Disusun Oleh:
Kelompok 4
Hikma Musiram ( 22123085 )
Vatima Punusingon ( 22123083 )
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam
yang telah mengizinkan kami selaku pemakalah untuk menyelesaikan makalah
Filsafat Pendidikan Islam yang berjudul “Konsep Ilmu Dalam Perspektif Falsafah
Pendidikan Islam”.
Shalawat bertangkaikan salam mari kita sanjungkan ke ruh beliau nabi kita
nabi besar Muhammmad saw. yang mudah-mudahan nantinya kita mendapatkan
syafa’at dari beliau. Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin.
makalah ini kami buat tak lain hanyalah untuk memenuhi persyaratan
mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Mudah-mudahan dengan makalah yang
kami buat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan juga pemakalah sendiri
tentunya.
DAFTAR ISI
Daftar isi
BAB I Pendahuluan……………………………………………………………….
Latar Belakang……………………………………………………………………
Rumusan Masalah………………………………………………………………...
Tujuan……………………………………………………………….....................
BAB II Pembahasan……………………………………………………………...
a. Pengertian Al-‘ilm……………….………………………………………
b. Instrument Ilmu Pengetahuan……………………………………………
c. Sumber-sumber Ilmu Pengetahuan………………………………………
d. Validasi ilmu pengetahuan……………………………………………....
e. Klasivikasi pembandingan ilmu pengetahuan…………………………..
f. Integrasi ilmu pengetahuan……………………………………………...
g. Islamisasi ilmu pengetahuan…………………………………………….
h. Karakteristik ilmuan muslim……………………………………………
i. Implikasi terhadap pendidikan islam……………………………………
Kesimpulan……………………………………………………………………...
Saran……………………………………………………………………………
Daftar Pustaka…………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan merupakan pedoman bagi manusia untuk dapat
menguasai alam semesta ini. Pertanyaan tentang apa sebenarnya pengetahuan
itu (ontology) tersebar luas di antara kaum metarialis dan idealis. Kaum
meterialis hanya mengetahui ilmu empiris. Sedangkan menurut kaum idealis,
termasuk Islam, ilmu tidak hanya diperoleh dengan akal dan indera yang
bersifat empiris, tetapi ada ilmu yang bersifat immateri yaitu ilmu yang datang
dari allah sebagai Khaliq (pencipta) ilmu tersebut. Al-Qur’an selain memuat
petunjuk dan tuntunan ubudiyah dan akhlaqiyah (akhlak), juga memuat
petunjuk-petunjuk yang dapat dijadikan pedoman oleh manusia untuk
mengolah dan menyelidiki alam semesta. Namun manusia sering kali tidak
mengetahui apa maksud dan tujuan ilmu pengetahuan. Kini tulisan ini akan
memaparkan bagaimana konsep-konsep ilmu dari sudut pandang filsafat
Pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Instrumen meraih ilmu pengetahuan?
2. Validasi ilmu pengetahuan?
3. Sumber-sumber Ilmu Pengetahuan?
4. Bagaimanakah klasifikasi/pembidangan ilmu pengetahuan?
5. Bagaimana Integrasi Ilmu Pengetahuan?
6. Seperti apakah Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
7. Bagaimana karakteristik ilmuan muslim?
8. Bagaimanakah implikasi terhadap Pendidikan islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui istrumen meraih ilmu pengetahuan
2. Untuk mengetahui validasi ilmu pengetahuan
3. Untuk mengetahui sumber-sumber ilmu pengetahuan
4. Untuk mengetahui cara klasifikasi/pembidangan ilmu pengetahuan
5. Untuk mengetahui integrasi ilmu pengetahuan
6. Untuk mengetahui cara islamisasi ilmu pengetahuan
7. Untuk mengetahui karakteristik ilmuan muslim
8. Untuk mengetahui cara implikasi terhadap Pendidikan islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
AL-‘ILM
Secara linguistik, kata ilmu berasal dari akar kata 'ain - lam - mim
yang diambil dari kata 'alllamah, yang berarti tanda, penunjuk, atau
petunjuk yang dengannya sesuatu atau petunjuk yang dengannya diketahui
sesuatu atau seseorang; kognisi atau label; ciri ciri; indikasi; tanda-tanda.
