Anda di halaman 1dari 17

PEMIKIRAN MODERN ABID AL-JABIRI

TERHADAP HUKUM ISLAM

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM”

Oleh :

HANAN ABIMANYU
NIM 503220011

Pembimbing :

Dr. LUTFI HADI AMINUDIN, M.Ag.


NIP. 197207142000031005

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2022
A. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menjadi kunci yang paling mendasar
dari kemajuan peradaban umat manusia, hal ini tentu tidak dapat diraih begitu saja
tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan suatu
ilmu pengetahuan ilmiah yang kemudian dikenal dengan istilah epistomologi. Dalam
dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak
pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan dasar
epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain. Perbedaan titik tekan
dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya dalam konstruksi bangunan
pemikiran manusia secara utuh.1
Muhammad Abid Al-Jabiri adalah seorang cendekiawan muslim yang
mengusung epistimologi Islam dengan mengritik nalar Arab karena wujud Islam sama
sekali tidak bisa dipahami sebagai ide ataupun pemikiran. Serta sikap dan nalar Arab
Islam cenderung mengarah ke irasionalisme sehingga rasionalisme nalar Arab
menjadi lemah. Oleh karenanya, bangsa Arab saat itu kebanyakan tidak mengakui
kemampuan akal, tidak percaya pada proyek-proyek rasional dan pencarian ilmiah.
Juga dalam memandang kegagalan di zaman sekarang sebagian dari bangsa Arab
kembali nostalgia tradisi masa lalu (turats). Hal ini menyebabkan stagnannya
pemikiran dan kemudian secara emosional hanya bersandar pada pemikiran tokoh-
tokoh yang berpengaruh di masa lalu agar tetap dapat dipraktikkan di era
kontemporer.
Dari hal tersebut Abid Al-Jabiri menilai bahwa diskursus mengenai kebangkitan
Arab tidak akan mencapai kemajuan dalam menciptakan proyek kebangkitan
peradaban, baik secara ideal maupun dalam konteks science ilmiah. Untuk mengkritisi
nalar Arab yang telah mendominasi penganutnya dengan jalan merekonstruksi, maka
Al-Jabiri berusaha menggunakan tradisi pemikiran menggunakan sebuah praksis
rasionalisme dalam permasalahan pemikiran dan kehidupan. Kekhasan dari pemikiran
Al-Jabiri terletak pada kritiknya terhadap epistemologi yang telah dibangun dan
berkembang di tengah peradaban Arab-Islam, kemudian dengan kritik tersebut
menawarkan kepada dunia Islam sebuah upaya untuk merekonstruksi sebuah
bangunan nalar-epistemik pengetahuan untuk mengejar ketertinggalan perubahan
dunia Islam menuju kemajuan peradaban.2
1
Arini Izzati Khairina, “Kritik Epistimologi Nalar Arab Muhammad Abid Al-Jabiri” El-Wasathiya:
Jurnal Studi Agama 4, No. 1, (2016): 105.
2
Hardiono, “Epistemologi Postrukturalisme Objek Pemikiran Islam Abid Al-Jabiri Dan Implikasinya

1
Maka di sinilah peran penting dari proyek besar Al-Jabiri yang mencoba
merekonstruksi ulang tatanan yang semula sudah dianggap matang dan tidak
menyimpan problem namun justru masih menyisihkan ruang untuk diperbaiki. Al-
Jabiri melalui konsepsinya tersebut ingin mengatakan bahwa setiap tahapan dalam
sejarah perkembangan Islam harus diperhatikan bagaimana karakteristik berpikir
masyarakatnya, karena apabila didapati corak berpikir tertentu yang lebih dominan di
suatu zaman maka dapat ditandai pula arah laju perkembangan ilmu pengetahuannya.
Namun Al-Jabiri membatasi kritiknya hanya pada hal-hal yang berskala kecil, ia
lebih concern pada “kritik epistimologi”, yang ditujukan kepada kerangka dan
mekanisme berpikir yang mendominasi peradaban Arab dalam babakan sejarah
tertentu. Epistimologi nalar Arab inilah yang dianggapnya sebagai “titik kunci” untuk
memasuki semesta peradaban Arab yang membentuk secara keseluruhan bangunan
keislaman yang berkembang, bukan hanya di wilayah Arab, tetapi seluruh dunia. Dari
asumsi epitimologis ini, Al-Jabiri melakukan anilis-analisi historis, yang
memungkinkan terbentuknya nalar bayani,.‘irfani. dan burhani. beserta seluruh
rangkaian yang terjalin di dalamnya.
Penelitian terkait dengan Muhammad Abid Al-Jabiri sejauh ini diklasifikasikan
kedalam tiga tema, diantaranya; Tema pemikiran filsafat yang diteliti oleh Syamsul
Rizal3 dengan judul “Epistemologi Filsafat Islam Dalam Kerangka Pemikiran Abid
Al-Jabiri”, Ahmad Fawaid4 dengan judul “Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M.
Abied Al Jabiri” dan Febri Hijroh Mukhlis 5 dengan judul “Pergumulan Kalam Dan
Falsafah ‘Yang Tak Kunjung Usai’: Sebuah Bacaan Kritis Pemikiran Muhammad
Abid Al-Jabiri”.
Kemudian tema mengenai tafsir yang di teliti oleh Muhammad Julkarnain 6
dengan judul “Fragmentasi Tafsir Surah Al-’Alaq Berbasis Kronologi”, dan
Wardatun Nadhiroh7 dengan judul “Fahm Al-Qur’an Al-Hakim; Tafsir Kronologis

