A. Pendahuluan
Secara historis, umat Islam tidak dapat dipisahkan dari masalah khilafah/ kepemimpinan.
Hal ini bukan hanya disebabkan karena kepemimpinan itu merupakan suatu kehormatan besar,
tetapi juga memegang peranan penting dalam dakwah Islam. Kenyataan ini juga terbukti, di
mana kepemimpinan tidak hanya aktual pada tataran praktisnya, tetapi juga senantiasa aktual
dalam wacana intelektual muslim sepanjang sejarah. Namun demikian, yang perlu diingat ialah
Alquran dan hadis sebagai sumber otoritatif ajaran Islam tidak memberikan sistem
kepemimpinan dan ketatanegaraan yang cocok untuk umat Islam, kecuali hanya memberikan
prinsip-prinsip universal, mengenai masalah kepemimpinan. Atas dasar prinsip-prinsip universal
inilah, para cendikiawan muslim dan para ulama, merumuskan sistem kepemimpinan Islam.
Isu khilafah makin hangat dibicarakan pasca pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia
sebagai pengusung ide khilafah. Pro kontra menyeruak diantara para politisi, pengamat politik,
tokoh agama dan cendekiawan Muslim. Benarkah sistem khilafah itu ada dalam Islam, benarkah
khilafah itu bagian dari agama yang wajib dijalankan?. Dalam beberapa literatur keislaman, kata
khilafah banyak disebut, baik itu dalam al-Quran maupun Sunnah, namun apakah penyebutan
kata khilafah tersebut menunjukkan bahwa sistem pemerintahan harus dalam bentuk khilafah.
Dari Abu Hazim dia berkata, “Saya pernah duduk (menjadi murid) Abu Hurairah
selama lima tahun, saya pernah mendengar dia menceritakan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi,
setiap Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan
sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para khalifah
(kepala pemerintahan) yang merekan akan banyak berbuat dosa.” Para sahabat
bertanya, “Apa yang Anda perintahkan untuk kami jika itu terjadi?” beliau menjawab:
“Tepatilah baiat yang pertama, kemudian
yang sesudah itu. Dan penuhilah hak mereka, kerana Allah akan meminta pertanggung
jawaban mereka tentang pemerintahan mereka.” (Shahih Muslim, No. 3429; Shahih
Bukhari, No. 3196; Musnad Ahmad, No.7619; dan Ibnu Majah No. 2862)
Seseorang mengurus, melatih, merawat hewan ternak, yaitu jika ia membimbing serta
melatihnya”. (Demikian juga) seorang pemimpin mengatur, memenej, memimpin, memerintah,
mengendalikan, melatih, merawat rakyat dengan sebaik-baiknya, artinya mengatur urusan
mereka. Jadi dapat kita simpulkan bahwa kata siyasah identik ri’ayah. Kalimat, “akan
digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya”, maknanya akan ada nabi lain yang menggantikan
tempatnya. Kata (kh-l-f). Jika dibaca khalafa maka maknanya pengganti yang baik. Ini
menegaskan kata dalam hadits ini menunjukkan bahwa pengganti setelah nabi adalah orang-
orang yang baik. Ini diperkuat hadits nabi SAW, “Kemudian akan ada Khilafah berdasar
manhaj kenabian dan berlangsung sekendak-Nya. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika
Dia menghendakinya”. (HR Ahmad). Namun jika dibaca khalfun maka maknanya pengganti
yang buruk. Sebagaimana dalam firman Allah,
“Maka datanglah sesudah mereka generasi(yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang
mengambil
harta benda dunia yang rendah ini…(QS. Al-A’raf: 169)
Demikian juga firman Allah yang terdapat dalam surat Maryam dikatakan:
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat
dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan…
(QS. Maryam: 19)
Yang dimaksud dengan generasi yang jahat pada ayat pertama di atas menunjuk kepada
generasi yang datang sesudah masa dan generasi para Nabi dan Rasul di kalangan Bani Israil.
Mereka adalah generasi yang mempermainkan hukum Allah dan memperjualbelikannya ayat-
ayatnya dengan keuntungan materi. Di antaranya dengan menyelewengkan hukum melalui
penyuapan, risywah dan korupsi dalam kekuasaan. Sedang generasi yang buruk pada ayat kedua
di atas menunjukan generasi yang datang sesudah masa generasi para nabi dan orang-orang saleh
dari kalangan Bani Israil, dan termasuk juga generasi yang buruk yang datang pada umat Nabi
Muhammad di akhir zaman. Mereka adalah generasi yang meninggalkan shalat dan tenggelam
dalam pemuasan berbagai kesenangan dunia.15
Makna “tidak akan ada Nabi lagi setelahku” artinya “Tidak akan datang lagi nabi lain setelah
nabi Muhammad yang akan melakukan apa yang telah dilakukan oleh nabi-nabi sebelumnya.
Sedangkan kata “khulafa’ dalam hadits adalah bentuk jamak dari kata “khalifah”, yang
menunjukkan adanya pengganti sepeninggal nabi, yang menggantikan tugas-tugas nabi sebagai
pemimpin spiritual sekaligus pemimpin
kenegaraan.
Kata “fuu” ashlinya “aufuu” bentuk jamak yang artinya “Tepatilah baiat yang pertama”.
Ibnu Khaldun dalam kitabnya, Muqaddimah menjelaskan makna bai’at secara bahasa, bahwa
bai’at adalah berjanji untuk taat. Seolah-olah seorang yang berbai’at berjanji kepada
pimpinannya untuk menyerahkan kepadanya urusan dirinya dan urusan kaum muslimin untuk
tidak menentangnya pada masalah apapun dalam urusan itu serta mentaatinya pada apa yang ia
bebankan kepadanya dari perintahnya baik dalam keadaan suka atau duka.16 Dulu jika mereka
berbaiat kepada pimpinan dan mengikat janjinya mereka meletakkan tangan di atas tangan
pimpinannya untuk menekankan janji itu, sehingga dengan itu mereka menyerupai perbuatan
penjual bersama pembelinya maka dinamailah Bai’at. Bentuk mashdar dari kata bâ’a (- ) عCباyang
berarti menjual- sehingga jadilah kata bai’at berarti berjabat tangan. Kesepakatan ahlussunnah
bahwa bai’at adalah ‘aqad antara umat dengan khalifah, dan akad pengangkatan khilafah disebut
bai’at adalah bentuk tasybih (penyerupaan) seperti akad bai’ (jual beli) tatkala penjual menjabat
tangan pembeli saat sempurnanya ‘aqad. Dan ba’iat itu secara syar’i maupun kebiasaan tidaklah
diberikan kecuali kepada amirul mukminin (khalifah) kaum muslimin. Imam Al-Qurthubi (wafat
671 H) dalam tafsirnya mengatakan, “Dan jika imamah (khilafah) telah terwujud dengan
kesepakatan ahlul halli wal aqdi atau dengan salah satu seperti penjelasan yang lalu, maka wajib
bagi seluruh rakyat membai’atnya untuk mendengar dan ta’at dan untuk menegakkan kitab Allah
SWT dan sunnah Rasulullah SAW maka barangsiapa yang tidak berbai’at karena ada udzur
dia diberi udzur/maaf dan barangsiapa yang tanpa udzur maka dia dipaksa (untuk berbai’at), agar
kesatuan kaum muslimin tidak terpecah.
Kalimat “Tepatilah baiat yang pertama” juga menjelaskan bahwa “khalifah” itu hanya satu.
Jika ternyata ada dua “khalifah” maka yang dianggap sah adalah yang pertama, dan yang kedua
hukumnya bathal atau tidak sah. Baik rakyat mengetahui perihal pengangkatan khalifah yang
kedua atau pun tidak. Baik itu dalam satu negara, dua atau lebih.18 Pendapat lain mengatakan
bahwa hal ini berlaku jika pemimpin kedua berada wilayah pemimpin pertama. Pendapat lain
mengatakan, “Sebaiknya diundi di antara keduanya”. Dua pendapat ini bathil dan bertentangan
dengan kesepakatan ulama. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua “Khalifah”
dalam satu periode. Baik dalam wilayah islam yang luas atau pun tidak. Imam Haramain
berkomentar bahwa tidak boleh mengangkat dua “khalifah” jika berada dalam satu wilayah. Jika
jarak dua imam saling berjauhan tempatnya maka itu mungkin dilakukan. Imam al-Qurthubi
menambahkan bahwa jika jarak antara dua wilayah saling berjauhan dan jarak yang jauh itu
mengakibatkan terbengkalainya umat islam, tidak memungkinkan bagi imam yang pertama
untuk mengatur umat yang jauh darinya, maka ulama ushul fiqh menyarankan agar mereka
mengangkat seorang wali atau pemimpin yang bisa mengatur urusan mereka. 19 Namun pendapat
ini keluar dari ketentuan sebelumnya dan bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh ulama’
salaf dan khalaf.20 Demikian juga soal ketaatan perintah, maka yang pertama wajib ditaati, dan
yang kedua tidak boleh ditaati. Sedangkan kata “Dan penuhilah hak mereka” maknanya, dia
harus diberikan haknya sebagai seorang “khalifah”, ditaati, bergaul dengannya secara baik,
didengar dan laksanakan keputusannya. Sedangkan baik dan buruknya seorang khalifah
pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah SWT
E. Kesimpulan
Khilafah sudah dikenal umat Islam sejak zaman khulafaurrasyidin. Penerapan
khilafah sebagai kepemimpinan secara umum yang menyangkut kepentingan untuk melindungi
agama dan mengatur urusan dunia merupakan sebuah kewajiban meskipun bentuk berbeda
dengan kepemimpinan di masa khulafaurrasyidin. Dalam perjalanan sejarah, khilafah telah
mengalami perubahan bentuk pemerintah pasca khulafaurrasyidin. Meskipun istilahnya tetap
disebut khilafah. Dari bentuk khilafah yang demokratis berdasarkan syura, menjadi khilafah
monarki berbentuk kerajaan, imamah, dan kini berbentuk demokrasi. Perubahan bentuk ini
menunjukkan bahwa bentuk khilafah tidak baku. Hal ini sebagaimana yang dikatakan As-
Sanhuri bahwa, “Sebenarnya teks yang menyebutkan masalah khilafah tidaklah pasti tentang
wajibnya model khilafah sebagai system pemerintah, tapi wajib bagi umat Islam untuk
mewujudkan pemerintah tanpa membatasi bentuk pemerintahan. Selain itu wajib bagi umat
Islam untuk taat pada pemimpinnya. Tapi kami melihat bahwa teks ini meskipun tidak cukup
untuk landasan wajibnya khilafah, namun paling tidak, cukup menjadi pijakan ijma’ yang
mewajibkan khilafah. Dalam konteks keindonesiaan untuk memasukkan nilai-nilai agama dalam
pemerintahan sangat mungkin dan bahkan peluangnya sangat luas, dan Negara
menjamin hal itu. Namun untuk mengubah Negara dalam bentuk khilafah sangatlah sulit
dilakukan, meskipun itu mungkin
F. Daftar Pustaka
Abadi, Abu At-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim, (1968M/1388H) Aun al-Ma’bud
Syarh
Sunan Abu Dawud, Madinah Al-Munawwarah, al-Maktabah As-Salafiyah.
Ahmad, Muhammad bin Hibban bin, (1993) Shahih Ibnu Hibban, Beirut, Muassasah ar-
Risalah. Ali, Atabik, (1997) Kamus Al-Ashri, Krapyak, Yayasan Pesantren Ali Makshum
Krapyak.
Amin, Samsul Munir, (2009) Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah.
Asbahani, Al Husain bin Muhammad bin Al Fadhal Al Ragib al, (t.t) Al Mufradat Fi Gharîbil
Qur’an,
Libanon: Darul Ma’rifah.
Asy’asy, Abu Dawud Sulaiman bin al-, Sunan Abu Dawud, (Beirut, Dar al-Kutub al-
Arabi, t.t). Audah, Abdul Qadir, Al-Islam Wa Audhaina As-Siyasiyah, t.t, t.k.
Badruddin al-Aini al-Hanafi, (2006) Umdatul al-Qari’ Syarah Shahih al-Bukhari, (Naisan,
Multaqa Ahlu al-Hadits.
Dumaiji, Dr. Abdullah bin Umar Ad-, (1408 H) Al-Imamah Al-Uzhma Inda Ahlis Sunnah wal
Jama’ah,
Riyadh: Dar Thayibah, cet. 2.
Fiqh al-Khilafah Wa Tathawwuruha, t.t, t.k.
Hadi, Ibnu Abdil, (1432) Idhah Thuruqil Istiqamah fi Bayan Ahkam Al-Wilayah wal Imamah,
Damaskus: Dar An-Nawadir, cet. 1.
Hamka, (1974) Sejarah Ummat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Hatamar, (2000) Pemikiran Politik al-Mawardi dan Relevansinya dengan Pemikiran Politik
Modern, Laporan Penelitian (Palembang Puslit IAIN Raden Fatah.
http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia.
Ibrahim, Hasan, (2003) Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam
Mulia, Katsir, Al Hafizh Ibnu, (1999) Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, Darut
Thayibah. Khaldun, Ibnu, (2010) Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Kairo,
Dar Ibnu Al-jauzi.
Khalidi, Al-, Al-Ushul Fikriyyah li al-Tsaqafah al-Islamiyah (2/73) dan Qawaid Nizham al-
Hukmi (262) Maj. Moch. Said, (1961) Amanat Penderitaan Rakyat, Jilid I Cet. II, Surabaya:
Permata.
Majid, Dr. Ahmad Fu’ad Abdul Jawwad Abdul, Al-Bai’at ‘Inda Mufakkiry
Ahlissunnah, t.t, tk. Mawardi, Imam al, (2006) Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Kairo, Dar al-
Hadits.
Nawawi, Imam, (1392 H) Syarah Shahih Muslim, Beirut, Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi.
Purwadi, (2007) Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma.
Putusan Mahkamah Konstitusi “Tafsir Resmi UUD 1945” 8 Agustus 2008 No.19/PUUVI/2008.
Qurthubi, Imam Al-, (1964) al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Mishriyah.
Warto A. S., Hadist Khilafah dan Relevansi Dalam Konteks Keindonesian.. September 2019