perspektif ilmu dalam islam.
3. Untuk mengetahui karakter ilmu dalam islam.
4. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu
Secara etimologis, kata ‘ilmu berasal dari bahasa Arab (‘alima, ya’lamu, ‘ilman)
yang berarti mengetahui hakekat sesuatu dengan sebenar-benarnya. Namun tidak
sedikit upaya yang telah dilakukan para pemikir muslim terdahulu untuk
mendefinisikan kata ilmu. Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli teologi
dan ahli hukum, filsuf dan linguistis diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menurut al-Raghip al-Ishfahani (443/1060).12 Dalam Mufradat Alfaz al-
Qur’annya, ilmu didefinisikan sebagai “Persepsi akan realitas sesuatu” (al-
ilmuidrak al-shay’ bihaqiqatihi) Ini berarti bahwa hanya memahami kualitas
(misalnya bentuk, ukuran, berat, volume, warna, dan properti lainnya) dari suatu
hal bukan merupakan ilmu. Definisi ini didasari pandangan filosofis bahwa setiap
substansi terdiri dari esensi dan eksistensi. Esensi adalah sesuatu yang menjadikan
sesuatu itu, sesuatu itu akan
tetap dan sama sebelum, selama, maupun setelah perubahan. Artinya, ilmu adalah
semua yang berkenaan dengan realitas abadi itu.
2. Menurut Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505/1111)15 yang menggambarkan
ilmu sebagai “pengetahuan akan sesuatu sebagaimana adanya” (ma‘rifat al-shay’
‘ala mahuwabihi): Pada definisi ini, untuk mengetahui sesuatu adalah dengan
mengenali sesuatu sebagaimana ia. Artinya, ilmu adalah pengakuan,merupakan
keadaan pikiran-yaitu, suatu kondisi dimana sebuah objek tidak lagi asing bagi
seseorang sejak objek itu diakui oleh pikiran seseorang. Pemaknaan ini tentu tidak
seperti istilah idrak (digunakan dalam definisi al-Ishfahani) yang tidak hanya
menyiratkan aktifitas olah fikir atau perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi
juga menunjukkan bahwa pengetahuan datang ke dalam pikiran seseorang dari
luar, dalam definisi Imam al-Ghazali istilah ma’rifah menyiratkan fakta bahwa
ilmu selalu merupakan jenis penemuan makna pada diri subjek akan suatu objek.
Pada pemaknaan ini; firasat, dugaan, ilusi, halusinasi, mitos, dan sejenisnya tidak
bisa dikatakan sebagai ilmu.
3. Menurut ahli logika Atsir al-Din al-Abhari (d. 663/1264). Ilmu, ia tegaskan adalah
sampainya gambar maupun abstraksi dari suatu hal dalam akal subjek . حصول
یئ في العقلRRورة الشRR صKonon definisi ini berasal dari Ibnu Sina (w. 428/1037)19
pemaknaan ini menjelaskan bahwa upaya mengetahui suatu objek adalah
membentuk ide tentang objek tersebut, untuk memiliki gambar hal ini diwakili
dalam pikiran. Dengan kata lain, upaya mengetahui adalah konseptualisasi.
Pengetahuan adalah representasi atau konsepsi dari hal yang dikenal.
4. Al-Sharif Al-Jurjani (w. 816/1413) dalam at-Ta’rifatnya mendefinisikan ilmu
sebagai sampainya pikiran pada makna dari suatu objek. Definisi al-Jurjani dan
definisi yang dikemukakan Ibnu Sina dan al-Abhari selanjutnya dipadukan oleh
Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam monografnya yang berjudul
The Concept of Education in Islam. Menurut al-Attas, definisi terbaik atas ilmu
adalah ‘sampainya makna dalam jiwa serta sampainya jiwa pada makna’( العلم ھو
یئRRني الشRRول النفس إلي معRRیئ في النفس و حصRRني الشRRول معRR حصSatu hal yang jelas dalam
definisi ini; ilmu adalah tentang makna. Objek apapun, fakta maupun suatu
peristiwa dikatakan diketahui seseorang jika bermakna baginya. [ CITATION
Mar11 \l 1057 ].
َ ) َعلَّ َم اإْل ِ ْن4( ) الَّ ِذي َعلَّ َم بِا ْلقَلَ ِم3( ) ا ْق َر ْأ َو َربُّ َك اأْل َ ْك َر ُم2( ق
َسان ٍ َسانَ ِمنْ َعل
َ ق اإْل ِ ْن
َ َ) َخل1( ق ْ ا ْق َر ْأ بِا
َ َس ِم َربِّ َك الَّ ِذي َخل
)5( َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم
Artinya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia Telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dari ayat pertama tersebut diperoleh isyarat pula bahwa ada dua cara
memperoleh ilmu, yaitu:
1. Allah mengajarkan dengan pena yang telah diketahui oleh manusia sebelumnya,
dan
2. Mengajarkan kepada manusia tanpa pena yang belum diketahui oleh manusia
sebelumnya.
Cara pertama adalah mengajarkan dengan alat atau atas dasar usaha manusia
dan yang kedua mengajarkan tanpa alat dan tanpa usaha manusia, walaupun keduanya
berbeda, namum satu sumber dari Allah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
ilmu itu terdiri dari dua macam:
a. Ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia yang sering disebut ilmu Ladunni, dan
b. Ilmu yang diperoleh karena usaha manusia itu sendiri yang disebut ilmu kasbi.
