Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“KONTRUKSI KEILMUAN ISLAM DAN BARAT”

Dibuat untuk memenuhi tugas kelompok pada matakuliah “Islam Dan Keilmuan”
Dosen Pegampu: Dr.Amirudin,S.Pd.I.,M.Pd

Disusun oleh

Berkat Iman Mendofa (2266610605)

Dedy Iskandar (226610531)

Faza Hariady (226610579)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENJASKESREK
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2023
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga makalah yang berjudul “Kontruksi Ilmu Islam Dan
Barat” dapat tersusun dengan baik dan dapat disajikan dengan baik.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan maupun pengkajiannya masih banyak


kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifat-
sifatnya membangun sangat penulis harapkan, demi untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Demi kelancarannya mengerjakan tugas ini saya ucapkan terima kasih kepada orang tua
saya yang telah memberikan motivasi dan semua teman – teman yang ikut membantu dalam
penyusunan makalah ini.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karunianya kepada kita semua,
dan akhirnya mudah-mudahan makalah ini walaupun sederhana dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Amiin ya robbal ‘alamin.

Pekanbaru. 4 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 3


A.Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Islam.............................................................3
B. Sumber Ilmu Pengetahuan dari Barat................................................................5
C. Analisis Perbandingan Sumber Ilmu Pengetahuan Islam dan Barat..............9

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 12

A. Kesimpulan ................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pengetahuan (knowledge) adalah bagian yang esensial-aksiden manusia, karena
pengetahuan adalah buah dari "berfikir". Berfikir (natiqiyyah) adalah sebagai
differentia (fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya. Kemajuan manusia
dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Begitu urgennya, sehingga
ketika pengetahuan manusia mengalami kemunduran, maka tidak sedikit manusia yang
mencoba mengkritisi, mencari tahu persoalannya kemudian merumuskan solusinya.
Hal ini lah yang tampak dalam perkembangan pemikiran ke-Islaman.
Dalam konteks Islam, sejarah menunjukkan bahwa saat ini dunia Islam memiliki
watak keilmuan yang stagnan atau statis. Para cendekiawan muslim kontemporer berpendapat
bahwa dalam Islam telah ada semacam “indoktrinasi” terhadap khazanah warisan keilmuan
klasik. Mereka antara lain M. Arkoun, menurutnya dalam Islam telah terjadi
pensyakralan pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar addiniyyah)1, hal ini karena wacana Al-
Qur’an yang semula bersifat terbuka, poly-interpretable (multi- interpretation) memberikan
kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas, historis-spiritual, dan elastis, kini berubah
menjadi bersifat tertutup, final, a-historis dan kaku (rigid).
Al-Jabiri yang meneliti secara khusus sistem-sistem pengetahuan yang
dikembangkan dalam Islam, menemukan bahwa ummat Islam selama ini masih
terbelenggu dengan sistem bāyani yang dikontraskan dengan sistem pengetahuan ‘irfani
dan burhāni. Sistem bāyani yang dominan tersebut tidak lain merupakan warisan produk
klasik yang telah berurat dan berakar.2 Ia menyesalkan mengapa umat Islam masih saja terus
mengadopsi secara taken for granted tanpa adanya filterisasi, yang ia inginkan bukanlah
warisan seperti yang dipahami oleh nenek moyang kita dahulu atau seperti yang termaktub
dalam naskah-naskah kuno.
Berangkat dari kesadaran terhadap watak pemikiran Islam yang statis tersebut, maka
tidak aneh jika kemudian muncul pemikir-pemikir muslim liberal dan kritis, mereka antara
lain Fazlur rahman (Pakistan), M. Syahrur (Syiria), Yusuf Qardawi (Qatar), Ali Jumu’ah,
Djamaluddin dan Nasrh Hamid Abu Zayd (Mesir) dan di Indonesia ada Hasby
Ashsiddiqiey, Munawir Sadzali, Ahmad Azhar Basyir dan Nurcholis Madjid, dan lain-lain.
Namun ide pemikiran brillian mereka berupa pemikiran ulang (re- Thingking) atau
pembaharuan (Tajdid) bukannya disambut, melainkan dicemooh dan tak jarang

