Anda di halaman 1dari 11

FIQH DIFABILITAS : STUDI TENTANG HUKUM ISLAM BERBASIS

DIFABILITAS DAN RELEVANSINYA DENGAN DIFABILITAS DI


INDONESIA

M. Khoirul Hadi al-asy ari


Alumnus Pasca SarJana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pegiat hokum Islam Ponpes
Baitul Hikmah Yogyakarta
hadiari@gmail.com
This study is a research-based research library, which is the
theme of disability Fiqh, Islamic Legal Studies based on
disability. In this study, there are three questions, first how
the concept Fiqh-based disability? What relevance to
disability in Indonesia, with the approach of content analysis
to explain the concept of disability fiqh, while the first results
of the study are based on the concept Fiqh fabilitas, both
what relevance to developments in fabilitas in Indonesia,
This shows that Islam is a religion Rahmatal Lil Alamin.
Penelitian ini adalah penelitian yang berbasis library
research, yang mengangkat tema Fiqh Difabilitas, Studi
Tentang Hukum Islam berbasis Difabilitas. Dalam penelitian
ini ada tiga pertanyaan, pertama bagaimana konsep Fiqh
Berbasis Difabilitas ? apa relevansinya dengan difabilitas di
Indonesia, dengan pendekatan konten analisis untuk
menjelaskan konsep fiqh Difabilitas, adapun hasil penelitian
adalah pertama konsep Fiqh Berbasis di fabilitas, kedua apa
relevansinya dengan perkembangan di fabilitas di Indonesia,
Ini menunjukkan bahwa Islam adalah Agama Rahmatal Lil
Alamin.
Keyword : Fiqh, Difabilitas, Hukum Islam.
PENDAHULUAN
Secara prinsipil, semua muslim meyakini Al-Quran sebagai sumber asasi
ajaran Islam, syariat terakhir yang memberi petunjuk arah perjalanan hidup manusia.
Berdasarkan keyakinan tersebut, umat Islam berlomba-lomba mengamalkan ajaran
Islam sehingga mereka tidak hanya berharap selamat menjalani hidup di dunia tapi
juga hidup di akhirat. Meski demikian, keyakinan saja ternyata tidak cukup. Al-Quran
sebagai kitab petunjuk tidaklah proaktif memberikan petunjuk layaknya manusia.
Manusialah yang bertanggung jawab membuat al-Quran aktif berbicara sehingga ia
bisa berfungsi sebagai petunjuk.
Agar al-Quran proaktif memberi petunjuk kepada manusia ke arah jalan yang
benar, para pemikir Muslim pun melakukan pembacaaan terhadapnya untuk menggali
pesan petunjuknya. Namun meski petunjuknya sama, pembacaan tersebut tidak lantas
dengan sendirinya melahirkan pemahaman yang sama terhadap al-Qur’an.
Ketidaksamaan pemahaman itu bukan saja disebabkan perbedaan latar belakang sosial
mereka tetapi juga pendekatan yang dipakai dan ideologi yang mendasarinya.
Al-Quran menjadi dasar hukum Islam. Hukum Islam dalam konsepsi orang
Muslim bukan semata katagori normatif menyangkut aturan-aturan tingkah laku yang
harus dipatuhi belaka, melainkan juga adalah suatu katagori epitemik dalam arti
bahwa hukum merupakan suatu objek yang pengetahuan kita mengenainya harus
terjustifikasikan. Bukan suatu kebetulan bahwa salah satu nama hukum Islam itu
adalah fikih, dari kata Arab al-fiqh, yang berarti paham, mengerti atau pengetahuan1.
Bahkan hukum itu sendiri oleh para ahli hukum Islam diidentikkan dengan
pengetahuan. bagi mereka pengetahuan tidak saja berarti ilmu kedokteran atau
astronomi, misalnya, melainkan juga meliputi pengetahuan tentang tingkah laku yang
diridai oleh Tuhan dan norma-norma yang mengaturnya.2
Teori Hukum Islam (Ushul Fikih), sebagai disiplin yang mengkaji hukum
Islam, tidak hanya mempelajari masalah-masalah hukum dan legetimasi dalam suatu
konteks sosial dan intitusional, tetapi melihat persoalan hukum sebagai masalah
epistomologi. Artinya pendekatan teoritisasi Hukum Islam ditekankan pada prespektif
pengetahuan dan lebih tepatnya dilihat dari segi katagori pengetahuan yang pasti
(al-‘ilmu) sebagai dilawankan dengan pengetahuan tentatif (az-zann).3 memang Ushul
fikih tidak hanya berisi analisis mengenai argumen dan penalaran hukum belaka,
melainkan di dalamnya juga terdapat pembicaraan mengenai logika formal, teologi
dialektik, teori linguistik dan yang tidak kurang pentingnya-serta, menurut Wael B.
Hallaq, merupakan elemen kontitutif usul fikih- adalah epistemologi hukum semisal
Qiyas.
Selain Qiyas, ada fatwa yang juga merupakan salah satu produk hukum Islam,
fatwa adalah hasil ijtihad seorang mufti, ketika seorang mufti tersebut di minta untuk
memecahkan sebuah persoalan yang timbul dan berkembang di suatu masyarakat
tertentu. fatwa dari hasil ijtihad seorang mufti mempunyai ruang gerak dan dimensi
yang berbeda, dari pada hasil ijtihad dan istimbath al-hukum, fatwa bersifat
permintaan yang hanya mengikat pada si peminta fatwa, dan fatwa hasil ijtihad
seorang mufti tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam artian, bahwa
hasil fatwa tidak dapat mengikat bagi seorang peminta fatwa untuk mengikuti fatwa
tersebut, ataupaun tidak mengikuti.
Salah satunya adalah kajian fiqh yang era baru ini adalah kasus soal fiqih bagi
difabilitas atau penyandang kebutuhan khusus dalam hal ini kajian kekinian yang
berkaitan dengan fiqh yang berkebutuhan khusus dan atau difabilitas sebgai sebuah
keilmuan Fiqh yang inklusif menjadi salah satu hal yang urgen untuk di gali dan di
sestimaiskan dalam bingkai maslahat Maqasid Syari’a dan keilmuan lain.

MAQASID SYARI’AH FIQH DIFABILITAS


Maqashid asy-Syar’I maqashid syari’ah dan al-Maqashid al-Syar’iyyah
mempunyai konotasi makna yang sama karena istilah-istilah itu terbentuk dari dua
ungsur, yakni Maqashid dan syari’ah, dengan berbagai variasinya. 4 Kata maqashid
adalah bentuk prural dari kata maqsid yang berasal dari kata kerja qasada, yang berrti
memaksudkan, atau menuju sesuatu.5maka dari situ maqashid adalah obyek sasaran
dari suatu tindakan, sedangkan kata syari’ah adalah kebiasaan atau sunnah,6 pada

1
Al-Gazhali, al-Mustasfa min ilm al-Usul (kairo: Syirkah at-Tiba’ah al-Fannaiyyah al-
Muttahidah, 1970), halaman 11.
2
Hallaq, “On the Origins of The controversy about The Existence of Mujtahids and The Gate
of Ijtihad, “ SI, 63 (1986), Halaman 131.
3
Jeanette Wakin, “Interprtation of the Divine Comand in The Jurisprudence of Muawwaq al-
Din Ibn Qudamah, dalam ILJ, Halaman 33.
4
Hanya satu yang perlu dijelaskn bahwa kata syar’I disini berarti adalah pembuat hukum yang
tentu saja maksudnya adalah Alloh dan Rasullnya yang bertindak sebgai wakil atas nama Allah.
Selanjutnya kata Syari’ah sudah masuk dalam kosa kata bahasa Indonesia.
5
Luis Ma’luf, al- Munjid, (Bairut: Dar al-Fikr al-Masriq, 1986) halaman 632. Ahmad Warson
al-Munawwir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: UPBI PP. al-Munawwir, 1984), halaman 1208.
6
Louis Ma’luf, Ibid, halaman 382, A.W. al-Munawwir, Ibid, Halaman 762. Kata ini sudah
menjadi bagian dari bahasa Indonesia.
awalnya kata syari’ah dimaksudkan tuntunan dari Allah kepada Rasulnya. 7 Dalam
pandangan ahli fiqh hal itu mengalami penyempitan makna, bagi merek syari’ah
merupakan bagian tertentu dalam ajaran Islam yang mempunyai sangku paut dengan
salah satu tema khusus dalam al-Qur’an yang secara sederhana adalah tiga gal:
Aqidah, Akhlaq, dan Syari’ah. Dalam kaitan ini akhirnya definisi syariah sebgai
hukum syara. Yang berkaitan dengan amal perbuatan lahir mukallaf (Muslim yang
layak menerima beban kewajiban).8
Sugguhpun asy Syatibi9, dianggap “Syaikh al-Maqashid” tokoh utama teori tujuan
hukum. Akan tetapi sayang sekali ia tidak memberikan pengertian sedikitpun

