Anda di halaman 1dari 19

Munawir Syadzali : Reaktualisasi Hukum Islam

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

“Sejarah Perkembangan Pemikiran Hukum Islam”

Oleh :

AMIRA FATKHU ZULFA DINA


NIM : 503220003
Pembimbing :

Dr. Lutfi Hadi Aminudin, M.Ag


NIP. 197207142000031005

PROGRAM MAGISTER
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2022
A. Pendahuluan
Dinamika kehidupan masyarakat menjadi faktor pendukung atas
lahirnya kebutuhan pembaruan paradigma ijtihad dalam hukum Islam.
Sejarah telah membuktikan bahwa perkembangan hidup masyarakat telah
menyebabkan lahirnya perbedaan dalam merumuskan paradigma ijtihad
hukum Islam.1 Dinamika kehidupan masyarakat telah melahirkan
dinamika peran akal dan wahyu dalam kajian hukum Islam (baca: ushul
fiqh) yang dapat ditelusuri dalam sejarah pergulatan ijtihad hukum Islam
di kalangan imam Madzhab. Imam Mālik (93-179 H) yang hidup di
Madinah lebih tekstualis (ahl al-hadits) dalam merumuskan paradigma
ijtihad hukum Islam. Sementara itu, Imam Hanafi (80-150 H) yang hidup
di Irak lebih rasionalis (ahl al-ra’yu) dalam merumuskan paradigma ijtihad
hukum Islam.2 Dari dua paradigma ijtihad tersebut, Imam Syafi’i (150-204
H) yang pernah berguru pada Imam Mālik di Madinah dan Muḥammad
ibn Ḥasan al-Shaibani (w. 189 H) serta fuqahā’ lain di Irak berhasil
memadukan budaya masyarakat Madinah dan Irak dalam merumuskan
paradigma ijtihad hukum Islam, sehingga paradigma ijtihadnya memiliki
ciri moderat, yakni memadukan antara teks dan konteks, dalil naqli dan
dalil aqli.3Demikian juga Islam yang hadir di Indonesia memiliki karakter
Islam yang dinamis dan akulturatif. sehingga penyebaran Islam di
Indonesia berjalan masif berkat pendekatan penyebaran Islam melalui
proses rasional dan budaya. Demikian juga akulturasi hukum Islam
berjalan dengan dinamis.4
Bersamaan dengan berkembangnya zaman, seperti yang telah
dilakukan oleh Imam Syafii yang memadukan teks dan konteks, ada salah
seorang tokoh dari Indonesia yang mencoba melakukan kontekstualisasi
serta reaktualisasi hukum islam terutama dalam bidang-bidang tertentu
1
Harmonis Harmonis, “Sistem Penyiaran Syariah (Studi Eksploratif Konseptual),”Al-
Risalah: Forum Kajian Hukum Dan Sosial Kemasyarakatan, vol. 16, 2016, 121.
2
Ainol Yaqin, “Evolusi Ijtihad Imam Syafi’i: Dari Qawl Qadīm Ke Qawl Jadīd,” Al-Ahkam
26, no. 2 (2016): 144.
3
Ibid.
4
Moh Dahlan, “Paradigma Ijtihad Munawir Sjadzali Dalam Reaktualisasi Hukum Islam Di
Indonesia,” AT-TURAS: Jurnal Studi Keislaman 7, no. 2 (2020): 192.

1
seperti muamalah, akhwal syakhsiyah, dan lain-lain. Beliau dikenal
dengan nama Munawir Syadzali, tokoh pemikir yang pernah menjabat
sebagai Menteri Agama di Indonesia selama dua periode tersebut,
menghadirkan gagasan bahwasanya hukum islam di Indonesia perlu untuk
dekontekstualisasi serta direaktualisaikan sebagai upaya untuk
menyempurnakan hukum islam di Indonesia.
Sejauh ini, studi tentang pemikiran Munawir Syadzali dapat
diklasifikasikan menjadi dua tema besar yang memiliki keterkaitan erat
dengan tema yang akan penulis teliti. Pertama, penulisan artikel jurnal
yang membahas tentang reaktualisasi hukum Islam di Indonesia yang telah
ditulis oleh M. Usman5, Sulthan Syahril6, Toha Ma’arif7, Yuhanar Ilyas8,
Abdur Rahman Adi Saputera9. Kedua, penulisan artikel jurnal yang
membahas tentang Islam dan tata negara yang di tulis Imron Rosyadi10,
Abdul Basith11.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian kualitatif yang bersifat penelitian pustaka. Penelitian
pustaka atau library research ialah mencari data atau informasi dengan
cara menelaah berbagai literatur yang relevan dengan objek penelitian,
dalam konteks penelitian ini ialah data-data yang terkait secara khusus
dengan pandangan atau paradigma ijtihad Munawir Sjadzali, hukum islam
dan perkembangannya di Indonesia. Data yang diperoleh dalam kajian ini
kemudian dianalisis secara kritis yang bertujuan untuk mengetahui metode
5
M. Usman, “Analisis Historis Dan Filosofis Terhadap Pemikiran Reaktualisasi Hukum
Islam Munawir Sjadzali” (PhD Thesis, Universitas Islam Indonesia, 2014).
6
Sulthan Syahril, “Munawir Syadzali (Sejarah Pemikiran Dan Kontribusinya Bagi
Perkembangan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer),” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 11,
no. 2 (2011): 219–240.
7
Toha Ma’arif, “Fiqih Indonesia Menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin Dan
Munawir Syadzali,” Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 8, no. 2 (2015): 27–56.
8
Yunahar Ilyas, “Reaktualisasi Ajaran Islam: Studi Atas Pemikiran Hukum Munawir
Sjadzali,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 44, no. 1 (2006): 223–240.
9
Abdur Rahman Adi Saputera and Hendra Yasin, “Gagasan Nasikhul Mansukh Dalam
Lingkaran Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Reaktualisasi Ajaran Hukum Islam,” AHSANA
MEDIA: Jurnal Pemikiran, Pendidikan dan Penelitian Ke-Islaman 6, no. 2 (2020): 1–10.
10
Imron Rosyadi, “Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Pancasila Sebagai Dasar Negara
Ri” (2008).
11
Abdul Basith, “Paradigma Dan Pendekatan Pemikiran Munawir Syadzali Tentang Studi
Islam,” Al Hikmah: Jurnal Studi Keislaman 6, no. 1 (2016).

