Anda di halaman 1dari 17

Bismillaahirrahmaanirrahiim

MENUJU JAMA’ATUL MUSLIMIN


Telaah Sistem Jama’ah dalam Gerakan Islam

Judul Asli : ath-Thariqq ila Jama’atil Muslimin


Penulis : Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir
Penerjemah : Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc.
Penerbit : Robbani Press, Jakarta
Cetakan ke- : 10
Tahun Terbit : 2012
Tebal Buku : xix + 429 halaman

“Tidak ada Islam melainkan dengan jama’ah, tidak ada jama’ah kecuali dengan imamah
(kepemimpinan), dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan.”

Kutipan kalimat bijak dari Umar bin Khaththab ra di atas menjadi bagian dari sampul
buku “Menuju Jama’atul Muslimin” tampaknya bukanlah tanpa alasan. Adalah tujuan
pembahasan dari Al Ustadz Hussain Jabir dalam buku ini, yang sesungguhnya merupakan
disertasi yang dipertahankan dalam rangka mencapai tingkat magister di Fakultas Hadist - al
Jami’ah al Islamiyah Madinah, untuk menjelaskan kepada umat Islam bahwa Jama’atul
Muslimin pada saat ini tidak ada. Karena itu, seperti yang diisyaratkan dalam al-Qur’an dan
hadist, seluruh umat Islam wajib menegakkannya.

Sedangkan pokok masalah dalam tulisan Al Ustadz Hussain Jabir ini adalah ketiadaan
Khilafah dan qiyadah (kepemimpinan) yang mengakibatkan semakin merebaknya
perpecahan, degradasi dan kehinaan yang menimpa umat Islam saat ini. Sehingga ajaran
Islam dan hukum-hukumnya pun semakin jauh dari manusia.

Dengan demikian, Islam adalah satu-satunya alternatif. Untuk itu diperlukan struktur
yang kokoh dari peradaban Islam. Dan Hal tersebut tidak mungkin terwujud tanpa tegaknya
Jama’atul Muslimin. Buku ini sendiri adalah salah satu wujud usaha dari Al Ustadz Hussain
Jabir untuk menegakkan Jama’atul Muslimin.

Mengingat buku ini adalah terjemahan, maka beberapa istilah, seperti Tabiat atau
Fasal, terasa kurang lazim dipakai dalam penulisan karya ilmiah di Indonesia. Buku yang
lumayan tebal, juga memungkinkan beberapa dari kita enggan untuk membacanya secara
menyeluruh sehingga isinya dapat dipahami secara utuh. Namun, pembaca dapat dengan
mudah mencari topik bahasan yang diinginkan karena judul masing-masing bagian ditulis
secara spesifik.

Pengantar dari Dr. Salim Segaf Al Jufri menambah keistimewaan buku ini. Pengantar
dari Mantan Ketua Majelis Syura PKS, yang lama mengenyam pendidikan di Arab Saudi serta
pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi ini, mampu menjadi
penghubung antara pembaca dengan tulisan Al Ustadz Hussain Jabir sehingga isinya secara
umum lebih mudah untuk dipahami.

1
Parsialisasi dalam kehidupan beragama saat ini, menyebabkan pembahasan dan
buku-buku yang mengupas perihal jama’ah, gerakan dakwah ataupun khilafah - menjadi
kurang populer pada kalangan umat Islam secara umum di negeri ini. Termasuk juga buku
karya Al Ustadz Hussain Jabir ini. Padahal, buku “Menuju Jama’atul Muslimin” ini
sesungguhnya merupakan suatu pandangan luar biasa yang patut dibaca dan ditelaah oleh
setiap muslim, apalagi bagi siapa saja yang aktif dalam gerakan dakwah.

KANDUNGAN BUKU
Buku ini terdiri dari Pengantar, Pendahuluan, Empat Bagian Utama, Penutup,
Lampiran-lampiran, Daftar Pustaka dan Daftar Isi. Berikut ringkasan setiap bagiannya:

Muqaddimah

Dalam muqaddimah penulis menjelaskan tujuan pembahasan yaitu untuk


menjelaskan kepada umat Islam bahwa Jama’atul Muslimin pada saat ini tidak ada. Kemudian
penulis tegaskan bahwa hukum terhadap segala sesuatu adalah milik Allah semata. Manusia
hanyalah alat pelaksana hukum tersebut, karena itu setiap kelengahan terhadap sifat ilahiyah
ini berarti permusuhan terhadap Allah. Dengan demikian, kita tidak boleh lengah untuk
berupaya menegakkan Jama’tul Muslimin.

Adapun latar belakang pemilihan tema ini oleh penulis secara umum antara lain :
- Hilangnya Jama’atul Muslimin (bukan jama’ah dari sekelompok kaum muslimin) dari
kehidupan umat Islam dan kewajiban untuk menegakkannya.
- Ketiadaan khilafah dan qiyadah yang menyebabkan perpecahan, degradasi dan fitnah
terhadap umat Islam.
- Kehidupan manusia yang jauh dai nilai-nilai Islam.
- Ketidaktahuan umat Islam akan wajibnya menegakkan Jama’atul Muslimin padahal banyak
ayat-ayat al-Qur’an dan hadist yang menganjurkannya.
- Keyakinan penulis bahwa Jama’atul Muslimin dapat dicapai setelah melakukan
perhimpunan (jama’ah) dan penataan (tanzhim).
- Keyakinan penulis bahwa banyaknya jama’ah di kalangan umat Islam merupakan suatu
kebatilan yang harus dihapuskan. Karena itu, kita wajib mengerahkan seluruh upaya ini
kepada satu wadah.

Pendahuluan

Dalam pendahuluan dijelaskan tentang definisi dan kedudukan Jama’atul Muslimin


serta ketiadaannya saat ini, yang dikuatkan dengan fakta dan dalil-dalil yang insyaallah shahih.

Jama’atul Muslimin berarti masyarakat umum dari penganut Islam, apabila


bersepakat atas suatu perkara, termasuk menyepakati seorang amir.

Jama’atul Muslimin memiliki kedudukan yang mulia dalam syariat Islam karena :
- Ia merupakan ikatan yang kokoh yang apabila hancur, akan hancur pula ikatan-ikatan Islam
lainnya, pasif hukumnya, hilang syariatnya dan terpecah belah umatnya seperti buih di
lautan.
Dari Abu Umamah al-Bahili dari rasulullah Saw, beliau bersabda: ”Ikatan-ikatan Islam
akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh (lepasnya) ikatan
berikutnya. Ikatan Islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan, dan yang terakhir
adalah shalat.” (HR. Ahmad)

2
- Jama’ah yang diperintah dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah untuk dijaga, dan
mewujudkannya adalah Fardhu ‘ain.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,
dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka
Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang
yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan
kamu dari padanya.” (QS. Ali Imran: 103)

Dari definisi di atas, maka Jama’atul Muslimin boleh dikatakan tidak ada lagi
sekarang, yang ada hanyalah “Jama’ah dari sebagian kaum muslimin” dan “Negara bagi
sebagian kaum muslimin”, bukan Jama’atul Muslimin dan “Negara kaum muslimin.” Dalil yang
menegaskan tentang hilangnya Jama’atul Muslimin dan pemerintahan Islam seperti :
Dari Hudzaifah bin al-Yaman Rasulullah Saw, ia berkata: “…………apa yang engkau
perintahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?” Beliau bersabda, “Hendaklah
engkau berkomitmen (iltizam) dengan Jama’atul Muslimin dan imam mereka.” Aku
bertanya, “Jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam?” Beliau bersabda,
“Tinggalkanlah kelompok-kelompok itu semuanya, sekalipun kamu harus menggigit akar
pohon.”( HR. Bukhari)

Bukti lain yang menunjukkan tidak adanya Jama’atul Muslimin adalah adanya
beberapa pemerintahan yang memerintah umat Islam. Sebab, Islam tidak meyakini selain
satu pemerintahan Islam. Bahkan Islam memerintahkan membunuh penguasa kedua.
Dari Abu Sa’id al-Hudri ra, Rasulullah saw bersabda, “Apabila dibai’at kepada dua orang
khalifah, maka bunuhlah khalifah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)

Sekiranya dibolehkan ada lebih dari satu pemerintahan Islam, niscaya Ali ra tidak
akan memerangi Mu’awiyah ra, dan Rasulullah SAW tidak akan menamakan pihak yang
menentang Ali ra sebagai fi’ah baghiyah (kelompok pemberontak).

Bagian Pertama
Struktur Organisasi Jama’atul Muslimin

Dalam pandangan penulis, struktur organisasi Jama’atul Muslimin terdiri atas satu
basis (qa’idah) yakni umat, dan dua pilar yakni majelis syura dan imamah/kepemimpinan
(khilafah). Kemudian dijelaskan pula tujuan terpenting dari Jama’atul Muslimin.

I. Umat Islam
Menurut bahasa, umat memiliki banyak arti. Di antaranya kaum, jama’ah dan
golongan manusia.

Sedangkan, umat secara geografi ditinjau melalui tiga titik tolak :


Pertama, ialah bahwa setiap jengkal bumi yang dihuni oleh sekelompok manusia dan
diperintah dengan syariat Allah adalah darul ‘adl (Negara keadilan).
Kedua, bahwa penduduk darul ‘adl tersebut harus bersatu dengan penduduk darul ’adl lain
untuk membentuk satu Negara Islam.
Selanjutnya, membentuk satu pemerintahan pusat yang dikepalai oleh seorang imam di
bawah satu panji Islam dan satu khilafah Islamiyah. Ketiga, bahwa persatuan darul ‘adl harus
bergerak menyampaikan Islam kepada orang yang ada di sekitarnya, menundukkan mereka
pada hukum Islam, sampai tidak ada lagi fitnah, serta seluruh bumi ini tunduk pada hamba-
Nya yang shaleh. Dengan demikian, batas-batas bagi negara Islam adalah meliputi seluruh
belahan bumi.

3
Umat ini sepanjang sejarahnya, telah menempuh dua periode. Periode pertama,
yakni sebelum diutusnya nabi Muhammad Saw. Pada periode ini, kenabian atau kerasulan
bersifat khusus bagi kaum tertentu. Periode Kedua, dimulai dengan bi’tsah (pengangkatan)
Nabi Muhammad Saw sebagai rasul. Pada periode ini dakwah beralih kepada seluruh
manusia. Dengan demikian semua syari’at dihapus oleh Islam.
“Sesungguhnya din (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)

Kendatipun ada perbedaan periode, namun umat ini tetap bersambung dan bersatu
dalam sifatnya yang utama, yaitu sifat keislaman. Seperti firman Allah :
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim sejak dahulu, dan (begitu
pula) di dalam (al-Qur’an) ini.” (QS. al-Hajj: 78)

Selanjutnya dijelaskan tentang karakteristik dan unsur kesatuan umat sebagai


berikut.
Karakteristik umat Islam antara lain :
1. Kaidah yang bersih dari segala bentuk kemusyrikan
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak
mempersekutukan sesuatu pun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan
hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS. ar-Ra’d: 36)
2. Aqidah yang bersifat komprehensif dan menyeluruh
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh.”
(QS. al-Baqarah: 208)
3. Manhaj yang bersifat rabbani secara murni karena diturunkan dan dipelihara oleh Allah
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-
benar memeliharanya.”(QS. al-Hijr: 9)
4. Kesempurnaan manhajnya
“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu.”
(QS. an-Nahl: 89)
5. Prinsip pertengahan dan keadilan dalam segala persoalan
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”(QS. al-Baqarah: 143)

Adapun unsur kesatuan umat antara lain:


1. Kesatuan aqidah
2. Kesatuan ibadah, yaitu ibadah kepada Allah
3. Kesatuan adat dan perilaku, yaitu menjadikan Rasulullah Saw sebagai teladan
4. Kesatuan sejarah, dimana sejarah Islam menjadi ikatan
5. Kesatuan bahasa, yaitu bahasa Arab sebagai pemersatu
6. Kesatuan jalan, yaitu jalan lurus seperti para nabi dan rasul
7. Kesatuan dustur (sumber undang-undang), yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
8. Kesatuan pimpinan. Umat Islam sepakat bahwa pimpinan pertama adalah Rasulullah Saw,
kemudian khalifah terpilih, dan tidak boleh lebih dari satu orang khalifah.

II. Syura (Musyawarah)


Syura lahir dari umat dan berfungsi sebagai ahlul aqdi wal hilli, yaitu yang
berwenang mengangkat dan tidak mengangkat seorang imam. Ia merupakan pilar pertama
dari Jama’atul Muslimin. Syura berarti mengeluarkan berbagai pendapat tentang suatu
masalah untuk dikaji dan diketahui berbagai aspeknya sehingga dapat dicapai kebaikan dan
dihindari kesalahan.

Syura merupakan bagian fitrah manusia sejak Allah ciptakan. Syura juga merupakan
dasar utama dan sifat yang melekat pada tubuh umat Islam. Tanpanya, umat Islam akan
kehilangan kemaslahatannya, seperti halnya jika umat Islam meninggalkan zakat atau puasa.

4
Bahkan Allah menyebutkan syura bersama perintah menyambut seruan-Nya, seperti
shalat dan zakat.
“Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia;
dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman,
dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakal. Dan bagi orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah
mereka memberi maaf. Dan (bagi) bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Rabb mereka dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah; dan mereka menafkahkan sebagian rizki yang kami berikan kepada
mereka.”(QS. asy-Syura: 36-38)

Rasulullah Saw juga bersabda,


“Dari Abu Hurahrah ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, “Apabila pimpinan-pimpinan
kamu orang-orang yang baik; apabila orang-orang kaya di antara kamu orang-orang yang
murah hati; dan apabila perkara dimusyawarahkan di antara kamu, maka permukaan
bumi ini (hidup) lebih baik bagi kamu dari pada perut bumi (mati).” (HR. Tirmidzi)

Mengingat pentingnya kedudukan syura, maka para ulama menegaskan bahwa


hukum syura adalah wajib atas para penguasa umat Islam.

Rasulullah Saw sebenarnya senantiasa mendapatkan arahan dari Allah. Allah tidak
memerlukan segenap alam dan pengalaman manusia. Dengan ilmu-Nya, Ia sanggup
melengkapi Rasulullah Saw tanpa bantuan musyawarah dengan manusia. Kendatipun
demikian, Allah memerintahkan rasul-Nya agar bermusyawarah dengan sahabat beliau.

Bahkan syura telah menjadi kebiasaan Rasulullah Saw dalam menghadapi urusan
penting.
“Dari Abu Hurairah: Aku tidak pernah melihat seorang yang paling banyak
bermusyawarah dengan para sahabatnya kecuali Rasulullah Saw.”(HR. Tirmidzi)

Hampir semua peperangan Rasulullah Saw melahirkan majelis syura. Rasulullah saw
juga melakukan syura dengan malaikat Jibril tentang usulan nabi Musa as yang berkaitan
dengan masalah shalat pada peristiwa isra’ mi’raj. Demikian juga menyangkut masalah fitnah
yang menimpa istri beliau, Aisyah ra. Kebiasaan Rasulullah Saw ini kemudian juga melekat
pada diri sahabat-sahabat beliau.

Adapun syarat-syarat anggota syura adalah :


1. ‘Adalah (adil/kesempurnaan secara moral)
2. Bertaqwa dan bersih dari dosa
3. Mengetahui al-Qur’an, as-Sunnah serta berilmu
4. Berpengalaman dalam masalah yang dimusyawarahkan
5. Berakal dan matang
6. Jujur dan amanah

Selanjutnya, perkara apakah yang boleh dimusyawarahkan dan pendapat manakah


yang harus diikuti oleh pemimpin?

Di dalam Islam, tidak ada syura menyangkut masalah yang telah jelas nashnya dalam
al-Qur’an dan hadist. Kemudian, Rasulullah Saw senantiasa mengambil pendapat mayoritas
ketika terjadi perselisihan antara anggota syura.
Anas bin Malik ra, ia berkata: Saya pernah mendengar rasulullah Saw bersabda: “Umatku
tidak akan bersepakat atas kesesatan; maka jika kamu melihat perselisihan, hendaklah
kamu berpegang dengan kelompok yang terbanyak.”(HR. Ibnu Majah)

5
Rasulullah Saw sendiri pernah melepas pendapatnya karena mengikuti pendapat
mayoritas untuk keluar dari Kota Madinah menyongsong orang-orang Quraisy pada perang
Uhud. Kendatipun peristiwa yang terjadi setelahnya membuktikan bahwa pendapat
Rasulullah Saw lebih baik.

Dengan demikian, nyatalah bahwa pendapat mayoritas-lah yang harus dikuatkan dan
dipegang. Sementara kelompok minoritas wajib mengikutinya, sekalipun amir/khalifah berada
di pihak minoritas. Namun tetap diingat bahwa tidak ada syura terhadap sesuatu yang telah
jelas nashnya, maka tidak ada artinya pendapat mayoritas di hadapan nash.

III. Imamah ‘Uzhma (Kepemimpinan Besar/Agung)


Khilafah bermula dari nabi Adam as, kemudian anak keturunanannya dari para nabi
dan rasul. Selanjutnya nabi Muhammad Saw datang sebagai penutup para nabi. Kekhalifahan
kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar ra, Umar bin Khaththab ra, Ustman bin Affan ra dan Ali
bin Abi Thalib ra. Setelah itu, umat Islam memasuki era pemerintahan baru dimana khilafah
dijadikan barang warisan oleh Bani Umayyah di Syam (meliputi Libanon, Palestina dan
Suriah), selanjutnya bani Abbas di Iraq yang kemudian pindah ke Mesir hingga datang Sultan
Sulaim menjadi raja terakhir. Sesudah itu muncul khilafah Ustmaniyah di Turki, yang
merupakan lembaran terakhir bentuk pemerintahan yang diawali oleh Bani Umayyah.
Khilafah utsmaniyah dihapuskan pada tahun 1924 oleh Dewan Nasional Turki saat masa
pemerintahan Kemal Attaturk. Peristiwa ini merupakan klimaks kemerosotan peran politik
Islam di dunia.

Kondisi ini persis seperti yang telah diramalkan oleh Rasulullah Saw, dalam suatu
riwayat disebutkan :
“Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata: Kami duduk-duduk di Masjid Rasulullah Saw, Basyir
adalah seorang yang tidak banyak bicara. Kemudian datang Abu Tsa’labah seraya
berkata, “wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Rasulullah Saw tentang para
penguasa?” maka Hudzaifah tampil seraya berkata, “Aku hafal khutbahnya.” Lalu Abu
Tsa’labah duduk mendengarkan Hudzaifah: Rasulullah Saw bersabda: (1) Muncul kenabian
di tengah-tengah kamu selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan
mencabutnya ketika ia menghendakinya. (2) Kemudian akan muncul khilafah sesuai
dengan sistem kenabian selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan
mencabutnya ketika Ia menghendakinya, (3) Kemudian muncul “raja yang menggigit”
selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia
menghendakinya, (4) Kemudian akan muncul “raja yang diktator” selama masa yang
dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya, (5)
Kemudian akan muncul (lagi) khilafah sesuai dengan sistem kenabian…”(HR. Ahmad)

Bila kita simak hadist di atas, kita pahami bahwa periode raja menggigit adalah
periode yang dimulai oleh Bani Umayyah sampai dengan Khilafah Turki Ustmani. Dan jika kita
perhatikan fenomena saat ini, dimana tidak ada satu pun negara di dunia yang luput dari
paksaan untuk menaati pemerintahan yang kuat (diktator). maka umat Islam sekarang berada
dalam periode “raja yang diktator.”

Selanjutnya definisi imam menurut bahasa adalah setiap orang yang dianut oleh
suatu kaum, baik mereka berada di jalan lurus atau sesat. Kata imamah dalam al-Qur’an
sering dipakai untuk para pemimpin kebaikan dan kesesatan. Tetapi lebih banyak dipakai
untuk orang yang memberi petunjuk kepada kebaikan.

Mengangkat imam hukumnya wajib kifayah bagi umat Islam. Jika umat telah
menegakkannya, umat diperintah oleh seorang khalifah dan seluruh wilayah di dunia Islam
menjadi negara-negara yang memberikan loyalitas padanya, maka imamah ‘uzhma telah
ditegakkan secara sempurna.

6
Tetapi jika khilafah tidak ditegakkan seperti itu, maka umat tetap dituntut akan
kewajiban tersebut sehingga ia menegakkan dan menempuh jalan yang akan mengantarkan
kepada tegaknya khilafah. Fardhu kifayah ini belum gugur, karena sampai saat ini belum
diangkat seorang khalifah. Fardhu kifayah ini baru gugur apabila telah ada sebagian orang
yang menegakkannya. Jika sebagian umat belum selesai menegakkannya, maka seluruh umat
dituntut untuk menegakkannya.

Adapun syarat-syarat imam di antaranya: (Imam Mawardi)


1. ‘Adalah (adil/kesempurnaan secara moral) berikut persyaratannya: jujur, bersih dari dusta,
amanah, suci dari barang haram, menjauhi dosa dan syubhat, terjaga dalam hal ridha dan
marah, serta mempunyai muru’ah (akhlak terpuji) dalam agama dan dunianya.
2. Ilmu yang mengantarkan kepada ijtihad dalam berbagai kasus dan hukum, terutama
menyangkut al-Qur’an dan hadist.
3. Sehat panca indera supaya dapat mengetahui sesuatu secara langsung .
4. Tidak cacat anggota badan yang menghalangi kesigapan gerak dan kecekatan kerja.
5. Mempunyai pandangan luas yang dapat membawa kepada kebijakan rakyat.
6. Memiliki keberanian dan kegigihan untuk melindungi kawan dan memerangi lawan.
7. Berketurunan Quraisy. Namun pendapat yang lebih kuat terhadap hal ini adalah tidak
adanya pengkhususan tentang keturunan tertentu.

Allah Pembuat Kepemimpinan Islam


Berkaitan dengan ini, penulis ingin mengisyaratkan sesuatu yang menenangkan hati
umat Islam yang menantikan hari diumumkannya Khilafah Islam. Kepemimpinan khilafah
sesuai dengan sistem kenabian adalah kepemimpinan yang dipersiapkan dan dipilih Allah.

Kita telah banyak melihat kekuasaan Allah ketika menciptakan kepemimpinan yang
dibina-Nya. Seperti kisah penjagaan terhadap nabi Musa as dari bayi hingga ia dewasa;
pemeliharaan Maryam dan putranya nabi Isa as; juga penyelamatan Abdullah bin Abdul
Muthalib untuk dikorbankan ketiga kalinya pada peristiwa nadzar Abdul Muthalib. Bukan
karena Abdullah itu sendiri, tetapi karena di dalam sulbinya terkandung Muhammad Saw.

Namun demikian bukan berarti kita cukup berpangku tangan. Allah lah yang akan
menciptakan kepemimpinan - ialah agar orang-orang yang ingin mengembalikan khilafah
kepada umat Islam dapat menuju kepada-Nya dan memohon hidayah, bimbingan dan
pemeliharaan-Nya. Firman Allah:
”Dan orang-orang yang berjihad di (jalan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.”(QS. al-Ankabut: 69)

IV. Tujuan Jama’atul Muslimin dan Sarananya


Tujuan khusus Jama’atul Muslimin yaitu:
1. Pembentukan pribadi-pribadi muslim
2. Pembentukan rumah tangga muslim
3. Pembentukan masyarakat muslim
4. Penyatuan umat Islam

Adapun tujuan umum Jama’atul Muslimin yaitu :


1. Agar seluruh manusia mengabdi pada Rabb yang Mahaesa
2. Agar senantiasa memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar
3. Agar menyampaikan dakwah Islam kepada semua manusia
4. Agar menghapuskan fitnah dari seluruh dunia
5. Agar memerangi segenap umat manusia sehingga mereka bersaksi dengan persaksian yang
benar (syahadatain)

7
Sarana terpenting Jama’atul Muslimin dalam mencapai tujuan khusus antara lain
adalah:
1. Mengembalikan media massa, pengajaran, ekonomi dan alat-alat negara lainnya kepada
Islam, supaya pengarahannya diatur sesuai dengan batas-batas dan syari’at Islam.
2. Menghancurkan semua unsur kemunafikan dan kefasikan di dalam umat.
3. Mempersiapkan umat Islam sebaik-baiknya sehingga sesuai dengan berbagai tuntutan di
masa datang.

Sarana terpenting Jama’atul Muslimin dalam mencapai tujuan umum antara lain
adalah:
1. Menjelaskan prinsip-prinsip Islam kepada manusia melalui berbagai media massa di dalam
negara Islam.
2. Menuntut semua manusia agar masuk Islam.
3. Menuntut semua negara agar tunduk kepada ajaran-ajaran Islam, baik negara-negara
Barat sekuler yang tidak memiliki kaitan dengan agama Kristen dan Yahudi, ataupun
negara-negara Timur yang sosialis dan tidak mengakui agama.
4. Mengumumkan jihad bersenjata dan terus-menerus sampai mencapai kemenangan atas
semua pihak yang menentang Jama’atul Muslimin.

Bagian Kedua
Jalan Menuju Jama’atul Muslimin

Penulis menjadikan tema sentral pada bagian ini dengan menguraikan ciri-ciri
kehidupan Rasulullah Saw ketika beliau mendirikan negaranya, terutama kesadaran untuk
membentuk jama’ah. Bagian ini diawali dengan membahas mengenai hukum-hukum Islam.

I. Hukum-hukum Islam
Sebagaimana kita ketahui dewasa ini kebanyakan manusia, termasuk umat Islam,
memiliki persepsi yang keliru mengenai hukum-hukum Islam. Ada kesan hukum Islam
merupakan aturan yang kuno. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ia merupakan hukum
yang kejam, seperti hukuman rajam bagi pezina atau potong tangan bagi pencuri. Sebab
pokoknya adalah sebagian besar negara yang menerapkan hukum-hukum Islam tidak
mengaplikasikan Islam secara menyeluruh. Sebagian besar kaum muslimin kemudian tidak
menerapkan ajaran-ajaran Islam kecuali sebagian saja sesuai dengan peraturan negara di
mana mereka tinggal.

Padahal Islam bersifat syamil kamil mutakamil (menyeluruh, sempurna dan saling
menyempurnakan). Sedangkan Muslim memiliki kemampuan terbatas. Oleh karenanya tidak
mungkin Islam akan tegak secara utuh manakala diterapkan secara individual. Ia mesti
diterapkan secara jama’i (kolektif).

Karena Jama’atul Muslimin tidak ada sekarang ini, maka harus diupayakan
terwujudnya lewat jama’ah dari sebagian umat Islam (jama’atun minal muslimin).
Selanjutnya, pembahasan ini menjelaskan sebagian hukum, khusus dengan kelompok
tersebut- jama’atun minal muslimin – terkait dengan cara pelaksanaan Rasulullah Saw dalam
menegakkan Jama’atul Muslimin.

II. Kesadaran Para Rasul dan Pengikutnya terhadap Langkah ini


Rasulullah saw sejak pertama diturunkan wahyu menyadari bahwa tugas yang
diembannya tidak mungkin dilakukan sendiri tanpa jama’ah. Setiap nabi yang mendapatkan
sambutan baik dari kaumnya dan membentuk jama’ah, maka akan kekallah dakwah dan
lembaran-lembaran ajarannya, seperti halnya Nabi Musa as dan Isa as.

8
Nabi dan rasul yang tidak mendapat sambutan baik dari umatnya pun sebenarnya
menyadari pentingnya jama’ah. Itulah sebabnya, setelah meninggalkan kaumnya yang tidak
menerima dakwahnya, Nabi Ibrahim as kemudian berdo’a kepada Rabb-nya agar dikaruniai
seorang penerus yang termasuk golongan orang shaleh. Demikian juga Nabi Luth as yang
berharap memiliki keluarga yang mendukungnya. Begitu juga dengan nabi-nabi yang lain.
Dengan demikian, langkah awal dalam berdakwah adalah menegakkan Jama’ah.

III. Para Da’i Islam dan Langkah Pertama Rasulullah Saw


Pada bagian ini dibahas mengenai kewajiban para da’i terkait dengan langkah
pertama Rasulullah saw. Yaitu, jika da’i berada di negara yang terdapat satu jama’ah Islam,
maka ia tidak dibenarkan untuk mendirikan jama’ah baru. Karena jama’ah yang banyak akan
menimbulkan perpecahan.

Jika para da’i berada di negara yang terdapat beberapa jama’ah Islam, maka ia harus
bergabung pada jama’ah yang memiliki prinsip-prinsip yang paling dekat dengan Islam,
sebagai berikut :
- Jika jama’ah menunjukkan kekurangan menyangkut prinsip agama (ushuluddin), maka da’i
tidak boleh bergabung ke dalamnya. Jika kekurangan itu menyangkut cabang agama
(furu’), maka hal itu tidak boleh menghalangi da’i untuk bergabung.
- Jika kedua jama’ah sama-sama memiliki kekurangan menyangkut masalah cabang, maka
diutamakan yang lebih sedikit kekurangannya.
- Mengingat manusia adalah hamba yang daif, maka jika kekurangan yang ada dalam
jama’ah merupakan hasil ijtihad manusia, hal itu tidak boleh menghalangi da’i untuk
bergabung.

Sedangkan jika da’i berada di negara yang belum ada jama’ah Islam, maka kewajiban
pertama bagi mereka adalah berupaya mendirikan jama’ah.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jalan menuju Jama’atul Muslimin bagi
umat adalah :
1. Hendaknya satu atau lebih kaum Muslimin yang berpegang teguh pada Islam perupaya
menegakkan negaranya/jama’ah.
2. Kemudian mereka berupaya mengajak orang lain ke dalamnya untuk ikut
mewujudkannya. Dengan demikian, jama’ah yang berpegang teguh pada Islam akan
terbentuk.

Adapun starting point dalam jalan menuju penegakkan jama’ah ini adalah mulai dari
orang yang menjadi tanggungan kita, kemudian orang-orang yang dekat dengan kita.

Bagian Ketiga
Rambu-rambu Sirah Nabi Saw dalam Menegakkan Jama’ah

Ada enam rambu Kehidupan Rasulullah dalam menegakkan jama’ah, yaitu:

I. Menyebarkan prinsip-prinsip dakwah


Karakter rambu pertama adalah membagi manusia menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok yang menerima prinsip dakwah, serta kelompok yang menolak prinsip dakwah.

Dalam tahapan ini, Rasulullah Saw menempuh dua jalan. Pertama: kontak pribadi,
yang ditempuh pada tahapan dakwah sirriyah (rahasia). Dakwah ini ditempuh pada
permulaan dakwah, atau pada saat pemerintah yang berkuasa melarang aktivitas dakwah
secara terang-terangan.

9
Kedua: kontak umum, yang ditempuh pada tahapan dakwah secara terang-terangan.
Adapun sarana yang digunakan adalah sebagai berikut :
- Mengumpulkan manusia dalam suatu jamuan makan di rumahnya.
- Mengumpulkan manusia di berbagai tempat.
- Pergi ke tempat-tempat pertemuan manusia.
- Pergi ke berbagai negara untuk berdakwah.
- Mengirim surat kepada para kepala suku dan raja.

II. Pembentukan dakwah


Pembentukan/kaderisasi (takwin) merupakan tindak lanjut dari rambu pertama,
khusus bagi kelompok yang menerima dakwah. Kemudian men-shibghah mereka dengan
Islam melalui tarbiyah (pembinaan) dan ta’lim (pembekalan keilmuan).

Orang yang berhenti pada rambu pertama saja (hanya melakukan tabligh dan
penyebaran) dan tidak mau beralih kepada rambu kedua (takwin), adalah orang yang
berdakwah tidak sesuai dengan manhaj Rasulullah Saw.

Adapun sisi penataan (tanzhim) dalam pembinaan jama’ah terkadang berlangsung


pada tahapan kontak pribadi, kadang berlangsung pada tahapan kontak umum. Pada tahapan
kontak pribadi, maka Rasulullah Saw membagi orang-orang yang menerima dakwah untuk
ditakwin dalam kelompok kecil (halaqah atau khalaya) yang mengadakan pertemuan berkala.
Itulah mengapa fase pembentukan dakwah (takwin) disebut juga sebagai fase Darul Arqam
bin Abil Arqam, karena rumah beliau merupakan tempat halaqah terbesar pada zaman
Rasulullah Saw.

Sedangkan pada tahapan kontak umum, cara yang ditempuh Rasulullah saw adalah :
- Membuat beberapa halaqah jama’iyah yang berjumlah besar.
- Mengadakan perjalanan (rihlah) jama’iyah tertentu (hijrah).
- Mengkondisikan situasi umum terhadap dakwah melalui khutbah dan ceramah umum.

III. Konfrontasi bersenjata terhadap musuh dakwah


Konfrontasi bersenjata merupakan tindak lanjut dari rambu pertama, khusus bagi
kelompok yang menolak dakwah. Fungsi rambu ketiga ini adalah mempertahankan kelompok
yang masuk ke dalam takwin.

Pada masa sebelum hijrah, rambu dakwah yang menonjol adalah penyebaran
dakwah, pembentukan, dan pelarangan serangan fisik. Sedangkan syiar dan sifat pada
periode setelah hijrah adalah, sesuai firman Allah,
“...Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata
bagi Allah ....”(QS.al-Anfal: 39)

Konfrontasi dalam Islam tidak boleh diumumkan kecuali olah imam kaum muslimin,
setelah meyakini kekuatan dan persiapan tentaranya. Dengan demikian, tidak dibenarkan
bagi sebagian jama’ah kaum muslimin melakukan konfrontasi, selama jama’ah tersebut belum
berhasil mencapai pemerintahan. Karena itu fase ini disebut juga sebagai fase politis. Dan
selama jama’ah tersebut belum mencapai pemerintahan, berarti ia masih berada dalam
periode Makkiyah.

Adapun titik tolak dalam melakukan konfrontasi adalah :


- Independensi bumi tempat tegaknya jama’ah
Jama’ah tersebut harus berkuasa penuh terhadap bumi berpijak dan melancarkan
aktivitasnya, dan memenuhi syarat-syarat melakukan konfrontasi seperti kemandirian
ekonomi, keamanan jalur komunikasi dan pertahanan. Seperti Madinah yang dijadikan
basis menghadapi kebatilan dan kekuatan senjata.

10
- Jumlah yang memadai
Firman Allah:
“Hai nabi, kobarkanlah semangat para Mu’minin untuk ikut berperang. Jika ada dua puluh
orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, mereka dapat
mengalahkan seribu dari orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang
tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui
bahwa paadamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar,
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu
orang (yang sabar) niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah.
Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”(QS. al-Anfal: 65-66)

Ayat di atas merupakan isyarat untuk memerangi kebatilan, yaitu apabila jumlah
tentara Islam mencapai satu berbanding dua dari tentara musuh, maka jam’ah wajib
memasuki pertempuran. Sedangkan ukuran kedua perbandingan dalam ayat tersebut adalah
tinggi rendahnya kualitas iman tentara Islam. Dengan demikian konfrontasi tidak dapat
dilakukan kecuali setelah adanya tentara yang memadai.

IV. Sirriyah (perahasiaan) dalam kerja membina jama’ah


Maksudnya adalah membatasi pengetahuan program kerja pada lingkungan
pimpinan. Sirriyah merupakan “kotak” tempat menyimpan program amal jama’i dan tirai
yang menutupi dan melindungi program tersebut. Setiap individu tidak boleh mengetahui
tugas orang lain, tetapi harus mengetahui tugas pribadinya. Hal ini tampak jelas pada
kehidupan Rasulullah Saw. Sirriyah adalah prinsip yang sangat penting dalam jama’ah,
terutama pada tahap-tahap pertama. Sirriyah hanya menyangkut aspek penataan (tanzhim)
atau bagian yang bersifat struktural, dan sirriyah tidak berlaku untuk bagian yang bersifat
pemikiran dan nilai.

Mengenai sirriyah banyak para da’i yang keliru memahaminya, seperti tidak mau
membicarakan tema-tema dakwah supaya tidak dituduh fanatik, serta mencampuradukan
antara sesuatu yang harus dijelaskan dengan yang harus disembunyikan.

V. Bersabar atas gangguan musuh


Faktor penting yang dapat melindungi struktur jama’ah pada tahapan takwin adalah
kesabaran seluruh anggota jama’ah dan keberhasilan mereka meredam emosi dalam
menghadapi gangguan. Karena gangguan merupakan sunatullah dalam jalan dakwah. Oleh
sebab itu, hendaknya para da’i memperhatikan faktor keimanan agar terwujud kesabaran.

VI. Menghindari medan pertempuran


Perahasiaan (kitman) dan sabar terkadang tidak cukup untuk melindungi jama’ah
dari gangguan musuh.

Menghindarkan anggota jama’ah dari medan pertempuran dengan melakukan


hijrah, adalah faktor yang dapat memelihara jama’ah dari pemberangusan. Menjauhi medan
pertempuran pada tahapan takwin, juga merupakan upaya perlindungan bagi pelaksanaan
ibadah kepada Allah.

Dengan demikian, dari keseluruhan rambu-rambu kehidupan Rasulullah dalam


menegakkan jama’ah tersebut, dapat disimpulkan tiga rambu utama atau fase utama
dakwah Rasulullah Saw (fase dakwah) sebagai berikut :
1. Fase Penyebaran (tabligh).
2. Fase Pembentukan (takwin).
3. Fase konfrontasi senjata/politis.

11
Bagian Keempat
Tabiat Jalan Menuju Jama’atul Muslimin

Tabiat jalan ini adalah jalan ujian dan cobaan, tetapi orang yang bersabar atas tabiat
ini akan sampai ke surga. Dalam hadist Rasulullah Saw dikatakan,
“Surga itu dikelilingi oleh berbagai hal yang tidak disukai.”

Rasulullah Saw dan para sahabat beliau pun merasakan dan menyaksikan penyiksaan
yang luar biasa dalam perjalanan dakwahnya. Sebagaimana firman Alah:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-
macam) cobaan sehingga berkatalah rasul dan orang-orang beriman bersamanya,
“Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu
amat dekat.” (QS. al-Baqarah: 214)

Tujuan di balik tabiat jalan ini adalah mengantarkan manusia kepada kualitas terbaik.
Juga sebagai penyaring antara yang baik dan yang buruk.
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya,
agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.”
(QS. Al-Kahfi: 7)

Dengan demikian, tabiat jalan dakwah ini adalah sunatullah. Karena itu contoh jalan
ini sudah ada sejak manusia diciptakan, seperti kisah Habil dan Qabil putra nabi Adam as
(QS. al Maidah: 27-31) serta kisah Ashhabul Ukhdud di Kota Najran - Yaman (QS. al Buruj: 4-
8). Bahkan sampai sekarang gangguan terhadap Muslimin masih terjadi, seperti yang pernah
dialami oleh Muslimin di India, juga yang dialami oleh anggota Ihkwanul Muslimin di Mesir,
dan lainnya.

Dapat disimpulkan bahwa tabiat atau karakteristik jalan menuju penegakkan


Jama’atul Muslimin adalah amat sulit, penuh ujian dan cobaan. Sebelum mendapat
pertolongan Allah penuh dengan berbagai macam hal yang tidak disukai. Setelah
mendapat pertolongan Allah, dihiasi dengan berbagai macam syahwat. Yang dituntut dari
umat adalah tetap teguh berpijak pada kebenaran dalam kedua situasi tersebut.

Jama’ah-jama’ah Terpenting yang Aktif di Medan Dakwah Islam

Setelah Khilafah Ustmaniyah runtuh, tokoh-tokoh Islam dan para ulama berjuang
untuk mengembalikan khilafah, baik perjuangan individual maupun kolektif.

Berdasarkan tujuannya, perjuangan kolektif terbagi menjadi dua bagian. Yaitu


kelompok yang menjadikan tujuan langsungnya menegakkan khilafah, dan kelompok yang
menjadikan perjuangan langsungnya dakwah sosial, budaya dan sufi. Selanjutnya, penulis
membahas empat buah sampel kelompok yang mewakili kecenderungan berbeda.

1. Jama’ah Anshor as-Sunnah al-Muhammadiyah (JASM)


JASM berdiri di Mesir pada tahun 1345 H/1926, oleh Syaikh Muhammad Hamid al-
Faqi. Jama’ah ini mewakili gerakan yang orientasi dan tujuan langsungnya adalah
dakwah/seruan sosial budaya dan ilmu pengetahuan. Selanjutnya JASM menyebar di
beberapa wilayah Arab lainnya. Sedangkan di Arab Saudi JASM disebut juga Salafiyyun.

12
Tujuan jama’ah ini seperti yang digariskan oleh pendirinya adalah :
a. Mengajak manusia pada tauhid murni.
b. Mengarahkan manusia untuk mengambil ajaran agama mereka dari al-Qur’an dan hadist.
c. Memberi pengarahan bahwa nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah tidak boleh dijauhi.
d. Dakwah kepada mencintai Rasulullah Saw secara benar.
e. Dakwah kepada menjauhi bid’ah serta memerangi khurafat dan akidah sesat.
f. Mengarahkan manusia bahwa kehidupan dunia dan akhirat saling berkaitan.
g. Mengarahkan manusia bahwa Allah memuji kebajikan dan menjanjikan ampunan bagi
pelakunya, serta mengecam kejahatan dan mengancam pelakunya.
h. Mengarahkan manusia bahwa perintah dan larangan Allah adalah rahmat bagi mereka.
i. Mengarahkan manusia bahwa kefasikan dan maksiat adalah konsekuensi logis dari tidak
adanya keimanan.
j. Mengharamkan pengeramatan kubur.
k. Mengarahkan manusia bahwa menerapkan hukum yang tidak diturunkan Allah adalah
kehancuran dunia dan penderitaan akhirat.
l. Mengarahkan manusia bahwa sikap mereka kepada sifat dan nama-nama Allah sesuai
dengan sikap Rasulullah Saw dan sahabat.
m. Mengarahkan manusia bahwa pangkal segala penyakit adalah membiarkan wanita
mengunjungi tempat maksiat.
n. Mengarahkan manusia bahwa pria harus berpegang teguh pada fungsinya sebagai
pemimpin kaum perempuan.

Sarana JASM untuk mencapai tujuan adalah :


- Undangan untuk menghadiri muktamar untuk penyadaran masyarakat
- Pemberantasan buta huruf dengan: membuka sekolah dan kelas belajar; memberikan
beasiswa; membantu fakir miskin; menyampaikan kuliah umum; menerbitkan buku,
majalah, risalah; mendirikan masjid serta mempermudah perjalanan umrah dan haji.

Lapangan JASM terbatas pada pengabdian bidang agama, budaya, sosial dan tidak
ada hubungannya sama sekali dengan politik. Beberapa tokoh kontemporer mengkritik
bahwa JASM miskin strategi, jama’ahnya terbatas pada sekelompok orang yang komit pada
agama, tenaga jama’ah habis terkuras di sekitar masalah furu’ agama, serta terhadap
pandangan mereka yang menganggap sistem dan organisasi adalah bid’ah modern.

Adapun penilaian penulis terhadap JASM adalah, bahwa tujuan JASM sangat mulia.
Namun sarana untuk mencapai tujuan kurang dan terbatas. Dan agaknya tidak dapat
mengantarkan kepada tujuan JASM yang besar, yaitu mengajak manusia kepada tauhid murni.
Tujuan JASM tersebut merupakan tujuan diutusnya Rasulullah Saw. Untuk itu beliau melewati
beberapa fase dakwah. Sementara JASM hanya terbatas pada satu fase dakwah Rasulullah
Saw, yaitu fase penyebaran.

2. Hizbut Tahrir (HT)


HT berdiri di Yordania pada tahun 1378 H/1959, oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Jama’ah ini mewakili gerakan yang berorientasi pada dakwah/seruan politik (as-siyasi) dan
menjadikan penegakkan khilafah sebagai tujuan langsungnya.

Tujuan jama’ah ini seperti yang digariskan oleh pendirinya adalah :


a. Memulai kehidupan Islami. Tujuan ini berarti mendirikan negara Islam di negara-negara
Arab terlebih dahulu. Lalu negara ini mulai menerapkan hukum dan perundang-undangan
Islam dalam masyarakat Arab sebagai starting point untuk menuju negeri yang lain.
b. Mengemban dakwah Islamiyah. Tujuan ini merupakan penyampaian dakwah Islam kepada
umat non-Islam, via negara Islam. Didahului oleh tegaknya negara Islam.
c. Rekonstruksi masyarakat berdasarkan asas-asas baru dan sesuai dengan dustur (undang-
undang) HT.

13
Sarana HT untuk mencapai tujuan adalah :
- Melalui Dewan Perwakilan rakyat dalam umat.
- Menyebarkan pemikiran HT lewat buku, majalah, pidato, diskusi, dan lain-lain.
- Menyelenggarakan pertemuan untuk memproklamasikan prinsip HT.
- Mengajukan buku, catatan dan sejenisnya kepada instansi resmi untuk menjelaskan
pemikiran dan prinsip HT.
- Mengirim delegasi kepada umat ke segala penjuru.
- Menjalin hubungan baik dengan semua pihak, termasuk penguasa dan masyarakat biasa.

Prinsip HT adalah bahwa aqidah bersandar pada apa yang dapat dijangkau akal dan
dari sumber-sumber yang diterima akal sangat kuat/yakin, seperti al-Qur’an dan hadist
mutawatir, haram mengambil aqidah atas dasar dalil yang zhanni (mengandung
makna/pengertian yang lain); tidak memandang pelaksanaan amal apa pun, mulai dari shalat
dan puasa dan hukum-hukum Islam lainnya, juga tidak perlu mencegah kemunkaran kecuali
dengan bicara, dan tidak memberikan perhatian kepada akhlak. Pandangan tersebut timbul
karena HT menganggap semua hal tersebut adalah tugas negara setelah ia tegak. Jadi
Kutlah/kitlah (jama’ah HT sebelum mencapai kekuasaan) tidak boleh melakukan amal lain,
sebab amal yang penting baginya adalah menegakkan Negara Islam. HT menganut pemikiran
ini atas dasar firman Allah:
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya
mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan
mencegah dari perbuatan munkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan.”
(QS.al-Hajj: 41)

Dalam aspek politik, HT membolehkan umat mendirikan banyak partai sebagai


pengontrol eksekutif, penguasa adalah pemegang hak menetapkan Undang-undang, serta
anggota majelis syura boleh non muslim dan wanita.

Adapun penilaian penulis tentang HT adalah selain keterbatasan sarana, HT juga


memiliki keterbatasan tujuan, yaitu pencapaian tujuan (starting point) pada negeri Arab saja.
Padahal Islam datang untuk seluruh penduduk dunia. Selain itu HT membalik urutan fase
dakwah Rasulullah Saw. Fase terakhir dakwah Rasulullah saw, yaitu konfrontasi
bersenjata/politis, justru menjadi fase pertama HT.

Dari segi pemikiran HT juga melakukan beberapa penyimpangan, seperti status HT


sebagai kutlah siyasiyah, bukan kutlah akhlaqiyah, juga bukan kutlah ibadiyah; menjauhi
amar ma’ruf nahi munkar; serta tidak meyakini kecuali yang diterima akal para tokohnya. Hal
tersebut merupakan tindakan yang mengabaikan sebagian hukum Islam.

3. Jama’ah Tabligh (JT)


JT berdiri di Saharanpur-India oleh Muhammad Ilyas bin Syaikh Muhammad Ismail.
Jama’ah ini mewakili gerakan yang orientasi dan tujuan langsungnya adalah dakwah/seruan
tasawuf atau sufi.

Pemikiran dan Ajaran Jama’ah JT


a. Keharusan bertaklid, sebab syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan ulama salaf sudah tidak
ada lagi di kalangan ulama saat ini.
b. Meyakini bahwa tasawuf adalah cara untuk mewujudkan hubungan dengan Allah dan
memperoleh kelezatan iman serta sebagai tolak ukur atas kadar ketaatan anggota JT.
c. Tidak memandang perlu nahi munkar, dengan alasan bahwa fase sekarang adalah fase
mewujudkan iklim yang kondusif bagi masuknya kaum muslimin ke dalam jama’ah mereka,
sedangkan nahi munkar adalah penghalang bagi fase ini.
d. Melarang anggota JT memperluas ilmu dan mendalami alliran-aliran filsafat yang
berkembang di masyarakat saat ini.

14
e. Memisahkan antara agama dan politik.
f. Tidak wajib seorang anggota berda’wah di daerah/kota tempat tinggalnya, namun wajib
berdakwah di daerah/kota lain.
g. Tidak memandang bahwa keluar dari 6 ajaran yang digariskan oleh Muhammad Ilyas
sebagai keluar dari Islam, tetapi sebagai keluar dari strategi JT. Adapun 6 prinsip ajaran
pokok tersebut adalah:
1. Kalimah Thayyibah: La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah, karena kalimat tersebut
tidak berarti bila hanya diucapkan dengan lisan.
2. Mendirikan shalat, sebab JT hanya menyuruh shalat bukan mendirikan shalat.
3. Ilmu dan dzikir.
4. Memuliakan setiap muslim.
5. Ikhlas.
6. Berjuang di jalan Allah.

Adapun sarana JT dalam meraih tujuan adalah :


- Nasihat dan Arahan, dengan menyampaikan ceramah di masjid-masjid.
- Rihlah (perjalanan) atau siyahah (wisata) secara berkelompok. Kelompok itu kemudian
disebut kafilah tabligh yang dipimpin seorang amir. Kepada kafilah, amir membagi tugas
yaitu sebagian menyampaikan ceramah, sebagian membersihkan masjid atau tempat yang
disinggahi dan sebagian berkeliling ke rumah penduduk meminta mereka mendengarkan
nasihat dan arahan.

Penilaian penulis tentang JT adalah bahwa pembatasan dakwah dalam 6 (enam)


ajaran itu saja bertentangan dengan ajaran agama Islam. Enam tujuan itu merupakan bagian
dari 60 cabang dalam agama (HR. Bukhari) yang lurus ini.

Sedangkan sejumlah prinsip/pemikiran JT yang bertentangan dengan Islam adalah:


- Mewajibkan taklid pada anggotanya bertentangan ittiba’ (mengikuti al-Qur’an dan as-
Sunnah dengan pemahaman salaful ummah)
- Pengharaman ijtihad bertentangan dengan hukum agama yang meliputi seluruh persoalan
manusia pada masa mendatang.
- Pelarangan nahi munkar bertentangan dengan al-Qur’an dan hadist.
- Pelarangan mencari ilmu dan memperdalamnya bertentangan dengan ajaran Islam.
- Larangan untuk terjun ke dalam dunia politik bertentangan dengan hukum Islam.

4. Jama’ah Ikhwanul Muslimun (JIM)


JIM berdiri di Kota Isma’iliyah, Mesir pada tahun 1347 H/1928 oleh Hasan bin Ahmad bin
abdurrahman al-Banna. Jama’ah ini mewakili gerakan yang memiliki orientasi dakwah secara
menyeluruh, dan menjadikan penegakkan khilafah sebagai tujuan langsungnya.
Ada 10 dasar dibangunnya JIM, yaitu:
1. Bertujuan mewujudkan persatuan di kaum muslimin dan memadukan hati mereka,
2. Setiap orang yang bersyahadat bersama dengan JIM di bawah naungan tauhid. Islam
mempersatukan mereka.
3. Menuduh diri sendiri dan senantiasa berprasangka baik kepada orang lain.
4. Etika berpikir dan bermusuhan dengan cara yang selembut-lembutnya.
5. Mengecam perdebatan dan rasa sombong.
6. Menghidupkan pemahaman tentang beragamnya kebenaran di antara dua pihak yang
berselisih dalam satu persoalan.
7. Saling bekerja sama dalam hal-hal yang disepakati di antara kaum muslimin.
8. Mengingatkan bahaya musuh bersama bagi muslimin dan merapatkan barisan untuk
menghadapinya,
9. Berduka cita atas orang-orang yang sesat, bukan mengecamnya.
10. Membuka lapangan kerja/produksi bagi setiap individu JIM dan memanfaatkan
potensinya.

15
Tujuan JIM adalah rukun ketiga dari rukun bai’at, yaitu amal yang terdiri dari :
a. Memperbaiki diri sendiri (membangun pribadi).
b. Membina rumah yang islami (membangun keluarga).
c. Membimbing masyarakat.
d. Membebaskan negeri dari setiap penguasa asing.
e. Memperbaiki pemerintahan.
f. Mengembalikan eksistensi internasional bagi umat islam.
g. Menjadi guru dunia dengan menyebarkan da’wah ke seluruh penjurunya.

Adapun sarana JIM untuk mencapai tujuan adalah:


- Iman yang mendalam
- Pembentukan yang cermat
- Amal yang berkesinambungan

Sedangkan rukun Bai’at dalam jamaah ini adalah 1. Kefahaman terhadap ajaran
Islam, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6. Taat, 7. Keteguhan, 8. Tajarrud (fokus
menekuni dakwah), 9. Persaudaraan, dan 10. Percaya sepenuhnya terhadap kepemimpinan
dan kemampuan jama’ah.

Karakteristik da’wah JIM yang membedakannya dengan jama’ah Islamiyah


kontemporer lain adalah:
1. Rabbaniyah
2. Universal
3. Islamiyah
4. Komprehensif, mencakup seluruh aliran kontemporer, yiatu merupakan da’wah salafiyah,
thariqah sunniyah, haqiqah shufiyah, lembaga politik, organisasi olahraga, organisasi
ilmiah dan budaya, lembaga ekonomi serta pemikiran social.
5. Membebaskan loyalitas dari pemerintahan dan partai yang tidak berpijak pada Islam.
6. Menjauhi wilayah perselisihan fiqih
7. Menjauhkan diri dari kooptasi (kerjasama dalam bentuk menerima pendapat) tokoh/elit
8. Menjauhi partai-partai politik
9. Bertahap dalam melangkah melalui 3 fase, yaitu: fase pengenalan, fase pembentukan
(takwin) dan fase pelaksanaan (tanfidz)

Sendi-sendi dakwah menurut JIM adalah: a. Ilmu, b. Tarbiyah dan c. Jihad

Sedangkan sarana untuk mewujudkan sendi tersebut adalah :


- Sistem halaqah untuk mewujudkan sendi ilmu
- Sistem usrah takwin untuk mewujudkan sendi tarbiyah
- Sistem usrah ‘amal untuk mewujudkan sendi jihad

Adapun usrah adalah satu sel dari sekumpulan sel yang membentuk JIM yang terdiri dari 5
orang yang telah mencapai keanggotaan umum dan dipimpin oleh seorang ketua, setiap
anggota bertanggung jawab atas setiap macam jihad, yaitu: Jihad politik (siyasi), jihad harta
(maali), jihad pendidikan (ta’lim), jihad lisan (lisani) dan jihad kekuatan fisik/jiwa (bi al-yad).

Usaha-usaha JIM antara lain adalah :


1. Bidang Sosial, seperti memberi bantuan pada fakir miskin, memberikan bimbingan
pekerjaan, mengajukan kajian yang diperlukan umat kepada negara.
2. Bidang Pertanian, seperti mendirikan koperasi pemeliharaan sayur dan buah, produk susu
dan budidaya peternakan.
3. Bidang Olahraga, seperti melakukan olahraga bagi anggota JIM, menyelenggarakan wisata
dan camping serta mendirikan klub olahraga.

16
4. Bidang Kepanduan, seperti mendirikan klub kepanduan yang mengadakan kontak dan
pengabdian pada masyarakat
5. Bidang kewanitaan, yaitu mendirikan kelompok akhwat al-Muslimat dengan berbagai
programnya.
6. Bidang ekonomi, yaitu mendukung ekonomi nasional dengan mendirikan perusahaan dan
anjuran menabung.
7. Bidang kesehatan, seperti mendirikan klinik dan rumah sakit, memperkokoh hubungan
dengan lembaga medis internasional, dan lainnya.

Adapun penilaian penulis tentang JIM adalah :


a. Bahwa JIM telah menjadikan al-Qur’an, as-Sunnah dan salafushsholeh sebagai rujukan
utamanya.
b. JIM memiliki kelebihan karena memperjuangkan seluruh ajaran Islam.
c. JIM senantiasa berkembang dalam strategi alamiahnya.
d. Dari tujuan-tujuannya tampak jelas keterkaitannya dengan Islam.
e. Kendati memiliki sifat terpuji, ia tetap merupakan sekumpulan manusia yang biasa salah.
Dari penelusuran sejarah JIM, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. JIM menetapkan fase konfrontasi sebelum menetapkan pilihan belahan bumi
tempatnya berpijak. Hal ini tidak sesuai dengan langkah yang dilakukan Rasulullah saw.
2. Terlalu percaya dan prasangka baik kepada kepemimpinan lain yang semasa dengannya,
hal ini tampak jelas dari sikap JIM yang memberikan kesempatan kepada kepemimpinan
lain untuk memegang kendali pemerintahan Mesir, kemudian menuntutnya menjadikan
sistem pemerintahan sebagai pemerintahan Islam, padahal pada saat bersamaan ia
sendiri dapat mengambil kendali pemerintahan. Sesungguhnya jama’ah ini diakui
kekuatannya oleh para musuhnya, dan sungguh merupakan jama’ah yang dapat
melakukan sesuatu bila hal itu ada dalam rencananya. Namun ia cenderung
mengajukan nasehat dan arahan kepada pemerintah tanpa maju mengambil kendali
pemerintahan. Itu adalah sikap yang tidak tepat dalam perspektif gerakan Islam.
Akibatnya JIM mundur, mendapat tekanan, siksaan dan akibat negatif lainnya.

Dapat disimpulkan bahwa, jama’ah yang menetapkan tujuan dan sasarannya secara
parsial dari agama Islam sesungguhnya telah bertindak memilah-milah hukum Islam. Sikap
tersebut diharamkan dalam ajaran Islam.
“Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian
yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada
siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang
yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan
siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”(QS. al-Baqarah: 85-86)

Rasulullah saw sendiri menolak parsialisasi, dengan kata-kata beliau kepada Kabilah
Bani Syaiban ketika beliau mendatangi mereka di Kota Mekah.
“Tidaklah buruk jawaban kalian ketika kalian mengungkapkannya dengan jujur, akan
tetapi tidak akan bisa melaksanakan ajaran agama ini kecuali orang yang melaksanakan
seluruh aspek ajarannya.”

Dengan demikian, jama’ah yang mengambil setengah-setengah ajaran Islam harus


memperbaiki kembali metodenya sesuai dengan prinsip Islam yang menyeluruh dan
mencakup keluasan ajarannya. Sedangkan jama’ah yang memiliki kekomprehensifan
dalam tujuan dan sarana-lah yang layak mendapat loyalitas dan dukungan setiap Muslim
sebagai wadah untuk mewujudkan Jama’atul Muslimin. Dan bahwa setiap Muslim yang
tidak memberikan loyalitas dan dukungannya dianggap berdosa.
Wallahu a’lam.

17

Anda mungkin juga menyukai