Oleh karena itu, menurut Lane sebagaimana dikutip Wan Daud, ma'lam
(jamak ma'allim) berarti 'rambu-rambu jalan' atau 'sesuatu yang dengannya
seseorang menuntun dirinya sendiri atau sesuatu yang menuntun
seseorang'. Karena itu, 'alam juga bisa diartikan sebagai 'penuntun'.
Kata al-‘ilm berasal dari bahasa Arab, bentuk definitif (masdar)
dari kata ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan (timbangan) fa’ila,
yaf’alu, fi’lan, yang berarti “pengetahuan”.
Dalam Al-Qur'an kata 'Ilm dan turunannya disebutkan kurang lebih
800 kali. Al-Qardhawi dalam penelitiannya terhadap kitab Al-Mu’jam al-
Mufahras Li al-Faszh al-Qur’an al-Karim menjelaskan bahwa kata ‘Ilm
muncul sebanyak 80 kali, sedangkan kata-kata yang berkaitan dengannya
seperti kata ‘alllama (ajaran) ya 'lamu (mereka tahu) 'alim (tahu) dan
seterusnya, disebutkan ratusan kali.
1
1
Asma Hasan Fahmi. SEJARAH dan PENDIDIKAN ISLAM. Jakarta; Bulan Bintang h. 106
Selain itu, istilah ilmu atau science adalah kata yang memiliki arti
jamak sebagai berikut:
2
Al-Rasyidin. 2008. Falsafah Pendidikan Islam. Medan; Cita Pustaka, h. 43
3
3
Sahkholid Nasution (ed). 2012. Filsat Pendidikan Islam. Bandung: Cita Pustaka
Medi Perintis, h. 78-81
Karena rasio saja sering dianggap sebagai sumber kebenaran, aliran
ini disebut rasionalisme. Pengetahuan tentang indera sering dianggap
menyesatkan. Menurut aliran rasionalis, suatu pengetahuan diperoleh
dengan berpikir. Ada dua jenis rasionalisme, yaitu di bidang agama
dan di bidang filsafat. Dalam bidang agama, rasionalisme merupakan
kebalikan dari otoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritisi
ajaran agama. 4
4
Asmoro Achmadi. 2013. Filsafat Umum. Jakarta; Rajawali Pers, h. 115
karena itu, bagi kaum empiris, jiwa dapat dipahami sebagai gelombang
pengalaman sadar, materi sebagai pola (pattern) yang dapat diindera,
dan relasi kualitas sebagai rangkaian peristiwa yang sama. (Ahmad
Syadali, 2004: 116)
John Locke (1632-1704), salah satu penganut empirisme, yang
juga merupakan “Bapak Empirisme” mengatakan bahwa ketika
manusia lahir, pikirannya masih bersih, seperti batu tulis kosong yang
tidak ada yang tertulis di atasnya (tabula rasa). Pengetahuan baru
muncul ketika indra manusia memperoleh pengalaman dengan melihat
dan mengamati berbagai peristiwa dalam kehidupan. Makalah mulai
menulis berbagai pengalaman indrawi. Semua sisa pengetahuan
diperoleh dengan menggunakan dan membandingkan ide-ide dari
sensasi dan refleksi pertama dan paling sederhana (Juhaya S. Pradja,
1997: 18)
c. Positivisme
Empirisme dan rasionalisme berkembang pesat, melahirkan
positivisme. Aliran ini diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-
1857) yang lahir di Montpellier pada tahun 1798 dari keluarga pegawai
negeri yang beragama Katolik. dalam enam volume. Selain itu,
karyanya yang patut disebut di sini adalah Discour Lesprit Positive
(1844), yang berarti "Conversation on a Positive Spirit".
Kebenaran diperoleh dengan akal, didukung oleh bukti empiris
yang terukur. “Terukur” adalah kontribusi positivisme. Jadi, pada
dasarnya positivisme sama dengan empirisme plus rasionalisme.
Baharuddin menjelaskan bahwa totalitas diri manusia memiliki tiga
aspek dan enam dimensi, yaitu aspek fisik, aspek emosional, dan aspek
spiritual.
Aspek Jismiah adalah seluruh organ fisik-biologis diri
manusia, yang meliputi sistem saraf, kelenjar, sel, dan seluruh
organ dalam dan organ fisik luar manusia.
Aspek Nafsiah, yaitu keseluruhan daya psikis manusia yang
unik berupa pikiran, perasaan, dan kehendak bebas.
Aspek Spiritual Aspek spiritual memiliki dua kekuatan spiritual
sesuai dengan dimensi yang dimilikinya. Dua dimensi tersebut
adalah dimensi al-Ruh dan dimensi al-fitrah.
Intuisionisme Tokoh aliran ini adalah Henri Bergson (1859-
1941). Ia menganggap tidak hanya yang terbatas, akal juga
terbatas, karena objek yang kita persepsikan adalah objek yang
selalu berubah, tidak pernah tetap.
5
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. FILSAFAT UMUM Dari
Mitologi Sampai Teofilosofi. Bandung; Pustaka Setia, h. 247-248
Berpikir merupakan kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang
benar. Apa yang benar untuk satu orang mungkin tidak benar untuk orang
lain. Untuk menentukan keyakinan apa yang benar, filosof mengandalkan
tiga cara untuk menguji kebenaran, yaitu:
a. Teori Korespondensi (Terkait) Tokoh
utamanya adalah Betrand Russell (1872 - 1970). Bagi penganut
teori korespondensi ini, suatu pernyataan dikatakan benar jika
pengetahuan material yang terkandung dalam pernyataan itu sesuai
(berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan itu.
b. Teori Koherensi
Koherensi adalah teori kebenaran yang mendasarkan diri pada
kriteria kebenaran tentang konsisten dalam argumentasi jika terdapat
konsistensi alur berpikir, maka kesimpulan yang ditariknya adalah
benar. Sebaliknya, jika ada argumen yang tidak konsisten, maka
kesimpulan yang ditarik salah.
c. Teori Pragmatis
Teori ini dicetuskan oleh Charles.S.Peirce (1839 – 1914) dalam
makalah yang diterbitkan pada tahun 1878 berjudul "How To Make
Our Ideas Clear". Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria
apakah pernyataan itu fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya,
suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau akibat dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan
manusia.
d. Agama sebagai teori kebenaran
Agama dengan ciri khasnya memberikan jawaban atas semua
pertanyaan mendasar yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam,
manusia, maupun Tuhan. Dalam agama yang dikemukakan adalah
wahyu yang berasal dari Tuhan.
6
6
Sahkholid Nasution (ed), op.cit., h. 82
Seorang filsuf Islam, Ibnu Khaldun mengklasifikasikan sains. Antara lain:
1. Ilmu-ilmu syar'iyyah
2. Ilmu-ilmu Filsuf
Tujuan dasar klasifikasi Ibnu Khaldun atas ilmu-ilmu di atas adalah
untuk melindungi rasionalisme idealistik Islam dari munculnya
irasionalitas dan ketidakjelasan agama palsu. Dia mencoba membela
agama dari kesalahan yang dibuat oleh para filsuf.
Langgulung menegaskan bahwa munculnya klasifikasi ilmu secara
filosofis merupakan upaya sekelompok ahli ilmu pengetahuan untuk
menggabungkan berbagai cabang ilmu ke dalam kelompok-kelompok
tertentu agar mudah dipahami. Otak manusia selalu mencari sesuatu yang
mudah dicerna, mudah diingat, mudah dibayangkan, sehingga
menggabungkan berbagai fenomena menjadi kelompok yang lebih
sederhana, semakin sedikit jumlah kelompoknya, semakin baik, karena
lebih mudah dicerna oleh otak manusia.
Secara umum, ilmu pengetahuan dapat dikategorikan menjadi empatbagian:
a. Ilmu pengetahuan alam (Natural Science)
terdiri dari biologi, fisika, kimia dan matematika.
b. Ilmu dasar atau ilmu murni (pure science)
lebih banyak pada ilmu terapan seperti kedokteran, pertanian, ilmu
kelautan, ilmu pertambangan, ilmu teknik, informatika, dan lain-lain.
c. Ilmu sosial
Terdiri dari sosiologi, psikologi, sejarah, dan antropologi.
d. Ilmu dasar atau murni dalam bidang sosial
Ekonomi, pendidikan, hukum, ilmu politik, administrasi, komunikasi,
dan sebagainya.
e. Ilmu Humaniora
Terdiri dari filsafat, bahasa dan sastra, serta seni.
7
7
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Op.cit. h. 265-266
Perintah pertama Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu
perintah iqro' atau membaca. Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim
harus mampu membaca perintah-perintah Allah di dalam Al-Qur'an
sebagai kitab suci dan di alam semesta sebagai kitab agung ciptaan-Nya.
Karena itu, peradaban Islam merupakan peradaban pertama yang
mengintegrasikan empirisme dalam kehidupan ilmiah dan keagamaan
secara terpadu.
Upaya mengintegrasikan sains dan agama selama ini dirasakan
sebagai hal yang sulit dilakukan. Pengetahuan yang hakiki merupakan
hasil observasi, eksperimentasi dan kerja rasional di satu pihak yang
terpisah dari agama (Islam).
Integrasi ilmu pengetahuan tidak mungkin tercapai hanya dengan
mengumpulkan dua himpunan keilmuan yang mempunyai basis teoritis
yang berbeda (sekuler dan relegius). Sebaliknya integrasi ini harus
diupayakan hingga tingkat epistomologis. Menggabungkan dua himpunan
ilmu yang berbeda, sekuler dan relegius, di sebuah lembaga Pendidikan
seperti yang terjadi selama ini tanpa diikuti oleh konstruksi epistemologis
merupakan upaya yang tidak akan membuahkan sebuah integrasi, tetapi
hanya akan seperti menghimpun dalam ruang yang sama dua entitas yang
berjalan sendiri-sendiri.
Untuk mencapai tingkat integritas epistomologis maka integrasi
harus diusahakan pada beberapa aspek, yaitu : integrasi ontologis, integrasi
klasifikasi ilmu, dan ientegrasi metodologis.
1) Integrasi ontologis adalah mengidentifikasi materi pelajaran yang
akan menjadi objek penelitian terhadap ilmu-ilmu yang dikandungnya.
2) Integrasi klasifikasi ilmu, filosof muslim seperti Al-Farabi
membangun klasifikasi ilmu berdasarkan tiga kelompok ilmu utama, yaitu:
8
8
Ibid, h. 266-267
(a) Metafisika, yang membahas tentang bentuk dan sifat-sifatnya, yang
mengklasifikasikan jenis bentuk dan yang berkaitan dengan bentuk-bentuk
yang bukan obyek.
(b) Matematika, terdiri dari: aritmatika, geometri, astronomi, musik, optik,
ilmu gaya dan alat mekanik. (c) Ilmu-ilmu alam, yang mencakup benda-
benda alam dan aksiden di dalamnya, dibagi menjadi mineralogi, botani,
dan zologi.
3) Integrasi metodologis, metode ilmiah yang dikembangkan oleh
para pemikir muslim berbeda secara signifikan dengan metode ilmiah
yang dikembangkan oleh para pemikir barat yang hanya menggunakan
satu jenis metode ilmiah, yaitu observasi. Sedangkan pemikir muslim
menggunakan tiga macam metode menurut tingkatan atau hirarki
objeknya, yaitu metode observasi (tajribi), metode logis atau demonstratif
(burhaani) dan metode intuitif (irfaani) yang masing-masing bersumber
dari indera. pikiran dan hati.
Perintah pertama Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu
perintah iqro' atau membaca. Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim
harus mampu membaca perintah-perintah Allah di dalam Al-Qur'an
sebagai kitab suci dan di alam semesta sebagai kitab agung ciptaan-Nya.
Karena itu, peradaban Islam merupakan peradaban pertama yang
mengintegrasikan empirisme dalam kehidupan ilmiah dan keagamaan
secara terpadu.
Upaya mengintegrasikan sains dan agama selama ini dirasakan
sebagai hal yang sulit dilakukan. Pengetahuan yang hakiki merupakan
hasil observasi, eksperimentasi dan kerja rasional di satu pihak yang
terpisah dari agama (Islam).
Integrasi ilmu pengetahuan tidak mungkin tercapai hanya dengan
mengumpulkan dua himpunan keilmuan yang mempunyai basis teoritis
yang berbeda (sekuler dan relegius).
9
9
Sahkholid Nasution (ed), op.cit. h. 91-93
Sebaliknya integrasi ini harus diupayakan hingga tingkat epistomologis.
Menggabungkan dua himpunan ilmu yang berbeda, sekuler dan relegius,
di sebuah lembaga Pendidikan seperti yang terjadi selama ini tanpa diikuti
oleh konstruksi epistemologis merupakan upaya yang tidak akan
membuahkan sebuah integrasi, tetapi hanya akan seperti menghimpun
dalam ruang yang sama dua entitas yang berjalan sendiri-sendiri.
Untuk mencapai tingkat integritas epistomologis maka integrasi
harus diusahakan pada beberapa aspek, yaitu : integrasi ontologis, integrasi
klasifikasi ilmu, dan ientegrasi metodologis.
1) Integrasi ontologis adalah mengidentifikasi materi pelajaran yang akan
menjadi objek penelitian terhadap ilmu-ilmu yang dikandungnya.
2) Integrasi klasifikasi ilmu, filosof muslim seperti Al-Farabi membangun
klasifikasi ilmu berdasarkan tiga kelompok ilmu utama, yaitu: (a)
Metafisika, yang membahas tentang bentuk dan sifat-sifatnya, yang
mengklasifikasikan jenis bentuk dan yang berkaitan dengan bentuk-bentuk
yang bukan obyek. (b) Matematika, terdiri dari: aritmatika, geometri,
astronomi, musik, optik, ilmu gaya dan alat mekanik. (c) Ilmu-ilmu alam,
yang mencakup benda-benda alam dan aksiden di dalamnya, dibagi
menjadi mineralogi, botani, dan zologi.
3) Integrasi metodologis, metode ilmiah yang dikembangkan oleh para
pemikir muslim berbeda secara signifikan dengan metode ilmiah yang
dikembangkan oleh para pemikir barat yang hanya menggunakan satu
jenis metode ilmiah, yaitu observasi. Sedangkan pemikir muslim
menggunakan tiga macam metode menurut tingkatan atau hirarki
objeknya, yaitu metode observasi (tajribi), metode logis atau demonstratif
(burhaani) dan metode intuitif (irfaani) yang masing-masing bersumber
dari indera. pikiran dan hati.
G. ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Islamisasi ilmu berusaha agar umat Islam tidak meniru cara-cara
luar dengan mengembalikan ilmu pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari tauhid
akan muncul tiga macam tauhid, yaitu tauhid ilmu yang artinya ilmu harus
bermuara pada satu kebenaran. Kesatuan hidup berarti menghapus
perbedaan antara pengetahuan sarat nilai dan pengetahuan bebas nilai.
Kesatuan sejarah, artinya pengetahuan harus melayani rakyat dan
kemanusiaan. Selama umat Islam tidak memiliki metodologi sendiri, maka
umat Islam akan selalu berada dalam bahaya. Islamisasi ilmu berarti
mengembalikan ilmu kepada tauhid atau konteks teks, yaitu agar ada
koherensi (melekat), ilmu tidak dapat dipisahkan dari iman.
Umat Islam harus melihat realitas melalui Islam dan humaniora
dalam Al-Qur'an. Pertama, dilakukan dengan artikel “Demystification of
Islam”. Di dalamnya disebutkan tentang perlunya Islam sebagai teks (Al-
Qur'an dan sunnah) untuk dihadapkan pada realitas. Baik realitas sehari-
hari maupun realitas ilmiah. Kedua, mengapa umat Islam harus melihat
realitas melalui Islam? Jawabannya, pertama, menurut ilmu budaya dan
ilmu sosiologi pengetahuan, bahwa realitas tidak dilihat langsung oleh
manusia, melainkan melalui tabir (kata, konsep, simbol, budaya dan
persetujuan masyarakat). Kedua, karena ilmu sekuler tidak semuanya
objektif. Misalnya, banyak umat Islam yang meragukan bahwa Islam
adalah sebuah sistem, karena mereka belajar dari ilmu sekuler barat yang
mengajarkan bahwa agama terbatas pada urusan universal. “Paradigma Al-
Qur’an untuk perumusan teori adalah mengubah dalil-dalil normatif agama
(Al-Qur’an dan As-Sunnah) menjadi teori ilmu pengetahuan. Sebagaimana
diketahui, pengetahuan diperoleh melalui konstruksi pengalaman sehari-
hari secara terorganisasi. dan sistematis.Oleh karena itu norma-norma
agama sebagai pengalaman manusia juga dapat dikonstruksikan sebagai
pengetahuan.Ketiga, tanpa mengetahui keberadaan faktor manusia,
konstruksi pengalaman manusia menjadi ilmu yang tidak
lengkap.Misalnya ilmu ekonomi hanya akan mengenal hukum besi dan
suplai dan tuntutan. Psikologi hanya akan mengenal behaviorisme dan
melalui umpan preudenisme.
10
10
Ibid. h. 96
Ibid. h. 98-99
Ibid. h. 100
Pengalaman religius James, psikologi Neo Freudian, Humanitis Maslow,
dan logoterapi Frankl. Oleh karena itu kutipan singkat "Humanities in the
Qur'an" ingin menekankan bahwa tidak hanya ada dua ilmu, yaitu Qauiyah
dan Andaniyah.Tetapi tiga yaitu: Qauliyah, andaniyah, dan nafsiyah.Tanpa
humaniora, ilmu tidak akan menyentuh seni, filsafat, sejarah, anth
ropology, ilmu politik dan sebagainya. Islamisasi diharapkan menjadi
gerakan intelektual yang terhormat, diapresiasi sebagai paradigma baru
dalam jajaran ilmu pengetahuan.
Rumusan ini pada dasarnya merupakan respon terhadap krisis yang
dihadapi ummat. Kemudian dicari sumber krisisnya yaitu di knowledge
base. Islamisasi sains pada dasarnya adalah upaya untuk membebaskan
pengetahuan dari asumsi Barat tentang realitas dan kemudian
menggantikannya dengan pandangan dunianya sendiri.
H. KARAKTERISTIK ILMUAN MUSLIM
Seorang ilmuwan muslim harus memiliki ciri-ciri kepribadian yang
sesuai dengan ajaran Islam, yang tercermin dalam sikap dan perilaku
akademiknya. Ibnu Jama'ah dalam hasan asari menempatkan dua belas
poin yang menjadi kepribadian ilmuwan muslim;
1. Ilmuwan selalu dekat dengan Allah, baik saat sendiri maupun bersama
orang lain
2. Ilmuwan harus menjaga ilmu sebagaimana ulama salaf menjaganya
3. Kecenderungan zuhud ilmu dan menghindari kekayaan materi yang
berlebihan.
4. Ilmuwan tidak menggunakannya sebagai alat untuk mencapai tujuan
duniawi seperti kemuliaan, kekayaan, ketenaran atau persaingan
dengan orang lain.
5. Ilmuwan harus menghindari perbuatan tercela atau tidak patut, baik
yang bersifat agama maupun adat
11
11
Muhammad Syukri Albani Nasution. 2013. Filsafat Ilmu. Bandung; Citapustaka
Media, h. 115-116
6. Ilmuwan mengamalkan agama dan syi'ar
7. Ilmuwan harus menjaga amalan sunnah, baik berupa perbuatan
maupun perkataan. Ilmuwan memperlakukan masyarakat dengan
akhlak mulia
8. Ilmuwan membersihkan diri dari akhlak yang buruk.
9. Ilmuwan memperdalam ilmu secara terus menerus.
10. Ilmuwan tidak segan-segan untuk belajar dari mereka yang lebih
rendah derajatnya, keturunannya, dan berumur tahun.
11. Ilmuwan menjadikan tradisi menulis dalam bidang yang ditekuni dan
dikuasainya
I. IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Sains dan pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan karena
perkembangan masyarakat Islam, serta tuntutannya untuk membangun
secara utuh (jasmani-spiritual) sangat ditentukan oleh kualitas dan
kuantitas ilmu yang ditelan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan
tidak hanya menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi juga
yang lebih penting lagi dapat menemukan konsep-konsep baru tentang
ilmu pengetahuan secara utuh, sehingga dapat membangun masyarakat
yang islami sesuai dengan keinginan dan kebutuhan yang diharapkan.
Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, ilmu tidak diarahkan
pada hawa nafsu, subjektivitas, bias, fanatisme, dan sebagainya.
Pendidikan Islam harus diterjemahkan dari sikap arogansi intelektual,
karena bagaimanapun kemampuan intelektual manusia itu terbatas. Ilmu
yang diterapkan dalam pendidikan Islam harus bermanfaat, baik dari aspek
empiris maupun non empiris dalam aspek aqidah dan akhlak. Terakhir,
pendidikan Islam harus mencari dan mengembangkan ilmu secara terus
menerus dimanapun dan kapanpun tanpa mengenal batas dan waktu (open-
eded activity).
12
12
Sahkholid Nasution (ed). Op.cit. h. 101
Ibid. h. 102-103
Ibid. h. 103-104
BAB III
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
[1] Asma Hasan Fahmi. SEJARAH dan PENDIDIKAN ISLAM. Jakarta; Bulan
Bintang, h. 106
[2] Al-Rasyidin. 2008. Falsafah Pendidikan Islam. Medan; Cita Pustaka, h. 43
[3] Sahkholid Nasution (ed). 2012. Filsat Pendidikan Islam. Bandung: Cita
Pustaka Medi Perintis, h. 78-81
[4] Asmoro Achmadi. 2013. Filsafat Umum. Jakarta; Rajawali Pers, h. 115
[5] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. FILSAFAT UMUM Dari
Mitologi Sampai Teofilosofi. Bandung; Pustaka Setia, h. 247-248
[6] Sahkholid Nasution (ed), op.cit., h. 82
[7] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Op.cit. h. 265-
266 [8] Ibid, h. 266-267
[9] Sahkholid Nasution (ed), op.cit. h. 91-93
[10] Ibid. h. 96
[11] Ibid. h. 98-99
[12] Ibid. h. 100
[13] Muhammad Syukri Albani Nasution. 2013. Filsafat Ilmu. Bandung;
Citapustaka Media, h. 115-116
[14] Sahkholid Nasution (ed). Op.cit. h.
101 [15] Ibid. h. 102-103
[16] Ibid. h. 103-104
[17] Ibid. h. 105