7
QS 42;13. Bandingkan dengan QS, 45;18, lihat penjelasan Fazlur Rahman dalam Islam,
(Chicago: University of Chicago, 1979) halaman 108.
8
Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul Fiqh, (Ttp,: Dar al-Qalam, 1977) halam 22-27. Wahbah az-
Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami, (Bairut: Dar al-Fikr, 1986) juz 1, halaman 438.
9
Sumber utama yang selalu menjaidi rujukan oleh pengulas asy-Syatibi adalah karya Ahmad Baba
at-timbukti (wafat 1036/1626), yakni Nail al-Ibtijaj yang berisi riwayat hidup pertama tentang asy-tibi.
Timbukti memang bukan hanya penulis biografi yang pertama akan tetapi juga sebgai sumber pertama
dalam hal ini.hampir semua penulis berikutnya yang membicarakan Syatibi berada di abad ke-20 dan
merek sangat tergantung pada ulasan Timbukti. Dengan dua kitab yang dihasilak oleh Timbukti
walaupaun dalam pembuatanya dirinya dalam pengasingan di Maroko, akan tetapi upaya untuk
membuat karya berkaiatan denga asy-Syatiby begitu besar. Nail al-Ibtihaj dan Kifata al-Muhtaj adalah
dua kitab yang manjdi hasil pembacaaannya dengan meminjam buku milik para sarjana maroko dan
perpustakaan-Perpustakaan di Maroko.Yang menjadi aneh adalah para penulis Tabaqat biografi tokoh
semisal Ibnu farihun (w. 779/1396) penulis al-Dibaj al-Muazzab, adalah orang satu angakatan dengan
asy-Syatibi tetapi tidak menyebutkan namanya. Sedangkan itu penulis sejarah terkemuka Ibn Kholdun
dan Ibn al-Khatib (w. 776/1374) yang juga hidup sezaman dengan syatibi. Sungguhpun mereka berdua
menulis sejarah panjang tentang granada dan kebesaran namnya serta sarjana-sarjan lain tidak
mencumtumkan Nama syatibi dalam daftar tokoh yang dibahas. Masalah ini bisa di jelaskan karena
sebagian kehidupan Ibnu Farhun adalah di dunia timur, dan dia menulis dari bahan-bahan
sekunder.Sampai sejauh ini informasi tenntang kehidupan asy-syatibi masih sangat minim, sehingga
kita tidak tahu banyak tentang keluarga dan kehidupan awalnya. Yang dapat diketahui adalah bahwa
Syatibi dinisbhakan kepada keluarga dari kalangan syatiba , sebuah kota kecil di wilayah Granada.
Syatibi dibesarkan di kota tersebut dan memperoleh seluruh pelajarannya di kota tersebut. Masa muda
syatibi bertepatan dengan pemerintahan dari sultan Muhammad V al-Ghani Billah dari dinasti Bani
Nars yang merupakan masa keemasan bagi Granada. Kota ini menjadi pusat kajian dari seluruh kota di
afrika Utara.Sedangkan mata pelajaran yang ditempuh oleh syatibi adalah bahasa, tata bahasa dan
kesusastraan Arab. Dalam ketiga mata pelajaran itu syatibi belajar kepada al-Birri yang dikenal sebgai
seorang ahli tata bahasa, di andalasusia. Syatibi belajr kepdanya sampai dia meninggal dunia. Catatan-
catatan syatibi adalam al- Ifadat mengambarkan secara jelas bahwa ia mendapatkan pendidikan secara
serius dalam bidang kebahasaaan khususnya bahasa Arab.Dalam bahasa selain al-Birri, asy-Syatiby
juga belajar kepada Abu al-Qashim Syarif as-Sabti (w. 760/1358).ia juga sebagai ketua Kadi di
Granada, syatibi juga bayak berhutang baik dengan Abu Sai’d Ibn Lubb, seorang ahli fikih dari
Andalausia yang terkenal karean berkat jasanya syatibi mendapatkan pendidikan fikih dan seluruhnya
diselsaikan kepda Ibn Lubb. Dan walaupun pada akhirnya Syatibi berbeda pendapat dengan Ibn
lubb.Guru-guru Syatibi adalah sarjana-sarjana terkemuka di Granada dan orang-orang yang
mengunjungi Granada. Diantara mereka adalah Abdullah al-Maqarri, yang datang ke granada pada
tahun 757/1356. Karean diutus oleh sultan Banu Marin.sebagai seorang diplomat. Maqarri mempunyai
kariri yang hebat, dan sultan Abu Inan memilihnya sebagai Kadinya.dia adalah salah satu penulis
gramatika Arab yang terkenal, dan pemegang Muhaqqiq yang tertinggi dalam penerpan prinsip-prinsip
dalam mazhab Maliki. Terhadap kasus-kasus khusus.dan dari tangan al-Maqarri syatibi diajari ushul
fiqh gaya ar-Razi karean dia salah seorang ulama peringkas al-Mahsul milik ar-Razi (w. 606/1209).dan
juga penulis ulasan dari muhtasharnya karya al-Hajib yang memperkenalkan pandangan pandangan
Razi kedalam Ushul fiqh Maliki.Salah satu guru syatibi yang terkenal adalah Abi Ali Mansur az-
Zamawi yang datang dari granada pada tahun 753/1352. Ibn Khatib memujinya dengan memebrikan
bea siswa untuk mempelajari ilmu tradisional dan ilmu rasional. Ia nampaknya sering berdebat dengan
ahli hukum ahli hukum dari Granada. Dari dia syatibi belajar ilmu-ilmu Tradisional, az-zamawi sering
mengutip gurunga ibn Musfir, yang mengandalkan pemahaman Razi, yang mengandalkan empat buku,
mengenai tujuan hukum. Barang kali ia mengangap hal ini sudah cukup jelas, apalagi
salah satu bagian dari bukunya al-Muwaffaqat secara khusus membicarakan tujuan
hukum.di samping itu untuk kalangan ulama syari’ah yang mendalam. Ia menyatakan:
Bagi orang yang membaca kitab ini tidak boleh
melihat dengan kaca mata pemula dan penegah,
akan tetapi hendaknya ia memperkaya diri dengan
ilmu syari’ah baik ushul maupun furu’ dan serta
ma’qul dan manqul dengan meninggalkan taqlid
dan fanatisme manzhab.10
Dari ungkapan diatas, dan menyetir pendapat Ibnu Asyur yang menyatakan tujuan
hukum itu ada dua, yaitu ada yang khusus ada yang umum. Yang umum adalah :
Makna-makna dan hikmah-hikmah yang
diperhatikan oleh pembuat hukum, dlam semua
atau sebagian besar kondisi penetapan hukum,
termasuk dalam katagori ini antara lain:
memelihara ketertiban dan mendatangkan
kemaslahatan, menolak kemafsadatan mengeakkan
persamaan dikalangan Umat Manusia,
menjadikan syari’ah berwibawa, di patuhi dan
dilaksankan serta diciptakan umat yang solid,
aman dan tentram.11
Sedangkan tujuan hukum yang khusus adalah :
Adalah tata cara yang dimaksudkan oleh
pembauat hukum untuk merealisaikan manfaat
bagi manusia untuk memelihara kemaslahatan
dalam perbuatan tertentu, misalnya jaminan
kepercayaan dalam akad pengagadaian membian
kerukuan rumah tangga dalam akad perkawinan
dan menghilangkan mafsadah yang berkelanjutan
dalam talak.12
Sedangkan al-Fasi memberina definis tujuan hukum lebih ringkas yaitu:
Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh syariah dan rahasia-
rahasia di balik setiap ketetapan dalam hukum syariah.
Jika melihat dari seluruh definisi yang telah kami sebutkan di atas terlihat benang
merah yang pada akhirnya memberikan kesimpulan ialah obyek dan sasaran serta
kondisi yang hendak dicapai dengan penetapan hukum, baik sasarana itu bersifat
yang kesemuanya ditulis oleh orang-orang Mu’tazilah yang mengacu pada kitab ad-Dalail. Sedang
ushul fiqhnya adalah bertumpu pada al-Mu’tamad karya Abu al-Husain al-Basri, dan tafsirnya adalah
karya Abd Jabbar, dan dalam Ushul Arabnya adalah karya Kasysfnya Zamakhsari.

