Anda di halaman 1dari 4

Dua Kaidah tentang Khilafah

Dari beberapa ayat dan hadits yang dikemukakan di atas, kita dapat mengambil beberapa
kaidah yang berkaitan dengan kepemimpinan atau kekhilafahan:

Pertama, bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan manusia sebagai khalifah di bumi. Pengertian
kekhalifahan manusia di muka bumi mencakup dua makna; makna yang umum dan makna
yang khusus.

Secara umum seluruh manusia adalah khalifah karena ia makhluk yang dipilih Allah sebagai
penguasa dan pemimpin atas makhluk lainnya yang ada di muka bumi. Manusia juga sebagai
khalifah karena setiap orang, kaum dan bangsa datang dan pergi, hidup dan mati, berjaya dan
hancur, saling bergantian antara satu generasi dengan generasi berikutnya.

Kekhilafahan seperti ini dapat diistilahkan sebagai khilafah takwiniyah, kekhilafahan


manusia di muka bumi sebagai ketetapan atau taqdir kehidupan yang Allah gariskan bagi
manusia, baik ia manusia beriman ataupun manusia kafir.

Makna khilafah secara khusus, yaitu kekhalifahan dalam pengertian kepemimpinan seseorang
atas manusia yang lain. Kekhilafahan dalam makna ini tentu saja tidak mungkin ditujukan
kepada semua manusia, bahkan tidak setiap orang beriman dapat menduduki kekhilafahan
ini, terlebih lagi orang-orang kafir.

Hanya orang-orang yang memenuhi kriteria tertentu yang telah diatur oleh syariat yang
berhak menjabatnya. Kekhilafahan dalam makna ini identik dengan imamah atau
kepemimpinan formal dalam masyarakat dan negeri muslim.

Kekhilafahan dalam makna ini pula yang dimaksud dalam hadits-hadits Nabi yang berbicara
tentang kepemimpinan Islam. Atas dasar itu, kekhilafahan dalam konteks ini dapat
diistilahkan sebagai khilafah syar’iyah kepemimpinan berdasarkan syariat Islam.

Kedua, Kekhalifahan pada umat Islam adalah kepemimpinan sebagai pengganti dan pelanjut
kepemimpinan kenabian. Karenanya ia disebut sebagai khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
Dengan demikian khalifah adalah khalifatur rasûl (pengganti dan pelanjut kepemimpinan
nabi) bukan khalifatullâh (pengganti atau wakil Allah). Sebagaimana dikatakan oleh Imam al
Mawardi;

‫اِإلَم اَم ُة َم ْو ُضوَع ٌة ِلِخَالَفِة الُّن ُبَّو ِة ِفي ِحَر اَسِة الِّد يِن َو ِس َياَسِة الُّد ْن َي ا‬

“Imamah adalah maudhu’ (peristilahan yang dibuat) bagi khilafah nubuwah dalam menjaga
agama dan menata dunia”. [Imam al Mawardi, Al Ahkam al Sulthaniyah, (Maktabah
Syamilah), hlm. 3].
Kalaupun kata khilafah itu disandarkan kepada Allah, khalîfatullâh, maka maknanya adalah
penghormatan dan kemuliaan dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba pilihannya,
bukan sebagai pengganti dan wakil Allah di muka bumi. Karena tidak ada satu makhlukpun
yang dapat menempati, menggantikan, dan mewakili Allah Ta’ala. Sebagaimana dikatakan
Al Ragib al Asfahany,

‫والخالفة النيابة عن الغير إما لغيبة المنوب عنه وإما لموته وإما لعجزه وإما لتشريف المستخلف وعلى هذا الوجه األخير‬
‫استخلف هللا أولياءه في األرض‬
“Khilafah itu adalah perwakilan dari orang lain. Adakalanya (perwakilan itu) disebabkan
ketiadaan orang yang diwakilinya, karena kematiannya, atau karena kelemahannya.
Adakalanya juga karena sebagai penghormatan atas orang yang disuruh mewakilinya. Makna
terakhir inilah yang dimaksud Allah menjadikan khalifah para kekasih-Nya di muka bumi.”
[Al Husain bin Muhammad bin Al Fadhal Al Ragib al Asbahani, Al Mufradat fi Gharîbil
Qur’an, (Libanon: Darul Ma’rifah, t.t), hlm. 156 [10] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Beirut:
Darul Qalam, 1984), hlm. 97].

Ketiga, Al-Qur’an dan hadits tidak menetapkan bentuk, format maupun prosedur yang baku
tentang negara khilafah. Tetapi para ulama menyatakan bahwa kekhilafahan dibangun
berdasarkan prinsip musyawarah, keadilan, kesamaan, penegakan hukum syariat, dan
kemaslahatan umat. Dari semua itu prinsip dasarnya adalah penegakan hukum syariat secara
konsisten dan konsekwen berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah untuk mencapai
kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun menyatakan,

‫ إذ أحوال الدنيا‬،‫والخالفة هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم األخروية والدنيوية الراجعة إليها‬
‫ترجع كلها عند الشارع إلى اعتبارها بمصالح اآلخرة‬

“Dan khilafah itu adalah menggiring seluruh (manusia) kepada yang sesuai dengan tinjauan
syar’i dalam kemaslahatan ukhrawi, dan kemaslahatan duniawi mereka yang kembali
kepadanya (kepada kemaslahatan akhirat). Sebab segala kemaslahatan urusan dunia menurut
syariat harus ditinjau berdasarkan kemaslahatan akhirat”.

Karena itu, andaipun kepemimpinan atau pemerintahan itu menggunakan terma kekhilafahan
Islam, tetapi jika syariat tidak dilaksanakan, kezaliman dan kekejaman merajalela, maka tidak
patut disebut sebagai kepemimpinan khilafah yang syar’i, melainkan sebagai Mulkan
Jabariyan dan Mulkan ‘Adhan (kepemimpinan raja-raja otoriter yang memeras rakyat).
Sebaliknya meskipun suatu kepemimpinan dan pemerintahan berbentuk kerajaan, republik,
atau yang lainnya, maka ia dikatakan sebagai khilafah dan pemimpinya layak disebut sebagai
Khalifah atau Amirul mukminin. Sebagaimana Allah memanggil Nabi Dawud sebagai
Khalifah meskipun beliau berkedudukan sebagai Nabi dan Raja Bani Israil. Begitu pula Umar
bin Abdul Aziz, dalam pemerintahan Dinasti Umayah, dan Harun Al Rasyid dalam Dinasti
Abasiyah, meskipun keduanya dipilih bukan berdasarkan syura seperti para Khulafaur
Rasyidin, keduanya diakui sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin. Dalam konteks inilah
sangat tepat apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah,

‫ويجوز تسمية من بعد الخلفاء الراشدين خلفاء وإن كانوا ملوكا ولم يكونوا خلفاء األنبياء بدليل ما رواه البخاري ومسلم فى‬
‫ (كانت بنو إسرائيل يسوسهم األنبياء‬:‫صحيحيهما عن أبى هريرة رضى هللا عنه عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫كلما هلك نبي خلفه نبي وأنه ال نبي بعدي وستكون خلفاء فتكثر قالوا فما تامرنا قال فوا ببيعة األول فاألول ثم أعطوهم‬
‫ فقوله (فتكثر) دليل على من سوى الراشدين فإنهم لم يكونوا كثيرا وأيضا قوله ( فوا‬. )‫حقهم فإن هللا سائلهم عما استرعاهم‬
)‫ببيعة األول فاألول) دل على أنهم يختلفون والراشدون لم يختلفوا وقوله (فأعطوهم حقهم فإن هللا سائلهم عما استرعاهم‬
‫دليل على مذهب أهل السنة فى إعطاء األمراء حقهم من المال والمغنم وقد ذكرت فى غير هذا الموضوع أن مصير األمر‬
‫إلى الملوك ونوابهم من الوالة والقضاة واألمراء ليس لنقص فيهم فقط بل لنقص فى الراعي والرعية جميعا فإنه ( كما‬
‫( تكونون يول عليكم) وقد قال هللا تعالى ( وكذلك نولي بعض الظالمين بعضا‬

“Dan boleh saja menamai para pemimpin setelah Khulafa Rasyidin dengan sebutan para
khalifah walaupun mereka adalah para raja, dan bukan para khalifah para Nabi dengan dalil
apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim pada kitab Shahih mereka dari Abu
Huraerah dari Rasulullah SAW bersabda, ‘Dahulu Bani Israel dipimpin para Nabi, setiap
meninggal seorang nabi digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi sepeninggalku tidak akan
ada Nabi tetapi akan ada khalifah-khalifah yang banyak.’ Para shahabat bertanya, ‘Apa yang
engkau perintahkan kepada kami?’. Nabi bersabda, ‘Tunaikanlah baiat yang pertama
kemudian berikan kepada mereka hak-hak mereka karena sesungguhnya Allah akan memintai
pertanggungjawaan mereka tentang rakyat mereka.”

Penyebutan “akan ada khalifah-khaifah yang banyak’ menunjukan bahwa mereka bukanlah
Khulafa Rasyidin sebab jumlah Khulafa Rasyidin tidaklah banyak. Demikian pula
pernyataan, ‘tunaikanlah baiat pertama dan pertama’ bahwa para khalifah tersebut berselisih
sedangkan para Khulafa Rasyidun tidaklah berselisih. Sedang pernyataan, ‘berikanlah hak
mereka karena mereka akan diminta pertanggungjawaban tentag rakyatnya’, menjadi dalil
atas madzhab ahu sunnah tentang memberikan hak-hak para pemimpin dari harta dan
ghanimah sebagimana saya telah menjelaskan bukan hanya di tempat ini saja, bahwa
mengembalikan pelbagai persoalan kepada para raja dan pembantunya dari para pemimpin
dan qadhi bukan semata karena kekurangan (kelemahan dan keburukan) yang ada pada
mereka saja, melainkan kekurangan (kelemahan) itu juga ada pada rakyat secara bersama-
sama, sebab sebagaimana dikatakan (dalam hadits), ‘sebagaimana keadaan kalian, seperti
itulah pemimpin kalian’. Allah berfirman, ‘demikianlah kami jadikan orang-orang zalim
sebagai pemimpin atas sebagian yang lainnya.” [Ibnu Taimiyah, Al Khilfah wal Muluk dalam
Majmu’ Fatwa, jilid. 35 hlm. 20].

Demikianlah beberapa pengertian penting yang dapat diambil dari terma khilafah yang
terdapat dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Intinya bahwa Istilah khilafah adalah istilah syar’i,
tetapi interpretasi dan aplikasinya dalam politik Islam tidaklah baku dan kaku, melainkan
dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat Islam itu sendiri. Sesuai dengan pernyataan
Syeikh Muhammad Rasyid Ridha bahwa ajaran Islam telah mengatur prinsip-prinsip politik-
kenegaraan, tetapi pada tataran praktisnya menuntut ijtihad yang terus berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman dan perbedaan tempat.*

d. Dasar-dasar Khilafah.

1. Dasar menegakkan kalimat Tauhid; Khilafah yang dibentuk oleh Rasulullah Saw, memiliki prinsip
penegakan kalimat Allah Swt, serta memudahkan penyebaran Islam kepada seluruh umat manusia.
Dalam dasar negara kita terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

QS. Al-Baqarah(2): 163 ‫َو ِإَٰل ُهُك ْم ِإَٰل ٌه َو اِحٌد ۖ اَل ِإَٰل َه ِإاَّل ُهَو الَّر ْح َٰم ُن الَّر ِحيُم‬

"Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah : 163)

2. Dasar ukhuwah Islamiyah atau prinsip persaudaraan dan persatuan. Khilafah dimaksudkan
menggalang persatuan dan persaudaraan dalam Islam.

QS. Ali 'Imran(3): 103. ‫َو اْع َت ِص ُموا ِبَح ْب ِل ِهَّللا َج ِميًعا َو اَل َتَفَّر ُقوا ۚ َو اْذ ُك ُروا ِنْع َم َت ِهَّللا َع َلْي ُك ْم ِإْذ ُكْنُتْم َأْع َد اًء َف َأَّلَف َب ْي َن ُقُل وِبُك ْم َفَأْص َب ْح ُتْم‬
‫" ِبِنْع َمِتِه ِإْخ َو اًن ا‬Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-
musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara;" (QS. Ali 'Imran : 103)
3. Dasar adanya persamaan derajat sesama umat Islam sebagai landasan dibentuknya khilafah. Prinsip
ini sesuai dengan ajaran Islam yang menegaskan bahwa setiap umat manusia mempunyai derajat
sama, yang membedakannya hanyalah ketakwaan semata.

QS. Al-Hujurat(49): 13 ‫َيا َأُّيَها الَّن اُس ِإَّن ا َخ َلْق َن اُك ْم ِمْن َذ َك ٍر َو ُأْنَث ٰى َو َج َع ْلَن اُك ْم ُشُعوًبا َو َق َباِئَل ِلَت َع اَر ُفوا ۚ ِإَّن َأْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد ِهَّللا َأْت َقاُك ْم ۚ ِإَّن َهَّللا َع ِليٌم‬
‫َخ ِبيٌر‬

"Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat : 13) 4.
Dasar musyawarah untuk mufakat atau kedaulatan rakyat.

QS. Asy-Syura : 38 ‫" َو اَّلِذيَن اْس َت َج اُبوا ِلَر ِّب ِه ْم َو َأَقاُموا الَّص اَل َة َو َأْم ُرُه ْم ُشوَر ٰى َب ْي َن ُهْم َو ِمَّما َر َز ْق َن اُه ْم ُيْن ِفُقوَن‬Dan (bagi) orang-orang
yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang
Kami berikan kepada mereka." (QS. Asy-Syura : 38)

5. Dasar keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh umat, khususnya umat manusia yang berada di
bawah naungan khilafah yang bersangkutan. Atas dasar prinsip ini, khilafah harus menegakkan
persamaan hak bagi segenap warganya.

QS. An-Nahl : 90 ‫ِإَّن َهَّللا َي ْأُمُر ِباْلَع ْد ِل َو اِإْلْح َس اِن َو ِإيَت اِء ِذي اْلُق ْر َب ٰى َو َي ْن َه ٰى َع ِن اْلَفْح َش اِء َو اْلُم ْن َك ِر َو اْل َب ْغ ِي ۚ َيِع ُظ ُك ْم َلَع َّلُك ْم َت َذ َّك ُروَن‬
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS. An-Nahl : 90)

Disalin dari : https://www.bacaanmadani.com/2018/01/pengertian-khilafah-tujuan-khilafah.html


Terima kasih sudah berkunjung.

Anda mungkin juga menyukai