Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“Konsep Epistemologi Pendidikan Islam”

(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam)

Dosen Pengampu:

Bpk, Ruchman Basori

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Iis NIM 2013045

Nani Kurnia NIM 2013102

Nurbaeti Rahmah NIM 2013070

Ahmad Ubaidillah NIM 2013079

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan
obor pencerahan peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan
menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan
dikembangkan manusia untuk meningktkan kualitas hidupnya dengan
menerapkan pengetahuan yangdiperolehnya. Proses penemuan dan
penerapan itulah yang menghasilan kapak dan batu zaman dulu sampai
komputer zaman ini. Filsafat adalah berpikir secara mendalam tentang
hakekat sesuatu. Kajian filsafat adalah kajian tentang esensi apa yang
menjadi dibalik kenyataan yang ada.1 Memahami filsafat dengan baik
maka orang akan dapat mengembangkan secara konsisten ilmu-ilmu
pengetahuan yang dipelajari. Filsafat mengkaji dan memikirkan tentang
hakikat segala sesuatu secara menyeluruh, sistematis, terpadu, universal
dan radikal yang hasilnya menjadi pedoman dan arah dari perkembangan
ilmu-ilmu yang bersangkutan. Filsafat merupakan acuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan, disadari atau tidak, nampaknya dapat
mempengaruhi situasi dan kondisi yang memprihatinkan seperti saat ini,
semuanya menumpukan seluruh harapan kepada pendidikan, karena sadar
bahwa hanya melalui pendidikan dapat memperbaiki hidup.2Firman Allah
swt. dalam QS. Ar-Rad/13: 19:
Terjemah : Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang
buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil
pelajaran.

1
Haidar Putra Daulay. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat. (Cet. 1; Jakarta: Kencana,
2014). h. 9.
2
Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam ´Berbasis Problem Sosial (cet.I; Jakarta: Ar-
Ruzz Media,2012), h.15.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut :
1. Pengertian Epistimologi Pendidikan Islam
2. Model Pemikiran Epistimologi Keilmuan Islam
3. Sistem Epistimologi Islam
4. Pembaruan Epistimologi Pendidikan Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi Pendidikan Islam


Epistimologi adalah teori pengetahuan yang membahas tentang
bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang dipikirkan. Selain
itu ada pula yang mengartikan epistimologi sebagai cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan pangandai-
pengandaiannya. Sedangkan pendidikan Islam adalah upaya sengaja untuk
memberdayakan segenap potensi manusia sesuai dengan nilai-nilai ajaran
Islam. Selain itu, pendidikan Islam juga dapat diartikan sebagai sebuah
sistem yang di dalamnya terdapat berbagai komponen yang saling
berhubungan yang didasarkan pada ajaran Islam. Komponen pendidikan
tersebut adalah:visi, misi, tujuan, sasaran, kurikulum, proses belajar
mengajar, tenaga pendidik dan kependidikan, mutu lulusan, sarana
prasarana, pembiayaan, pengelolaan, lingkungan, dan evaluasi
pendidikan. Mujamil Qomari, mengatakan, bahwa epistimologi pendidikan
Islam meliputi pembahasan yang berkaitan dengan seluk beluk pengetahuan
pendidikan Islam, mulai dari hakikat pendidikan Islam, asal usul pendidikan
Islam, sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan Islam,
unsur pendidikan Islam, sasaran pendidikan Islam macam-macam
pendidikan Islam dan sebagainya. Epistimologi pendidikan Islam bukan
hanya membahas metode dan pendekatan untuk memperoleh pengetahuan
tentang pendidikan Islam, melainkan mencakup banyak aspek. Dengan
demikian, epistimologi pendidikan Islam adalah kajian filsafat yang
membahas tentang sumber pendidikan Islam, metode dan pendekatan dalam
menggunakan dan mengolah sumber tersebut, serta nilai atau manfaat dari
ilmu pendidikan Islam tersebut.3
B. Model Epistemologi Pendidikan Islam
Ada tiga model system berpikir dalam Islam, yakni bayâni, irfâni dan
burhâni, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali
berbeda tentang pengetahuan.

3
Mujamil Qomari, op, cit, hal. 251.

3
1) Epistimologi Bayani
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas
teks (nash), secara langsung atau tidak langsung Secara langsung artinya
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan
tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks
sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski
demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan
makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dengan
demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks (nash), yakni al-
Qur`an dan hadis. Karena itulah, epistemologi bayani menaruh perhatian
besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.5 Ini
penting bagi bayani, karena –sebagai sumber pengetahuan-- benar
tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum
yang diambil. Jika transmisi teks bisa di pertanggung-jawabkan berarti
teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika
transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggung
jawabkan dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum. Karena
itu pula, mengapa pada masa tadwîn (kodifikasi), khususnya kodifikasi
hadis, para ilmuan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang
diterima.Berdasarkan hal tersebut, bahwa bayani berkaitan dengan teks,
maka persoalan pokoknya adalah sekitar lafat-makna dan ushûl-furû`.
Misalnya, apakah suatu teks dimaknai sesuai konteksnya atau makna
aslinya (tauqîf), bagaimana menganalogikan kata-kata atau istilah yang
tidak disinggung dalam teks suci, bagaimana memaknai istilah-istilah
khusus dalam al-asmâ’ al-syar`iyah, seperti kata shalat, shiyam, zakat.
2) Epistemologi Irfani.
Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada
kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu,
pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan
olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan
melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran,
dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan
demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan,

4
(1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau
tulisan.
a) Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan
pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus
dijalani, mulai dari bawah menuju puncak (1) Taubat,(2) Wara`,
menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhât, (3) Zuhud, tidak
tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. (4) Faqir,
mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak
menghendaki apapun kecuali Tuhan swt, (5) Sabar, menerima
segala bencana dengan laku sopan dan rela. (6) Tawakkal, percaya
atas segala apa yang ditentukan-Nya. (7) Ridla, hilangnya rasa
ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira
dan sukacita..
b) Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu
dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap
ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang
demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu
melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang
diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari
tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan
eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain
adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula
sebaliknya (ittihâd) yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut „ilmu
huduri‟ atau pengetahuan swaobjek (self- object-knowledge).
c) Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik diinterpretasikan
dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan.
Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi
dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran
Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak
bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa
diungkapkan.

5
3) Epistemologi Burhani
Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci,
burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani
menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-
dalil logika. Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani
menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; irfani
menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan,
burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip- prinsip logika atas
pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan
demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau
intuisi. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap
informasi yang masuk lewat indera. Selanjutnya, untuk mendapatkan
sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme. Mengikuti
Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi
beberapa syarat,
a) Mengetahui latar belakang dari penyusunan premis,
b) Adanya konsistensi logis antara alas an dan keismpulan,
c) Kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga
tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.

Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus


merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang
benar adalah premis yang memberi keyakinan, menyakinkan. Suatu premis
bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat;

a) Kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam


kondisi spesifik,
b) Kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu
yang lain selain darinya,
c) Kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya.
Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis
pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek-objek pengetahuan
indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati,

6
dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada yang menyimpulkan
sebaliknya.

C. Sistem Epistemologi Islam


Sistem pendidikan merupakan rangkaian dari sub sistem-sub sistem
atau unsur-unsur pendidikan yang saling terkait dalam mewujudkan
keberhasilannya. Ada tujuan, kurikulum, materi, metode, pendidik, peserta
didik, sarana, alat, pendekatan, dan sebagainya. Keberadan satu unsur
membutuhkan keberadaan unsur yang lain, tanpa keberadaan salah satu di
antara unsur-unsur itu proses pendidikan menjadi terhalang, sehingga
mengalami kegagalan. Ketika satu unsur dominan mendapat pengaruh
tertentu, pada saat yang bersamaan unsur-unsur lainnya menjadi terpengaruh.
Kemudian kita bisa membayangkan, bagaimana mudahnya bagi pendidikan
Barat modern mempengaruhi sistem pendidikan Islam dengan cara
mempengaruhi substansi tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu. Berawal
dari penggarapan tujuan ini, untuk berikutnya akan lebih mudah
mempengaruhi unsur-unsur lainnya. Demi kepentingan antisipasi terhadap
meluasnya pengaruh Barat terhadap pendidikan Islam kendatipun terlambat,
kita masih perlu meninjau sistem pendidikan Islam. Tampaknya, sistem
pendidikan yang ada sampai saat ini masih menampakkan berbagai
permasalahan berat dan serius yang memerlukan penanganan dengan segera.
Dalam menangani permasalah ini tidak bisa dilakukan sepotong-potong atau
secara parsial, tapi harus dilakukan secara total dan integratif berdasarkan
petunjuk-petunjuk wahyu untuk menjamin arah pemecahan yang benar.
Dengan mengubah sistem pendidikan Islam sesuai dengan petunjukpetunjuk
wahyu diharapkan mampu merombak tatanan-tatanan sosial dan kultural
yang terdapat pada umat Islam agar mereka menjadi pemikir yang energik,
produsen yang produktif, pengembang yang kreatif, atau pekerja yang
memiliki semangat tinggi. Pada masing-masing kondisi ini dilapisi iman,
takwa, dan akhlak yang mulia. Pembangunan sistem pendidikan Islam yang
diarahkan pada dimensi dialektika horisontal dan dimensi ketundukan
vertikal secara ballance (seimbang) ini perlu senantiasa diwujudkan dalam
praktek pendidikan untuk membuktikan konsistensi terhadap harapan-

7
harapan yang bersifat normatif dan kemampuan membentuk pola-pola sistem
pendidikan yang diajukan sebagai alternatif dalam mengatasi problem-
problem pendidikan akibat penerapan sistem pendidikan Islam yang selama
ini terpengaruh sistem pendidikan Barat.4
Dengan demikian, identitas, karakter dan kemandirian sistem
pendidikan Islam tersebut menjadi jelas. Ada pola-pola dasar dari Islam
sendiri untuk mengkerangkai bangunan sistem pendidikan Islam. Dengan
begitu sistem pendidikan Islam yang ditawarkan sebagai alternatif itu benar-
benar murni dan inspirasi petunjuk wahyu, bukan asal ambil sana sini yang
dianggap baik lalu disentesiskan. Jika kondisi terakhir ini yang terjadi, maka
tentu tidak layak diklaim sebagai sistem pendidikan Islam. Dalam sejarah
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, kita melihat
paling kurang terdapat lima macam tipologi pesantren. Pertama, lembaga
pendidikan pesantren yang bersifat salafi, yaitu lembaga pendidikan
pesantren yang hanya mengajarkan agama dengan bersandar pada kitab-kitab
klasik dengan menggunakan sistem halaqah, sorogan dan bandongan. Kedua,
lembaga pendidikan pesantren yang selain memiliki ciri-ciri pesantren salafi
sebagaimana tersebut di atas, juga telah mengadopsi sistem madrasah,
walaupun muatan kurikulumnya sepenuhnya agama. Ketiga, lembaga
pendidikan pesantren yang selain memiliki sistem madrasah juga sudah
melengkapinya dengan sistem sekolah umum yang memungkinkan santrinya
dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, baik pada
Perguruan Tinggi Agama maupun pada Perguruan Tinggi Umum. Keempat,
sistem pendidikan pesantren yang sudah melengkapi dirinya dengan
keunggulan dalam penguasaan bahasa asing dan teknologi modern, sehingga
lulusannya juga dapat diterima di lapangan kerja modern. Kelima, sistem
pendidikan pesantren yang santrinya diarahkan untuk menjadi tenaga kerja
profesional yang dibutuhkan oleh masyarakat. pada pesantren model yang
kelima ini, para lulusannya diarahkan untuk bekerja secara mandiri pada
sektor informal.5

4
Qomar, Epistemologi Pendidikan, h. 221
5
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005), h. 348-349.

8
D. Pembaharuan Epistemologi Islam
Pendidikan Islam sebagai kegiatan yang menekankan pada proses
sebenarnya memberikan sinyal bahwa persoalan-persoalan pendidikan Islam
adalah sebagai persoalan ijtihâdiah, yang banyak memberi peran kepada
umat Islam untuk mencermati, mengkritisi, dan mengkonstruk formula-
formula baru yang makin sempurna. Kendatipun wahyu telah memberikan
petunjuk-petunjuk tetapi justru petunujuk-petunjuk itu masih perlu
dijabarkan secara detil, sehingga melibatkan akal untuk melakukan
pemkiran-pemikiran secara mendalam. Oleh karena itu, dibutuhkan penataan
kembali secara komprehensif terhadap pendidikan Islam. Pendidikan Islam
dewasa ini menuntut pembaruan dan menumbangkan konsep dualisme
dikotomik secara mendasar. Usaha-usaha pembaruan pendidikan Islam
tersebut dilakukan untuk membangun sistem pendidikan Islam yang benar-
benar mampu memberdayakan umat; dimulai dari pemberdayaan para
pendidik (guru atau dosen), siswa atau mahasiswa, lulusan (alumni),
kemudian berpengaruh pada pemberdayaan masyarakat dan negara.34 Perlu
ditelaah kembali bahwa pemikiran pendidikan Islam dalam konteks saat ini
memang sangat terkesan defensif. Pembaruan pemikiran pendidikan Islam
yang selaras dan sesuai dengan kondisi zaman perlu ditelaah. Artinya, tidak
hanya pendidikan Islam yang sifatnya non-formal, semisal pondok pesantren
yang nilainilai ajaran Islam masih tetap kukuh sampai detik ini, tetapi perlu
adanya sinergisitas antara pendidikan Islam yang sifatnya formalitas dan
pendidikan Islam yang bergerak dalam dunia pesantren. Dengan demikian,
metode terhadap pendidikan Islam merupakan urgensi, dalam rangka
mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai ajaran Islam di era
modernis ini. Pendidikan Islam tentu saja harus sanggup “meluruskan”
respons tantangan modernisasi ini. Namun, kesadaran itu belum ada dalam
pendidikan Islam. Hal inilah yang merisaukan hati para pengamat, karena
ujungnya diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut:
bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian natural
perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus
menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat dan membuat

9
peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam. Ini merupakan
pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik. 6
Apabila ditinjau ulang pemikiran Abdurrahman Wahid yang plural,
tentu saja tidak lepas dari situasi dan kondisi yang berkembang di negeri ini.
Ketika melihat realitas sosial yang majemuk, dituntut sebuah pemikiran yang
cukup beragam pula, apalagi aspek pemikiran Abdurrahman Wahid dalam
hal pendidikan Islam lebih banyak tercurah pada pondok pesantren sebagai
salah satu institusi tua yang berkembang pertama kali di bangsa ini, yang
tentu saja membutuhkan pemikiran yang cukup beragam.7

6
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi,
(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 225-226.
7
Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam, h. 107.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan:
1. Epistimologi pendidikan Islam adalah kajian filsafat yang membahas
tentang sumber pendidikan Islam, metode dan pendekatan dalam
menggunakan dan mengolah sumber tersebut, serta nilai atau manfaat dari
ilmu pendidikan Islam tersebut.
2. Ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayâni, irfâni dan
burhâni, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali
berbeda tentang pengetahuan.
3. Sistem pendidikan merupakan rangkaian dari sub sistem-sub sistem atau
unsur-unsur pendidikan yang saling terkait dalam mewujudkan
keberhasilannya. Ada tujuan, kurikulum, materi, metode, pendidik, peserta
didik, sarana, alat, pendekatan, dan sebagainya. Keberadan satu unsur
membutuhkan keberadaan unsur yang lain, tanpa keberadaan salah satu di
antara unsur-unsur itu proses pendidikan menjadi terhalang, sehingga
mengalami kegagalan. Ketika satu unsur dominan mendapat pengaruh
tertentu, pada saat yang bersamaan unsur-unsur lainnya menjadi
terpengaruh.
4. Pembaruan pemikiran pendidikan Islam yang selaras dan sesuai dengan
kondisi zaman perlu ditelaah. Artinya, tidak hanya pendidikan Islam yang
sifatnya non-formal, semisal pondok pesantren yang nilainilai ajaran Islam
masih tetap kukuh sampai detik ini, tetapi perlu adanya sinergisitas antara
pendidikan Islam yang sifatnya formalitas dan pendidikan Islam yang
bergerak dalam dunia pesantren.

11
DAFTAR PUSTAKA

Haidar Putra Daulay. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat. (Cet. 1; Jakarta:
Kencana, 2014). h. 9.
Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam ´Berbasis Problem Sosial
(cet.I; Jakarta: Ar-Ruzz Media,2012), h.15.
Mujamil Qomari, op, cit, hal. 251.
Qomar, Epistemologi Pendidikan, h. 221

Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:


PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 348-349.

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat


Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 225-226.

Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam, h. 107.

12

Anda mungkin juga menyukai