10
Syatibi, Al-Muwaffaqat, Tahqiq Abdullah Darraz, (Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt) juz 1,
Halaman 87.
11
Tahir Ibn Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Tunis: Dar al-Tunisiyyah, 1366)
halaman 50.
12
Ibid, halaman 154.
umum maupun khusus. Sedangkan dalam literature Ushul Fiqh seringkali ditemukan
istilah makna, hikmah dan illat, ketiga istilah ini sebenarnya hampir mrndekati
maqashid syari’ah walaupun para fuqaha sering menggunakan kata hikmah.13
Jika Maqasid Syar’iyyah di buat untuk memandang konsep Difabel bahwa
orang yang Mempunyai kebutuhan khusus dilahirkan mempunyai hak yang sama
dengan orang normal dalam mendapatkan hak di Dunia dan di Akhirat, Dalam Islam
ada konsep Hadanah atau memelihara adalah wujud perlindungan anak yang wajib di
lakukan bagi setiap keurga, baik itu keluarga yang miskin atau yang kaya atau
kelaurga yang kurang bahagia, Anak adalah merupakan suatu amanat dari Allah yang
harus di jaga walaupun anak tersebut dalam kondisi yang mungkin lemah pendidikan,
lemah kasih sayang salah satu hal yang penting adalah bentuk pemelharaan bagi
kalangan anak-anak difabel, Agama juga memberikan konsep berkenaan dengan
kalangan difabel dalm hal ini Agama juga memberikan konsep bagaimana cara
beribadah bagi kalangan difabel sebgaiamana yang tertera di dalam-kita kitab klasik,
dalam urusan Ubudiyyah dan urusan fqh, dan lain sebagainya, dam fiqh atau kaidah
fiqih ada kaidah fiqh, berupa al-Massaatu Tajlibu at-Taisira , Kesusuahn itu
mendatangkan kemudahan, jika melihat hal tersebut maka dapat kita simpulkan dalam
kegiatan apapun yang di dalamnya bagi elaku aama mengalami kesulitan maka fiqh
memberikan rukshahjik atdak mampu berdiri maka sholat bisa dengan duduk, kau
tdak mampu duduk bisa dnegan berbaring.14sedangkan didalam hokum Slam ad
beberapa metode yang membuat rumusan hokum, yaitu sebgaimana yang djelaskan di
atas yaitu konsep Maqasid Syari’ah,
Maqasid Syari’ah adalah upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak madrat, istilah yang
sepadan dengan inti maqasid asy-Syari’ah tersebut adalah Maslahat, karean penetapan
hokum Slam itu berdasarkan maslahat.1516Pertama, Maslaha Primer, yakni yang
secara umum dikenal dengan kaidah yang lima, menjaga agama, jiwa, akal, keturunan
serta harta kelima kaidah umum tersebut merupakan kaidah atau asas agama,kadah-
kaidah syariat, dan universalitas agama. Jika sebagian tdak dilaksanakan maka akan
mengakibatkan rusaknya agama, hal ini karean kebaikan Dunia berlandasakan pad
aAgama, dan oleh Karenanya kebahagian Akhirat tidak akan didapat kecuali dengan
menjaga Agama, selruh rangkaian hokum Islam atau Syari’at yang terdiri dari Akida,
Ibadah, dan Muamalat, dan Akhlaq, juga mendung unsure ungsur lma kaidah umum
di atas. Setiap perintah Agama, pada hakikatnya adalah mengamalkan perintah Allah
yang memiliki tujuan akhirat untuk mengokohkkan asas-asas Agama. 17 Oleh keran itu
setiap amal akan etap berlandasakan dengan kajian maslahat sebgai tuuan dan tujuan
akhirnya.
Kedua, kemaslahatan sekunder, adalah kemaslahatan yang harus ada dan di
penuhi untuk kebuuhan hidup, seperti hokum jual beli, nikah, da sema jenis
muamalat, kemaslhatan sekunder menempati posisi kedua setelah kemaslahatan
primer, karean adanya kemaslahtan sekunder hanyalah mengikuti jejak kemaslahan
13
Hikmah adalah menghilangkan kekacauna dan menolak kesewangwenangan. Ibnu Farihun,
Tabshirah al-Hukum, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt) juz 1 halaman 8. Sedangkan Illat adalah
sifat yang jelas dan terbatas yang menjadi sebab hukum syara’. Ahmad Ar-raisuni, Nazariyyah al-
Maqashid, (Riyad: Dar al-Alamiyyah li al-Kitab al-Islami, 1992) halaman 8-10.
14
Fadhlan Musyafa Mukti, Islam Agama Mudah, (Tuhan :Syauqi Pres, 2007 ) halaman 75.
15
Amir Mualim, dan Yushaeni, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, cetakan ke-2 (Jogjakarta :
UII press 2001) halaman 50.
16
Ibid halaman 25.
17
Ibid halaman 47.
primer, oleh karean itu hokum-hukum emikiran bertujuan menjaga keturuan, hokum
berniagaa dan menghasilkan harta dan mengembangkannya.
Ketiga, emaslahatan tersier, adalah kemaslahatan yang defnisinya adalah
kemaslahatan yang kembali pada bentuk adat istiadat, aklhal dan adab, serta semua itu
menjadikan umat Islam menjadi umat yang di cintai,18 hakikta dalam menjaga
maqashid syar’iyah di atas, secara tidak langsung telah mentaati perintah Allah,
seanjutya dari ketiga kemaslahatan tersebut dalam hal ini juga mengandung ungsur-
ungsur menjaga difabelitas, bisa saja pada anak, orang dan lan sebgainya. Dalam
islam untuk bisa membiming kaum difabilitas harus dengan prins=prinsip
kemaslahatan dan mewujudkan kemaslahatan kemansiaan universal, dan
melenyapkan segala benuk kerusakan, dan kerugian, danalam kaidah fiqh disebutkan
dengan “kemudaraan hars di hilangkan”.19 Selain itu dalam Negara kita juga ada
Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2011 tentang Disabilitas (Konvensi mengenai ak-
Hak penyandang Disabiltas ) pasal 3 ayat 1, 2dan 3,
Pasal 3 ayat 1
Penyandang difabilitas, negar neara pihak hars mengambil
semua kebijakan yang diperlukan untuk menjamin penh
semua hak-hak penyandang disabilitas,
Jika melihat itu semua, maka fiqh disabilitas adalah fiqh atau hokum Islam untuk
melindungi dan memebrikan hak yang sama bagi kalangan disabilitas untuk
menadaptkan hak yang sama dan menjadikan sebgai term fiqh dan kajian hokum
Islam yang menarik dan memebrikan kontrbusi dalam keilmuan dan lain sebagainya.
HUKUM ISLAM TENTANG DIFABILITAS
Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama
tertentu, yang umumnya terdapat dalam Kitab Suci. Arab Saudi, Iran, Sudan, Suriah,
dan Vatikan dikategorikan sebagai negara dengan sistem hukum agama. Hukum Islam
adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Dasar hukum
Islam adalah Al-Qur’an, Al-Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Hukum ini mengatur
berbagai hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan dirinya sendiri,hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan
manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya20.
Secara empirik Hukum Islam merupakan hukum yang hidup (the living law)
dalam masyarakat Indonesia mulai sejak masuknya Islam ke nusantara (Indonesia)
yang menurut JC. Van Leur sejak abab ke-7 Masehi 21. Catatan JC. Van Leur itu
membuktikan sebenarnya Hukum islam sudah dikenal jauh sebelum masuknya
Belanda ke Indonesia.
Hukum Islam yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia
tersebut, dan bahkan mengalami kemajuan yang menggembirakan pada masa
18
Bid alaman 29.
19
Abdul Wahab Khalafa, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Alih bahasa Noer Iskandar al-Barsany,
dkk, (andung: Risalah 1985) halaman 150.
20
Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah,
1984). h. 39
21
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Bndung; Mizan, 1995. h. 74-76. Lihat
juga Hassan Muarif Ambary, Menemukan Jejak Arkeologis dan Historis, jakarta; Logos, 1998. H. 56-
58
kesultanan kerajaan-kerajaan di Indonesia, sehingga hukum Islam sangat eksis dalam
kehidupan sosial dan politik, ditandai dengan pemberlakuan hukum islam dalam
segala bidang kehidupan, baik perdata maupun pidana oleh para sultan dalam
lingkungan kekuasaanya.
Survey literature fiqh tentang isu isu yang di lakukan oleh Rispler-cam berangkali
adalah survey yang paling lengkap yang pernah ditulis di dalam bidang ini. Dalam
bkunya diability in Islamic law, dia membahas secara rinci, menilisk setiap pasl dalam
bab-bab klasik fiqh untk menemukan bagaimana hokum Islam menetapkan
aturanaturan khusus bagi mereka yang karean ganguan dam fisik dan mentalnya tidak
bisa di tuntut uuk meerjakan aturan-aturan ibadah secara formal. Rispler menulis topic
ini arean memiliki segudang materi dari hasil penelitian terdahulu tentang dunia
kesehatan dalam amsyaraat Islam, dalam kasus disabilitas dibicarakan sebgai sesuatu
yang datar-datar saja, tanpa emosi, karean fakta disabilitas adalah bagian dari
kehendak Allah yang ahrus diterima,:
The disabilities are always mentioned as a Matter of fact, as
part the reality that eople are meantto live in, as aresult of the
divine wisdom and planning with wich Allah managesthe
creation, no emotional attitude, such as remorse, anger,
despair, or disappointment, accompanes, any of the
discussions of disabilities within the leal literature.22
Kedua, terhadap para difabel, fiqih menunjukkan sikap toleran, menerima mereka
apa adanya, mengakomodaasi kebutuhan khusus mereka,hingga bila mereka bisa
memenuhi kewajibankewjiban keagamaan seorang muslim, sebab, dalam perspektif
agama mereka, kecacatan bukan hukuman, melainkan ujian Allah memperkuat iman
mereka.
Tabel Dispensasi Fiqh

Bab Jenis Difabelitas Dispensasi


Hukum Sakit jiwa (ma’tuh) gila (majnun) Tidak berkewajiba segala
hilang akal, dan semisalnya jenis ibadah
Taharah lumpuh Jika tidak ada yang
membawakan air, cuku
dengan tayamum.
salat Tidak mampu , hilang akal , orang Berbaring tidak perlu
sakit menggerjakannya,
ansemampunya
Menghadap Buta Mengadap kemana saja ia
kiblat yakin,
Sholat jumat Buta, lumpuh, ketuaan, dan kondisi Tidak wajib jumatan,
keamanan. tetapi tetap sholat dhuhur
di rumah, berdasarkan
kaidah hifzhu adami afdal
min hifz al-Jama’ah.
imam Tunarungu, tunaetra, tuna daksa, dll Tdak ada kesepakatan
mengenai keabsahan
22
Vardir RisplerChaim, Disability in islmaic Law, Dordrecht (The Netherlands) Spinger,
2007) halaman 3.
imamah mereka .
Puasa Sakit temporer sakit permanen (orang Menganti di hari lain
Tua) membayar denda
haji Sakit yang menghalanginya pergi haji A tidak perlu pergi sendiri
dan kalau secara eknomi
mampu, ia wajib
membayar orang unuk
mewakilinya.
zakat Sakit jiwa wajib

Kesimpulan Risplem-Chaim terseut dapat kita lihat dalam hamper semabab fiqh,
bagi kita terbiasa dengan literature fiqh tentu tidak terkejutengan temuan dan
kesimpulan tersebut, salah satu kaidah utama dalam fiqh adalah “almassyaqa tajlibu
taisir” kesulitan dalam hokum Islam justru mengakibatkan kemudahan. Kita dapat
juga menerjemahkan kaidah ersebut sebgai disabilitas menjadi alas an untuk
memberikan atau diberiannya dispensansi”.
Kaidah fiqh sendiri memang lahir dari proses induksi erhadap pasal-pasal fiqh
yang memberikan banya dispensasi dalam kondisi khusus, baik dalam hal ibadah,
muamalah, maupun dalm hal jinayah (pidana), dalam table dispensasi di atas dapat
kita lihat beberpa jensi kesulitan dan dispensasi yang di berikan oleh fiqh.
Sedangkan yang dimaksud dengan kaum difabilitas adalah Kaum disabilitas
dibagi dengan beberapa "zona disabilitas", yaitu : Lansia Lansia juga termasuk
disabilitas. Mereka kaum lanjut usia yang untuk berjalqn pun susah. Mereka memakai
tongkat dan mungkin memakai kursi roda. Disabilitas kursi roda Mereka adalah
disabilitas yang benar2 membutuhkan ruang yang lebih besar, dengan kursi roda dan
pergerakann serta manuver2nya. Disabilitas netra Mereka munglin tidak
membutugkan ruang yang besar, tetapi mereka membutuhkan ruang yang 'bersih' dari
barang2 (supaya tidak tersandung), dan rapih karena mereka tidak melihat. Disabilitas
rungu Mereka lebih fleksibel dibanding dengan disabilitas yang lain, namun mereka
tetap menbutuhkan desain2 khusus untuk aktifitas mereka. Disabilitas rungu berarti
juga disabilitas wicara karena mereka tidak pernah mendengar, sehingga tetap
membutuhkan ruang yang ‘bersih’, supaya mereka tidak perlu teriak2 untuk minta
pertolongan. Disabilitas ganda / auitisme Mereka membutuhkan penanganan khusus.
Dan membutuhkan ruangan dan penanganan khusus. Kaum disabilitas diatas,
mungkin pernah mempunyai kebisaan itu, tetapi karena sesuatu hal, seperti
kecelakaan atau sakit (biasanya stroke), membuat mereka mempunyai keterbatasan2
fisik. Disabilitas dari lahir Disabilitas karena sakit atau kecelakaan Untuk kaum
disabilitas ini bisa berkegiatan dan berkarya, semua 'ruang' harus ditata sedemikian
sehingga mereka bisa mempergunakannya. Mulai dari ruang pribadi (dari kamar
pribadi sampai rumah), bangunan2 umum sampai ruang kota. Dan pemerintah pun
sudah mengaturnya untuk ruang2 umum dan ruang perkotaan. Sudah diatur dalam
UU, terutama bangunan2 umum yang mempunyai akses besar untuk kaum disabilitas,
seperti mall, rumah sakit, restoran dan perkantoran.  Karena pemerintah pun sudah
memberikan aturan2 untuk mempekerjakan kaum disabilitas dalam kehidupan
profesionalitas perkantoran, minimal 10%. Dan semuanya memang berawal dari
ruang pribadi, karena ketika kaum disabilitas merasa nyaman di ruang pribadinya,
selanjutnya mereka akan mempunyai tingkat percaya diri tinggi untuk keluar dari
tempurungnya. Tetapi ketika mereka sudah 'keluar' dari zona nyaman mereka dan
tidak mendapatkan kenyamanan di ruang2 publik dan ruang perkotaan, kemungkinan
besar mereka kembali lagi kedalam zona nyaman mereka.
selain itu difabilitas juga di bagi menjadi Disabilitas memiliki beberapa jenis dan
bisa terjadi selama masa hidup seseorang atau sejak orang tersebut terlahir ke dunia.
Jenis-jenis disabilitas tersebutdiantaranpertama Disabilitas fisik merupakan
gangguan pada tubuh yang membatasi fungsi fisik salah satu anggota badan bahkan
lebih atau kemampuan motorik seseorang. Disabilitas fisik lainnya  termasuk sebuah
gangguan yang membatasi sisi lain dari kehidupan sehari-hari. Misalnya saja
gangguan pernapasan dan juga epilepsy. Sedangkan yag kedua, Istilah disabilitas
mental biasanya sering digunakan pada anak-anak yang memiliki kemampuan
intelektual di bawah rata-rata. Akan tetapi tidak hanya itu saja, disabilitas mental juga
merupakan sebuah istilah yang menggambarkan berbagai kondisi emosional dan
mental. Gangguan kejiwaan adalah istilah yang digunakan pada saat disabilitas mental
secara signifikan mengganggu kinerja aktivitas hidup yang besar, misalnya saja
seperti mengganggu belajar, berkomunikasi dan bekerja serta lain
sebagainya.Sedangkan yang keiga, Disabilitas intelektual merupakan suatu pengertian
yang sangat luas mencakup berbagai kekurangan intelektual, diantaranya juga adalah
keterbelakangan mental. Sebagai contohnya adalah seorang anak yang mengalami
ketidakmampuan dalam belajar.  Dan disabilitas intelektual ini bisa muncul pada
seseorang dengan usia berapa pun. Dan yang ke empat Disabilitas sensorik
merupakan gangguan yang terjadi pada salah satu indera. Istilah ini biasanya
digunakan terutama pada penyandang disabilitas yang mengacu pada gangguan
pendengaran, penglihatan dan indera lainnya juga bisa terganggu.Dan yang kelima,
Disabilitas perkembangan merupakan suatu disabilitas yang menyebabkan suatu
masalah dengan pertumbuhan dan juga perkembangan tubuh. Meskipun istilah
disabilitas perkembangan sering digunakan sebagai ungkapan halus untuk disabilitas
intelektual, itilah tersebut juga mencakup berbagai kondisi kesehatan bawaan yang
tidak mempunyai komponen intelektual atau mental, contohnya spina bifida.

Dalam hal ini fiqh :Advokatif “ adalah berupa sejauh literature fiqh menjadi
acuan, maka pendekan fiqh terhadap disabiltas menjadi salah satu hal yang menarik di
perbincangkan, ketinggalan fiqh terhadap konsep zaman berupa penyandang
disabilitas adalah karena terlambatnya fiqh dalam merespon hal-hal yang penting
dalam kajian hokum Islam berupa penyandang di sabilitas, padahal fatwa Syeikh
Tantawi pad atahun 2000 yang mengharuskan adanya petugas bahasa isyarat di
samping khatib untuk menerjemahkan khutbah bagi jamaah yang masih dalam kondisi
tuna rungu, fatwa seikh Tantowi sukses memabatlkan fatwa yang lama yang
menyatakan haram menerjemahkan bahasa isyarat karean mengangu kekhususan
jama’ah.
Jika kita telisik maka ada dua factor ag penting berkaiatan dengan tidak
terjawabnya konsep disabilitas dalam pandangan fiqh adalah fiqh terlalu focus
terhadap kebutuhan manusia, dan bukan pada haknya, dan kedua karean subjek fiqh
berupa perongan bukan intitusional,
KESIMPULAN
Dalam pepr ini ada tiga kesimpulan, pertama bahwa fiqh difabel itu ada tetapi
masih samar samar, karean ketidak berpihakan fiqh terhadap hak-hak difabiitas,
kedua, konsep yang di gunakan adalah konsep maqashid sayri’ah, dan ketiga ahwa
masyarakat muslim indonesai masih belum atau “kurang” dalam memperhatikan
konsep fiqh disabilitas,

DAFTAR PUSTAKA

Abd Rahman, Khalid. 1986. Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu. Beirut : Dar al-Nafa’is.
Anwar, Rosihon. 2006. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia.
A. Rofiq (Ed). 2004. Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta : Teras.
Baidan, Nashruddi. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Diyab, Abd Qadir Isa. Al-Mizan al-Adil li Tamyiz al-Haqq min al-Bathil.Damasykus.
Ibn Taimiyyah. Majmu’ al-Fatawa (Software Maktabah Syamilah).
------------ Bayân Talbîs al-Jahmiyyah (software Maktabah Syâmilah).
------------ Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah (software Maktabah Syâmilah).
------------ Tafsir al-Kabir. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Isma’il, Muhammad Bakr. 1991. Dirasat fi Ulum al-Qur’ān . Kairo : Dar al-Manar.

Marzuq, Abi Hamid bin. 1967. Bara’at al-Asy’ariyyin min ‘Aqaid al-
Mukhalifin,Damasykus : Al-Ilmu.
Muhammad, Yusuf Khatar. Al-Mausû’ah al-Yûsufiyyah fi Bayâni Adillati as-
Shûfiyyah.
M. Ghalib M. 1998. Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya. Jakarta : Paramadina.
Salim, Abd Mu’in (Ed). 2005. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Teras.
Tim Puslitbang Lektur Keagamaan. 2003. Pedoman Transliterasi Arab-Latin.
Jakarta : Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur Pendidikan Agama.
Al-Gazhali, al-Mustasfa min ilm al-Usul kairo: Syirkah at-Tiba’ah al-Fannaiyyah al-
Muttahidah, 1970.
Hallaq, “On the Origins of The controversy about The Existence of Mujtahids and
The Gate of Ijtihad, “ SI, 63 (1986.
Jeanette Wakin, “Interprtation of the Divine Comand in The Jurisprudence of
Muawwaq al-Din Ibn Qudamah, dalam ILJ,
Ibnu Taimiyyah, Qaidah Jalilah Fi al-Tawasul wa al-Wasilah (Beirut : Maktab Islami,
1970.
Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad Abd al-Ghani, al-Musawaadah fi Usul al-fiqh,
Matba’ah al-Madani, Kairo Mesir,
, Taimiyyah,Ibnu, dan Ibnu Qayyim al-Zaujiyyah, al-Qiyas Fi al-Syari’ah al-Islami,
Beirut lebanon: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1982.
Zaharah,Muhammad, Ibn Taimiyyah Hayatuhu wa Asruhu-Aruhu wa Fiqhuhu Dar al-
fikr, al-Arabi,tt.
Mansur, Salim ibn Abd Aziz Ali, Ushul Fiqh wa Ibn Taimiyyah juz 2 tp.tt.

Anda mungkin juga menyukai