1
diisolasikan dari percaturan pemikiran Islam, bahkan sampai vonis pada kekafiran berfikir,
hal ini karena corak pemikiran mereka yang dianggap liberal bahkan kafir.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sumber kritisisme atas kegelisahan
intelektual mereka memiliki akar, serta bertumpu, pada Ketika al Jabiri melontarkan ide ini
banyak menuai kritik dari berbagai pihak karena terkesan tendensius dan sangat berbau klise.
Lihat tulisan Muhammad Aunul Abid Shad an Sulaiman Mapiase dalam buku Islam Garda
depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung : Mizan, 2001), hlm 305
permasalahan epistemologi. Permasalahan yang dispesifikasikan dalam term metodologi ini
pada dasarnya memang menjadi poros bagi tumbuhnya wacana-wacana modernitas.
Epistemologi adalah sebuah persoalan yang mendasar dalam setiap bangunan keilmuan, sebab
ia mempertanyakan atau mengkaji secara filosofis tentang asal mula, susunan, metode-
metode, validitas pengetahuan, teori-teori dalam ilmu pengetahuan, dan segala sesuatu
yang turut melandasi atau membentuk pandangan dunia keilmuan.
Dengan demikian setelah para pemikir muslim di atas bergumul dan bersentuhan
dengan wacana filsafat keilmuan, maka wajar jika isu-isu epistemologis telah
melatarbelakangi, melahirkan, ide-ide radikal dan sikap kritis dari mereka yang membawa
pada kesadaran bahwa khazanah keilmuan klasik sudah tidak begitu relevan lagi dengan
kondisi mutakhir.
B.Rumusan Masalah
1.Sebutkan Sumber pengetahuan dalam Islam?
2.Sebutkan sumber ilmu pengetahuan dari Barat?
3.Bagaimana metode dan analisis perbandingan sumber ilmu pengetahuan antara Islam dan
Barat?

C.Tujuan Masalah
1.Agar pembaca mengetahui Sumber pengetahuan dalam Islam.
2.Untuk memperjelas sumber ilmu pengetahuan dari Barat.
3.Untuk mengetahui metode dan analisisperbandingan sumber ilmu pengetahuan
antara Islam dan Barat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Islam.

Epistemologi Islam yang berdiri di atas sumber naqliyyah (wahyu) ini tidak
juga mengabaikan aspek-aspek `aqliyyah yang berasaskan penyuburan akal dan
perkembangan pemikiran manusia. Perbincangan ilmu dalam Islam merupakan suatu acuan
yang sepadu iaitu gabungan antara akidah, syariah dan akhlak yang akhirnya membentuk
tunjangan ilmu yang bersifat saintifik dan kemanusiaan seperti ilmu sains, teknologi, ekonomi
dan yang lainya.
Osman Bakar di dalam Classification of Knowledge in Islam telah merumuskan
pandangan al-Farabi dalam Kitab Ihsa’ al-`Ulum yang menyatakan bahawa ilmu itu
dibahagikan kepada lima bagian. Pertama adalah sains matematik (the mathematical
science) yang terdiri daripada aritmetik, geometri, astronomi dan muzik. Yang kedua adalah
sains fisik (natural science). Seterusnya yang ketiga adalah metafizik (metaphysics) dan
pecahan-pecahannya. Yang keempat ialah sains Politik (political science). Dan yang
kelima adalah tentang sains atau falsafah undang-undang dan sains skolastik (jurisprudence
and dialetical theology).
Ibn Khaldun di dalam bab terakhir Muqaddimah turut menyentuh tentang persoalan
epistemologi yang menjelaskan klasifikasi ilmu. Uraian yang dibuat oleh Ibn Khaldun
dilihat agak mendatar di mana beliau mengkategorikan ilmu yang menjadi tumpuan
manusia itu kepada dua bagian iaitu ilmu naqli dan ilmu `aqli.
Ibn Khaldun membagi ilmu naqli kepada dua bagian iaitu ilmu yang bersumberkan
wahyu dan ilmu yang tidak bersumberkan wahyu. Ilmu yang bersumberkan wahyu terdiri
daripada al-Qur’an dan al-Hadith. Manakala ilmu yang tidak bersumberkan wahyu pula
terdiri daripada ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu hadith, ilmu usul fiqh, ilmu fiqh, ilmu fara’id,
ilmu kalam, ilmu tasawuf dan ilmu tafsir mimpi.
Sementara itu, klasifikasi ilmu pada pandangan al-Ghazali dilihat agak
kompleks, di mana beliau mengkasifikasikan ilmu berdasarkan kepada kelompok; klasifikasi
berdasarkan kepada tahap kewajiban sumber ilmu dan klasifikasi berdasarkan fungsi sosial.
Hal ini banyak dibincangkan oleh al- Ghazali dalam kitab beliau Ihya’ `Ulum al-Din dan
al-Risalah al- Ladunniyah.