Bagi Ilmu-Ilmu Dan Pemikiran Keislaman,” TAJDID: Jurnal Ilmu Ushuluddin 19, no. 1 (2020): 113–114.
3
Syamsul Rizal, “Epistemologi Filsafat Islam Dalam Kerangka Pemikiran Abid Al-Jabiri,” At-Tafkir 7,
no. 1 (2014): 100–130.
4
Ahmad Fawaid, “Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri: Studi Kritis Atas Madkhal
Ila al Quran al Karim,” ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam 16, no. 2 (2015): 157–175.
5
Febri Hijroh Mukhlis, “Pergumulan Kalam Dan Falsafah ‘Yang Tak Kunjung Usai’: Sebuah Bacaan
Kritis Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri,” Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan 12, no. 2
(2017): 140–155.
6
Muhammad Julkarnain, “Fragmentasi Tafsir Surah Al-’Alaq Berbasis Kronologi (Studi Atas Fahm al-
Qur’an al-Hakim: Al-Tafsir al-Wadhih Hasb Tartib al-Nuzul Karya Muhammad’Abid Al-Jabiri),” RELIGIA
(2015): 129–161.
7
Wardatun Nadhiroh, “Fahm Al-Qur’an Al-Hakim; Tafsir Kronologis Ala Muhammad Abid Al-Jabiri,”
Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin 15, no. 1 (2017): 13–24.

2
Ala Muhammad Abid Al-Jabiri”. Serta Tema dengan pembahasan pengetahuan politik
yang diteliti oleh Jamal Abdul Aziz8 dengan judul “Pemikiran Politik Islam
Muhammad ‘Abid Al-Jabir”, dan Nunu Burhanuddin 9 dengan judul “Transmisi Etika
Ke Tatanan Politik Perspektif Muhammad Abid Al-Jabiri”. Oleh sebab itu penulisan
ini bertujuan untuk melengkapi dari penelitian yang telah ada.

B. Literatur Review
Epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori
pengetahuan. Istilah epistimologi berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata
episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan atau ilmu). Jadi
epistimologi adalah kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu
pengetahuan yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaianpengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Dalam bidang ini, terdapat tiga masalah pokok, yaitu: pertama, mengenai
sumber-sumber pengetahuan, dan metode atau cara bagaimana proses mengetahui.
Kedua, tentang watak pengetahuan, adanya dunia yang benar-benar ada di luar pikiran
kita, dan bagaimana kita mengetahuinya. Ketiga, mengenai kebenaran. Dari hal itu,
terhadap sumber dan perwatakan kebenaran pengetahuan, menegaskan sejauh mana
manusia dengan segala keterbatasan potensinya mampu mengetahuinya. Seperti
diketahui bahwa sumber dan watak kebenaran berada di luar jangkauan akal pikiran
manusia.10
Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 tampil ke depan (maju)
karena dua hal: pertama, karena pengaruh sinar Al-Qur’an yang memberi semangat
terhadap kegiatan keilmuan, kedua, karena pergumulannya dengan bangsa asing
(Yunani), sehingga ilmu pengetahuan atau filsafat mereka dapat diserap, serta
terjadinya alkuturasi budaya. Mengenai pergumulan dan akulturasi budaya tersebut
memang ditunjang oleh ajaran Islam itu sendiri yang inklusif, terbuka.
Maka epistemologi Islam dengan sendirinya menelaah: bagaimana pengetahuan
itu menurut pandangan Islam, bagaimana metodologinya, bagaimana kebenaran yang
8
Jamal Abdul Aziz, “Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid Al-Jabiri: Telaah Terhadap Buku
Al-‘aql Al-Siyâsi Al-‘arabî: Muhaddidâtuh Wa Tajalliyâtuh,” MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman 39, no. 1
(2015).
9
Nunu Burhanuddin, “Transmisi Etika Ke Tatanan Politik Perspektif Muhammad Abid Al-Jabiri,” Al
Qalam 26, no. 1 (2009): 151–169.
10
Mochamad Hasyim, “Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani),” Jurnal Al-Murabbi 3, no. 2
(2018): 218–219.

3
diperoleh manusia menurut pandangan Islam. Jika epistemologi dalam tradisi
pemikiran Barat bermuara dari dua pangkal pandangannya, yaitu rasionalisme dan
empirisme yang merupakan pilar utama metode keilmuan. Namun Islam, dalam
memperoleh ilmu pengetahuan tidak berkubang hanya pada rasionalisme dan
empirisme, tetapi juga mengakui intuisi dan wahyu. Intuisi sebagai fakultas kebenaran
langsung dari Tuhan dalam bentuk ilham, kasyaf yang tanpa deduksi, spekulasi dan
observasi. Pengetahuan seperti ini dalam mistisisme Islam disebut dengan „Ilm al-
Dharury atau ‘Ilm al-Laduny yang kedudukannya sedikit di bawah wahyu.
Epistemologis Islam mengambil titik tolak Islam sebagai subjek untuk
membicarakan filsafat pengetahuan, maka disatu pihak epistemologi Islam berpusat
pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala
kebenaran. Dilain pihak, filsafat pengetahuan Islam berpusat pula pada manusia,
dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Disini manusia
berfungsi sebagai subjek yang mencari kebenaran. Pendapat tersebut berdasarkan
alasan, bahwa manusia sebagai khalifah Allah berikhtiar untuk memperoleh
pengetahuan, sekaligus memberi interprestasinya. 11
Sesungguhnya cara berpikir rasional dan empirik merupakan bagian yang sah
dari epistemologi Islam, bahkan menjadi unsur permanen dalam sistem
epistemologinya. Namun di samping itu, salah satu karakteristik terpenting dari
epistemologi Islam serta membedakannya dari epistemologi Barat yang sekular
adalah masuknya nilai-nilai ajaran normatif agama secara signifikan sebagai prinsip-
prinsip dalam epistemologi Islam. Wahyu (Al Qur’an dan Al-Hadits) diyakini
memiliki peran sentral dalam memberi inspirasi, mengarahkan, serta menentukan
skop kajian ke arah mana sains Islam itu harus ditujukan. 12
Dasar paling sentral dari nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi prinsip-prinsip
epistemologinya adalah adanya konsep tauhid (iman), yaitu konsep sentral yang
menekankan keesaan Allah, Allah tunggal secara mutlak, tertinggi secara metafisis
dan aksiologis.13
Pada perkembangan epistemologi Islam selanjutnya, lahirlah metode lain
seperti nadzr, tadabbur, tafakkur, bayyinah, burhan, mulahadzah, tajrib, istiqra’, qiyas,