2
pembaharuan yang di gagas oleh Munawir Syadzali tentang Reaktualisasi
dan Konstektualisasi hukum Islam di Indonesia.

B. Literatur Review
Kata dasar dari reaktualisasi adalah “aktual”. Kata tersebut
merupakan kata serapan dari bahasa inggris actual yang mempunyai arti
sebenarnya atau sesungguhnya, kata actual kemudian dengan tambahan ize
(actualize) yang berarti melaksanakan atau mewujudkan. Apabila kata
tersebut ditambah awalan re dan actualize menjadi kata benda
reactualization yang berarti “membangun kembali atau menghidupkan
kembali”.12 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata aktual mempunyai
arti betul-betul terjadi, sedang menjadi pembicaraan orang banyak atau
baru saja terjadi. Kata “aktualisasi” prihal mengaktualkan atau
pengaktualan. Kata aktualisasi dengan tambahan awalan “re” menjadi
reaktualisasi mempunyai arti perbuatan mengaktualisasikan kembali atau
penyegaran dan pembaharuan nilai-nilai kehidupan masyarakat.13
Reaktualisasi Al-Qur’an atau reaktualisasi ajaran Islam sebenarnya
berangkat dari asumsi, bahwa Al-Qur’an atau ajaran Islam itu diturunkan
empat belas abad yang lalu sehingga menimbulkan pertanyaan, masih
relevankah Al-Qur’an atau ajaran Islam digunakan untuk saat ini? Mereka
yang mengusung gagasan reaktualisasi memandang bahwa Al-Qur’an atau
ajaran Islam itu sudah usang dan tidak relevan lagi, kecuali jika yang
usang dan tidak relevan tersebut diaktualkan kembali sehingga cocok
untuk kondisi kekinian. Selain reaktualisasi, istilah lain yang sering
mereka gunakan adalah revitalisasi atau menyegarkan kembali
pemahaman Islam. Semua itu intinya sama.14
Secara menyeluruh umat Islam menerima bahwasanya dasar
hukum Islam adalah al-Qur’an, al-hadits, ijma’ dan Qiyas. Dan dalil-dalil
12
John M. Echols and Hasan Shadily, “Kamus Indonesia-Inggris” (1992): 10.
13
Departemen Pendidikan, “Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua
Cet. Ke-IX” (Balai Pustaka, Jakarta, 1997), 20.
14
Syahril, “Munawir Syadzali (Sejarah Pemikiran Dan Kontribusinya Bagi Perkembangan
Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer),” 230.

3
al-Qur’an dan al-Hadist. yang termasuk dalil Nask menjadi sumber
rujukan hukum utama. Meskipun seiring jalan ta’wil-ta’wil yang berbeda
dari beberapa ahli membuat ragam hukum Islam tersebut, sehingga secara
madzhab fiqh kita mengenal madzhab yang empat. Mereka menta’wil dan
merefleksikan hukum sesuai dengan struktur dan konteks perkembangan
mayarakat pada waktu itu. Karena Fiqh merupakan refleksi logis dari
situasi dan kondisi dimana ia tumbuh dan berkembang.15

C. Result
1. Biografi Munawir Syadzali
Munawir Syadzali lahir di Karang Anom, Klaten, Jawa Tengah
tanggal 7 November 1925. Ia adalah anak tertua dari delapan
bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan Syadzali dan Tas’iyah.
Dari segi ekonomi, keluarganya tergolong jauh dari sejahtera, tetapi
dari segi agama keluarga ini adalah santri. Pendidikan SD dan SMP
ditempuh di Solo (1937-1940); Sekolah Tinggi Islam Mamba’ul Ulum
dan SMA di Solo (1943). Setelah menamatkan sekolah ini ia langsung
menjadi guru di Ungaran, Semarang (1944-1945), Kursus Diplomatik
dan Konsuler Deplu di Universitas Exeter, Inggris Raya (1953-1954);
memperoleh M.A. dari Universitas Georgetown, AS (1959)
mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam
dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.16
Munawir Syadzali merupakan tokoh intelektual dan agama serta
diplomat yang menjabat sebagai Menteri Agama sejak Kabinet
Pembangunan IV (1983-1988) hingga Kabinet Pembangunan V (1988-
1993). Karirnya di Departemen Luar Negeri dirintis sejak tahun 1950
ketika ditugaskan pada seksi Arab/Timur Tengah. Di luar negeri, ia
menjalankan tugas berturut-turut di Washington DC (19561959) dan
15
Apik Anitasari Intan Saputri, “Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali Dan
Kontekstualisasi Doktrin Islam Pribumi Abdurrahman Wahid,” Khuluqiyya: Jurnal Kajian Hukum
dan Studi Islam 3, no. 1 (2021): 25.
16
Syahril, “Munawir Syadzali (Sejarah Pemikiran Dan Kontribusinya Bagi Perkembangan
Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer),” 223.

4
Kolombo (1963-1968). Kemudian menjabat sebagai Minister/Wakil
Kepala Perwakilan RI di London (1971-1974) dan selanjutnya
diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Emirat Kuwait, Bahrain, Qatar
dan Perserikatan Keamiran Arab (1976-1980). Adapaun tugas-
tugasnya di dalam negeri adalah Kepala Biro Tata Usaha Departemen
luar Negeri (1969-1970), Kepala Biro Umum Deplu (1975-1976), Staf
Ahli Menteri Luar Negeri dan Direktur Jenderal Politik Deplu (1980-
1983). Setelah itu, Munawir diangkat menjadi Menteri Agama selama
dua periode (1983-1993). Jabatan lain yang pernah dijalaninya adalah
anggota DPA dan pernah menjadi ketua KOMNAS HAM Republik
Indonesia.17
Munawir Sjadzali merupakan birokrat yang cerdas dan produktif.
Adapun Karya-karya Munawir syadzali dalam bidang intlektual adalah
berupa buku-buku atau tulisan-tulisan dalam bentuk makalah seminar
dan lainnya, tentang islam dan hal-hal yang berkaitan dengan ke-
Indonesia-an. Diantaranya adalah sebagai berikut18 :
a. “Islam dan Tata Negara” merupakan pokok pikirannya tentang
wacana politik Islam yang dikomparasikan dengan konteks
pluralitas bangsa Indonesia, diterbitkan oleh UI Press.
b. “Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa” yang
berbicara mulai dari karakter dasar hukum Islam sampai
Pancasila, diterbitkan oleh UI Press.
c. “Ijtihad Kemanusiaan”, buku ini mengupas segi inner dinamic
Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin dalam perspektif
kemanusiaan, diterbitkan oleh Paramadina.
d. “Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa ini”, buku ini berisi
tentang tawaran Munawir tentang problematika yang dihadapi
umat Islam dewasa ini.

17
Ibid., 224.
18
Basith, “Paradigma Dan Pendekatan Pemikiran Munawir Syadzali Tentang Studi Islam,”
64.

5
e. “Islam and Govermental System: Teaching, History and
Reflections”, diterbitkan oleh INIS Jakarta.
f. “Reaktualisasi Hukum Islam”, tema ini tersebar di dalam
berbagai buku, bahkan sebagai tema polemik dalam diskursus
pemikiran Islam di Indonesia. Misalnya dalam buku “Ijtihad
Dalam Sorotan”, “Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam”, dan
“Hukum Islam di Indonesia”.

2. Reaktualisasi Hukum Islam Di Indonesia


Sejarah pergulatan antara agama Islam dan negara Indonesia
melahirkan perdebatan di kalangan para pendiri bangsa. Ada yang
berpandangan bahwa terkait dengan dasar negara tahun 1945,
golongan Muslim mengusulkan agama Islam menjadi ideologi negara,
sedangkan golongan Nasionalis berpandangan bahwa tidak setuju
dengan ide mengenai agama sebagai ideologi negara. Pada dekade
1950an, sidang-sidang konstituante memberi peluang bagi golongan
Muslim untuk mendiskusikan kembali ideologi dan undang-undang
dasar. Sikap golongan Muslim yang memperjuangkan aspirasi politik
keagamaan dalam kehidupan bernegara telah menimbulkan gesekan
baik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru.
Perdebatan antara golongan Muslim yang membawa aspirasi ideologi
Islam dan pemerintah yang mempertahankan ideologi Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD-NRI) tahun
1945 menimbulkan sikap saling curiga di antara keduanya. Dalam
ketegangan hubungan agama dan negara tersebut, Munawir Syadzali
diangkat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia untuk
menyelesaikan paham golongan Muslim yang memiliki aspirasi
ideologi politik Islam.19
Dalam kondisi demikian, gagasan ijtihad Munawir Sjadzali hadir
melakukan reaktualisasi hukum Islam memberikan semangat baru
19
Syahril, “Munawir Syadzali (Sejarah Pemikiran Dan Kontribusinya Bagi Perkembangan
Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer),” 228–229.