3
Sedangkan Naquib Al-Attas mengatakan bahwa sumber ilmu pertama adalah
datangnya dari Allah (The Islamic view of nature has its roots in the Quran, the very word of
God and the basis of Islam) sebagai karunia-Nya yang diberikan kepada manusia. Ilmu
tersebut, hanya dapat diterima oleh insan dengan daya usaha kerja amal ibadah serta
kesucian hidupnya. Yakni dengan keihsananya dan hikmah sejati ibadah kepada tuhannya yang
hak itu dengan ridhanya dan yang mungkin dapat menerimanya tergantung kepada kehendak
dan karunia Allah juga.
Apa yang dikemukakan oleh Naquib sesuai dengan kesepakatan dikalangan muslim
yang telah memiliki landasan teologis, bahwa surah al- ‘Alaq ayat 1-5, diterima sebagai
landasan bahwa Allah swt adalah sumber segala ilmu. Mereka meyakini asal ilmu itu adalah
Allah swt sendiri, pencipta alam semesta yang diperuntukkan bagi hamba-Nya. Selain
itu sumber pengetahuan yang lainya berasal dari Intuisi, akal, wahyu, ilham, pengalaman dll.
Sedangkan ilmuan adalah peramu butiran-butiran ilmu dalam tataran sistemik
yang disebut manusia dalam nama-nama yang disepakati bersama demi kemudahan
menggalinya.Sumber epistemologi Islam kedua adalah Al-Qur’an. Al-Qur'an merupakan
sumber ajaran Islam, yang disamping berfungsi sebagai hudan (petunjuk) juga sebagai furqan
(pembeda). Sehingga ia menjadi tolak ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan.
Termasuk dalam penerimaan dan penolakan apa yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad
saw.
Ringkasnya, al-Qur’an menjadi petunjuk dan konsultasi bagi ilmu pengetahuan Islam
yang memiliki kedudukan tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding sumber-sumber
pengetahuan yang lain.Sumber epistemologi Islam ketiga adalah sunnah. Dalam
mengomentari sunah ini Fazlur Rahman mengatakan: Sunnah menurut para ulama
dipandang dari segi keberadaannya wajib diamalkan. Ia berada pada posisi setelah al-
Qur’an dilihat dari kekuatannya, karena al-Qur’an berkualitas qath’iy baik secara global
maupun rinci. Di samping itu, al-Qur’an merupakan pokok, sedangkan sunnah merupakan
cabang, karena posisinya menjelaskan dan menguraikan. Dari kenyataan ini, maka jumhur
ulama menyatakan bahwa sunnah menempati urutan kedua setelah al-Qur’an.
Jika sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua jenis kitab yaitu wahyu Al-
Qur’an sebagai kitab tertulis, dan alasan bahwa semesta adalah kitab yang tidak tertulis,
maka pada keduanya terdapat ayat yang perlu dipahami dengan metodologi masing-
masing. Al-Attas memperkenalkan suatu analogi metodologis antara bahasa wahyu dan bahasa
penciptaan dengan ilmu alat yang disebut ta’wil dan tafsir.
4
Menilik kembali sumber sumber filsafat di dalam pengetahuan islam, tokoh berserta
pemikiranya memiliki andil besar dalam perkembangan Filsafat Islam. Due to this they
defined philosophy
Al-Syaibani mengatakan, bahwa pengalaman langsung, perhatian dan pengamatan
indera adalah sebagian dari sumber ilmu pengetahuan, banyak lagi sumber lain yaitu
renungan pikiran dan pemikiran akal, bacaan dan tela’ah terhadap pengalaman.
Pengalaman orang-orang terdahulu, perasaan, rasa hati, akal serta bimbingan Illahi. Namun
sumber-sumber tersebut meskipun beragam bentuk jenisnya dapat dikembalikan kepada lima
sumber utama yakni indera, akal, intuisi, ilham dan wahyu Illahi.
Keberadaan sumber pengetahuan empirik ini diakui oleh Ibn Taimiyyah yang
membagi ilmu pengetahuan kepada dua bagian, yakni pengetahuan tentang segala yang ada
(al-ilmu bi al-ka’inat) dan pengetahuan tentang agama (al-ilmu bi al-din). Ia mengatakan
bahwa dengan menggunakan metode tajribiyyah (empirisme) pengetahuan tentang al-
ilmu bi al-ka’inat dapat diperoleh. Menurutnya, tidak ada jalan untuk mengetahui kebenaran,
kecuali dengan metode ini. Selanjutnya ia mengatakan jika silogisme dipisahkan dengan
tajribiyyah maka tidak akan membawa kepada kesimpulan atau atau pengetahuan yang benar.
Dengan tajribiyyah ini lah sebuah kebenaran paertikular dapat diketahui.

