Anda di halaman 1dari 11

KONSEP NEGARA DALAM ISLAM

(tanggapan atas artikel "Masyarakat Madani vs Daulah Islamiyah")

oleh: Ahmad Sajeed*

Tidak dinyatakannya istilah daulah di dalam teks al-Qur’an maupun al-Hadits bukan
berarti tidak ada perintah untuk mendirikan negara Islam. Sama halnya dengan
reformasi yang kini kencang bergulir, bukankah istilah "reformasi" tidak kita jumpai
dalam UUD 1945 dan Pancasila? Demikian pula dengan istilah demokrasi,
restrukturisasi, masyarakat madani, dan lain-lain istilah yang belum populer pada saat
negara ini berdiri. Lantas apakah kita dengan mudah mengatakan bahwa reformasi,
demokratisasi, dan pembentukan masyarakat madani adalah proses yang
inkonstitusional?

Jika kita perhatikan teks al-Qur’an maupun al-Hadits secara teliti, mendalam, dan
dengan pemikiran yang cemerlang (al-fikr al-mustanir), kita akan mendapatkan indikasi-
indikasi yang jelas tentang kewajiban mendirikan negara Islam. Allah swt berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari
kamu sekalian" (QS an-Nisaa: 59)

Ulil amri di sini berarti pemimpin yang berstatus penguasa, bukan sekedar pemimpin
rumah tangga atau pemimpin kelompok. Dalam tinjauan bahasa Arab, jika istilah ulil
amri itu disisipi idiom min (dari/bagian) menjadi ulil minal amri, maka artinya akan
terspesifikasi menjadi pemimpin-pemimpin dalam lingkup yang sempit (keluarga,
organisasi, pengadilan, dll).

Sedangkan kewajiban pemimpin tersebut untuk hanya menerapkan syariat Islam saja,
tidak syariat yang lain, ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadits riwayat Bukhari,
Muslim, Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah yang berasal dari Ubadah bin ash-Shamit:

"Kami membaiat Rasulullah saw untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka
maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal yang tidak
mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan
dari seorang pemimpin, kecuali (sabda Rasulullah): ‘Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai
nampak secara terang-terangan (kufran bawaahan), yang dapat dibuktikan berdasarkan
keterangan dari Allah’."

Menurut Imam al-Khathabi arti bawaahan dalam hadits di atas adalah nampak secara
nyata atau terang-terangan. Demikian pula dengan riwayat lain yang menggunakan
istilah baraahan 1 . Imam Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-kufr
dalam hadits tersebut adalah kemaksiatan2 .
Allah swt berfirman:

"Apakah hukum Jahilliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yanglebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin" (QS al-Maidah: 50)

Abdul Qadim Zallum mengomentari ayat di atas: "Hukum Jahilliyah adalah hukum
yang tidak dibawa oleh Rasulullah saw dari Tuhannya. Hukum Jahilliyah adalah
hukum kufur yang dibuat oleh manusia".3 

Pada ayat yang lain Allah swt berfirman:

"Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang telah diturunkan Allah. Dan
janganlah engkau menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu" (QS al-Maidah: 48)

Perintah untuk memutuskan semua perkara (termasuk urusan kenegaraan) menurut


syariat Islam ini tidak hanya ditujukan kepada Rasulullah saw, tetapi juga ditujukan
kepada seluruh umatnya karena tidak ada ayat lain dalam al-Qur’an maupun al-Hadits
yang mentakhsis (mengkhususkan) perintah tersebut hanya untuk Nabi saw.

Dengan demikian jelaslah bahwa Islam menggariskan kewajiban untuk menegakkan


kekuasaan yang berlandaskan syariat Islam.

Dalam literatur-literatur klasik memang tidak akan kita jumpai tentang cara bagaimana
mendirikan suatu negara Islam. Kitab-kitab tersebut disusun ketika Kekhalifahan Islam
masih berdiri dan dalam keadaan jaya sehingga tidak terlintas sedikitpun di benak para
penulisnya bahwa suatu saat kekhalifahan itu akan runtuh dan diperlukan upaya
untuk mendirikannya kembali. Literatur-literatur klasik seperti Ma’afiru al-Inafah fi
Ma’alim al-Khilafah karya Imam al-Qasysyandi, al-Ahkaamush Shulthaniyah karya Imam
Mawardi, al-Ahkaamush Shulthaniyah karya Abu Ya’la al-Faraa, dan al-Kharaj karya al-
Qadli Abu Yusuf, banyak berbicara tentang praktek kenegaraan Khilafah Islamiyah dan
bukan cara mendirikannya. Tetapi yang jelas, literatur-literatur tersebut menyajikan
fakta tentang keberadaan suatu negara Islam.

Negara Islam pertama

Perdebatan seputar pertanyaan: apakah "Negara Madinah" itu benar-benar suatu


negara definitif atau sekedar institusi kemasyarakatan biasa, lebih dilandasi pada
ketidakjelasan fakta-fakta seputar apa yang terjadi di Madinah dan di seluruh wilayah
kekuasaan Islam pada saat itu.

Ada beberapa definisi tentang negara. Menurut Roger Soltau, negara adalah alat
(agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persolan-
persoalan bersama atas nama masyarakat. Menurut Harold J. Laski, negara adalah
suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat
memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang
merupakan bagian dari masyarakat itu. Definisi menurut Max Weber dan Robert
MacIver hampir senada dengan Harold Laski.

Negara jauh lebih kompleks dibanding masyarakat. Harold J. Laski mendefinisikan


masyarakat sebagai "sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk
mencapai terkabulnya keinginan-keinginan bersama". Berdasarkan definisi tersebut,
negara adalah metamorfosis lanjutan dari suatu bentuk masyarakat yang
membutuhkan instrumen hukum yang bersifat memaksa sehingga keinginan-keinginan
bersama tersebut tidak saling berbenturan satu sama lain. Dalam konsep Kontrak Sosial
(Contract du Social), penguasa "dikontrak" oleh rakyat untuk menjaga dan mengatur
kepentingan-kepentingan mereka.

Dalam kitab al-Fikr al-Islami, Dr. Muhammad Ismail mengajukan 3 (tiga) kriteria yang
harus dipenuhi agar suatu komunitas dapat disebut sebagai masyarakat yang utuh,
yaitu adanya pemikiran yang sama (afkar), perasaan yang sama (masya’ir), dan hukum
yang diterapkan di tengah komunitas tersebut (nizham). Jika salahsatu kriteria tersebut
tidak terpenuhi, maka komunitas tersebut tidak layak disebut sebagai masyarakat
walaupun jumlahnya ratusan ribu; seperti penonton sepakbola di stadion yang
memiliki keinginan yang sama (ingin menonton bola) tetapi tidak diikat oleh hukum
yang sama sehingga masing-masing dapat berbuat sekehendak hatinya.

Berikut ini adalah beberapa fakta yang membuktikan bahwa yang dibentuk oleh
Rasulullah saw di Madinah adalah sebuah negara:

1. Rasulullah saw menerima bai’at sebagai Kepala Negara, bukan sebagai Nabi.

Pengakuan seorang muslim kepada kenabian Muhammad saw adalah dengan ucapan
dua kalimat syahadat, bukan dengan bai’at. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Abdullah bin Umar ra yang berkata:

"Kami dahulu, ketika membai’at Rasulullah saw untuk mendengar dan menaati perintah beliau,
beliau selalu mengatakan kepada kami: Fi Mastatha’ta’ (sesuai dengan kemampuanmu)"

Bai’at ini adalah pernyataan ketaatan kepada seorang Kepala Negara, bukan sebagai
seorang muslim kepada Nabinya. Indikasinya adalah penolakan Rasulullah saw
terhadap bai’at seorang anak kecil yang belum baligh, yaitu Abdullah bin Hisyam.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Uqail Zahrah bin Ma’bad bahwa kakeknya,
Abdullah bin Hisyam, pernah dibawa pergi oleh ibunya, yaitu Zainab binti Humaid,
menghadap Rasulullah saw. Ibunya berkata: "Wahai Rasulullah, terimalah bai’atnya."
Kemudian Nabi saw menjawab: "Dia masih kecil." Beliau kemudian mengusap-usap
kepala anak kecil itu dan mendoakannya.

Jika bai’at itu berfungsi sebagai pengakuan atas kenabian Muhammad saw, beliau tidak
mungkin menolaknya walaupun datang dari seorang anak kecil yang belum baligh
karena syariat Islam menggariskan bahwa seorang anak telah terkena kewajiban agama
yaitu membayar zakat yang ditanggung oleh orangtuanya.

Dengan demikian jelaslah bahwa Rasulullah saw memegang jabatan Kepala Negara
selain kedudukannya sebagai Nabi.

2. Rasulullah saw sebagai Kepala Negara mengirim surat kepada penguasa negara-
negara besar untuk tunduk di bawah kekuasaan Islam.

Tidak mungkin suatu masyarakat biasa memiliki strategi politik untuk meluaskan
pengaruhnya ke wilayah-wilayah sekitar, yang hanya dapat dilakukan oleh suatu
negara yang memiliki serta mengemban kepentingan eksternal yang dirumuskan
dalam strategi politik luar negerinya.

Isi surat Rasulullah saw tersebut adalah:

"Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim. Dari Muhammad bin Abdullah dan Rasul Allah, kepada
Heraklius pemimpin Romawi. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada siapapun yang
mengikuti petunjuk. Masuklah Islam, niscaya Anda akan selamat. Masuklah Islam, niscaya
Allah akan melimpahkan pahala kepada Anda dua kali lipat. Namun jika Anda berpaling maka
Anda akan menanggung dosa rakyat Irisiyin." (HR Bukhari dalam Shahih Bukhari, juga al-
Bidayah IV/226)

Surat senada juga disampaikan kepada Kisra (Raja Persia), Muqauqis (Raja Mesir),
Najasyi (Raja Ethiopia), al-Harith al-Ghassani (Raja Hirah), dan al-Harith al-Himyari
(Raja Yaman).

Seruan ini bukan sekedar seruan moral untuk memeluk Islam, tetapi juga seruan politik
untuk menggabungkan wilayahnya di bawah kekuasan Islam walaupun dengan jalan
perang. Rasulullah saw pernah berkirim surat kepada Uskup Najran yang isinya:

"Atas nama Tuhan Ibrahim, Ishaq, dan Yakub, dari Muhammad, Nabi dan Rasul Allah, kepada
Uskup Najran. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada kalian. Aku mengajak kalian untuk
memuji Tuhan Ibrahim, Ishaq, dan Yakub. Amma ba’d.

Aku mengajak kalian untuk menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan kepada hamba.
Aku mengajak kalian kepada kekuasan Allah dan meninggalkan kekuasaan hamba. Jika kalian
menolak ajakanku ini, maka hendaklah kalian menyerahkan jizyah. Jika kalian menolak untuk
menyerahkan jizyah, berarti kalian telah memperkenankan peperangan. Wassalam." (Tafsir
Ibnu Katsir I/139, al-Bidayah V/55)

Jizyah adalah hak yang diberikan Allah swt kepada kaum muslimin dari orang-orang
non-muslim karena adanya ketundukan mereka kepada pemerintahan Islam4 .

3. Adanya hukum yang bersifat mengikat dan memaksa.


Syariat Islam adalah hukum, bukan sekedar norma. Tindakan kriminal (jarimah)
mendapat sanksi definitif yang dijatuhkan oleh negara walaupun dimensi
transendental dalam Islam mengaitkan penjatuhan sanksi tersebut dengan alam
akhirat.

Masyarakat awam sering membayangkan komunitas Madinah seperti masyarakat


tingkat kelurahan atau RT yang dalam proses penjatuhan sanksi sosial kepada anggota
masyarakat yang melakukan kejahatan ditentukan melalui musyawarah. Yang sering
dijadikan dalil adalah ayat al-Qur’an surat an-Nisaa: 159 dan asy-Syura: 38 yang
memerintahkan Nabi untuk bermusyawarah mengenai suatu urusan.

Pengambilan dalil secara sepotong demi sepotong memang mengasyikkan karena


hukum agama dapat dibelok-belokkan sesuai keinginan kita. Tetapi harus diingat
bahwa satu ayat tidak dapat terlepas dari ayat lain maupun teks-teks al-Hadits. Ini
berkaitan dengan nasakh-mansukh, takhsis, tabdil, taqyid, dan lain-lain (dapat kita
diskusikan lebih lanjut dengan topik "Kodifikasi Hukum Islam").

Rasulullah saw bermusyawarah dengan para Sahabat maupun dengan penduduk


Madinah hanya untuk masalah-masalah yang bersifat mubah/boleh dan tidak
menyangkut wahyu. Misalnya ketika Perang Uhud, beliau mengikuti pendapat
mayoritas penduduk Madinah yang memilih menyambut musuh di luar kota padahal
Rasulullah dan sahabat-sahabat besar memilih menyambut dari dalam benteng.

Untuk hal-hal yang menyangkut wahyu dan ketetapan hukum, Rasulullah saw tidak
meminta pendapat siapapun selain mengikuti wahyu yang diturunkan kepada beliau.

"Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku" (QS Yunus: 15)

"(Dan) tidaklah ia mengucapkan sesuatu berasal dari hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain
adalah wahyu yang diwahyukan" (QS an-Najm: 3-4)

Dalam kasus Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw mengabaikan pendapat para


Sahabat yang mengajukan protes terhadap kesediaan beliau menerima konsep
perjanjian yang disodorkan oleh kaum Quraisy Mekkah. Umar bin al-Khatthab
menunjukkan rasa marah dan kecewanya atas sikap Nabi tersebut, tetapi Rasulullah
tidak bergeming sedikitpun karena sikap politik itu diambil atas perintah Allah swt.

Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara, Rasulullah saw tidak melakukan negosiasi
atau tawar-menawar dalam penjatuhan sanksi kepada para pelaku tindakan kriminal.
Beliau pernah menjatuhkan hukuman mati kepada Ma’iz al-Aslami dan al-Ghamidiyah
yang terbukti melakukan zina. Beliau pernah pula mengusir kaum Yahudi bani
Qainuqa’ dari Madinah karena dengan sengaja menghina kehormatan seorang
muslimah dengan menarik jilbabnya hingga terlepas. Semua sanksi hukum tersebut
diambil tanpa bermusyawarah atau tawar-menawar dengan siapapun.
Sebagaimana yang didefinisikan oleh Harold Laski bahwa negara mempunyai
kekuatan memaksa, jelaslah bahwa Rasulullah saw menjalankan fungsi sebagai Kepala
Negara.

4. Struktur Negara Islam pertama

Layaknya suatu negara, negara Islam yang dibentuk oleh Rasulullah saw memiliki
struktur yang khas dan sistematik.

Beliau mengangkat Abubakar dan Umar sebagai wakil Kepala Negara. Al-Hakim dan
Tirmidzi telah mengeluarkan hadits dari Abi Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw
bersabda:

"Dua pembantuku dari langit adalah Jibril dan Mikail, sedangkan dari bumi adalah Abubakar
dan Umar"

Pada masa itu wilayah kekuasaan Islam mencakup seluruh Jazirah Arab. Untuk
menjalankan roda pemerintahan di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan
(Madinah), Rasulullah menunjuk para wali untuk memimpin wilayah (setingkat
propinsi). Wilayah terbagi atas beberapa imalah (setingkat kabupaten) yang dipimpin
oleh amil atau hakim.

Rasulullah menunjuk Utab bin Usaid sebagai wali Mekkah pasca-penaklukan, Badhan
bin Sasan sebagai wali Yaman, Muadz bin Jabal al-Khazraji sebagai wali al-Janad,
Khalid bin Said bin al-Ash sebagai amil San’a, Zaid bin Lubaid bin Tha’labah al-
Anshari sebagai wali Hadramaut, Abu Musa al-Ashari sebagai wali Zabid dan Aden,
Amr bin al-Ash sebagai wali Oman, dan di dalam kota ditunjuk Abu Dujanah sebagai
wali Madinah.

Dalam urusan pengadilan (al-Qadla), Rasulullah saw mengangkat beberapa qadli


(hakim). Misalnya Ali bin Abi Thalib sebagai hakim di Yaman, dimana Rasulullah
pernah menasihatinya:

"Apabila dua orang yang berselisih datang menghadap kepadamu, jangan segera kau putuskan
salahsatu di antara mereka sebelum engkau mendengar pengaduan dari pihak yang lain. Maka
engkau akan tahu bagaimana engkau harus memberi keputusan" (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Beliau juga mengangkat Muadz bin Jabal sebagai hakim di al-Janad, dan Rashid bin
Abdullah sebagai qadli madzalim yang mengadili kesewenang-wenangan penguasa
terhadap rakyat.

Dalam urusan kesekretariatan negara (al-jihaz al-idari mashalih al-daulah), Rasulullah


menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penulis perjanjian, Harits bin Auf sebagai
pemegang stempel negara, Huzaifah bin al-Yaman sebagai pencatat hasil pertanian
daerah Hijaz, Zubair bin al-Awwam sebagai pencatat shadaqah, Mughirah bin Shu’bah
sebagai pencatat keuangan dan transaksi negara, dan Syarkabil bin Hasanah sebagai
penulis surat diplomatik ke berbagai negara.

Untuk memusyawarahkan hal-hal tertentu, Rasulullah membentuk Majelis Syura yang


terdiri dari tujuh orang Muhajirin dan tujuh orang Anshar, di antaranya adalah
Hamzah, Abubakar, Ja’far, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Salman, Ammar, Huzaifah, Abu
Dzarr, dan Bilal.

Untuk posisi panglima perang dipegang sendiri oleh Rasulullah, namun untuk perang-
perang sarriyah (tidak diikuti Nabi), beliau menunjuk orang-orang tertentu sebagai
panglima perang, misalnya Hamzah bin Abdul Muththalib, Muhammad bin Ubaidah
bin al-Harits, dan Saad bin Abi Waqqash menghadapi tentara Quraisy. Lalu Zaid bin
Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah menghadapi tentara
Romawi.

Demikianlah struktur negara Islam pertama secara garis besar.

Bentuk negara Islam

Rasulullah saw bersabda:

"Dahulu bani Israil dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi
meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku.
(Tetapi) nanti akan ada para Khulafaa dan jumlahnya akan banyak sekali" (HR Bukhari dan
Muslim)5 

Menurut pengertian bahasa Arab, khulafaa berarti pengganti. Berdasarkan penegasan


Rasulullah bahwa tidak ada nabi lagi sesudah beliau, maka pengganti di sini berfungsi
menggantikan kedudukan beliau sebagai Kepala Negara. Hal ini diperkuat oleh
keputusan Abubakar yang menyandang gelar Khalifatur-Rasulillah (pengganti
Rasulullah sebagai Kepala Negara).

Mahmud Abdul Majid al-Khalidi menjelaskan pengertian Khalifah sebagai berikut:


"Khalifah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin secara keseluruhan di
dunia untuk mendirikan/melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban
dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia".6 

Imam Mawardi mengatakan:

"Imamah (atau Khilafah) adalah suatu kedudukan yang diadakan untuk mengganti
peran kenabian dalam urusan memelihara agama (Islam) dan mengendalikan dunia".7 

Dalam masalah yang sama, Ibnu Khaldun menyatakan:


"Hakikat Khalifah adalah Shahibus-Syari’ (yaitu seseorang yang bertugas memelihara
dan melaksanakan syariat) dalam memelihara urusan agama dan mengelola dunia".8 

Tentang bentuk negara Khilafah ini, Rasulullah saw telah menegaskannya dalam hadits
riwayat al-Bazzar:

"...kemudian akan muncul (kembali) Khilafah yang mengikuti jejak kenabian..." 9 

Berdasarkan penjelasan di atas, Islam mengenal bentuk negara Khilafah Islamiyyah,


baik secara normatif maupun praktis sebagaimana yang tercatat dalam lembaran
sejarah sejak masa Nabi sampai runtuhnya Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki
pada tahun 1924 (penjelasan rinci tentang bentuk negara Khilafah Islamiyyah dapat
dibahas pada diskusi selanjutnya, insya Allah).

Membentuk "Masyarakat Madani"

Generasi Islam masa kini telah dijauhkan dari kekayaan khazanah peradaban Islam
sehingga mereka mengalami kesulitan besar ketika harus mendeskripsikan konsep
kemasyarakatan Islam yang secara normatif diyakini sebagai yang terbaik. Tak heran
apabila generasi Islam masa kini lebih pas mendeskripsikan Masyarakat Madinah
dengan idiom-idiom yang ironisnya justru diadopsi dari peradaban Barat, seperti
demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan beragama, kedaulatan rakyat, sosialisme, dan
lain-lain.

Salahsatu dampak peracunan Barat (westoxification) terhadap benak kaum muslimin


adalah kecenderungan untuk menjauhkan pendekatan hukum dalam penegakan
kehidupan Islam. Agama Islam dianggap sebagai agama ritual dan kultural, yang
penegakannya dalam sendi-sendi kehidupan cukup dilakukan lewat "dakwah budaya"
ala Emha Ainun Nadjib.

Kebesaran peradaban Islam tidak dibangun semata-mata melalui pendekatan kultural.


Jika pendekatan model ini yang dipakai Rasulullah, niscaya beliau tidak akan
memerangi Romawi dan negara-negara lain untuk menundukkannya di bawah
kekuasaan Islam. Bahkan sebelum berdirinya negara Islam di Madinahpun para
Sahabat sudah dididik dengan hukum-hukum Islam. Anas ra mengatakan:

"Apabila mereka selesai shalat di pagi hari, mereka duduk berkelompok membaca al-Qur’an dan
mempelajari hukum-hukum yang wajib dan yang sunnah" 10 

Hal tersebut dilakukan terang-terangan oleh Nabi dan para Sahabat di depan hidung
kaum kafir Quraisy. Shuhaib meriwayatkan:

"Bahwasanya ketika Umar masuk Islam, kami duduk berkelompok di sekitar Baitullah" 11 
Maka jelaslah bahwa Rasulullah saw selalu membina keterikatan para Sahabat dan
seluruh kaum muslimin saat itu kepada hukum Islam.

Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah penolakan aspek hukum dalam ajaran
Islam dan lebih menitikberatkan pada penerapan norma-norma atau yang sering
diistilahkan dengan "nilai-nilai Islam". Hal ini diakibatkan oleh sikap lemah dan
menyerah dari kaum muslimin terhadap pola kehidupan saat ini. Mereka merasa
bahwa situasi saat ini sudah sangat sulit diubah sehingga upaya maksimal yang dapat
dilakukan adalah menyisipkan "nilai-nilai Islam" dalam praktek kehidupan bernegara
dan bermasyarakat sembari menunggu dan berharap suatu saat pola kehidupan saat ini
akan ber-evolusi menjadi "lebih Islami"

Ajaran Islam tidak mungkin dapat diterapkan dengan cara tersebut. Ajaran Islam
bersifat unik, berbeda secara diametral dengan ideologi-ideologi besar lainnya
(sosialisme dan kapitalisme), serta memiliki hubungan yang erat antara al-fikrah (ide
dasar) dengan at-thariqah (sistematika pelaksanaan). Mengambil ide dasar Islam dengan
meninggalkan sistematika pelaksanaannya yang telah diatur dalam Islam adalah
tindakan sia-sia.

Seperti saat ini, sebagian kaum muslimin bercita-cita mewujudkan Indonesia Baru
sebagai sebuah "Masyarakat Madani", masyarakat berperadaban tinggi yang diadopsi
dari perilaku kehidupan Negara Islam pertama yang berpusat di Madinah. Nurcholish
Madjid mencirikannya dengan tiga kata serangkai: adil, terbuka, demokratis. Tapi
pertanyaan besar segera muncul: apakah adil itu? Apakah terbuka itu? Apakah
demokratis itu?

Sampai di sini, sebagian ilmuwan Muslim terjebak pada stereotip Barat tentang
keadilan, keterbukaan, dan demokrasi. Gambaran masyarakat Barat masa kini—minus
segala sisi suramnya—diadopsi sebagai contoh ideal cita-cita "Masyarakat Madani".
Mulai dari Kongres Amerika Serikat yang mampu mengimpeach presiden, sampai tabiat
penduduk kota Toronto yang membiarkan burung-burung merpati bebas berkeliaran
di taman kota. Semuanya dibenturkan dengan gambaran masyarakat Muslim di negeri-
negeri Islam masa kini yang miskin, bodoh, terbelakang, dan selalu terlibat konflik
internal maupun eksternal dari masa ke masa.

Inilah hasil dari suatu proses berpikir yang tidak utuh: meletakkan ide dasar di satu sisi
dan sistematika pelaksanaan di sisi lain. Kaum muslimin tiba-tiba tergagap ketika harus
mendeskripsikan sistematika Islam untuk mewujudkan suatu masyarakat yang
beradab. Kaum muslimin menjadi hilang kepercayaan dirinya bahwa agamanya
memiliki risalah lengkap dalam menyelesaikan problematika umat manusia; bukan
hanya dalam tataran norma dan nilai-nilai tetapi bahkan sampai pada tataran
pelaksanaan praktis.
Ide dasar tentang keterbukaan, misalnya. Dalam sistem Islam, rakyat didorong untuk
berani melakukan koreksi terhadap kekeliruan dan kezaliman penguasa. Rasulullah
saw bersabda:

"Ketahuilah, demi Allah, hendaklah kalian melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mencegah
penguasa melakukan kezaliman, memaksa mereka agar mengikuti kebenaran (syariat Islam), dan
membatasinya dengan hanya melaksanakan kebenaran saja" (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan
Ibnu Majah)12 

Apakah Islam mengatur perihal negara? Atau mungkinkah sebenarnya Islam tidak menganjurkan
adanya negara? Pertanyaan ini nampaknya akan tetap menjadi perdebatan di kalangan internal
harakah Islam. Ada yang jelas-jelas menolak adanya konsep negara. Mereka berdalih bahwa
bagaimana pun bentuk pemerintahan yang sah dalam Islam sejatinya ialah khilafah. Sementara di
pihak lain, ada pula yang berkeyakinan akan bolehnya bentuk negara apa saja asalkan tetap ada
upaya menerapkan syariat Islam di dalamnya. Karenanya, pembahasan ini merupakan wilayah
kajian kontemporer yang cukup sensitif.

Terlepas dari perbedaan tersebut, Ust. Yusuf Mustofa, Lc. mengaku lebih meyakini pendapat
kedua. Ia menilai meski bentuk pemerintahan paling ideal ialah khilafah islamiyah, namun ketika
kita belum cukup syarat, maka apapun bentuk negaranya tak jadi masalah. Hal ini karena esensi
adanya sebuah pemerintahan (dalam hal ini negara) lebih penting dibandingkan bentuk
pemerintahan itu sendiri. Dengan adanya negara, maqashidusy syari’ah (tujuan adanya syariat)
seperti hifzul maal, hifzhun nafs, hifzhun nasl, hifzhud diin, dan hifzhul ‘aql (menjaga harta, jiwa,
keturunan, agama, dan akal) akan lebih terjamin keberadaannya. Pemerintah yang beriman dan
adil dalam sebuah negara tentu akan memperhatikan hal-hal terkait hak-hak warganya tersebut.
Sebaliknya, jika kita memilih tidak bernegara lantaran tidak cocok dengan prinsip khilafah, maka
dikhawatirkan maqashidusy syari’ah itu pun terbengkalai.

Selain itu, tuntunan bernegara sebenarnya telah Allah SWT dan Rasul-Nya nyatakan secara
implisit maupun eksplisit dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Perintah bermusyawarah (Q.S.
Asy-Syura: 38), berlaku adil (Q.S. Al-Maidah: 8), taat kepada pemimpin (Q.S. An-Nisa’: 59),
dsb, menyiratkan kemestian adanya kepemimpinan di tengah umat (negara). Pun begitu dengan
isyarat hadits Nabi Muhammad SAW dalam hadits berikut sebagai contoh:

“Jika ada 3 orang yang mengadakan perjalanan maka hendaknya mereka menjadikan salah
seorang dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud no. 2609)

Kalau untuk sebuah perjalanan (safar) saja Rasulullah memerintahkan kita mengangkat
pimpinan, bagaimana dengan perjalanan hidup kumpulan orang banyak yang tentu lebih
kompleks persoalannya? Tentu mutlak diperlukan adanya negara dengan perangkatnya demi
mengatur hak dan kewajiban di antara mereka.

Demi lebih menegaskan perlunya ada negara (meskipun belum 100% khilafah), maka ada
baiknya kita cermati pula kaidah ushul fiqih berikut:

“Sesuatu yang dapat menyempurnakan suatu kewajiban, maka hukumnya wajib”


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/09/19/22966/negara-dalam-islam/#ixzz4SmSihKCn
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Mengingat perintah Allah dan Rasul-Nya pada dasarnya bersifat wajib hukumnya (kecuali ada
dalil lain yang memalingkan hukumnya), maka adanya sebuah negara untuk menerapkan apa
yang menjadi perintah juga wajib hukumnya.

Lalu, apa saja yang menjadi syarat terbentuknya sebuah negara? Sebagaimana banyak diketahui,
setidaknya ada empat syarat kita bisa mendirikan sebuah negara, yaitu adanya tanah/ wilayah,
rakyat, pemerintah, dan pengakuan dari negara lain. Maka, ketika sudah terpenuhi syarat-syarat
ini, alangkah lebih baik jika pembentukan negara tidak lagi ditunda demi terjaminnya hak dan
kewajiban masyarakat yang hidup di dalamnya.

“Adapun mengenai sistem yang mengatur sebuah negara memang akan tetap menimbulkan pro
dan kontra” masih kata Ust. Yusuf.

Namun, hal yang lebih baik menurutnya ialah tetap tak berhenti di satu masalah itu. Kalaulah
karena beberapa sebab janji Rasulullah SAW bahwa kita akan kembali kepada fase khilafah ala
minhajin nubuwah (kekhalifahan berdasarkan manhaj kenabian) belum bisa terealisasi,
penerapan sistem apapun selama tak bertentangan dengan prinsip Islam tak jadi soal. Hal yang
lebih penting daripada sistem formal tersebut sebenarnya ialah orang yang diserahi amanah.
Begitu kata Anis Matta dalam bukunya “Dari Gerakan ke Negara”. Prinsip ini pula yang dianut
Imam Syahid Hasan Al-Banna, pendiri harakah Ikhwanul Muslimin. Walhasil, kaidah maratibul
‘amal (urutan amal) pun ia rumuskan demi mencapai ustadziyatul ‘alam (Islam sebagai soko
guru/ pemimpin peradaban dunia).

Sebagai kesimpulan, terlepas dari perbedaan pandangan mengenai metode menuju tujuan yang
sama dalam hal kepemimpinan dan negara Islam, hendaknya ukhuwah islamiyyah harus
dikedepankan. Jangan sampai kita terlalu disibukkan dengan perbedaan ini, sementara musuh-
musuh kita sebenarnya merapatkan barisan bersiap menghancurkan kita.

* Diringkas dari materi “Konsep Negara dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah” dalam
even Daurah Marhalah II (DM II) KAMMI Daerah Garut pada Sabtu, 31 Agustus 2012 di Hotel
Empang Asri, Tarogong Kaler, Kab. Garut.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/09/19/22966/negara-dalam-islam/#ixzz4SmSmuZtM
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai