Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ISLAM DAN KEILMUAN:

KONSTRUKSI KEILMUAN ISLAM DAN BARAT (STUDI KOMPARATIF)

Dosen Pengampu: Dr. H. Saproni, M. Ed

Disusun Oleh:
KELOMPOK 5
1. Alfa Razi 228110293
2. Fathiya Azzahra 228110229
3. Fickry Ahmad Suryawan 208113010
4. Mayrizka Fadillah Simamora 228110109
5. M. Azfar Azhari 228110158
6. Rahma Hanny Nelvi 228110073

KELAS 1G
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kuatnya Daya Respon
Terhadap Isu Isu Sosial” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Islam Dan Keilmuan. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang judul yang tertera bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai demokrasi dan ham, pluralisme,
fundamentalisme, radikalisme dan terorisme, islam dan politik. Kami mengucapkan terima
kasih kepada Bapak/Ibu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan mata kuliah yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari,
makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu pengetahuan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam,
sebab kata islam itu sendiri, dari kata dasar aslama yang artinya “tunduk patuh”, mempunyai
makna “tunduk patuh kepada kehendak atau ketentuan Allah”. Dalam bahasa Arab, Ilmu berasal
dari kata, alima – ya’lamu yang bermakna tahu atau mengetahui. Ilmu merupakan pengetahuan
mengenai segala sesuatu yang telah disusun secara runtut dan merupakan satu kesatuan
berdasarkan metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala dari
objek (pengetahuan) itu. Dalam sejarah munculnya ajaran islam yang ditandai dengan turunnya
wahyu juga sesungguhnya telah mengisyaratkan tentang keunggulan dan keutamaan setiap
penerima wahyu untuk mengedepankan ilmu pengetahuan. Sehingga pembicaraan tentang ilmu
pengetahuan tak bisa di lepaskan dari pembicaraan Al-Quran sebagai sumber pokok dan sumber
kebenaran mutlak.
Kita sebagai manusia, tak lepas dari tanggung jawab kita sebagai khalifah dimuka bumi.
Dimana kita ditugaskan untuk menjaga bumi dan seluruh isinya agar tetap asri. Apa alasan
mengapa Allah menciptakan kita sebagai khalifah dibumi ini? Yaitu karena manusia memiliki akal
untuk berfikir dan mengenali lingkungannya. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk
hidup lainnya. Bisa disimpulkan bahwa untuk menjadi khalifah tidak hanya bertasbih menyebut
asma-Nya tapi juga kemampuannya dalam mengenali lingkungannya dan berfikir. Ini adalah
karunia yang besar bagi kita. Seharusnya kita bersyukur dan mampu memanfaatkannya dengan
baik.

1.2 Rumusan Masalah


• Apa saja pondasi keilmuan dalam Islam
• Apa saja pondasi keilmuan dalam Barat
• Apa saja Titik persamaan dan pebedaan antara keduanya
• Apa saja Keubggulan pondasi keilmuan islam
1.3 Tujuan
• Menjelaskan pondasi keilmuan dalam islam
• Menjelaskan pondasi keulilmuan dalam barat
• Menjelaskan titik persamaan dan perbedaan antara keduanya
• Menjelaskan keunggulan pondasi keilmuan islam
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pondasi Keilmuan Dalam Islam

Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm (‘alima-ya’lamu-‘ilm), yang berarti pengetahuan
(al-ma’rifah), kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang hakikat sesuatu yang dipahami
secara mendalam. Dari asal kata ‘ilm ini selanjutnya di-Indonesia-kan menjadi ‘ilmu’ atau ‘ilmu
pengetahuan.’ Dalam perspektif Islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang
sungguh-sungguh (ijtihād) dari para ilmuwan muslim (‘ulamā’/mujtahīd) atas persoalan-persoalan
duniawī dan ukhrāwī dengan bersumber kepada wahyu Allah.Al-Qur’ān dan al-Hadīts merupakan
wahyu Allah yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, termasuk dalam hal ini
adalah petunjuk tentang ilmu dan aktivitas ilmiah.
Selain kata ‘ilmu, dalam al-Qur’ān juga banyak disebut ayat-ayat yang, secara langsung
atau tidak, mengarah pada aktivitas ilmiah dan pengembangan ilmu, seperti perintah untuk
berpikir, merenung, menalar, dan semacamnya. Misalnya, perkataan ‘aql (akal) dalam al-Qur’ān
disebut sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata
kerja sekarang. Salah satunya adalah :”Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk melata di sisi Allah
adalah mereka (manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan akalnya”. Kata fikr (pikiran)
disebut sebanyak 18 kali dalam al-Qur’ān.
Tentang posisi ilmuwan, al-Qur’ān menyebutkan: “Allah akan meninggikan derajat orang-
orang beriman dan berilmu beberapa derajat”.Di samping al- Qur’ān, dalam Hadīts Nabi banyak
disebut tentang aktivitas ilmiah, keutamaan penuntut ilmu/ilmuwan, dan etika dalam menuntut
ilmu. Besarnya perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan, menarik perhatian Franz Rosenthal,
seorang orientalis, dengan mengatakan: ”Sebenarnya tak ada satu konsep pun yang secara operatif
berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala aspeknya, yang sama
dampaknya dengan konsep ilmu. Hal ini tetap benar, sekalipun di antara istilah-istilah yang paling
berpengaruh dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhîd” (pengakuan atas
keesaan Tuhan), “al-dîn” (agama yang sebenar-benarnya), dan banyak lagi kata- kata yang secara
terus menerus dan bergairah disebut-sebut.
Karena itu, dalam sejarah peradaban Islam, ulama hidup rukun berdampingan dengan para
ilmuwan. Bahkan banyak ditemukan para ilmuwan dalam Islam sekaligus sebagai ulama.
Misalnya, Ibn Rusyd di samping sebagai ahli hukum Islam pengarang kitab Bidāyah al-Mujtahīd,
juga seorang ahli kedokteran penyusun kitab al-Kullīyāt fī al-Thibb. Sumber pengetahuan dalam
Islam adalah alam fisik yang bisa diindra dan alam metafisik yang tidak bisa diindera seperti
Tuhan, malaikat, alam kubur, alam akhirat.
Dalam epistemologi Islam, ilmu pengetahuan bisa dicapai melalui tiga elemen; indra, akal,
dan hati. Ketiga elemen ini dalam praktiknya diterapkan dengan metode berbeda; indra untuk
metode observasi (bayānī), akal untuk metode logis atau demonstratif (burhānī), dan hati untuk
metode intuitif (‘irfānī). Dengan panca indra, manusia mampu menangkap obyek-obyek indrawi
melalui observasi, dengan menggunakan akal manusia dapat menangkap obyek-obyek spiritual
(ma’qūlāt) atau metafisik secara silogistik, yakni menarik kesimpulan tentang hal-hal yang tidak
diketahui dari hal-hal yang telah diketahui. Dengan cara inilah akal manusia, melalui refleksi dan
penelitian terhadap alam semesta, dapat mengetahui Tuhan dan hal-hal gaib lainnya. Melalui
metode intuitif atau eksperensial (dzauq) sebagaimana dikembangkan kaum sufi dan filosof
iluminasionis (isyrāqiyah), hati akan mampu menangkap obyek-obyek spiritual dan metafisik.
Dalam sejarahnya, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam mengalami pasang surut.
Suatu ketika mencapai puncak kejayaan, dan di saat yang lain mengalami kemunduran. Era klasik
(650-1250 M) merupakan masa keemasan Islam yang ditandai dengan tingginya etos keilmuan
serta pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang kehidupan. Setelah itu,
perkembangan ilmu di kalangan umat Islam menjadi redup dan ganti Barat yang berada dalam
garda depan dalam pengembangan ilmu.
2.2 Pondasi Keilmuan Barat
Konsep Ilmu pengetahuan di Barat yakni ilmu hanya akan bisa diusahakan melalui akal
dan panca indra semata. Selagi manusia mau berusaha menggunakan akalnya, maka mereka akan
mendapatkan ilmu. Namun, ketika mereka berhenti menggunakan akalnya, maka disitulah
manusia dianggap tiada.
Menurut epistemologi Barat, mereka tidak mengakui adanya alam metafisik.. Bagi mereka
objek ilmu itu hanyalah apa yang bisa diindra dan apa yang bisa dipikirkan oleh akal manusia.
Oleh karenanya, jika sesuatu berhubungan dengan alam metafisik, maka itu bukan bagian dari
ilmu, mereka menafikan wahyu dan intuisi sebagai sumber ilmu. Baginya sumber ilmu itu hanya
ada dua macam, yaitu akal dan pengalaman manusia.
Sains Barat modern yang sampai saat ini didominasi oleh paham positivisme tentu saja
tidak sepi dari kritik, baik dari ilmuwan Barat sendiri maupun dari ilmuwan Islam. Beberapa
ilmuwan yang mengkritik di antaranya adalah Karl Popper, Thomas Kuhn, Madzab Frankfurt, Paul
Feyerabend, dan Rorty. Pada dasarnya kritikan tersebut merupakan respon terhadap ciri-ciri
positivisme di atas.

Paling tidak kritik terhadap positivisme ada empat.


• Pertama, fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori. Fakta selalu dipahami dalam
kerangka teoritis tertentu.
• Kedua, falibilitas teori. Tidak satu teori pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan
bukti-bukti empirik, kemungkinan munculnya fakta anomali selalu ada.
• Ketiga, fakta tidak bebas, melainkan sarat-nilai.
• Keempat, interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukan reportase
objektif, melainkan hasil interaksi manusia dan alam semesta yang sarat persoalan dan
senantiasa berubah.

Soal fenomenalisme di mana pengetahuan yang absah hanya pada fenomena alam yang
tampak saja, berarti metafisika yang merupakan alam di balik fenomena ditolak oleh sains Barat.
Inilah problem besar bagi sains karena dalam Islam, juga agama-agama, aspek metafisika justru
menjadi faktor utama karena Tuhan adalah sosok dzat yang tidak tampak langsung secara indrawi.
Sains Barat “menyingkirkan” Tuhan sedikit demi sedikit karena saat itu para wakil Tuhan di muka
bumi (gereja) banyak melakukan penyelewengan, termasuk inkuisisi yang menghantui masyarakat
Barat. Ilmuwan Barat seakan-akan ingin menyingkirkan sumber masalah selama ini yang
menyengsarakan dan mengakibatkan anarkisme, baik dari kalangan gereja maupun penentangnya.
Ilmu pengetahuan dalam konsep Barat, ilmu itu tidak bermuara kepada Tuhan. Karena
mereka tidak mengakui adanya wahyu sebagai sumber ilmu, maka ilmu yang mereka miliki itu
tidak akan membawanya kepada kebenaran.

2.3 Titik Persamaan dan Perbedaan Antara Ilmu Pengethauan Barat dan Islam

Bahwa ada persamaan penting antara Barat dan Islam tidaklah dapat disangkal. Hal ini
misalnya dalam hal sumber dan metode pengetahuan; yang meliputi cara mengetahui rasional-
empiris; gabungan antara realisme, idealism, dan pragmatisme sebagai dasar kognitif filsafat ilmu;
dan filsafat dan sains tentang proses. Tapi hal tersebut hanya terkait dengan aspek aspek tertentu
saja, di karenkan ilmu sains yang ada di barat lebih mengandalkan fisik sebagai acuan sedangkan
ilmu sains yang ada di Islam memiliki pandangan yang berbeda seperti mempercayai metafisik
Keimanan muslim terhadap Wahyu sebagai sumber pengetahuan tentang realitas akhir dan
kebenaran tentang makhluk dan Sang Pencipta memungkinkan pembentukan kerangka metafisik
untuk pengelaborasian filsafat ilmu integral yang menjelaskan realitas dan kebenaran yang tidak
memungkinkan keterlibatan metode-metode rasionalisme filosofis dan empirisisme filosofis
darifilsafat dan sains modern.
Berlawanan dengan pandangan filsafat dan sains modern, dalam Islam, ilmu berasal dari
Tuhan dan diperoleh melalui indera yang sehat, berita yang benar (khabar shadiq) berdasar
otoritas, akal sehat, dan intuisi. Indera yang sehat merujuk pada persepsi dan observasi, yang, hal
ini, mencakup panca indera luar dan panca indera dalam. Akal sehat yang dimaksud disini tidaklah
terbatas pada elemen-elemen sensibel saja; atau fakultas mental yang mensistematisasi dan
menafsirkan fakta dari pengalaman inderawi menurut susunan logis; atau fakultas yang memahami
data dari pengalaman inderawi; atau yang mengabstraksi fakta dan data inderawi serta
hubungannya; dan yang mengatur itu semua menjadi sesuatu yang bisa dipahami. Akal sehat
adalah semua hal diatas yang berfungsi secara harmonis dan tidak bertentangan. Akal (intellect)
adalah substansi spiritual yang inheren dengan organ spiritual yang kita sebut hati, yang berfungsi
menerima pengetahuan intuitif.
Dengan demikian akal dan intuisi saling berhubungan. Karena itu, berbeda dengan yang
dipahami dalam peradaban Barat, intuisi bukan sekedar pemahaman langsung, oleh subjek, tentang
dirinya; kesadarannya; ‘diri’ lain selain dirinya; ‘dunia luar’ (external world), yang universal, nilai-
nilai, dan kebenaran rasional. Disamping semua itu, intuisi, juga, adalah pemahaman langsung
tentang kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan, realitas eksistensi-eksistensi
sebagai kebalikan dari esensi; dan karenanya, pada tingkatan yang lebih tinggi intuisi adalah intuisi
tentang eksistensi itu sendiri. Sedangkan berita yang benar (khabar shadiq) terbagi menjadi dua
jenis.

2.4 Keunggulan Pondasi Keilmuaan dalam Islam


Dalam konsep Islam, ilmu pengetahuan tidak dikotomis atau sekuler. Ilmu agama dan
umum selalu terkait. Dan di sini peran wahyu dan akal berjalan beriringan dalam mengembangkan
keilmuan. Metode tersebut yang dalam pandangan Islam dikatakan Ilmiah. Kedua unsur tersebut
sebagai alat untuk mengkaji ilmu.
Wahyu sebagai referensi akal dalam mengembangkan ilmu. Contoh demikian sudah
diperagakan sejak Rasulullah Saw dan puncaknya ketika kegemilangan Peradaban Islam di
Baghdad, Andalusia, Turki Ustmani. Ilmuan muslim yang berkiprah dalam memajukan peradaban
Islam diantaranya yaitu, Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ar-Razi, Al-farabi, Al-
Kindi, Al-Biruni, Ibn ‘Arabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Tufail, Ibnu Khaldun, dan banyak ilmuan Islam
lainnya. Mereka menampilkan wajah Islam yang sangat peduli terhadap Ilmu.
Selain dibidang agama, (tafsir, hadist, fiqh, tasawuf), mereka juga pakar dibidang ilmu
pengetahuan dan sains (sejarah, matematika, fisika, kimia, astronomi, biologi, kedokteran, musik,
arsitektur dan lain sebagainya). Epistimologi keilmuan yang dipraktikkannya tidak kaku. Tak
jarang dari mereka (baca: ilmuan Muslim) juga mengambil teori-teori keilmuan dari luar
Peradaban Islam, seperti dari Yunani dan Romawi. Ini bukanlah hal yang bertentangan. Mereka
mengambilnya tidak secara keseluruhan, hanya bagian-bagian yang penting dan teori di dalamnya
yang memungkinkan tidak bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Kalaupun bertentangan,
mereka melakukan penjaringan koseptual terlebih dahulu untuk kemudian disesuaikan dengan
worldview Islam.
Metode yang terakhir Inilah yang oleh Al-Attas disebut dengan Islamisasi Ilmu. Ilmuan
Barat dan Orientalis mengkaji Islam dengan metode ilmiah yang terilhami dari pandangan hidup
mereka dengan framework berifikir yang sekuler, rasionalis, empiris, anti-otoritas, relativis, dan
sebagainya. Semua itu karena memang seperti itu bangunan metodologi pengkajian ilmu di Barat.
Keilmuan Islam terilhami dari wahyu lalu akal berperan menjabarkannya hingga menjadi
konsep keilmuan yang utuh.. Fenomena ini yang sekarang menjangkiti pada tubuh umat muslim,
terutama cendikiawan Islam. Merasa minder dengan identitas Islam dan bangga dengan unsur
asing yang digunakan dalam seluruh kehidupan. Framework berfikir, metdode pengkajian ilmu,
sikap kritis terhadap Islam, semua itu digunakan tanpa sikap kritis terhadap sesuatu yang
diterimanyaat. maka framework keilmuan Islam harus berlandaskan pada epistimologi Ilmu yang
sesuai prinsip Islam, berdasarkan wahyu sebagi referensi dan akal sebagai alat pengembangan. jika
hal ini diabaikan dan disepelekan dari nilai dan wahyu, ilmu tersebut akan menyimpang dari
kebenaran dan akhirnya seseorang akan terarah pikirannya mengingkari kebenaran Wahyu, Al-
Qur’an dan Tuhan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ilmu agama dan umum selalu terkait. Dan di sini peran wahyu dan akal berjalan beriringan
dalam mengembangkan keilmuan. Metode tersebut yang dalam pandangan Islam dikatakan
Ilmiah. Kedua unsur tersebut sebagai alat untuk mengkaji ilmu. Wahyu sebagai referensi akal
dalam mengembangkan ilmu. Epistemologi menjadi sebuah kajian sejak tiga abad yang lalu dan
berkembang di dunia Barat.

Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu. tersendiri belum populer.
Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara
khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya Syinakht, Muhammad Baqir Shadr dengan
Falsafatuna-nya, Jawad Amuli dengan Nadzariyyah al Ma'rifah-nya dan Ja'far Subhani dengan
Nadzariyyah al Ma'rifah-nya
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Ansiru, Nomor 1 Volume 1” EPISTEMOLOGI ISLAM DAN BARAT” Juni, 2017

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Prolegomena to the Metaphysics of Islam. 2001. Kuala
Lumpur: ISTAC.

Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu. 2005. Jogjakarta: Belukar.

Dr. Budi Harianto, Dudy S, Takdir, “Problematika Sains Barat” November 2021; Media Dakwah

Anda mungkin juga menyukai