Anda di halaman 1dari 13

KONSEPSI ILMU DALAM ISLAM

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas


Mata kuliah : Falsafah Kesatuan Ilmu
Dosen pengampu : Lis Setiyo Ningrum, M. Pd.

disusun oleh:
Sinta Almar’atus S 1808076056
Melida Sholikhah D. F 1808056057
Fauziatul Khusna 1808076058

JURUSAN PENDIDIKANKIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam
juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan
keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan
kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.

Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Metodologi Pembelajaran pada
Program Studi Pendidikan Kimia dengan ini penyusun membahas judul “Konsep Ilmu
dalam Islam”.

Dalam penulisan makalah ini, penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penyusun sangat
mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

Semarang, 12 Maret 2020

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu adalah sesuatu yang sangat menonjol dalam agama Islam, hal ini dapat
dilihat dalam Al-Qur’an maupun hadist, yang menunjukkan bahwa manusia
diwajibkan untuk mengembangkan ilmu baik ilmu agama maupun ilmu sosial. Dalam
islam kedudukan dari orang yang berilmu dan yang tidak berilmu berbeda .
Ilmu dan derivasinya muncul berulang kali dalam alqurn dan menempati
posisi kedua setelah kata tauhid. Dalam shahih Bukhari, bab ilmu (kitab al-‘ilm)
disandingkan dengan bab iman (Kitab al-iman). Hal ini menunjukkan betapa konsep
terpenting dan komprehensif yang terkandung dalam alquran dan as-Sunnah adalah
ilmu (‘ilm) setelah iman. Signifikansi ini dapat dilihat dari fakta lima ayat pertama
yang diturunkan dalam alqur‘an, serta puluhan hadith nabi yang menegaskan
wajibnya mencari ilmu. Senada dengan hal ini, Franz Rosental mengungkapkan
bahwa di dalam Islam ilmu menempati posisi yang tidak ada padanannya dalam
peradaban atau agama lain.
Namun seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme menyebabkan
umat Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat secara
buta. Kecenderungan sikap imitatif ini menyebabkan kebingungan (confusition) yang
berlanjut pada hilangnya identitas. Dengan demikian, upaya membangkitkan kembali
konsep ilmu dalam Islam, urgen dan krusial. Tentu saja dengan menggali dan
mengembangkan konsep ilmu dalam alquran dapat dijadikan landasan bagi upaya
merumuskan kerangka integrasi ilmu pengetahuan yang bagus. Berangkat dari
pemikiran ini, makalah ini mencoba mendeskripsikan konsep ilmu dalam Islam sesuai
dengan alquran dan as-Sunnah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ilmu?
2. Bagaimanakah ilmu dalam perspektif islam?
3. Bagaimana karakter ilmu dalam islam?
4. Apa saja klasifikasi ilmu?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa penertian ilmu.
2. Untuk mengetahui bagaimana perspektif ilmu dalam islam.
3. Untuk mengetahui karakter ilmu dalam islam.
4. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu
Secara etimologis, kata ‘ilmu berasal dari bahasa Arab (‘alima, ya’lamu, ‘ilman)
yang berarti mengetahui hakekat sesuatu dengan sebenar-benarnya. Namun tidak