B.Sumber Ilmu Pengetahuan dari Barat

Dalam sejarahnya, perkembangan ilmu pengetahuan dibagi dalam tiga babak


(periodesasi). Pertama, sebelum 15.00 tahun SM (Sebelum Masehi) dengan ciri utama
manusia belajar dari alam sekitarnya. Manusia mnemukan cara-cara untuk tetap bertahan
dengan cara mempelajari alam.
Dengan cara seperti itu, manusia mampu “menundukan” alam melalui daya nalarnya
yang pada saat itu masih dapat dikatakan terbatas. Sekitar 15.000 – 600 tahun SM, perioode
awal, peradaban manusia telah mulai mengenal membaca, menulis dan berhitung. Dalam kurun
waktu yang relatif panjang sejarah peradaban telah banyak melahirkan para filosof terkenal
seperti Sócrates, Aristóteles, Plato, Thales, Archimedes, Aristachus, dan lain-lain. Pada
masa ini telah dikenal apa yang disebut dengan logika deduktif dan silogismo.

5
Kedua, periode atau abad pertengahan diwarnai oleh para pemikir Arab-Islam yang
membawa corak pemikiran berbasis agama dan moral. Pada abad ini lahir para pemikir seperti
Al-Kindi (Filosof Islam Pertama), Al Khawarijmi (Aljabar), Al Idris (Astronomi), Ibnu Sina
atau Avisena, Ibnu Rusdi atau Averus, Umar Kayam, dan lain-lain.
Ketiga, abad modern. Pada abad ini ilmu pengetahuan berkembang pesat sebagai
hasil interaksi berbagai ilmu pengetahuan yang disebut dengan proses sistesa. Abad modern
pun ditandai oleh paradigma positivisme yang digagas oleh August Comte melalui Sosiologi
Positif. Comte ingin menegaskan, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan hanya akan
berkembang cepat apabila manusia melepaskan cara berpikir yang metafisi.
Menurut Jujun S.Suria sumantri pengetahuan tentang ilmu seyogyanya
mencakup pengetahuan tentang apa yang dikaji ilmu, bagaimana cara ilmu melakukan
pengkajian, dan menyusun tubuh pengetahuannya, serta untuk apa pengetahuan ilmiah yang
telah disusun itu dipergunakan. Ketiga hal tersebut dalam terminologi kefilsafatan dikenal
dengan istilah ontologi (apa), epistemologi (bagaimana), dan axiologi (untuk apa).Dalam
operasionalisasinya persoalan filsafat ilmu tesebut pun masih memerlukan”bantuan”
ilmu lain, seperti bahasa, logika, matematika, dan statistika.
Dalam epistemologi Barat, bagaimana cara memperoleh pengetahuan dikenal dengan
tiga paham: Pertama, pendekatan rasionalisme. Suatu paham bahwa pengetahuan terjadi karena
bahan pemberian panca indera dan batin yang diolah oleh “akal”. Akal memegang peranan
penting dalam, mengolah informasi dari eksternal sehingga melahirkan pengetahuan.
Rasionalisme ini terbagi ke dalam dua aliran, yaitu rasionalisme idealis dan
rasionalisme realis. Rasionalisme idealis berpegang teguh kepada keyakinan bahwa
pengetahuan kita dapat melampaui pengalaman panca indera sejati. Sedangkan
rasionalisme realis berpendapat bahwa pengolahan pengetahuan oleh rasio tidak terlepas
dari obyek yang diamatinya “Rasio mengolah pengalaman sambil meresap ke dalam obyek,
sedangkan obyek itu sendiri bukan hasil ciptaan sukma manusia”.
Melalui rasio, ilmuwan dapat melakukan tiga hal penting yang menjadi basis
pengembangan pengetahuan, yaitu (1) definisis, (2) komparasi, dan (3) kausalitas. Definisi
melakukan proses pembatasan tentang sesuatu yang disebut ”A” atau ”B”. Komparasi
melakukan proses perbandingan antara ”A” dan ”B”. Kausalitas dapat menjelaskan mana
yang menjadi ”sebab” dan mana yang menjadi ”akibat”.