11
Agus Arwani, “Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Muamalah),” Religia (2012): 127.
12
Wahyudin Darmalaksana, “Hukum Islam Suatu Tinjauan Filosofis” (Sentra Publikasi Indonesia, 2022),
134.
13
Abdul Halik, “Istiqra Ilmu Pendidikan Islam: Perspektif Ontologi, Epistemologi, Aksiologi:,” Istiqra` :
Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam 7, no. 2 (March 21, 2020): 5.

4
tamsil, ta’wil, dzati, hissi, khayali, aqli, syibhi dan lain sebagainya. Namun pada
dasarnya dalam diskursus dunia pemikiran Muslim setidaknya ada tiga aliran penting
yang mendasari teori pengetahuannya. Yaitu, (1) pengetahuan rasional, (2)
pengetahuan inderawi, dan (3) pengetahuan lewat ilham atau intuisi.

C. Result
1. Kiprah Kehidupan
Untuk mengetahui latar belakang sosio-historis kehidupan Muhammad
Abid al-Jabiri, terlebih dahulu akan diulas secara singkat tentang biografi, karir
intelektual, dan karya-karyanya. Biografi Singkat dan Karir Intelektual.
Muhammad Abid al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada 27
Desember 1936 dan meninggal 3 Mei 2010. Pendidikannya dimulai dari tingkat
Madrasah Ibtidaiyah di Burrah Wataniyyah, merupakan sekolah agama swasta
yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan
pendidikannya di sekolah menenggah tahun 1951-1953 di Casablanca dan
memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka.
Sejak awal al-Jabiri tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di
mulai tahun 1958 di Univeristas Damaskus Syiria. Setahun kemudian dia
berpindah ke Universitas Rabat yang baru didirikan. Lalu dia menyelesaikan
program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh Inda Ibn
Khaldun, di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi, gurunya juga seorang pemikir
Arab Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter. Lahbibi dan
gelar dokotornya diperoleh juga di Universitas Muhammad V Rabat, Maroko,
tahun 1970.
Sebagai pemikir Islam kontemporer pada posisi garda terdepan, al-Jabiri
sudah tentu didukung oleh latar belakang lingkungan intelektual, budaya, dan
situasi sosial-politik di sekitarnya. Maroko merupakan negeri yang pernah
menjadi wilayah protektoriat Perancis. Setelah merdeka, negeri Maroko mengenal
dua bahasa resmi, Arab dan Perancis. Menurut suatu tesis kaum post-strukturalis
bahwa” bahasa menentukan ukuran, bentuk dan kandungan pemikiran seseorang
atau kelompok”, maka tradisi bahasa Prancisme memudahkan para sarjana
Maroko mengenal warisan pemikiran yang menggunakan bahasa Prancis. 14

14
Zaedun Na’im, “Epistimologi Islam Dalam Perpsektif M. Abid Al Jabiri,” JURNAL
TRANSFORMATIF (ISLAMIC STUDIES) 5, no. 2 (2021): 163–176.

5
Pada decade 50-an, ketika masih kuliah di Universitas Muhammad V, Jabiri
banyak membaca dan mempelajari ajaran Marxisme yang memang tumbuh subur
di dunia Arab saat itu. Ia bahkan mengaku sebagai seorang yang mengagumi
ajaran Marx. Kenyataan ini bukanlah sesuatu yang aneh. Sebagai seseorang ynag
lahir dan tumbuh di negara bekas protektoriat Prancis, al-jabiri tidak kesulitan
untuk mengakses buku atau pemikiran berbahasa Prancis, termasuk pemikiran
kaum strukturalis. post-strukturalis maupun post-modernis yang rata-rata lahir di
Prancis. Akan tetapi Ia kemudian meragukan efektifitas pendekatan Marxian
dalam konteks sejarah pemikiran Islam.15
Al-Jabiri muda merupakan seorang aktivis politik berideologi sosialis. Dia
bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang
kemudian berubah nama menjadi Union Sosialiste des Forces Populaires (USFP).
Pada tahun 1975 dia menjadi anggota Biro Politik USFP. Selain aktif dalam dunia
politik, al-Jabiri juga aktif di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia telah
mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program
pendidikan nasional. Pada tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al-Qomari
dan Ahmad Sattati menerbitkan dua buku teks, pertama tentang pemikiran Islam
dan kedua mengenai filsafat, untuk mahasiswa.16