6
dalam merajut bangunan pemikiran keislaman dan kebangsaan yang
sering bergesekan akibat belum tercapainya pemahaman keislaman
yang mendasar mengenai prinsip Islam dalam membangun kehidupan
bernegara. Ijtihad Munawir Sjadzali telah membuka ruang baru yang
sesungguhnya belum pernah disentuh oleh pemikir-pemikir Muslim
sebelumnya secara tegas dan masif di Indonesia.20
Munawir syadzali menggagas perlunya reaktualisasi ajaran islam,
yang ia sebut juga dengan istilah dinamika hukum Islam di Indonesia.
Menurutnya bagi umat Islam di Indonesia perlu adanya aturan dan pola
hukum yang sesuai dengan keadaan, lingkungan, dan latar belakang
budaya Indonesia. Hal ini sangat mungkin dilakukan, bahkan sudah
seharusnya, karena hukum Islam pada dasarnya bersifat dinamis dan
sangat fleksibel. Gagasannya ini pertama kali ia kemukakan pada
tahun 1985, dan banyak disampaikan dalam berbagai forum ilmiyah.
Hanya saja pemikirannya tersebut banyak mendapat reaksi pro-kontra
yang cukup keras dari berbagai kalangan setelah ia sampaikan di
forum Paramadina, Jakarta.21
Paradigma ijtihad Munawir Sjadzali disuarakan untuk melakukan
reaktualisasi hukum Islam di Indonesia yang berlandaskan tiga
pendekatan, yakni Pertama, pendekatan Ijtihad mashlahah Imam Ath-
Thufi. Al-mashlahah al-mursalah itu berpijak pada nash dan ijma’
(kesepakatan ulama) dalam ibadah yang dikemukakan dengan jelas
dan rinci, sedangkan dalam bidang mu’amalah dan hukum-hukum
lainnya berpegang pada al-mashlahah al‘ammah (kepentingan umum).
Dalam ijtihad hukum Islam, penerapan kaidah hukum bukanlah
bertujuan mengubah nash-nash (teks-teks) al-Qur’an ataupun Sunnah,
tetapi mengubah tafsir terhadap teks-teks itu. Dalam konteks ini,

20
Satria Effendi Zein and Satria Effendi, “Munawir Sjadzali Dan Reaktualisasi Hukum
Islam Di Indonesia,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis, dkk (ed). Kontekstualisasi Ajaran Islam
70 (1995): 294.
21
Basith, “Paradigma Dan Pendekatan Pemikiran Munawir Syadzali Tentang Studi Islam,”
65.

7
Munawir Sjadzali menjadikan pemikiran Imam At-Thufi sebagai
landasan dalam melakukan reaktualisasi hukum Islam.22
Kedua, dalam melakukan reaktualisasi hukum Islam, Munawir
Sjadzali mengemukakan paradigma ijtihad naskh berdasarkan firman
Allah swt yang artinya: “Apa saja ayat yang kami naskh-kan
(batalkan), atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami
datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding
dengannya” (Q.S. al-Baqarah: 106). Dalam menafsirkan ayat ini,
Munawir Syadzali berpendapat bahwa pemikiran rasional dapat
menerima eksistensi naskh (pembatalan) terhadap hukum-hukum Allah
karena adanya tuntutan kebutuhan hidup masyarakat. Jika hukum itu
diundangkan, lalu eksistensi hukum itu mengalami perubahan, maka
suatu tindakan bijaksana melakukan penghapusan hukum dan
mengganti hukum itu dengan hukum lain yang lebih relevan dengan
keadaan mutakhir. Oleh sebab itu, pembangunan hukum Islam itu
dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan situasi. Ketiga,
pendekatan ijtihad ‘urf, secara historis, dalam paradigma ijtihad ‘urf
ini, Munawir Syadzali mendasarkan paradigma ijtihadnya pada
pemikiran ulama-ulama terkemuka, Izzuddin Abdussalam, Ibn al-
Qayyim al-Jauziyah, dan Abu Yusuf yang berpandangan bahwa
pembaruan hukum Islam harus bermuarah pada pemenuhan
kemaslahatan masyarakat yang hakiki dan senantiasa sesuai dengan
perubahan waktu, tempat (lingkungan), situasi, tujuan dan adat istiadat,
sehingga adat istiadat dapat menentukan pelaksanaan ketentuan sebuah
hukum. Dengan demikian, penerapan ijtihad dalam pembaruan hukum
Islam harus mempertimbangkan aspek tradisi baik tradisi yang
melatarbelakangi lahirnya teks al-Qur’an dan Sunnah maupun tradisi
baru yang menjadi tempat pemberlakuan ajaran hukum Islam.23

22
Dahlan, “Paradigma Ijtihad Munawir Sjadzali Dalam Reaktualisasi Hukum Islam Di
Indonesia,” 196.
23
Ibid.

8
Dalam upayanya melakukan reaktualisasi, Munawir bertopang
pada alasan-alasan ushul fikih yang menjamin terjadinya proses
reinterpretasi. Munawir sepakat dengan para ahli hukum Islam yang
membagi hukum Islam ke dalam dua kategori, yaitu hukum yang
berhubungan dengan ibadah murni dan hukum yang berhubungan
dengan kemasyarakatan (mu'amalah). Hukum kategori pertama hampir
tidak terdapat ruang campur tangan bagi penalaran. Sedangkan hal
yang termasuk kategori kedua, terbuka kesempatan bagi pemikiran
atau penalaran intelektual dalam mencari cara pelaksanaan, dengan
kepentingan masyarakat dan prinsip keadilan sebagai dasar
pertimbangan dan tolak ukur utama. Bagi Munawir, kepentingan
masyarakat dan pelaksanaan prinsip keadilan itu dapat berubah karena
perbedaan zaman, lingkungan, situasi dan budaya.24
Gagasan reaktualisasi yang menjadi fokus Munawir Syadzali
diantaranya pada bidang kemasyarakatan (mu’amalah), dan bukan
yang berhubungan dengan peribadatan murni (ibadah mahdlah).25
Menurut Munawir Syadzali umat Islam di Indonesia banyak yang
bersikap mendua dalam beragama.
a. Pada bidang kewarisan
Menurut Munawir Syadzali pembagian harta warisan antara
anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama rata, dan tidak
dua banding satu sebagaimana bunyi teks Alqur’an Surat an-
Nisa’ (4) ayat 11. Ayat tersebut menurut Munawir harus
dipahami secara kontekstual dan bukan secara tekstual.26 Dalam
Q.S. An Nisa’ (4) ayat 11 secara jelas dinyatakan bahwa hak
anak laki-laki adalah dua kali besar daripada hak anak
perempuan. Namun, ketentuan ini menurutnya sudah banyak
ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara
24
Saputera and Yasin, “Gagasan Nasikhul Mansukh Dalam Lingkaran Pemikiran Munawir
Sjadzali Tentang Reaktualisasi Ajaran Hukum Islam.”
25
Basith, “Paradigma Dan Pendekatan Pemikiran Munawir Syadzali Tentang Studi Islam,”
66.
26
Ibid., 65.

9
langsung maupun tidak langsung. Dari kunjungannya ke
berbagai daerah dan informasi dari para hakim Peradilan
Agama, ia mendapati bahwa banyak umat Islam yang
menyelesaikan masalah harta warisannya ke Pengadilan
Negeri, tidak ke Pengadilan Agama. Hal tersebut tidak hanya
dilakukan oleh orang awam, tetapi juga banyak dilakukan oleh
tokoh Organisasi Islam yang cukup memahami hukum Islam.
Disamping itu, menurutnya telah membudaya juga
penyimpangan tidak langsung dari ketentuan Alqur’an tersebut.
Banyak kepala keluarga di Indonesia yang mengambil
kebijakan preemptive; semasa masih hidup mereka telah
membagikan sebagian besar kekayaannya sebagai hibah kepada
anak-anaknya, dengan bagian yang sama besar tanpa
membedakan jenis kelamin. Dengan demikian. Pada waktu
meninggal kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit atau
bahkan hampir habis sama sekali. Walaupun secara formal hal
itu tidak bertentangan dengan ketentuan Alqur’an, namun
tindakan tersebut pada dasarnya termasuk hailah (rekayasa)
untuk menghindari ketentuan ilmu waris Islam (faraidl).27
Dalam menyampaikan gagasannya, Munawir menggunakan
dua landasan, baik secara rasional maupun teoritis.
Pertimbangan secara rasional, bahwa penyimpangan ketentuan
pembagian 2:1 bukan disebabkan oleh tipisnya keIslaman
seseorang, melainkan atas pertimbangan yang dirasa bahwa
budaya dan struktur sosial masyarakat membuat pelakasanaan
pembagian waris secara utuh kurang dapat diterima oleh rasa
keadilan. Adapun secara teoritis, diperbolehkannya atau tidak
merubah ketentuan yang telah digariskan secara jelas di dalam
al-Qur’an, Munawir mengemukakan beberapa alasan :