6
Bebarapa tokoh penting yang berada dibalik paham rasionalisme ini misalnya,
Augustinus, Scotus, Descrates (1596-1650), Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716),
Fichte (1762-1814), Hegel (1770-1813), dan lain-lain.
Meskipun gegap gempita rasionalisme telah mampu menyedot perhatian ilmuwan
seantero dunia, di sisi lain banyak pula yang mengkritik atau membantahnya. Bantahan
terhadap rasionalisme misalnya: (1) rasionalisme bersifat spekulatif, terlalu mengandalkan
olahan rasio dan lalai dalam pengujian yang dihubungkan dengan dunia nyata. (2) rasionalisme
cenderung a-priori, dalam arti masalah psikologis yang merupakan pembawaan
individual (tanggapan-tanggapan pembawaan) akan berbeda pada diri setiap orang.
Kedua, empirisme, yaitu Suatu paham yang berpendapat bahwa pengetahuan yang
diperoleh terbatas hanya pada pengalaman. Dalam perkembangannya empirisme ini terbagi
dua, yaitu empirisme sensualisme dan empirisme konsiensialisme. Empirisme
sensualisme yaitu proses perolehan pengetahuan yang hanya bertumpu pada pengalaman
pancaindera semata-mata. Sensualisme ini memiliki keterbatasan, bahwa kebenaran
pancaindera bersifat semu. Sedangkan empirisme konsiensialisme mengemukakan bahwa
Keputusan yang diambil dari pengalaman panca indera berdasarkan pertimbangan penuh
kesadaran, dalam arti pertimbangan yang matang. Beberapa tokoh yang menjadi “dewa”
dalam paham empirismo ini misalnya John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), David
Hume (1711-1776), termasuk “kaum positivis” seperti August Comte (1798-1857).
Paham empiris ini pun tida lupus dari sasaran kritik dan bantahan. Di antara bantahan yang
tajam misalnya dapat dilihat pada: (1) Kebenaran yang dilahirkan apakah hasil pengamatan
nyata atau keputusan si pengamat sendiri ? dan (2) Pengamatan hanya menghasilkan
kenyataan yang memerlukan keputusan, sedangkan situasi psikis si pengamat akan akan
berpengaruh terhadap keputusan yang diambil. Dengan demikian bisa terjadi sikap “a priori”
sehingga keputusan antara seorang pengamat bisa berbeda dengan pengamat lainnya
Ketiga, paham dualisme. Paham ini berusaha menggabungkan atau mendamaikan
kedua kutub paham yang bersebrangan secara diameteral. Paham ini berpendapat bahwa
pengetahuan sejatinya dihasilkan oleh kedua instasnsi, yaitu rasio dan pengalaman inderawi.
Rasio dan pengalaman memiliki masing-masing keterbatasan yang tak terhindarkan, oleh
karena itu suatu proses yang mengkompromikan antara rasio dan pengalaman menjadi jalan
tengah yang paling ideal. Rasio atau akal tidak dapat menyerap pengetahuan secara utuh tanpa
pengalaman inderawi, sedangkan pengalaman inderawi saja tidak bisa menghasilkan
pengetahuan tanpa diolah secara kreatif oleh rasio (otak).
7
Perbedaan paradigma pengetahuan mangakibatkan orientasi keilmuan yang berbeda, juga
akan menghasilkan produk pemikiran dan teknologi yang berbeda pula. Ilmu pengetahuan yang
bersumber dari sesuatu yang material hanya memperoleh sebatas dimensi material. Analisa
beberapa agamawan mengatakan keilmuan Barat yang positivistic-materialistik itu kering-
bebas nilai (value free).
Persoalan kemanusiaan tidak bisa hanya didekati dengan kajian yang materilistik
semata karena manusia memilik dua sisi, pertama adalah sisi material yang terjelma dalam
komposisi organ tubuhnya dan kedua adalah sisi spiritual atau nonmaterial yang
merupakan wilayah aktivitas pemikiran dan mental. Manakala satu sisi terabaikan maka
terjadi ketidakseimbangan. Bila sisi material-empiris mendominasi maka ada sisi yang
“terkosongkan”. Konon, modernisasi sebagai akibat dari positivisme yang materialistik telah
mendominasi pemikiran dunia. Sehingga muncul persoalan-persoalan baru yang berkaitan
dengan dimensi “immaterial”. Disamping itu muncul juga persoalan yang berdampak pada
lingkungan, sosiologis, psikologis dan sistem nilai.
Tokoh-tokoh Sumber Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat adalah yang pertama,
Tokoh Rasionalisme diantaranya yakni Sokrates, Plato,Aristoteles, dan Rene Descartes. Dalam
hal ini yang akan penulis uraikan pernyataannya Aristoteles dan Rene Descartes. Aristoteles,
mengungkapkan bahwa rasio dapat menangkap segala sesuatu yang ada. Objek rasio bersifat
sama sekali umum. Oleh karenanya rasio dapat “menjadi” segala sesuatu. Rene Deskartes,
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun oleh satu
orang, sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang umum. Yang harus
dipandang sebagai hal yang benar dan yang jelas. Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah
ilmu pasti yang dapat dijadikan model secara dinamis.
Yang kedua, Tokoh Empirisme, saya cantumkan Thomas Hobes dan John Locke.
Thomas Hobbes, baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-
akibat, atau dengan merasionalisasikan sebab- akibat. John Locke, menurut dia, segala
pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal tidak melahirkan
pengetahuan dari dirinya sendiri,. Semula akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa
tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan
antara pengalaman dengan pengetahuan akal. Satu-satunya sasaran atau objek pengetahuan
adalah gagasan-gagasan atau ide-ide, yang timbulnya karena pengalaman lahiriah (sensation)
dank arena pengalaman batiniah (reflection).

8
Kelebihan Ilmu Pengetahuan Barat dapat disimpulkan menjadi dua yaitu
rasionalis dan empiris. secara Rasional maksudnya adalah mampu menyusun system
kefilsafatan yang berasal dari manusia. Umpamanya logika, yang sudah ada sejak zaman
Aristoteles, kemudian matematika dan kebenaran rasio diuji dengan verifikasi dan konsistensi
logis. Kelebihan rasionalisme adalah dalam hal nalar dalam menjelaskan penalaran yang
rumit, kemudian rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan akal budi sebagai
karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia.
Kelebihan Empirisme, menurut saya (penulis) dapat membuka cakrawala
manusia dalam berpikir dan dapat mewujudkan kehidupan manusia kepada kesejahteraan
dan kemandirian serta kedewasaan dalam menghadapai problema hidup. Karena dengan
cara berpikir empirislah maka manusia dapat mengetahui asal usul dan sebab akibat yang
terjadi dalam kehidupan di dunia ini.