2. Pemikiran Reformatif Abid Al-Jabiri


Gagasan pemikiran modernitas Al-Jabiri, bukan untuk menolak tradisi atau
memutus masa lalu, melainkan untuk meng-up grade sikap serta pendirian dengan
mengandalkan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan
modern. Sehingga untuk menjawab tantangan modernitas, Al-Jabiri menyerukan
untuk membangun epistemologi nalar Arab yang dikemukakan oleh Al Jabiri
dalam bukunya Takwin al Aql Araby dan Bunyah al Aql Araby.17 Dengan sistem
skema dari Abid Al-Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, diantaranya:
a. Epistemologi Bayani
Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Secara
langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
15
Syamsul Rizal, “Epistemologi Filsafat Islam Dalam Kerangka Pemikiran Abid Al-Jabiri,” At-Tafkir 7,
no. 1 (2014): 100–130.
16
Mugiono, “Konstruksi Pemikiran Islam Reformatif M. Abid Al-Jabiri,” TAJDID: Jurnal Ilmu
Ushuluddin 14, no. 2 (2015): 203–222.
17
Samsul Bahri, “Bayani, Burhani Dan Irfani Trilogi Epistemologi Kegelisahan Seorang Muhammad
Abid Al Jabiri,” Jurnal Cakrawala Hukum 11, no. 1 (2017): 8.

6
mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti
memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran. Sementara itu, secara terminologi bayan mempunyai dua arti;
yang pertama sebagai aturan penafsiran wacana, yang kedua sebagai
syarat-syarat memproduksi wacana. 18
Epistemologi bayani adalah epistemologi yang didasarkan metode
yang menggunakan pemikiran, dan memproduksi pengetahuan secara
analogis yang disandarkan pada apa yang tidak diketahui dan yang
diketahui, yaitu pada teks (nash). Oleh karena itu, epistemologi ini sangat
memperhatikan proses transmisi sebuah teks, sebab benar tidaknya
transmisi menentukan benar salahnya suatu ketetapan hukum yang
diambil. Metode ini dapat kita lihat secara jelas penggunaannya, misalnya,
oleh para ahli hadis yang menentukan syarat-syarat atau kaidah-kaidah
untuk meneliti kebenaran suatu hadis. Contohnya ilmu tahrij al-hadis.19
Persoalan lain yang menjadi fokus nalar bayani adalah hubungan
antara al-ashl dan al-far dalam wilayah fiqih. Dalam hal ini Imam Syafi'i
telah sukses memformulasikan dasar hukum Islam ke dalam empat hal,
yaitu Al-Qur’an, sunnah, ijmak dan qiyas. Al-Qur’an menjadi ashl. dari
segalanya, sunnah menjadi pelengkap Al-Qur’an sekaligus pembangun
ijmak dan ijmak menjadi pembangun qiyas. Di sini al-Qur’an dan sunnah
merupakan al-ashl. dari sumber hukum, sementara ijmak dan qiyas
menjadi cabangnya atau al-furu’.20
Kelemahan yang paling mencolok dari nalar epistimologi bayani
adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan lainnya yang
dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama
lain. Dalam berhadapan dengan komunitas agama lain, corak berpikir
keagamaan model bayani biasanya bersifat dogmatik, defensif, apologis
dan polemis dengan semboyan kurang lebih semakna dengan “right or
wrong this is my country”. Pola berpikir bayani selalu mengedepankan
qiyas. Selain itu epistimologi bayani selalu mencurigai akal pikiran karena
18
Nurliana Damanik, “Muhammad Abid Al-Jabiri,” Al-Hikmah: Jurnal Theosofi dan Peradaban Islam 1,
no. 2 (2019): 122.
19
Rizal, “Epistemologi Filsafat Islam Dalam Kerangka Pemikiran Abid Al-Jabiri.” Jurnal At-Tafkir Vol.
VII No. 1(2014):101.
20
Muhammad Faisol, “Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abid Al-Jabiri,” Tsaqafah 6, no. 2 (2010):
335–359.

7
dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual.21
b. Epistemologi Irfani
Kata Irfan semakna dengan makrifat berarti pengetahuan. Tapi ia
berbeda dengan ilmu. Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan
yang diperoleh secara langsung lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan
kepada hambanya setelah adanya olah rohani jiwa yang dilakukan atas
dasar cinta. Irfani merupakan kelanjutan dari bayani, akan tetapi kedua
pengetahuan ini berbeda satu sama lain. Bayani mendasari kepada teks,
sedangkan Irfani mendasari kepada kasf, yaitu tersingkapnya rahasia-
rahasia tentang Tuhan. Oleh karena itu, ‘irfan tidak diperoleh berdasarkan
analisis terhadap teks, akan tetapi dari hati nurani yang suci, sehingga
Tuhan menyingkapkan sebuah pengetahuan.22
Adapun cara kerja Irfani adalah proses pemahaman yang berangkat
makna sebuah teks menuju lafaz teks tersebut. Persoalannya bagaimana
mengungkap makna atau dimensi batin yang diperoleh dari proses kasf
tersebut. Al-Jabiri mengemukakan bahwa makna tersebut bisa terungkap
pertama, dengan menggunakan cara apa yang disebut qiyas Irfani, yaitu
analogi makna batin yang diungkap dalam kasf kepada makna zahir yang
ada dalam teks.23
Menurut Al-Jabiri, Irfani berlaku sebagai sikap. Namun sikap ini
lebih cenderung lari dari dunia dan menyerah. Maka adanya pemikiran
kalangan Irfaniyah mewarnai dan mempengaruhi Irfan sebagai sikap dan
teori. Dengan pemikiran mereka yang dapat dibagi ke dalam tiga tipe:
Pertama, pemikiran yang melebihkan sikap Irfani sebagai pertahanan diri
dan dapat ditemui pada kalangan sufi. Kedua, lebih mengedepankan watak
filosofis yang diwakili oleh mereka yang mengembangkan tasawuf filsafi
seperti Ibnu Arabi dan Ibnu Sina. Ketiga, lebih mengedepankan dimensi
mistis, ini banyak ditemukan di kalangan para filsuf Islamiyah dan
kalangan mutsahawwifah bathiniyah. Tiga kelompok inilah yang
dimaksud Al-Jabiri dengan Al-Irfaniyah.24
c. Epistemologi Burhani

21
Khairina, “Kritik Epistimologi Nalar Arab Muhammad Abid Al-Jabiri.”:106.
22
Ibid.113.
23
Damanik, “Muhammad Abid Al-Jabiri,” 124–125.
24
Khairina, “Kritik Epistimologi Nalar Arab Muhammad Abid Al-Jabiri,” 113.