Manusia dengan ilmunya akan mencapai derajat yang tinggi dan dengan ilmu
manusia menjadi unggul disbanding dengan mahkluk lainnya. Hal ini tercermin dalam
surah Al-Baqarah ayat 31-32 yaitu kisah kejadian manusia:
Artinya:
31. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!"
32. Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari
apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
D. Klasifikasi ilmu
AL-Ghazali mengemukakan bahwa ada tiga jenis ilmu. [CITATION Rah92 \p 19 \l
1057 ] Adapun tiga jenis tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ilmu rasional murni (‘aqli mahdh). Contoh yang diberikan al-Ghazali adalah
aritmetika (al-hisab), geometri (al-handasa), dan astrologi (al-nujum). Ilmu-ilmu
rasional ini, menurut al-Ghazali, tidak dianjurkan oleh agama untuk dipelajari.
Alasan yang ia kemukakan sangat menarik yaitu ilmu-ilmu tersebut tidak
seluruhnya benar, sebagian mengandung kebenaran, dan sebagian lagi hanyalah
dugaan-dugaan atau spekulasi yang tak berdasar. Meski mengandung kebenaran,
ilmu-ilmu itu, menurut al-Ghazali, tetap tiada guna karena hanya berurusan
dengan kehidupan duniawi yang fana.
2. Ilmu-ilmu tradisional atau ilmu naqli. Kata “naqli” secara harafiah berarti sesuatu
yang didengar atau dinukil dari sumber terdahulu. Contoh ilmu semacam ini
adalah ilmu hadis dan tafsir. Tentu yang dimaksud oleh al-Ghazali di sini adalah
genre tafsir yang dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsur, yakni tafsir yang didasarkan
pada hadits, pendapat para sahabat atau tabi’in. Ilmu-ilmu ini disebut sebagai
“naqli” karena didasarkan pada riwayat atau pendapat otoritas terdahulu.
Meskipun ada peran akal di sana, tapi sangatlah minimal karena yang diutamakan
hanya ingatan yang kuat.
3. Ilmu yang menggabungkan antara akal dan tradisi, antara penalaran dan riwayat.
Ilmu semacam ini paling tinggi statusnya dalam pandangan al-Ghazali, sebab di
sana akal dan wahyu bekerja secara serentak. Contoh ilmu semacam ini antara
lain adalah ushul fiqh, yakni ilmu yang mengulas cara-cara untuk menentukan
hukum dari dalil-dalil agama yang bersifat umum. Ilmu ushul fiqh disebut sebagai
ilmu “aqnali” sebab di sana akal tidak berjalan sendirian, begitu pula wahyu atau
tradisi tidak merupakan sumber utama. Baik wahyu dan akal bekerja secara
bersama-sama. Karena itu, ushul fiqh adalah ilmu yang statusnya lebih tinggi dan
mulia ketimbang ilmu hadis atau tafsir.Al-Ghazali mengemukakan argumen
tambahan untuk mendukung pendapatnya tentang keunggulan ilmu aqnali. Yakni,
bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak dilandaskan pada taqlid semata yang menjadi
ciri utama ilmu naqli, begitu pula ia tidak bersandar pada akal murni. Taqlid atau
meniru secara membabi buta ditolak oleh akal, sementara itu berpegangan pada
akal semata juga tidak dapat dibenarkan oleh agama. Ilmu yang unggul adalah
yang berdiri di tengah-tengah antara akal dan wahyu.Memang benar
kenyataannya bahwa tidak semua persoalan dapat dijawab oleh ilmu
pengetahuan. Bagaimanapun juga ilmu pengetahuan itu memiliki batas-batas
tertentu untuk memecahkan masalah. Masalah-masalah yang diluar atau diatas
jangkauan ilmu pengetahuan yang secara otomatis tidak bisa terselesaikan maka
akan diser ahkan kepada filsafat. [CITATION End85 \p 171 \l 1057 ].
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Ilmu berasal dari bahasa Arab(‘alima, ya’lamu, ‘ilman).yang berarti mengetahui
hakekat sesuatu dengan sebenar-benarnya. Namun tidak sedikit upaya yang telah
dilakukan para pemikir Muslim terdahulu untuk mendefinisikan kata ilmu
diantaranya al-Raghip al-Ishfahani, Imam al-Ghazali, Atsir al-Din al-Abhari, Al-
Sharif Al-Jurjani.
2. Islam sangat menghargai sekali ilmu,lmu dalam islam menempati posisi yang
sangat pening Dalam Islam proses keilmuan senantiasa melibatkan Allah
sebagaisumber ilmu. Islam mendiferensiasikan sumber ilmu menjadi sumber
kauliyah dan sumber kauniyah.
3. Karakteristik ilmu dalam islam diantaranya sumber ilmu pengetahuan adalah
Allah, ilmu merupakan sesuatu yang benar (al-haq) dan kepastian (al-yaqin),
persoalan ilmu harus selalu dikaitkan dengan aspek ketauhidan, ilmu menyatukan
aspek-aspek spiritual dan praktis manusia.
4. Menurut Al-Ghazali ada 3 jenis ilmu yaitu : ilmu rasional murni (‘aqli mahdh),
Ilmu-ilmu tradisional atau ilmu naqli.
DAFTAR PUSTAKA