C.Analisis Perbandingan Sumber Ilmu Pengetahuan Islam dan Barat


Klasifikasi ilmu menurut perspektif Islam amat berbeda jika dibandingkan dengan
klasifikasi ilmu oleh pihak Barat, di mana klasifikasi ilmu Islam, pembagian ilmunya disusun
berdasarkan keutamaan dan kepentingan ilmu yang didasari kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Ini dilihat berbeda dengan klasifikasi ilmu Barat di mana ilmu dibagi berdasarkan hierarki
yang hanya melihat kepada perspektif dunia semata-mata. Berdasarkan kepada perspektif
ini, umat Islam dinilai lebih komprehensif dan teratur dalam mengklasifikasi ilmu yakni
menggabungkan antara ilmu wahyu dan ilmu akal.
Menurut Naquib al-Attas hanya dengan hidayah (petunjuk) Allah_lah sebuah
kebenaran bisa diperoleh oleh manusia, bukan dari keraguan. Pendapat Naquib ini
sekaligus sebagai kritiknya terhadap epistemologi Barat dengan ciri skeptis atau keragu-raguan
(kesangsian). Aliran skeptisisme (irtiyabiyah) ini untuk pertama kalinya di dunia Barat
diperkenalkan oleh Rene Descartes (1456-1658), dia mendapat gelar “bapak filsafat
modern”. Bagi Descartes, filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui melalui metode
dengan menyangsikan segala-galanya. Dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang
dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan
juga, kecuali ilmu pasti.
Pengetahuan Barat menurut Naquib seolah-olah benar, namun pada dasarnya hanya
menghasilkan kebingungan dan skeptisisme Mengangkat keragu-raguan dan meraba-
raba ke derajat ilmiah dalam hal metodologi dan memandang keraguan sebagai suatu
9
unsur epistemologis yang istimewa dalam mengejar kebenaran. Keraguan ditinggikan
posisinya menjadi metode epistemologis. Melalui metode inilah kaum rasionalis dan
sekularis percaya bahwa mereka akan mencapai kebenaran. Tidak ada bukti, bahwa keraguan,
dan bahkan sesuatu lainnya yang mengantarkan mereka berada pada kebenaran.
Sesungguhnya, tambah Naquib, yang mengantarkan kepada kebenaran adalah hidayah
(petunjuk) Allah bukan keraguan.

Di dalam table ini dapat dibedakan sumber pengetahuan menurut Islam


dan Barat:
No Sumber Pengetahuan Islam Sumber pengetahuan Barat
1 Allah SWT (Relegion) Rasionalisme
Petunjuk menurunkan al- Melalui rasio, ilmuwan dapat
Qur’ansebagai Huda li- nass melakukan tiga hal penting yang
menjadi basis pengembangan
pengetahuan, yaitu (1) definisis, (2)
komparasi, dan (3) kausalitas.
2 Al-Qu’ran Empirisme
(sumber ilmu yang paling tertinggi Dalam perkembangannya empirisme
setelah Tuhan) ini terbagi dua, yaitu empirisme
sensualisme dan empirisme
konsiensialisme.
3 As-Sunnah Dualisme
(sunnah adalah perkataan, perbuatan Paham ini berpendapat bahwa
maupun pernyataan Nabi pengetahuan sejatinya dihasilkan oleh
Muhammad saw) kedua instasnsi, yaitu rasio dan
pengalaman inderawi.
4 Akal -
5 Intuisi -
6 Wahyu -
7 Indera -
8 Ilham -

10
Epistemologi Islam amat menekankan ilmu yang bertaraf keyakinan dalam akhir
sesuatu perkara yang mempunyai unsur-unsur kebenaran secara mutlak. Sesuatu yang benar
itu seharusnya mempunyai elemen yang dipercayai kebenarannya secara yakin tanpa ada
unsur keraguan, kesamaran dan prasangka terhadapnya. Dalam arti kata yang lain, sesuatu
yang diterima sebagai benar itu adalah berasaskan kepada `ilm al-yaqin.
Konsep `ilm al-yaqin ialah ilmu yang boleh menbedahkan sesuatu secara jelas, di
mana sebarang keraguan dan kemungkinan wujudnya kesilapan dan kesamaran (al-
wahm) di sekitarnya tidak pernah difikirkan oleh seseorang yang memiliki ilmu tersebut.
`Ilm al-yaqin adalah ilmu yang tidak mungkin ada unsur kekeliruan, kesalahan dan
kesamaran. Istilah ‘yaqin’ adalah jauh berlawanan dengan ‘shak’, ‘wahm’ dan ‘dzann’.
Konsep ‘yaqin’ ini amat ditekankan dalam epistemologi Islam, di mana hal-hal yang
melibatkan persoalan akidah Islam dan syariah memerlukan taraf keyakinan yang tinggi dalam
pencapaian sesuatu matlamat.
Dalam soal akidah, seorang muslim mempunyai keyakinan yang tinggi dalam
menyatakan ketauhidannya kepada Allah S.W.T. Keyakinan terhadap sesuatu perkara
melibatkan tiga keyakinan yang bersangkutan dengan ilmu manusia iaitu `ilm al-yaqin,
`ayn al-yaqin dan haqq al- yaqin.`Ilm al-yaqin adalah ilmu yang bersandarkan alasan atau
kesimpulan hasil dari kuasa manusia yang mengadilinya.

11
BAB III
KESIMPULAN

Dari berbagai tulisan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Menurut Naquib Al-Attas sesuai dengan kesepakatan dikalangan muslim, landasan


teologis surah al-‘alaq ayat 1-5, diterima sebagai informasi bahwa Allah itulah sumber
segala ilmu yang kemudian diajarkan kepada manusia. Mereka meyakini asal (origin) ilmu itu
adalah Allah sendiri, pencipta alam semesta yang diperuntukkan bagi hamba-Nya. Selain itu
sumber ilmu pengetahuan dari Islam bersumber dari Al-Qur’an, As- sunnah / hadist Nabi
Muhammad SAW, Akal, Wahyu, ilham, Panca indra, pengalaman, Intuisi dll.
2. Dalam epistemologi Barat, cara memperoleh pengetahuan dikenal dengan tiga paham:
Pertama, pendekatan rasionalisme. Suatu paham bahwa pengetahuan terjadi karena bahan
pemberian panca indera dan batin yang diolah oleh “akal”. Kedua, empirisme, yaitu Suatu
paham yang berpendapat bahwa pengetahuan yang diperoleh terbatas hanya pada pengalaman.
Ketiga, paham dualisme, Paham ini berusaha menggabungkan atau mendamaikan
kedua kutub paham yang bersebrangan secara diameteral.
3. Klasifikasi ilmu menurut perspektif Islam amat berbeda jika dibandingkan
dengan klasifikasi ilmu oleh pihak Barat di mana dalam klasifikasi ilmu Islam, pembagian
ilmu itu disusun berdasarkan keutamaan dan kepentingan ilmu yang didasari kepada al-
Qur’an dan al- Sunnah. Ini dilihat berbeda dengan klasifikasi ilmu Barat di mana ilmu itu dibagi
berdasarkan hierarki yang hanya melihat kepada perspektif dunia semata-mata. Berdasarkan
kepada perspektif ini, umat Islam dilihat lebih komprehensif dan teratur dalam
mengklasifikasi ilmu yakni menggabungkan antara ilmu wahyu dan ilmu akal.

12
DAFTAR PUSTAKA

http://hisyamnur.blogspot.com/2009/12/sumber-ilmu-pengetahuan paradigma.html
https://mediadakwah.id/konsep-ilmu-perbandingan-islam-dan-barat/
https://journal.iainlhokseumawe.ac.id/index.php/itqan/article/view/188

13

Anda mungkin juga menyukai