8
Dalam bahasa Arab, burhani.berati bukti yang rinci dan jelas,
sedangkan dalam bahasa Latin adalah demonstration.yang berarti isyarat,
gambaran dan jelas. Sedangkan menurut Al-Jabiri bahwa burhani
menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas
pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Tawaran
nalar burhani yang dikemukakan oleh Al-Jabiri adalah untuk melengkapi
kekurangan epistemologi yang ada dalam kedua nalar sebelumnya, yaitu
bayani dan irfani.
Tapi perkembangan nalar burhani diwilayah Timur dunia Islam tidak
menarik perhatian Al-Jabiri, terutama sejak periode Al-Farabi dan Ibnu
Sina yang orientasinya lebih didominasi persoalan-persoalan ilmu kalam
(dalam arti dibatasi oleh ruang lingkup pemikiran bayani), sehingga
pemecahan yang ditawarkannya berasal dari tradisi irfani yang
membenarkan penyatuan agama dan filsafat dan pengakuan terhadap
ajaran emanasi.25
Jadi, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau
intuisi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika memberikan penilaian
dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat panca
indera atau dengan istilah Tasawwur dan Tasydid. Makna dari Tasawwur
yaitu proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera.
Sedangkan Tasydid, yaitu roses pembuktian terhadap kebenaran terhadap
konsep tersebut.26
Karena itu, epistemologi burhani, berbeda dengan epistemologi
bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama
sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman.
Burhani menyandarkan diri kepada kekuatan rasio, akal yang dilakukan
lewat dali-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima
sepanjang ia sesuai dengan logika rasional.
Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan Al-Jabiri,
bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu’
kepada yang asal, irfanii menghasilkan pengetahuan lewat proses
penyatuan rohani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani
25
Nurlaelah Abbas, “Al-Jabiri Dan Kritik Nalar Arab (Sebuah Reformasi Pemikiran Islam)”, Jurnal Ilmu
Aqidah, Vol.1,No 1 (2015): 15.
26
Na’im, “Epistimologi Islam Dalam Perpsektif M. Abid Al Jabiri,” 173.

9
menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas
pengetahuan sebalumnya yang telah diyakini kebenarannya.27

Al-Jabiri menjelaskan bahwa dari ketiga epistemologi tersebut posisi


epistemologi burhani ditempat pada posisi paling utama atau paling tinggi setelah
itu diikuti oleh epistemologi bayani. Menurut Al-Jabiri metode burhani (secara
akal) akan menguatkan metode bayani (secara teks). Sementara itu epistimologi
irfani yang menyebabkan perkembangan keilmuan Islam terhambat atau menjadi
stagnan, karena metode ini merasa semua perkembangan dan proses pencapaian
pengetahuan berdasarkan pemberian Tuhan secara langsung atau melalui
illuminatif (cahaya), yang kemudian akan berimplikasi atau paling tidak akan
melahirkan berbagai konflik-konflik baru.28

3. Latar Belakang Pemikiran


Pasca renaissance yang ada di Eropa pada abad pertengahan terjadi banyak
perubahan pola pemikiran mereka akan dunia dan agama. Dampak modernisasi
ini dirasakan hingga ke kawasan Arab yang notabene negara Islam. Sehingga
masyarakat Arab yang pernah meraih era Golden Age berusaha mengejar
kemajuan tersebut, namun terbentur oleh tradisi dan budaya yang sulit untuk
dilupakan ataupun meninggalkannya.29
Melihat keadaan masyarakat pada saat itu Abid Al-Jabiri memiliki proyek
kebangkitan Arab agar tidak mengalami keterputusan sejarah. Dengan cara
menjadikan kebudayaan sebagai kritik nalar itu sendiri. Karena pemicu
keterpurukan Arab disebabkan kebudayaan cenderung ke arah sirkular dan tidak
bergerak kearah pembaharuan.30 Al-Jabiri merasa tidak puas dengan usaha
pembaharuan yang dilakukan oleh intelektual Muslim seperti gerakan salaf, yang
menurutnya mereka terlalu mengagungkan pencapaian masa silam sehingga
cenderung mengabaikan realitas sosial masyarakat.31
Maka, Abid Al-Jabiri menawarkan reformatif berupa pengembangan
epistimologi filsafat islam dengan tujuan agar dapat membantu mengembangkan
27
Nurlaelah Abbas, “Al-Jabiri Dan Kritik Nalar Arab”, 17.
28
Wira Hadikusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani Dan Burhani Al-Jabiri Dan Relevansinya Bagi Studi
Agama Untuk Resolusi Konflik Dan Peacebuilding,” Jurnal Ilmiah Syi’ar 18, no. 1 (January 2, 2018): 11,
accessed October 11, 2022, https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/syiar/article/view/1510.
29
Mugiono, “Konstruksi Pemikiran Islam Reformatif M. Abid Al-Jabiri.”:2019-210.
30
Na’im, “Epistimologi Islam Dalam Perpsektif M. Abid Al Jabiri.”
31
Nurfitriani Hayati, “Epistemologi Pemikiran Islam ‘Abed Al-Jabiri Dan Implikasinya Bagi Pemikiran
Keislaman,” Islam Realitas: Journal of Islamic and Social Studies 3, no. 1 (2017): 67.

10
ilmu keagamaan. Abid Al-Jabiri memulai gerakan pemikirannya dengan
mendefinisikan turats (tradisi). Kata “tradisi” diambil dari bahasa Arab “turats”,
tetapi di dalam al-Qur’an tidak dikenal turast dalam pengertian tradisi kecuali
dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal. Sehingga makna turats
(tradisi) menurut Abid Al-Jabiri adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik
masa lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam
konteks ruang dan waktu.
Adapun metode yang digunakan Abid Al-Jabiri adalah dekonstruktif yaitu
mengubah tradisi yang kurang relevan dengan realitas dan bersikap eksis terhadap
tradisi yang relevan. Tradisi tidak seluruhnya dikonstruksi ulang akan tetapi
dilakukan konstruksi terhadap tradisi yang tidak relevan lagi. Ini menunjukan
bahwa Al-Jabiri menolak kelompok transformatif serta idealistik yang secara
realitas keduanya tidak dapat menjawab modernitas.
Adapun pendekatan yang digunakan Al-Jabiri dalam melakukan kajiannya
terhadap objek penelitian adalah dengan menggunakan pendekatan historis-
filosofis. Hal ini sesuai dengan kapasilitas keilmuan yang dimiliki Al-Jabiri.
Dengan bermodalkan philosophical approaches yang menjadi baground
pendidikannya, Al-Jabiri menawarkan solusi untuk memecahkan stagnasi yang
terjadi didunia Arab sepuluh Abad lebih.32
Selanjutnya Abid Al-Jabiri mencoba menghubungkan realitas tradisi Arab
dengan modernitas yang dialami Barat. Walaupun Abid Al-Jabiri mengakui
bahwa modernitas Eropa mampu menjadi representasi kebudayaan “universal”,
tetapi modernitas Eropa tidak mampu menganalisis realitas kebudayaan Arab
yang terbentuk jauh di luar dirinya. Al-Jabiri sangat menekankan epistemologi
pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Dia
memetakan perbedaan prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis
dengan epistemologis filsafat Arab. Kedua istilah itu (epistemologis-ideologis)
sering dipakai Al-Jabiri dalam studinya tentang Akal Arab. 33

4. Implikasi Pemikiran Abid Al-Jabiri


a. Implikasi Bagi Pemikiran Islam Arab
Pemetaan yang dilakukan Al-Jabiri terhadap epistemologis dan

32
Damanik, “Muhammad Abid Al-Jabiri,” 118.
33
Mugiono, “Konstruksi Pemikiran Islam Reformatif M. Abid Al-Jabiri,”: 209–210.

11
ideologi yang berkembang di dunia Arab memberikan warna baru dan ciri
khasnya tersendiri. Dengan bermodalkan philosophical approaches yang
menjadi background pendidikannya, Al-Jabiri menawarkan solusi untuk
memecahkan stagnasi yang terjadi di dunia Arab selama sepuluh Abad
lebih.34 Melalui nalar bayani, irfani, dan burhani dalam Islam, melalui teks
keagamaannya dapat berdialog dengan disiplin keilmuan modern.
Dengan ini Islam tidak lagi malu berdialog dan berdiskusi dengan
sosiologi, sejarah, antropologi, dan bahkan sains sekali pun. Justru Islam
akan mampu memberikan solusi setiap persoalan kontemporer yang
dihadapi umat manusia di era modern ini. Meskipun Al Jabiri hanya
menawarkan kerangka teori dan kerangka kerja, namun pemikirannya
telah mendorong studi yang produktif, emansipatif dan progresif penuh
harapan bagi pembakuan epistemologi kontemporer khususnya dalam
konteks keilmuan islam (epistemologi Islam).
Menurut Ali al Harb, (kritikus atas Al jabiri) menjadi kontribusi Al
Jabiri untuk menjadikan Islam menjawab tantangan dunia kontemporer
yang ditandai dengan penggunaan teknologi dalam berbagai aspek
kehidupan termasuk ibadah. Kedua, pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan sebagai wujud kemajuan nalar manusia. Manusia modern
adalah manusia yang dapat mengoperasionalkan segala teknologi dan
harus mampu berfikir logis rasional.35

b. Implikasi Bagi Pemikiran Islam Indonesia


Di Indonesia sendiri, ketiga epistemologi ini dalam konteks
implementasinya banyak diadopsi oleh golongan umat Islam sesuai
afiliasinya dan jarang dikompromikan agar menemui titik sepakat. Namun
perlu diingat juga bahwa realitas di masyarakat Indonesia cukup plural,
sehingga pendekatan yang digunakan untuk ketiga epistemologi tersebut
memiliki wajah yang tidak dogmatis dan tidak memicu fanatisme.
Dalam hal ini, Amin Abdullah memberi tawaran pendekatan kajian

34
Hardiono Hardiono, “Epistemologi Postrukturalisme Objek Pemikiran Islam Abid Al-Jabiri Dan
Implikasinya Bagi Ilmu-Ilmu Dan Pemikiran Keislaman,” TAJDID: Jurnal Ilmu Ushuluddin 19, no. 1 (2020):
135.
35
Bahri, “Bayani, Burhani Dan Irfani Trilogi Epistemologi Kegelisahan Seorang Muhammad Abid Al
Jabiri,” 16.

12
keislaman dengan cara mengintegrasikan pendekatan yang bersifat
teologis-normatif dan pendekatan yang bersifat historis-kritis. Pendekatan
ini dinilai sesuai dengan realitas majemuk dan plural yang ada di
Indonesia.36 Amin Abdullah juga memperkenalkan pemikiran Al-Jabiri di
lingkungan Muhammadiyah dan dia juga yang paling sering mewakili
organisasi ini dalam diskusi tentang pemikiran baru yang berasal dari
Timur Tengah. Tafsir tematik bisa dikatakan sebagai penerapan
epistemologi burhani yang ditawarkan Al-Jabiri secara khazanah Islam
klasik dan modern.37
Selain itu Pemikiran Al-Jabiri juga dijadikan sebagai rangka kritik
dukungan oleh Said Aqil terhadap ajaran Aswaja NU. Karya-karya yang
dilahirkannya juga dijadikan sebagai rujukan untuk menunjukkan konteks
politik kelahiran sejumlah aliran kalam dalam Islam. Said Aqil juga
mengoleksi literatur-literatur yang banyak dirujuk oleh Al-Jabiri dalam
triloginya. Tidak jarang sebagian besar argumen yang dipakai Said Aqil
untuk memperkuat kritiknya terhadap warisan doktrinal Aswaja di
lingkungan NU, pernah dikemukakan juga oleh Al-Jabiri dalam rangka
kritiknya terhadap “nalar politik Arab” dan “kritik nalar Arab”nya. Seperti
tipologi Al-Jabiri tentang tradisi bayani, irfani, dan burhani.38

D. Analisis
Muhammad Abid Al-Jabiri adalah seorang filsuf dengan kontribusi
pembaharuan terkait pemikiran pada Ilmu Filsafat Islami. Hasil pemikiran tersebut
hingga kini masih dapat dipakai atau diterapkan pada sub bab keilmuan islam lainnya.
Menjadikan Al-Jabiri dapat disebut sebagai penggerak modernisasi pemikiran islam
yang pada saat itu dapat dikatakan mengalami stagnansi pemikiran. Penyebab stagnan
pemikiran ini menurut Al-Jabiri karena pengaruh dari keadaan sosial yang terus
menerus tetap mempertahankan tradisi keilmuan dengan menyandarkan pada fatwa

36
Titian Ayu Naw Tika, “Pemikiran Epistimologi Abid Al-Jabiri Dan Implikasinya Bagi Dinamika
Keilmuan Islam,” JOURNAL SCIENTIFIC OF MANDALIKA (JSM) e-ISSN 2745-5955 | p-ISSN 2809-0543 2,
no. 12 (Desemb (December 28, 2021): 619.
37
Ahmad Najib Burhani, “Kitab Kuning Dan Kitab Suci: Pengaruh Al-Jabiri Terhadap Pemikiran
Keagamaan Di NU Dan Muhammadiyah,” Masyarakat Indonesia 41, no. 1 (2016): 38.
38
Hayati, “Epistemologi Pemikiran Islam ‘Abed Al-Jabiri Dan Implikasinya Bagi Pemikiran Keislaman,”
80.

13
atau ajaran ulama terdahulu yang telah wafat.
Sehingga ini mengakibatkan tertinggalnya keilmuan bangsa Arab kala itu
dengan bangsa Eropa. Al-Jabiri menyiasati hal tersebut dengan reformasi pemikiran
yang menggunakan peleburan gagasan pemikiran epistimologi Al-Jabiri sendiri yang
kemudian disatukan dengan penerapan pemikiran yang telah ada. Hal ini menjadikan
transisi yang ada pada masyarakat berangsur angsur mengikuti. Dengan adanya
pemikiran Al-Jabiri ini berdampak pada terbukanya wawasan keilmuwan sehingga
perkembangan yang semulanya stagnan dapat meningkat.
Namun pemikiran Al-Jabiri ini agak susah diterapkan pada masyarakat yang
bertipe plural, karena dapat memicu dogmatisme dan fanatisme. Membuat hal ini
menjadi suatu hal yang akan bertubrukan dan mengakibatkan konflik. Namun, hal ini
dapat dicegah ataupun disiasati dengan mengintegrasikan pendekatan yang bersifat
teologis-normatif dan pendekatan yang bersifat historis-kritis. Pendekatan ini dinilai
sesuai dengan realitas majemuk dan plural yang ada di Indonesia.
Terlepas dari Hal tersebut, pemikiran Al-Jabiri memberikan warna tersendiri
dalam Keilmuan Islam. Sehingga dapat diperhitungkan kembali hasil dari pemikiran
yang berlandasakan teori dari Abid Al-Jabiri ini.

E. Kesimpulan
Epistemologi bayani adalah epistemologi yang didasarkan metode yang
menggunakan pemikiran, dan memproduksi pengetahuan secara analogis yang
disandarkan pada apa yang tidak diketahui dan yang diketahui, yaitu pada teks (nash).
Kelemahan yang paling mencolok dari nalar epistimologi bayani adalah ketika harus
berhadapan dengan teks-teks keagamaan lainnya yang dimiliki oleh komunitas, kultur,
bangsa atau masyarakat yang beragama lain.
Tawaran nalar burhani yang dikemukakan oleh Al-Jabiri adalah untuk
melengkapi kekurangan epistemologi yang ada dalam kedua nalar sebelumnya, yaitu
bayani dan irfani. Karena itu, epistemologi burhani, berbeda dengan epistemologi
bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak
mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman.
Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan Al-Jabiri, bayani
menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu’ kepada yang asal, irfani
menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan rohani kepada Tuhan dengan
penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip

14
logika atas pengetahuan sebalumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Sementara itu makna turats (tradisi) menurut Abid Al-Jabiri adalah sesuatu
yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh atau
dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Adapun metode yang digunakan Abid
Al-Jabiri adalah dekonstruktif yaitu mengubah tradisi yang kurang relevan dengan
realitas dan bersikap eksis terhadap tradisi yang relevan. Pemetaan yang dilakukan Al-
Jabiri terhadap epistemologis dan ideologi yang berkembang di dunia Arab
memberikan warna baru dan ciri khasnya tersendiri.

F. Daftar Pustaka
Aziz, Jamal Abdul. “Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid Al-Jabiri: Telaah
Terhadap Buku Al-‘aql Al-Siyâsi Al-‘arabî: Muhaddidâtuh Wa Tajalliyâtuh.”
MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman 39, no. 1 (2015).

Bahri, Samsul. “Bayani, Burhani Dan Irfani Trilogi Epistemologi Kegelisahan


Seorang Muhammad Abid Al Jabiri.” Jurnal Cakrawala Hukum 11, no. 1
(2017).

Burhani, Ahmad Najib. “Kitab Kuning Dan Kitab Suci: Pengaruh Al-Jabiri Terhadap
Pemikiran Keagamaan Di NU Dan Muhammadiyah.” Masyarakat Indonesia
41, no. 1 (2016): 29–42.

Burhanuddin, Nunu. “Transmisi Etika Ke Tatanan Politik Perspektif Muhammad Abid


Al-Jabiri.” Al Qalam 26, no. 1 (2009): 151–169.

Damanik, Nurliana. “Muhammad Abid Al-Jabiri.” Al-Hikmah: Jurnal Theosofi dan


Peradaban Islam 1, no. 2 (2019).

Darmalaksana, Wahyudin. “Hukum Islam Suatu Tinjauan Filosofis.” Sentra Publikasi


Indonesia, 2022.

Faisol, Muhammad. “Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abid al-Jabiri.” Tsaqafah 6,


no. 2 (2010): 335–359.

Fawaid, Ahmad. “Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri: Studi
Kritis Atas Madkhal Ila al Quran al Karim.” ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam
16, no. 2 (2015): 157–175.

Hadikusuma, Wira. “Epistemologi Bayani, Irfani Dan Burhani Al-Jabiri Dan


Relevansinya Bagi Studi Agama Untuk Resolusi Konflik Dan Peacebuilding.”
Jurnal Ilmiah Syi’ar 18, no. 1 (January 2, 2018). Accessed October 11, 2022.
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/syiar/article/view/1510.

Halik, Abdul. “Istiqra Ilmu Pendidikan Islam: Perspektif Ontologi, Epistemologi,


Aksiologi:” Istiqra` : Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam 7, no. 2 (March
21, 2020): 10–23.

15
Hardiono, Hardiono. “Epistemologi Postrukturalisme Objek Pemikiran Islam Abed
Al-Jabiri Dan Implikasinya Bagi Ilmu-Ilmu Dan Pemikiran Keislaman.”
TAJDID: Jurnal Ilmu Ushuluddin 19, no. 1 (2020): 110–138.

Hasyim, Mochamad. “Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani).” Jurnal Al-


Murabbi 3, no. 2 (2018): 217–228.

Hayati, Nurfitriani. “Epistemologi Pemikiran Islam ‘Abed Al-Jabiri Dan Implikasinya


Bagi Pemikiran Keislaman.” Islam Realitas: Journal of Islamic and Social
Studies 3, no. 1 (2017): 68–81.

Julkarnain, Muhammad. “Fragmentasi Tafsir Surah Al-’Alaq Berbasis Kronologi


(Studi Atas Fahm al-Qur’an al-Hakim: Al-Tafsir al-Wadhih Hasb Tartib al-
Nuzul Karya Muhammad’Abid al-Jabiri).” RELIGIA (2015): 129–161.

Khairina, Arini Izzati. “Kritik Epistimologi Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri”
(n.d.): 16.

Mugiono, Mugiono. “Konstruksi Pemikiran Islam Reformatif M. Abid Al-Jabiri.”


TAJDID: Jurnal Ilmu Ushuluddin 14, no. 2 (2015): 203–222.

Mukhlis, Febri Hijroh. “Pergumulan Kalam Dan Falsafah ‘Yang Tak Kunjung Usai’:
Sebuah Bacaan Kritis Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri.” Al-Adabiya:
Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan 12, no. 2 (2017): 140–155.

Nadhiroh, Wardatun. “Fahm Al-Qur’an Al-Hakim; Tafsir Kronologis Ala Muhammad


Abid Al-Jabiri.” Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin 15, no. 1 (2017): 13–24.

Na’im, Zaedun. “Epistimologi Islam Dalam Perpsektif M. Abid Al Jabiri.” JURNAL


TRANSFORMATIF (ISLAMIC STUDIES) 5, no. 2 (2021): 163–176.

Rizal, Syamsul. “Epistemologi Filsafat Islam Dalam Kerangka Pemikiran Abid Al-
Jabiri.” At-Tafkir 7, no. 1 (2014): 100–130.

Tika, Titian Ayu Naw. “Pemikiran Epistimologi Abid Al-Jabiri Dan Implikasinya
Bagi Dinamika Keilmuan Islam.” JOURNAL SCIENTIFIC OF MANDALIKA
(JSM) e-ISSN 2745-5955 | p-ISSN 2809-0543 2, no. 12 (Desemb (December
28, 2021): 612–621.

16

Anda mungkin juga menyukai