27
Ibid.

10
1) Pertama, adanya hukum naskh dalam al-Qur’an
maupun hadits Nabi saw. Dalam al-Qur’an terdapat
ayat-ayat yang berisikan pembatalan atau pergeseran
terhadap hukum-hukum yang diberikan kepada Nabi
saw.28
2) Kedua, pendapat para ahli hukum mengenai ayat 106
surat al-Baqarah 92 , yang menjadi landasan adanya
naskh dalam al-Qur’an. Seperti Ibnu katsir yang
menyatakan tidak tertolaknya hukum naskh dalam
hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah. Al
Maraghi yang menyatakan bahwa apabila suatu hukum
dipandang telah tidak sesuai dengan kebutuhan, maka
tindakan bijaksana yang perlu dilakukan adalah
menghapus hukum tersebut dan menggantikannya
dengan hukum lain yang sesuai dengan kebutuhan
tersebut. Pendapat Rasyid Ridla tentang dapat
berubahnya suatu hukum karena perbedaan waktu,
tempat, dan situasi, yang hal ini memiliki konsekwensi
dapat dirubahnya tau dibatalkannnya suatu hukum
dengan hukum yang baru.29
3) Ketiga, pendapat para ahli hukum dari empat madzhab
yang dapat dikatakan mencapai kesepakatan bahwa
dalam hukum yang menyangkut muamalah duniawiyah,
terdapat ruang gerak penalaran intelektual, dengan
kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan
atau tolok ukur utama. Pendapat tersebut merupakan
kesimpulan Munawir dari beberapa pendapat para ahli

28
Muchammad Hammad, “Waris Dan Wasiat Dalam Hukum Islam: Studi Atas Pemikiran
Hazairin Dan Munawir Sjadzali,” At-Tahdzib: Jurnal Studi Islam dan Muamalah 3, no. 1 (2015):
56.
29
Ibid.

11
hukum mengenai hukum yang bertalian dengan
kemsyarakatan.30
Untuk mendukung gagasannya itu Munawir
mengemukakan fakta historis bahwa Umar pernah
melakukannya dalam kasus rampasan perang yang sudah
diatur oleh surat al-Anfal: 41. Umar tidak mau membagi-
bagi tanah rampasan perang di daerah Syam untuk para
prajurit, tapi hanya menarik pajak dari pemiliknya, dan
pajak itu digunakan untuk membiayai angkatan bersenjata
yang harus tetap berada di posnya di daerah utara31
b. Pada bidang muamalah
Umat Islam di Indonesia menurutnya banyak yang bersikap
mendua dalam beragama. Misalnya banyak umat Islam yang
berpendirian bahwa bunga bank itu riba sehingga keduanya
sama-sama haram dan terkutuk, dan dengan demikian harus
ditinggalkan. Namun, dalam waktu yang sama banyak di antara
mereka yang mempergunakan jasa bank, baik berupa tabungan,
deposito, maupun jasa bank lainnya yang tentu saja berkaitan
dengan bunga (interest). Mereka beralasan bahwa penggunaan
jasa bank tersebut adalah karena darurat, padahal kelonggaran
yang diberikan dalam keadaan darurat itu sebagaimana
dikemukakan dalam Q.S. Al Baqarah (2) ayat 173, adalah
dengan syarat tidak ada unsur kesengajaan dan tidak lebih dari
pemenuhan kebutuhan finansial primer.32
Sikap mendua masyarakat Islam Indonesia tersebut menurut
Munawir tidak selalu disebabkan oleh tipisnya keimanan, tetapi
pada dasarnya dapat juga disebabkan oleh pertimbangan bahwa
budaya dan struktur sosial serta konteks masyarakat Indonesia.

30
Ibid., 57.
31
Ilyas, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” 233.
32
Basith, “Paradigma Dan Pendekatan Pemikiran Munawir Syadzali Tentang Studi Islam,”
65.

12
Paradigma ijtihad Munawir Sjadzali telah menawarkan alternatif
baru dalam mendorong pembaruan melalui gerakan reaktualisasi
hukum Islam untuk mewujudkan “universalitas konkret”, yakni
upaya melakukan pembumian atau transformasi hukum Islam
dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat di Indonesia.
Menurut Munawir, esensi reaktualisasi adalah kontekstualisasi
ajaran Islam itu sendiri. Untuk mempertahankan ajaran Islam yang
berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan dan mu’amalah,
dengan dunia yang terus bergerak maju dan berubah ini, model
pemahaman yang hanya mendasarkan pada pemahaman secara
harfiyah atau tekstual ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits harus segera
diakhiri. Sebaliknya, harus dilempangkan sebuah jalan bagi pilihan
pendekatan dan metode baru, yang dapat digunakan dalam proses
kontekstualisasi atau bahkan situasionalisasi ajaran, satu usaha
yang tetap konsisten pada esensi dari petunjuk Ilahi dan tuntutan
nabi, serta didasari keyakinan bahwa Islam itu merupakan suatu
agama yang memiliki kelenturan.33
3. Islam dan Tata Negara
Kajian yang dilakukan Munawir, seperti dituangkan dalam
bukunya, Islam dan Tata Negara, ternyata warisan sistem politik Islam
didasarkan pada pengalaman kekhalifahan dengan tidak ada standar
yang baku, sejak masa Nabi, al-Khulafa‘ al-Rasyidin sampai Turki
Usmani, bahkan negara-negara Islam pasca kolonialisme pun
menunjukkan beragam sistem ketatanegaraannya. Keragaman ini
menunjukkan adanya keterlibatan budaya lokal dalam perumusan dan
pemilihan sistem kenegaraan yang dipilih. Pengalaman Nabi
memimpin negara Madinah, seperti terlihat dalam Piagam Madinah,
misalnya, tidak menyebutkan Islam sebagai dasar negara. Di situ
menjelaskan tentang berbagai suku dan agama dicantumkan, sementara

33
Ma’arif, “Fiqih Indonesia Menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin Dan
Munawir Syadzali,” 51.

13
wilayah yang menjadi kewenangan Nabi sebagai kepala negara sangat
terbatas.
Dalam praktik memimpin negara Madinah, Nabi menjadi figur
sentral: sebagai Nabi dan Rasul, sebagai hakim dan posisi lainnya
dipegang oleh Nabi Muhammad. Berbagai atribut yang melekat pada
diri Nabi tidak bisa dilepaskan dari statusnya sebagai Nabi dan utusan
Allah yang mendapatkan wahyu, sehingga Nabi Muhammad diyakini
banyak benarnya. Dari sini, dapat dilihat bahwa praktik kenegaraan
Nabi diperoleh berdasarkan pada kondisi khusus, dalam hal ini
berdasarkan kondisi dan situasi yang terbatas dan kenabian Nabi
Muhammad. Begitu juga pasca wafatnya Rasul, memberikan warisan
sistem politik yang berbeda satu dengan lainnya, misalnya sistem
pemilihan dan mengakhiri kekhalifahan. Demikian juga pasca al-
Khulafa‘ al Rasyidin yang didasarkan pada sistem monarkhi
(pemilihan kepala negara berdasarkan turun temurun), mulai masa
Umayyah sampal Turki Usmani.34
Meskipun demikian, Munawir tidak menyetujui adanya pemisahan
Islam dan persoalan kenegaraan (sekulerisme) seperti digagas oleh Ali
Abd. Raziq. Menurut Munawir, Islam masih harus dilibatkkan dalam
persoalan kenegaraan, namun keterlibatan ini tidak formal. Artinya,
Islam sendiri dapat menerima sistem kenegaraan yang berlaku sejauh
negara memberikan ruang untuk implementasi Islam karena Islam
sendiri, seperti digariskan al-Qur’an, hanya memberikan seperangkat
nilai saja. Pada titik ini, Munawir berbeda dengan pandangan bahwa
Islam mempunyai sistem yang lengkap termasuk sistem politik, karena
itu diperlukan perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar
Negara formalistik, seperti digagas oleh al-Maududi dan orang-orang
sealiran dengannya. Menurut Munawir, adalah tidak ada suatu

34
Rosyadi, “Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Pancasila Sebagai Dasar Negara Ri,”
185.

14
keharusan memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara untuk
dilakukan oleh orang Islam yang terjun ke dunia politik.35

D. Discussion
Islam sebagai salah satu sistem hukum yang diterapkan oleh
penganutnya dalam kehidupan individu dan masyarakat juga tidak lepas
dari statemen-statemen atas perubahan sosial yang mengitarinya.
Keresahan atas fenomena-fenomena “mendua”, yang kemudian
melahirkan gagasan reaktualisasi hukum Islam Munawir Syadzali. Inti dari
gagasan yang dikemukakan Munawir adalah tentang perlunya
mempertimbangkan konteks kehidupan sosial-budaya masyarakat dalam
memahami dan membuat kesimpulan hukum dari ayat-ayat Al-Qur’an
dalam bidang kemasyarakatan, walau pun untuk itu kelihatannya tidak
mengamalkan makna lahir dari teks tersebut.
Dalam pandangan Munawir, upaya Reaktualisasi ajaran Islam
bukan berarti memodernkan Islam, karena Islam adalah satu agama yang
kekal dengan ajaran yang universal, tetapi lebih berarti melaksanakan
ajaran Islam sesuai dengan keadaan lingkungan. Bagi Munawir, ijtihad
dalam hukum Islam merupakan jalan yang harus ditempuh oleh umat
Islam agar mampu memberikan sumbangan kepada peradaban dunia di
zaman kita hidup sekarang ini. Sehingga pandangan yang melihat Islam
sebagai agama yang terbelakang dapat ditepis dan dibuktikan bahwa ajaran
Islam benar-benar ajaran yang rahmatan li al-'alamin.
Mengenai islam dan tata negara, ada teori yang membagi hubungan
antara islam ataupun agama dan negara menjadi tiga paradigma, yaitu
paradigma integralistik, paradigma sekularistik, dan paradigma simbiosis.
Paradigma integralistik beranggapan bahwasanya islam adalah agama
yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk perihal
ketatanegaraan. karena ada paradigma inilah kemudian sampai ada istilah
bahwasanya Arab Saudi adalah negara islam, Yaman adalah negara islam,

35
Ibid., 186.

15
dan lain sebagainya. Yang kedua adalah Paradigma sekularistik,
paradigma ini memiliki pandangan bahwasanya urusan kenegaraan tidak
boleh dicampur adukkan dengan urusan agama. Negara-negara yang
menggunakan paham sekularisme sebagai contoh adalah Amerika,
Perancis, Kanada, dan lain-lain. Yang terakhir adalah paradigma
simbiosis, dimana paradigma ini memahami agama dan negara sebagai
sesuatu yang saling melengkapi dan memberikan keuntungan satu sama
lain. Munawir Syadzali sendiri masuk dalam teori paradigma simbiosis,
dimana ia berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
kenegaraan, tetapi terdapat seperangkat nilai etika bagi kehidupan
bernegara sehingga konteks Islam dan Negara dapat saling melengkapi.

E. Conclusion
Paradigma ijtihad Munawir Sjadzali dalam melakukan reaktualisasi
hukum Islam telah mendorong lahirnya semangat untuk melakukan ijtihad
dan pembaruan hukum Islam, menjadikan norma hukum Islam lebih
membumi dan tidak asing dari tuntutan empiris masyarakat, bahkan
mendorong pemberlakuan norma hukum Islam lebih relevan dengan
kebutuhan masyarakat Muslim Indonesia serta dapat membendung arus
Arabisasi norma hukum Islam yang hingga kini semakin masif
penyebarannya di Indonesia. Atas dasar itu, paradigma ijtihad Munawir
Sjadzali dalam melakukan reaktualisasi hukum Islam di Indonesia terbukti
memiliki tingkat relevansi yang tinggi dan menjadi kebutuhan masyarakat
Muslim di Indonesia. Bagaimana pun pengaruhnya, yang pasti gagasan
reaktualisasi ajaran Islam yang dilontarkan Munawir dapat merangsang
aktivitas intelektual di Indonesia, khususnya dalam bidang studi Islam.

DAFTAR PUSTAKA

16
Basith, Abdul. “Paradigma Dan Pendekatan Pemikiran Munawir Syadzali Tentang
Studi Islam.” Al Hikmah: Jurnal Studi Keislaman 6, no. 1 (2016).
Dahlan, Moh. “Paradigma Ijtihad Munawir Sjadzali Dalam Reaktualisasi Hukum
Islam Di Indonesia.” AT-TURAS: Jurnal Studi Keislaman 7, no. 2 (2020):
191–205.
Echols, John M., and Hasan Shadily. “Kamus Indonesia-Inggris” (1992).
Hammad, Muchammad. “Waris Dan Wasiat Dalam Hukum Islam: Studi Atas
Pemikiran Hazairin Dan Munawir Sjadzali.” At-Tahdzib: Jurnal Studi
Islam dan Muamalah 3, no. 1 (2015): 46–59.
Harmonis, Harmonis. “Sistem Penyiaran Syariah (Studi Eksploratif Konseptual).”
In Al-Risalah: Forum Kajian Hukum Dan Sosial Kemasyarakatan,
16:113–130, 2016.
Ilyas, Yunahar. “Reaktualisasi Ajaran Islam: Studi Atas Pemikiran Hukum
Munawir Sjadzali.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 44, no. 1
(2006): 223–240.
Ma’arif, Toha. “Fiqih Indonesia Menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin
Dan Munawir Syadzali.” Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat
Islam 8, no. 2 (2015): 27–56.
Pendidikan, Departemen. “Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Kedua Cet. Ke-IX.” Balai Pustaka, Jakarta, 1997.
Rosyadi, Imron. “Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Pancasila Sebagai Dasar
Negara Ri” (2008).
Saputera, Abdur Rahman Adi, and Hendra Yasin. “Gagasan Nasikhul Mansukh
Dalam Lingkaran Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Reaktualisasi
Ajaran Hukum Islam.” AHSANA MEDIA: Jurnal Pemikiran, Pendidikan
dan Penelitian Ke-Islaman 6, no. 2 (2020): 1–10.
Saputri, Apik Anitasari Intan. “Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali Dan
Kontekstualisasi Doktrin Islam Pribumi Abdurrahman Wahid.”
Khuluqiyya: Jurnal Kajian Hukum dan Studi Islam 3, no. 1 (2021): 24–50.

17
Syahril, Sulthan. “Munawir Syadzali (Sejarah Pemikiran Dan Kontribusinya Bagi
Perkembangan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer).” Analisis:
Jurnal Studi Keislaman 11, no. 2 (2011): 219–240.
Usman, M. “Analisis Historis Dan Filosofis Terhadap Pemikiran Reaktualisasi
Hukum Islam Munawir Sjadzali.” PhD Thesis, Universitas Islam
Indonesia, 2014.
Yaqin, Ainol. “Evolusi Ijtihad Imam Syafi’i: Dari Qawl Qadīm Ke Qawl Jadīd.”
Al-Ahkam 26, no. 2 (2016): 143–178.
Zein, Satria Effendi, and Satria Effendi. “Munawir Sjadzali Dan Reaktualisasi
Hukum Islam Di Indonesia.” dalam Muhammad Wahyuni Nafis, dkk (ed).
Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 (1995).

18

Anda mungkin juga menyukai