sedikit upaya yang telah dilakukan para pemikir muslim terdahulu untuk
mendefinisikan kata ilmu. Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli teologi
dan ahli hukum, filsuf dan linguistis diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menurut al-Raghip al-Ishfahani (443/1060).12 Dalam Mufradat Alfaz al-
Qur’annya, ilmu didefinisikan sebagai “Persepsi akan realitas sesuatu” (al-
ilmuidrak al-shay’ bihaqiqatihi) Ini berarti bahwa hanya memahami kualitas
(misalnya bentuk, ukuran, berat, volume, warna, dan properti lainnya) dari suatu
hal bukan merupakan ilmu. Definisi ini didasari pandangan filosofis bahwa setiap
substansi terdiri dari esensi dan eksistensi. Esensi adalah sesuatu yang menjadikan
sesuatu itu, sesuatu itu akan
tetap dan sama sebelum, selama, maupun setelah perubahan. Artinya, ilmu adalah
semua yang berkenaan dengan realitas abadi itu.
2. Menurut Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505/1111)15 yang menggambarkan
ilmu sebagai “pengetahuan akan sesuatu sebagaimana adanya” (ma‘rifat al-shay’
‘ala mahuwabihi): Pada definisi ini, untuk mengetahui sesuatu adalah dengan
mengenali sesuatu sebagaimana ia. Artinya, ilmu adalah pengakuan,merupakan
keadaan pikiran-yaitu, suatu kondisi dimana sebuah objek tidak lagi asing bagi
seseorang sejak objek itu diakui oleh pikiran seseorang. Pemaknaan ini tentu tidak
seperti istilah idrak (digunakan dalam definisi al-Ishfahani) yang tidak hanya
menyiratkan aktifitas olah fikir atau perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi
juga menunjukkan bahwa pengetahuan datang ke dalam pikiran seseorang dari
luar, dalam definisi Imam al-Ghazali istilah ma’rifah menyiratkan fakta bahwa
ilmu selalu merupakan jenis penemuan makna pada diri subjek akan suatu objek.
Pada pemaknaan ini; firasat, dugaan, ilusi, halusinasi, mitos, dan sejenisnya tidak
bisa dikatakan sebagai ilmu.
3. Menurut ahli logika Atsir al-Din al-Abhari (d. 663/1264). Ilmu, ia tegaskan adalah
sampainya gambar maupun abstraksi dari suatu hal dalam akal subjek . ‫حصول‬
‫یئ في العقل‬RR‫ورة الش‬RR‫ ص‬Konon definisi ini berasal dari Ibnu Sina (w. 428/1037)19
pemaknaan ini menjelaskan bahwa upaya mengetahui suatu objek adalah
membentuk ide tentang objek tersebut, untuk memiliki gambar hal ini diwakili
dalam pikiran. Dengan kata lain, upaya mengetahui adalah konseptualisasi.
Pengetahuan adalah representasi atau konsepsi dari hal yang dikenal.
4. Al-Sharif Al-Jurjani (w. 816/1413) dalam at-Ta’rifatnya mendefinisikan ilmu
sebagai sampainya pikiran pada makna dari suatu objek. Definisi al-Jurjani dan
definisi yang dikemukakan Ibnu Sina dan al-Abhari selanjutnya dipadukan oleh
Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam monografnya yang berjudul
The Concept of Education in Islam. Menurut al-Attas, definisi terbaik atas ilmu
adalah ‘sampainya makna dalam jiwa serta sampainya jiwa pada makna’( ‫العلم ھو‬
‫یئ‬RR‫ني الش‬RR‫ول النفس إلي مع‬RR‫یئ في النفس و حص‬RR‫ني الش‬RR‫ول مع‬RR‫ حص‬Satu hal yang jelas dalam
definisi ini; ilmu adalah tentang makna. Objek apapun, fakta maupun suatu
peristiwa dikatakan diketahui seseorang jika bermakna baginya. [ CITATION
Mar11 \l 1057 ].

B. Ilmu dalam Perspektif Islam


Paradigma Barat atas keilmuan tentunya sangat berbeda dengan perspektif
islam tentang ilmu pengetahuan. Islam tidak memandang ilmu pengetahuan sebagai
musuh keimanan atas konsep kepercayaan terhadap Allah SWT. Islam memandang
bahwa ilmu pengetahuan merupakan instrumen yang ditujukan untuk memperkokoh
keimanan itu sendiri. Sebaliknya, islam justru menuntut umatnya untuk menguasai
pengetahuan dalam banyak tantangan retoris Al-Qur’an, tidakkah kamu melihat,
tidakkah kamu perhatikan, tidakkah kamu mengetahui, tidakkah kamu berfikir.
Islam memandang bahwa pada hakikatnya relasi akal dan iman dalam
dialektika ilmu merupakan hubungan yang bersifat komplementer. Artinya, kapasitas
keilmuan seseorang menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan derajat keimanan.
Ilmu dan iman bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan, tapi dipadukan untuk
membangun fondasi tauhid, untuk menciptakan sebuah harmoni kehidupan sebagai
wujud islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Islam mendiferensiasikan sumber ilmu ke dalam dua kategori, sumber
kauliyah dan sumber kauniyah melalui suatu proses dialektis. Sumber kauliyah
merupakan pengetahuan hakiki yang dibawa oleh Al-Qur’an dengan kapasitasnya
sebagai pedoman hidup manusia. Sementara, sumber kauniyah merupakan
pengetahuan karya eksperimental yang diperoleh manusia melalui proses berfikir
dengan menggunakan akal. Ada beberapa perbedaan esensial antara ayat-ayat
kauliyah dengan ayat-ayat kauniyah. Keberadaan ayat kauliyah bersifat mutlak,
karena ayat ini adalah firman Allah SWT. Sang pencipta. Sementara ayat kauniyah
bersifat sementara, karena harus diuji dan dikaji melalui asumsi berdasarkan temuan-
temuan hasil penelitian dengan metode penelitian. Lebih dari itu, ayat-ayat kauliyah
adalah firman Allah. Sementara ayat-ayat kauniyah lahir dari kemampuan otak anak-
anak manusia. Pencarian pengetahuan dalam islam tidak dapat berjalan sendiri-sendiri
antara akal dan wahyu, melainkan proses mencari jawaban pengetahuan dalam
koridor keimanan, sebagaimana kalam illahi yang pertama kali turun, bacalah dengan
menyebut nama Rabbmu.
Islam memiliki fokus yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan.
Perpaduan antara dua sumber ini berikut proses pencariannya inilah yang kemudian
membangun dasar-dasar keilmuan dalam islam. Yusuf Qaradhawi (2002) menyatakan
bahwa dalam islam, ilmu pengetahuan menjadi sangat penting untuk dimiliki sebelum
melakukan suatu tindakan. Hal ini dikarenakan bahwa dari pilar-pilar keilmuan islam
tersebut, kemudian akan menjadi dasar bagi pembangunan peradaban islam.
Islam sangat menghargai ilmu. Allah berfirman dalam banyak ayat al-Qur’an
supaya kaum Muslimin memiliki ilmu pengetahuan dan mendalaminya. Orang yang
membaca Al Qur’an akan mendapati materi ‘ilm yang terdapat dalam surah Makiyah
dan Madaniyah secara seimbang dengan semua kata jadiannya; sebagai kata benda,
kata kerja, atau kata keterangan beberapa ratus kali. Kata kerja ta’lamun (kamu
mengetahui) terulang sebanyak 56 kali. Ditambah 3 kali dengan redaksi fasata’lamun
(maka kalian akan mengetahui), 9 kali dengan redaksi ta’lamu (kalian mengetahui),
85 kali dengan redaksi ya’lamun (mereka mengetahui), 7 kali dengan redaksi ya’lamu
(mereka mengetahui) dan sekitar 47 kali terulang kata kerja ‘allama beserta kata
jadiannya. Dari pemaparan diatas ilmu dalam Islam menempati posisi yang sangat
penting. [CITATION Yus98 \p 87 \l 1057 ] Sehingga orang berilmu menempati kedudukan
yang mulia.
Pandangan Al-Qur’an terhadap Ilmu pengetahuan dapat diketahui melalui
wahyu yang diterima oleh Rasulullah SAW yaitu diantaranya sebagai berikut:
surah Al-‘Alaq 1-5:

َ ‫) َعلَّ َم اإْل ِ ْن‬4( ‫) الَّ ِذي َعلَّ َم بِا ْلقَلَ ِم‬3( ‫) ا ْق َر ْأ َو َربُّ َك اأْل َ ْك َر ُم‬2( ‫ق‬
َ‫سان‬ ٍ َ‫سانَ ِمنْ َعل‬
َ ‫ق اإْل ِ ْن‬
َ َ‫) َخل‬1( ‫ق‬ ْ ‫ا ْق َر ْأ بِا‬
َ َ‫س ِم َربِّ َك الَّ ِذي َخل‬
)5( ‫َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬

Artinya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia Telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dari ayat pertama tersebut diperoleh isyarat pula bahwa ada dua cara
memperoleh ilmu, yaitu:
1.      Allah mengajarkan dengan pena yang telah diketahui oleh manusia sebelumnya,
dan
2.      Mengajarkan kepada manusia tanpa pena yang belum diketahui oleh manusia
sebelumnya.
Cara pertama adalah mengajarkan dengan alat atau atas dasar usaha manusia
dan yang kedua mengajarkan tanpa alat dan tanpa usaha manusia, walaupun keduanya
berbeda, namum satu sumber dari Allah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
ilmu itu terdiri dari dua macam:
a.    Ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia yang sering disebut ilmu Ladunni, dan
b.    Ilmu yang diperoleh karena usaha manusia itu sendiri yang disebut ilmu kasbi.
Manusia dengan ilmunya akan mencapai derajat yang tinggi dan dengan ilmu
manusia menjadi unggul disbanding dengan mahkluk lainnya. Hal ini tercermin dalam
surah Al-Baqarah ayat 31-32 yaitu kisah kejadian manusia:
Artinya:
31. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!"
32. Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari
apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Dalam surat Ar- Ra’du ayat 3-4

3. “ Dialah Tuhan yang membentangkan dan menjadikannya semua buah-buahan


berpasang-pasangan. Allah menutup malam kepadasiang Sesungguhnya kepada
ynag demikian terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan
4. “ Dan di bumi ini terdapat bagian bagian tanah yang berdampingan .dan kebun-
kebun angur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan tidak
bercabang , disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-
tanaman diatas sebagian yang lain tentang rasanya . Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir

Selain al-Qur’an, Rasulullah saw juga memerintahkan kaum Muslimin untuk


menuntut ilmu. Rasulullah saw juga menyatakan orang yang mempelajari ilmu, maka
kedudukannya sama seperti seorang yang sedang berjihad di medan perjuangan.
Rasulullah saw bersabda:
‫لم ياته إال لخير يتعلّمه أو يعلّمه فهو بمنزلة المجاهد في سبيل هللا هذا جاء مسجدى من‬
‫و من جاء لغير ذالك فهو بمنزلة ال ّرجل ينظر إلى متاع غيره‬
Artinya:“Barangsiapa yang mendatangi masjidku ini, yang dia tidak mendatanginya
kecuali untuk kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkannya, maka
kedudukannya sama dengan mujahid di jalan Allah. Dan siapa yang datang untuk
maksud selain itu, maka kedudukannya sama dengan seseorang yang melihat barang
perhiasan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Isnadnya hasan, dan
disahihkan oleh Ibnu Hibban.
Rasulullah saw juga bersabda:
‫من خرج فى طلب العالم فهو فى سبيل هللا حتّى يرجع‬
Artinya:“Barangsiapa yang pergi menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah
sampai dia kembali.” (HR. Timidzi). [CITATION Sya051 \p 59 \l 1057 ]

Rasulullah saw juga bersabda:


yang artinya: “Barang siapa melalui satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
memasukkannya ke salah satu jalan di antara jalan surga, dan sesungguhnya
malaikat benar-benar merendahkan sayap-sayapnya karena ridha terhadap penuntut
ilmu, dan sesungguhnya seorang alim benar-benar akan dimintakan ampun oleh
makhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan di dalam air. Dan
sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang abid (ahli ibadah) adalah
seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang yang ada. Dan
sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak
mewariskan Dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barang
siapa mengambilnya, maka hendaklah dia mengambil bagian yang banyak.” (HR.
Abu Daud).
Selain al-Qur’an dan al-Hadist, para sahabat juga menyatakan bahwa sangat
penting bagi kaum Muslimin memiliki ilmu pengetahuan. Seperti Ali bin Abi Talib
ra., berkata :“Ilmu lebih baik dari pada harta, oleh karena harta itu kamu yang
menjaganya, sedangkan ilmu itu adalah yang menjagamu. Harta akan lenyap jika
dibelanjakan, sementara ilmu akan berkembang jika diinfakkan (diajarkan). Ilmu
adalah penguasa, sedang harta adalah yang dikuasai. Telah mati para penyimpan harta
padahal mereka masih hidup, sementara ulama tetap hidup sepanjang masa. Jasa-jasa
mereka hilang tapi pengaruh mereka tetap ada/membekas di dalam hati.”
Mu’az bin Jabal ra. Mengatakan “Tuntutlah ilmu, sebab menuntutnya untuk
mencari keridhaan Allah adalah ibadah, mengetahuinya adalah khasyah, mengkajinya
adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah
sedekah dan mendiskusikannya adalah tasbih. Dengan ilmu, Allah diketahui dan
disembah, dan dengan ilmu pula Alah diagungkan dan ditauhidkan. Allah mengangkat
(kedudukan) suatu kaum dengan ilmu, dan menjadikan mereka sebagai pemimpin dan
Imam bagi manusia, manusia mendapat petunjuk melalui perantaraan mereka dan
akan merujuk kepada pendapat mereka.”
Selain pentingnya ilmu, para ulama kita juga memadukan ilmu dengan amal,
fikir dan zikir, akal dan hati. Kondisi tersebut tampak jelas dalam contoh kehidupan
para ulama kita, seperti Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Bukhari. Al-Hakam bin
Hisyam al-Tsaqafi mengatakan: “Orang menceritakan kepadaku di negeri Syam, suatu
cerita tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah seorang manusia pemegang amanah
yang terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi pemegang kunci gudang kekayaan
Negara atau memukulnya kalau menolak. Maka Abu Hanifah memilih siksaan
daripada siksaan Allah Ta’ala.” AlRabi mengatakan: “Imam Syafi‘i menghkatamkan
al-Qur’an misalnya, dalam bulan Ramadhan, enam puluh kali. Semuanya itu dalam
shalat.
Imam Bukhari menyatakan:” (Aku tidak menulis hadist dalam kitab Sahih
kecuali aku telah mandi sebelum itu dan telah shalat dua rakaat).
Bukan saja dalam ilmu-ilmu agama, ulama kita yang berwibawa telah
mewariskan kita berbagai karya yang sehingga kini masih selalu kita rasakan
manfaatnya. Dalam bidang ilmu pengetahuan umum pun, para pemikir Muslim
terdahulu sangat berperan. Al-Khawarizmi, Bapak matematika, misalnya, dengan
gagasan al-jabarnya telah sangat mempengaruhi perkembangan ilmu matematika.
Tanpa pemikiran al-Khawarizmi, tanpa sumbangan angka-angka Arab, maka sistem
penulisan dalam matematika merupakan sebuah kesulitan. Sebelum memakai angka-
angka Arab, dunia Barat bersandar kepada sistem angka Romawi.
Terbayang oleh kita betapa rumit, dan bertele-telenya sistem penulisan angka
Romawi. Dengan penggunaan angka-angka Romawi, maka akan banyak memakan
waktu dan tenaga untuk mengoperasikan sistem hitungan. Seandainya dunia Barat
masih berkutat dengan menggunakan angka Romawi, tentunya mereka masih mundur.
Sebabnya, angka Romawi tidak memiliki kesederhanaan. Namun, disebabkan
sumbangan angkaangka Arab, disebabkan sumbangan pemikiran al-Khawarizmi,
maka pengerjaan hitungan yang rumit pun menjadi lebih sederhana dan mudah.
Menarik untuk dicermati, al-Khawarizmi menulis karyanya dalam bidang matematika
karena didorong oleh motivasi agama untuk menyelesaikan persoalan hukum warisan
dan hukum jual beli.
Selain itu, masih banyak lagi pemikir Muslim yang sangat berperan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah seorang diantaranya adalah Ibn Sina.
Ketika baru berusia 21 tahun, beliau telah menulis al-Hasil wa al-Mahsul yang terdiri
dari 20 jilid. Selain itu, beliau juga telah menulis al-Shifa (Penyembuhan), 18 jilid; al-
Qanun fi al-Tibb (KaidahKaidah dalam Kedokteran), 14 jilid; Al-Insaf
(Pertimbangan), 20 jilid; al-Najat (Penyelamatan), 3 jilid; dan Lisan al’ Arab (Bahasa
Arab), 10 jilid.[ CITATION Edi11 \l 1057 ]
Disebabkan kehebatan kaum Muslimin dalam bidang ilmu pengetahuan, maka
sebenarnya pada zaman kegemilangan kaum Muslimin, orang-orang Barat meniru
kemajuan yang telah diraih oleh orang-orang islam. Jadi, kegemilangan Barat saat ini
tidak terlepas dari pada sumbangan pemikiran kaum Muslimin pada saat itu.

C. Karakter Ilmu dalam Islam


1. Allah adalah sumber segala ilmu
Sumber ilmu pengetahuan adalah Allah, karena Allah lah yang mengajarkan
manusia segala sesuatu sehingga mengetahui. Atas dasar ini Imam Syafi’i
menyatakan “Ilmu adalah apa yang di dalamnya terdapat hadatsana” ialah ilmu
merupakan serangkaian pengetahuan yang sistematis yang didasarkan pada nash-
nash shahih.
2. Watak ilmu menurut islam
Dalam al-Qur’an, sifat penting epistimologi islam terletak pada adanya kebenaran
(al-haq) dan kepastian (al-yaqin). Hal ini berarti ilmu pengetahuan dalam al-
Qur’an adalah kebenaran mutlak yang tidak ada keraguan padanya.
3. Mengaitkan ilmu dengan persoalan spiritual (aqidah)
Sifat ilmu dalam islam adalah holistik dan universal yang mana cara pandangnya
adalah tauhid atau ketuhanan. Dengan ini persoalan-persoalan harus selalu
dikaitkan dengan aspek ketauhidan.
4. Mengaitkan ilmu dengan aktifitas (amal)
Konsep ilmu dalam islam tidak hanya menguraikan persoalan-persoalan kognitif
dan intelektual, tetapi ia menyatukan aspek-aspek spiritual dan praktis manusia.
Ilmu dalam al-Qur’an sering diibaratkan dengan kata nur (cahaya) dan huda
(petunjuk).

D. Klasifikasi ilmu
AL-Ghazali mengemukakan bahwa ada tiga jenis ilmu. [CITATION Rah92 \p 19 \l
1057 ] Adapun tiga jenis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ilmu rasional murni (‘aqli mahdh). Contoh yang diberikan al-Ghazali adalah
aritmetika (al-hisab), geometri (al-handasa), dan astrologi (al-nujum). Ilmu-ilmu
rasional ini, menurut al-Ghazali, tidak dianjurkan oleh agama untuk dipelajari.
Alasan yang ia kemukakan sangat menarik yaitu ilmu-ilmu tersebut tidak
seluruhnya benar, sebagian mengandung kebenaran, dan sebagian lagi hanyalah
dugaan-dugaan atau spekulasi yang tak berdasar. Meski mengandung kebenaran,
ilmu-ilmu itu, menurut al-Ghazali, tetap tiada guna karena hanya berurusan
dengan kehidupan duniawi yang fana.
2. Ilmu-ilmu tradisional atau ilmu naqli. Kata “naqli” secara harafiah berarti sesuatu
yang didengar atau dinukil dari sumber terdahulu. Contoh ilmu semacam ini
adalah ilmu hadis dan tafsir. Tentu yang dimaksud oleh al-Ghazali di sini adalah
genre tafsir yang dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsur, yakni tafsir yang didasarkan
pada hadits, pendapat para sahabat atau tabi’in. Ilmu-ilmu ini disebut sebagai
“naqli” karena didasarkan pada riwayat atau pendapat otoritas terdahulu.
Meskipun ada peran akal di sana, tapi sangatlah minimal karena yang diutamakan
hanya ingatan yang kuat.
3. Ilmu yang menggabungkan antara akal dan tradisi, antara penalaran dan riwayat.
Ilmu semacam ini paling tinggi statusnya dalam pandangan al-Ghazali, sebab di
sana akal dan wahyu bekerja secara serentak. Contoh ilmu semacam ini antara
lain adalah ushul fiqh, yakni ilmu yang mengulas cara-cara untuk menentukan
hukum dari dalil-dalil agama yang bersifat umum. Ilmu ushul fiqh disebut sebagai
ilmu “aqnali” sebab di sana akal tidak berjalan sendirian, begitu pula wahyu atau
tradisi tidak merupakan sumber utama. Baik wahyu dan akal bekerja secara
bersama-sama. Karena itu, ushul fiqh adalah ilmu yang statusnya lebih tinggi dan
mulia ketimbang ilmu hadis atau tafsir.Al-Ghazali mengemukakan argumen
tambahan untuk mendukung pendapatnya tentang keunggulan ilmu aqnali. Yakni,
bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak dilandaskan pada taqlid semata yang menjadi
ciri utama ilmu naqli, begitu pula ia tidak bersandar pada akal murni. Taqlid atau
meniru secara membabi buta ditolak oleh akal, sementara itu berpegangan pada
akal semata juga tidak dapat dibenarkan oleh agama. Ilmu yang unggul adalah
yang berdiri di tengah-tengah antara akal dan wahyu.Memang benar
kenyataannya bahwa tidak semua persoalan dapat dijawab oleh ilmu
pengetahuan. Bagaimanapun juga ilmu pengetahuan itu memiliki batas-batas
tertentu untuk memecahkan masalah. Masalah-masalah yang diluar atau diatas
jangkauan ilmu pengetahuan yang secara otomatis tidak bisa terselesaikan maka
akan diser ahkan kepada filsafat. [CITATION End85 \p 171 \l 1057 ].
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Ilmu berasal dari bahasa Arab(‘alima, ya’lamu, ‘ilman).yang berarti mengetahui
hakekat sesuatu dengan sebenar-benarnya. Namun tidak sedikit upaya yang telah
dilakukan para pemikir Muslim terdahulu untuk mendefinisikan kata ilmu
diantaranya al-Raghip al-Ishfahani, Imam al-Ghazali, Atsir al-Din al-Abhari, Al-
Sharif Al-Jurjani.
2. Islam sangat menghargai sekali ilmu,lmu dalam islam menempati posisi yang
sangat pening Dalam Islam proses keilmuan senantiasa melibatkan Allah
sebagaisumber ilmu. Islam mendiferensiasikan sumber ilmu menjadi sumber
kauliyah dan sumber kauniyah.
3. Karakteristik ilmu dalam islam diantaranya sumber ilmu pengetahuan adalah
Allah, ilmu merupakan sesuatu yang benar (al-haq) dan kepastian (al-yaqin),
persoalan ilmu harus selalu dikaitkan dengan aspek ketauhidan, ilmu menyatukan
aspek-aspek spiritual dan praktis manusia.
4. Menurut Al-Ghazali ada 3 jenis ilmu yaitu : ilmu rasional murni (‘aqli mahdh),
Ilmu-ilmu tradisional atau ilmu naqli.
DAFTAR PUSTAKA

Anshari, E. S. (1985). Ilmu,Filsafat dan Agama . Surabaya: Bina Ilmu.


Aziz, S. A. (2005). Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu . Solo : Pustaka al Alaq.
Marpaung, I. M. (2011). Konsep Ilmu Dalam Islam. Jurnal At-Ta’dib,.
Qardhawi, Y. (1998). Al Qur'an Berbicara tentang akal dan Ilmu Pengetahuan . Jakarta: Gema
Insani.
Rahman, A. (1992). Al Qur'an Sumber Ilmu Pengetahuan. (Arifin, Trans.) Jakarta: Rineka Cipta.
Saffan, E. (2011, April 8). Konsep Ilmu dalam Islam. Retrieved Maret 6, 2020, from
edisaffan.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai