“Tidak ada Islam melainkan dengan jama’ah, tidak ada jama’ah kecuali dengan imamah
(kepemimpinan), dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan.”
Kutipan kalimat bijak dari Umar bin Khaththab ra di atas menjadi bagian dari sampul
buku “Menuju Jama’atul Muslimin” tampaknya bukanlah tanpa alasan. Adalah tujuan
pembahasan dari Al Ustadz Hussain Jabir dalam buku ini, yang sesungguhnya merupakan
disertasi yang dipertahankan dalam rangka mencapai tingkat magister di Fakultas Hadist - al
Jami’ah al Islamiyah Madinah, untuk menjelaskan kepada umat Islam bahwa Jama’atul
Muslimin pada saat ini tidak ada. Karena itu, seperti yang diisyaratkan dalam al-Qur’an dan
hadist, seluruh umat Islam wajib menegakkannya.
Sedangkan pokok masalah dalam tulisan Al Ustadz Hussain Jabir ini adalah ketiadaan
Khilafah dan qiyadah (kepemimpinan) yang mengakibatkan semakin merebaknya
perpecahan, degradasi dan kehinaan yang menimpa umat Islam saat ini. Sehingga ajaran
Islam dan hukum-hukumnya pun semakin jauh dari manusia.
Dengan demikian, Islam adalah satu-satunya alternatif. Untuk itu diperlukan struktur
yang kokoh dari peradaban Islam. Dan Hal tersebut tidak mungkin terwujud tanpa tegaknya
Jama’atul Muslimin. Buku ini sendiri adalah salah satu wujud usaha dari Al Ustadz Hussain
Jabir untuk menegakkan Jama’atul Muslimin.
Mengingat buku ini adalah terjemahan, maka beberapa istilah, seperti Tabiat atau
Fasal, terasa kurang lazim dipakai dalam penulisan karya ilmiah di Indonesia. Buku yang
lumayan tebal, juga memungkinkan beberapa dari kita enggan untuk membacanya secara
menyeluruh sehingga isinya dapat dipahami secara utuh. Namun, pembaca dapat dengan
mudah mencari topik bahasan yang diinginkan karena judul masing-masing bagian ditulis
secara spesifik.
Pengantar dari Dr. Salim Segaf Al Jufri menambah keistimewaan buku ini. Pengantar
dari Mantan Ketua Majelis Syura PKS, yang lama mengenyam pendidikan di Arab Saudi serta
pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi ini, mampu menjadi
penghubung antara pembaca dengan tulisan Al Ustadz Hussain Jabir sehingga isinya secara
umum lebih mudah untuk dipahami.
1
Parsialisasi dalam kehidupan beragama saat ini, menyebabkan pembahasan dan
buku-buku yang mengupas perihal jama’ah, gerakan dakwah ataupun khilafah - menjadi
kurang populer pada kalangan umat Islam secara umum di negeri ini. Termasuk juga buku
karya Al Ustadz Hussain Jabir ini. Padahal, buku “Menuju Jama’atul Muslimin” ini
sesungguhnya merupakan suatu pandangan luar biasa yang patut dibaca dan ditelaah oleh
setiap muslim, apalagi bagi siapa saja yang aktif dalam gerakan dakwah.
KANDUNGAN BUKU
Buku ini terdiri dari Pengantar, Pendahuluan, Empat Bagian Utama, Penutup,
Lampiran-lampiran, Daftar Pustaka dan Daftar Isi. Berikut ringkasan setiap bagiannya:
Muqaddimah
Adapun latar belakang pemilihan tema ini oleh penulis secara umum antara lain :
- Hilangnya Jama’atul Muslimin (bukan jama’ah dari sekelompok kaum muslimin) dari
kehidupan umat Islam dan kewajiban untuk menegakkannya.
- Ketiadaan khilafah dan qiyadah yang menyebabkan perpecahan, degradasi dan fitnah
terhadap umat Islam.
- Kehidupan manusia yang jauh dai nilai-nilai Islam.
- Ketidaktahuan umat Islam akan wajibnya menegakkan Jama’atul Muslimin padahal banyak
ayat-ayat al-Qur’an dan hadist yang menganjurkannya.
- Keyakinan penulis bahwa Jama’atul Muslimin dapat dicapai setelah melakukan
perhimpunan (jama’ah) dan penataan (tanzhim).
- Keyakinan penulis bahwa banyaknya jama’ah di kalangan umat Islam merupakan suatu
kebatilan yang harus dihapuskan. Karena itu, kita wajib mengerahkan seluruh upaya ini
kepada satu wadah.
Pendahuluan
Jama’atul Muslimin memiliki kedudukan yang mulia dalam syariat Islam karena :
- Ia merupakan ikatan yang kokoh yang apabila hancur, akan hancur pula ikatan-ikatan Islam
lainnya, pasif hukumnya, hilang syariatnya dan terpecah belah umatnya seperti buih di
lautan.
Dari Abu Umamah al-Bahili dari rasulullah Saw, beliau bersabda: ”Ikatan-ikatan Islam
akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh (lepasnya) ikatan
berikutnya. Ikatan Islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan, dan yang terakhir
adalah shalat.” (HR. Ahmad)
2
- Jama’ah yang diperintah dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah untuk dijaga, dan
mewujudkannya adalah Fardhu ‘ain.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,
dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka
Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang
yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan
kamu dari padanya.” (QS. Ali Imran: 103)
Dari definisi di atas, maka Jama’atul Muslimin boleh dikatakan tidak ada lagi
sekarang, yang ada hanyalah “Jama’ah dari sebagian kaum muslimin” dan “Negara bagi
sebagian kaum muslimin”, bukan Jama’atul Muslimin dan “Negara kaum muslimin.” Dalil yang
menegaskan tentang hilangnya Jama’atul Muslimin dan pemerintahan Islam seperti :
Dari Hudzaifah bin al-Yaman Rasulullah Saw, ia berkata: “…………apa yang engkau
perintahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?” Beliau bersabda, “Hendaklah
engkau berkomitmen (iltizam) dengan Jama’atul Muslimin dan imam mereka.” Aku
bertanya, “Jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam?” Beliau bersabda,
“Tinggalkanlah kelompok-kelompok itu semuanya, sekalipun kamu harus menggigit akar
pohon.”( HR. Bukhari)
Bukti lain yang menunjukkan tidak adanya Jama’atul Muslimin adalah adanya
beberapa pemerintahan yang memerintah umat Islam. Sebab, Islam tidak meyakini selain
satu pemerintahan Islam. Bahkan Islam memerintahkan membunuh penguasa kedua.
Dari Abu Sa’id al-Hudri ra, Rasulullah saw bersabda, “Apabila dibai’at kepada dua orang
khalifah, maka bunuhlah khalifah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)
Sekiranya dibolehkan ada lebih dari satu pemerintahan Islam, niscaya Ali ra tidak
akan memerangi Mu’awiyah ra, dan Rasulullah SAW tidak akan menamakan pihak yang
menentang Ali ra sebagai fi’ah baghiyah (kelompok pemberontak).
Bagian Pertama
Struktur Organisasi Jama’atul Muslimin
Dalam pandangan penulis, struktur organisasi Jama’atul Muslimin terdiri atas satu
basis (qa’idah) yakni umat, dan dua pilar yakni majelis syura dan imamah/kepemimpinan
(khilafah). Kemudian dijelaskan pula tujuan terpenting dari Jama’atul Muslimin.
I. Umat Islam
Menurut bahasa, umat memiliki banyak arti. Di antaranya kaum, jama’ah dan
golongan manusia.
3
Umat ini sepanjang sejarahnya, telah menempuh dua periode. Periode pertama,
yakni sebelum diutusnya nabi Muhammad Saw. Pada periode ini, kenabian atau kerasulan
bersifat khusus bagi kaum tertentu. Periode Kedua, dimulai dengan bi’tsah (pengangkatan)
Nabi Muhammad Saw sebagai rasul. Pada periode ini dakwah beralih kepada seluruh
manusia. Dengan demikian semua syari’at dihapus oleh Islam.
“Sesungguhnya din (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)
Kendatipun ada perbedaan periode, namun umat ini tetap bersambung dan bersatu
dalam sifatnya yang utama, yaitu sifat keislaman. Seperti firman Allah :
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim sejak dahulu, dan (begitu
pula) di dalam (al-Qur’an) ini.” (QS. al-Hajj: 78)
Syura merupakan bagian fitrah manusia sejak Allah ciptakan. Syura juga merupakan
dasar utama dan sifat yang melekat pada tubuh umat Islam. Tanpanya, umat Islam akan
kehilangan kemaslahatannya, seperti halnya jika umat Islam meninggalkan zakat atau puasa.
4
Bahkan Allah menyebutkan syura bersama perintah menyambut seruan-Nya, seperti
shalat dan zakat.
“Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia;
dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman,
dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakal. Dan bagi orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah
mereka memberi maaf. Dan (bagi) bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Rabb mereka dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah; dan mereka menafkahkan sebagian rizki yang kami berikan kepada
mereka.”(QS. asy-Syura: 36-38)
Rasulullah Saw sebenarnya senantiasa mendapatkan arahan dari Allah. Allah tidak
memerlukan segenap alam dan pengalaman manusia. Dengan ilmu-Nya, Ia sanggup
melengkapi Rasulullah Saw tanpa bantuan musyawarah dengan manusia. Kendatipun
demikian, Allah memerintahkan rasul-Nya agar bermusyawarah dengan sahabat beliau.
Bahkan syura telah menjadi kebiasaan Rasulullah Saw dalam menghadapi urusan
penting.
“Dari Abu Hurairah: Aku tidak pernah melihat seorang yang paling banyak
bermusyawarah dengan para sahabatnya kecuali Rasulullah Saw.”(HR. Tirmidzi)
Hampir semua peperangan Rasulullah Saw melahirkan majelis syura. Rasulullah saw
juga melakukan syura dengan malaikat Jibril tentang usulan nabi Musa as yang berkaitan
dengan masalah shalat pada peristiwa isra’ mi’raj. Demikian juga menyangkut masalah fitnah
yang menimpa istri beliau, Aisyah ra. Kebiasaan Rasulullah Saw ini kemudian juga melekat
pada diri sahabat-sahabat beliau.
Di dalam Islam, tidak ada syura menyangkut masalah yang telah jelas nashnya dalam
al-Qur’an dan hadist. Kemudian, Rasulullah Saw senantiasa mengambil pendapat mayoritas
ketika terjadi perselisihan antara anggota syura.
Anas bin Malik ra, ia berkata: Saya pernah mendengar rasulullah Saw bersabda: “Umatku
tidak akan bersepakat atas kesesatan; maka jika kamu melihat perselisihan, hendaklah
kamu berpegang dengan kelompok yang terbanyak.”(HR. Ibnu Majah)
5
Rasulullah Saw sendiri pernah melepas pendapatnya karena mengikuti pendapat
mayoritas untuk keluar dari Kota Madinah menyongsong orang-orang Quraisy pada perang
Uhud. Kendatipun peristiwa yang terjadi setelahnya membuktikan bahwa pendapat
Rasulullah Saw lebih baik.
Dengan demikian, nyatalah bahwa pendapat mayoritas-lah yang harus dikuatkan dan
dipegang. Sementara kelompok minoritas wajib mengikutinya, sekalipun amir/khalifah berada
di pihak minoritas. Namun tetap diingat bahwa tidak ada syura terhadap sesuatu yang telah
jelas nashnya, maka tidak ada artinya pendapat mayoritas di hadapan nash.
Kondisi ini persis seperti yang telah diramalkan oleh Rasulullah Saw, dalam suatu
riwayat disebutkan :
“Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata: Kami duduk-duduk di Masjid Rasulullah Saw, Basyir
adalah seorang yang tidak banyak bicara. Kemudian datang Abu Tsa’labah seraya
berkata, “wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Rasulullah Saw tentang para
penguasa?” maka Hudzaifah tampil seraya berkata, “Aku hafal khutbahnya.” Lalu Abu
Tsa’labah duduk mendengarkan Hudzaifah: Rasulullah Saw bersabda: (1) Muncul kenabian
di tengah-tengah kamu selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan
mencabutnya ketika ia menghendakinya. (2) Kemudian akan muncul khilafah sesuai
dengan sistem kenabian selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan
mencabutnya ketika Ia menghendakinya, (3) Kemudian muncul “raja yang menggigit”
selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia
menghendakinya, (4) Kemudian akan muncul “raja yang diktator” selama masa yang
dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya, (5)
Kemudian akan muncul (lagi) khilafah sesuai dengan sistem kenabian…”(HR. Ahmad)
Bila kita simak hadist di atas, kita pahami bahwa periode raja menggigit adalah
periode yang dimulai oleh Bani Umayyah sampai dengan Khilafah Turki Ustmani. Dan jika kita
perhatikan fenomena saat ini, dimana tidak ada satu pun negara di dunia yang luput dari
paksaan untuk menaati pemerintahan yang kuat (diktator). maka umat Islam sekarang berada
dalam periode “raja yang diktator.”
Selanjutnya definisi imam menurut bahasa adalah setiap orang yang dianut oleh
suatu kaum, baik mereka berada di jalan lurus atau sesat. Kata imamah dalam al-Qur’an
sering dipakai untuk para pemimpin kebaikan dan kesesatan. Tetapi lebih banyak dipakai
untuk orang yang memberi petunjuk kepada kebaikan.
Mengangkat imam hukumnya wajib kifayah bagi umat Islam. Jika umat telah
menegakkannya, umat diperintah oleh seorang khalifah dan seluruh wilayah di dunia Islam
menjadi negara-negara yang memberikan loyalitas padanya, maka imamah ‘uzhma telah
ditegakkan secara sempurna.
6
Tetapi jika khilafah tidak ditegakkan seperti itu, maka umat tetap dituntut akan
kewajiban tersebut sehingga ia menegakkan dan menempuh jalan yang akan mengantarkan
kepada tegaknya khilafah. Fardhu kifayah ini belum gugur, karena sampai saat ini belum
diangkat seorang khalifah. Fardhu kifayah ini baru gugur apabila telah ada sebagian orang
yang menegakkannya. Jika sebagian umat belum selesai menegakkannya, maka seluruh umat
dituntut untuk menegakkannya.
Kita telah banyak melihat kekuasaan Allah ketika menciptakan kepemimpinan yang
dibina-Nya. Seperti kisah penjagaan terhadap nabi Musa as dari bayi hingga ia dewasa;
pemeliharaan Maryam dan putranya nabi Isa as; juga penyelamatan Abdullah bin Abdul
Muthalib untuk dikorbankan ketiga kalinya pada peristiwa nadzar Abdul Muthalib. Bukan
karena Abdullah itu sendiri, tetapi karena di dalam sulbinya terkandung Muhammad Saw.
Namun demikian bukan berarti kita cukup berpangku tangan. Allah lah yang akan
menciptakan kepemimpinan - ialah agar orang-orang yang ingin mengembalikan khilafah
kepada umat Islam dapat menuju kepada-Nya dan memohon hidayah, bimbingan dan
pemeliharaan-Nya. Firman Allah:
”Dan orang-orang yang berjihad di (jalan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.”(QS. al-Ankabut: 69)
7
Sarana terpenting Jama’atul Muslimin dalam mencapai tujuan khusus antara lain
adalah:
1. Mengembalikan media massa, pengajaran, ekonomi dan alat-alat negara lainnya kepada
Islam, supaya pengarahannya diatur sesuai dengan batas-batas dan syari’at Islam.
2. Menghancurkan semua unsur kemunafikan dan kefasikan di dalam umat.
3. Mempersiapkan umat Islam sebaik-baiknya sehingga sesuai dengan berbagai tuntutan di
masa datang.
Sarana terpenting Jama’atul Muslimin dalam mencapai tujuan umum antara lain
adalah:
1. Menjelaskan prinsip-prinsip Islam kepada manusia melalui berbagai media massa di dalam
negara Islam.
2. Menuntut semua manusia agar masuk Islam.
3. Menuntut semua negara agar tunduk kepada ajaran-ajaran Islam, baik negara-negara
Barat sekuler yang tidak memiliki kaitan dengan agama Kristen dan Yahudi, ataupun
negara-negara Timur yang sosialis dan tidak mengakui agama.
4. Mengumumkan jihad bersenjata dan terus-menerus sampai mencapai kemenangan atas
semua pihak yang menentang Jama’atul Muslimin.
Bagian Kedua
Jalan Menuju Jama’atul Muslimin
Penulis menjadikan tema sentral pada bagian ini dengan menguraikan ciri-ciri
kehidupan Rasulullah Saw ketika beliau mendirikan negaranya, terutama kesadaran untuk
membentuk jama’ah. Bagian ini diawali dengan membahas mengenai hukum-hukum Islam.
I. Hukum-hukum Islam
Sebagaimana kita ketahui dewasa ini kebanyakan manusia, termasuk umat Islam,
memiliki persepsi yang keliru mengenai hukum-hukum Islam. Ada kesan hukum Islam
merupakan aturan yang kuno. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ia merupakan hukum
yang kejam, seperti hukuman rajam bagi pezina atau potong tangan bagi pencuri. Sebab
pokoknya adalah sebagian besar negara yang menerapkan hukum-hukum Islam tidak
mengaplikasikan Islam secara menyeluruh. Sebagian besar kaum muslimin kemudian tidak
menerapkan ajaran-ajaran Islam kecuali sebagian saja sesuai dengan peraturan negara di
mana mereka tinggal.
Padahal Islam bersifat syamil kamil mutakamil (menyeluruh, sempurna dan saling
menyempurnakan). Sedangkan Muslim memiliki kemampuan terbatas. Oleh karenanya tidak
mungkin Islam akan tegak secara utuh manakala diterapkan secara individual. Ia mesti
diterapkan secara jama’i (kolektif).
Karena Jama’atul Muslimin tidak ada sekarang ini, maka harus diupayakan
terwujudnya lewat jama’ah dari sebagian umat Islam (jama’atun minal muslimin).
Selanjutnya, pembahasan ini menjelaskan sebagian hukum, khusus dengan kelompok
tersebut- jama’atun minal muslimin – terkait dengan cara pelaksanaan Rasulullah Saw dalam
menegakkan Jama’atul Muslimin.
8
Nabi dan rasul yang tidak mendapat sambutan baik dari umatnya pun sebenarnya
menyadari pentingnya jama’ah. Itulah sebabnya, setelah meninggalkan kaumnya yang tidak
menerima dakwahnya, Nabi Ibrahim as kemudian berdo’a kepada Rabb-nya agar dikaruniai
seorang penerus yang termasuk golongan orang shaleh. Demikian juga Nabi Luth as yang
berharap memiliki keluarga yang mendukungnya. Begitu juga dengan nabi-nabi yang lain.
Dengan demikian, langkah awal dalam berdakwah adalah menegakkan Jama’ah.
Jika para da’i berada di negara yang terdapat beberapa jama’ah Islam, maka ia harus
bergabung pada jama’ah yang memiliki prinsip-prinsip yang paling dekat dengan Islam,
sebagai berikut :
- Jika jama’ah menunjukkan kekurangan menyangkut prinsip agama (ushuluddin), maka da’i
tidak boleh bergabung ke dalamnya. Jika kekurangan itu menyangkut cabang agama
(furu’), maka hal itu tidak boleh menghalangi da’i untuk bergabung.
- Jika kedua jama’ah sama-sama memiliki kekurangan menyangkut masalah cabang, maka
diutamakan yang lebih sedikit kekurangannya.
- Mengingat manusia adalah hamba yang daif, maka jika kekurangan yang ada dalam
jama’ah merupakan hasil ijtihad manusia, hal itu tidak boleh menghalangi da’i untuk
bergabung.
Sedangkan jika da’i berada di negara yang belum ada jama’ah Islam, maka kewajiban
pertama bagi mereka adalah berupaya mendirikan jama’ah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jalan menuju Jama’atul Muslimin bagi
umat adalah :
1. Hendaknya satu atau lebih kaum Muslimin yang berpegang teguh pada Islam perupaya
menegakkan negaranya/jama’ah.
2. Kemudian mereka berupaya mengajak orang lain ke dalamnya untuk ikut
mewujudkannya. Dengan demikian, jama’ah yang berpegang teguh pada Islam akan
terbentuk.
Adapun starting point dalam jalan menuju penegakkan jama’ah ini adalah mulai dari
orang yang menjadi tanggungan kita, kemudian orang-orang yang dekat dengan kita.
Bagian Ketiga
Rambu-rambu Sirah Nabi Saw dalam Menegakkan Jama’ah
Dalam tahapan ini, Rasulullah Saw menempuh dua jalan. Pertama: kontak pribadi,
yang ditempuh pada tahapan dakwah sirriyah (rahasia). Dakwah ini ditempuh pada
permulaan dakwah, atau pada saat pemerintah yang berkuasa melarang aktivitas dakwah
secara terang-terangan.
9
Kedua: kontak umum, yang ditempuh pada tahapan dakwah secara terang-terangan.
Adapun sarana yang digunakan adalah sebagai berikut :
- Mengumpulkan manusia dalam suatu jamuan makan di rumahnya.
- Mengumpulkan manusia di berbagai tempat.
- Pergi ke tempat-tempat pertemuan manusia.
- Pergi ke berbagai negara untuk berdakwah.
- Mengirim surat kepada para kepala suku dan raja.
Orang yang berhenti pada rambu pertama saja (hanya melakukan tabligh dan
penyebaran) dan tidak mau beralih kepada rambu kedua (takwin), adalah orang yang
berdakwah tidak sesuai dengan manhaj Rasulullah Saw.
Sedangkan pada tahapan kontak umum, cara yang ditempuh Rasulullah saw adalah :
- Membuat beberapa halaqah jama’iyah yang berjumlah besar.
- Mengadakan perjalanan (rihlah) jama’iyah tertentu (hijrah).
- Mengkondisikan situasi umum terhadap dakwah melalui khutbah dan ceramah umum.
Pada masa sebelum hijrah, rambu dakwah yang menonjol adalah penyebaran
dakwah, pembentukan, dan pelarangan serangan fisik. Sedangkan syiar dan sifat pada
periode setelah hijrah adalah, sesuai firman Allah,
“...Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata
bagi Allah ....”(QS.al-Anfal: 39)
Konfrontasi dalam Islam tidak boleh diumumkan kecuali olah imam kaum muslimin,
setelah meyakini kekuatan dan persiapan tentaranya. Dengan demikian, tidak dibenarkan
bagi sebagian jama’ah kaum muslimin melakukan konfrontasi, selama jama’ah tersebut belum
berhasil mencapai pemerintahan. Karena itu fase ini disebut juga sebagai fase politis. Dan
selama jama’ah tersebut belum mencapai pemerintahan, berarti ia masih berada dalam
periode Makkiyah.
10
- Jumlah yang memadai
Firman Allah:
“Hai nabi, kobarkanlah semangat para Mu’minin untuk ikut berperang. Jika ada dua puluh
orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, mereka dapat
mengalahkan seribu dari orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang
tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui
bahwa paadamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar,
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu
orang (yang sabar) niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah.
Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”(QS. al-Anfal: 65-66)
Ayat di atas merupakan isyarat untuk memerangi kebatilan, yaitu apabila jumlah
tentara Islam mencapai satu berbanding dua dari tentara musuh, maka jam’ah wajib
memasuki pertempuran. Sedangkan ukuran kedua perbandingan dalam ayat tersebut adalah
tinggi rendahnya kualitas iman tentara Islam. Dengan demikian konfrontasi tidak dapat
dilakukan kecuali setelah adanya tentara yang memadai.
Mengenai sirriyah banyak para da’i yang keliru memahaminya, seperti tidak mau
membicarakan tema-tema dakwah supaya tidak dituduh fanatik, serta mencampuradukan
antara sesuatu yang harus dijelaskan dengan yang harus disembunyikan.
11
Bagian Keempat
Tabiat Jalan Menuju Jama’atul Muslimin
Tabiat jalan ini adalah jalan ujian dan cobaan, tetapi orang yang bersabar atas tabiat
ini akan sampai ke surga. Dalam hadist Rasulullah Saw dikatakan,
“Surga itu dikelilingi oleh berbagai hal yang tidak disukai.”
Rasulullah Saw dan para sahabat beliau pun merasakan dan menyaksikan penyiksaan
yang luar biasa dalam perjalanan dakwahnya. Sebagaimana firman Alah:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-
macam) cobaan sehingga berkatalah rasul dan orang-orang beriman bersamanya,
“Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu
amat dekat.” (QS. al-Baqarah: 214)
Tujuan di balik tabiat jalan ini adalah mengantarkan manusia kepada kualitas terbaik.
Juga sebagai penyaring antara yang baik dan yang buruk.
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya,
agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.”
(QS. Al-Kahfi: 7)
Dengan demikian, tabiat jalan dakwah ini adalah sunatullah. Karena itu contoh jalan
ini sudah ada sejak manusia diciptakan, seperti kisah Habil dan Qabil putra nabi Adam as
(QS. al Maidah: 27-31) serta kisah Ashhabul Ukhdud di Kota Najran - Yaman (QS. al Buruj: 4-
8). Bahkan sampai sekarang gangguan terhadap Muslimin masih terjadi, seperti yang pernah
dialami oleh Muslimin di India, juga yang dialami oleh anggota Ihkwanul Muslimin di Mesir,
dan lainnya.
Setelah Khilafah Ustmaniyah runtuh, tokoh-tokoh Islam dan para ulama berjuang
untuk mengembalikan khilafah, baik perjuangan individual maupun kolektif.
12
Tujuan jama’ah ini seperti yang digariskan oleh pendirinya adalah :
a. Mengajak manusia pada tauhid murni.
b. Mengarahkan manusia untuk mengambil ajaran agama mereka dari al-Qur’an dan hadist.
c. Memberi pengarahan bahwa nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah tidak boleh dijauhi.
d. Dakwah kepada mencintai Rasulullah Saw secara benar.
e. Dakwah kepada menjauhi bid’ah serta memerangi khurafat dan akidah sesat.
f. Mengarahkan manusia bahwa kehidupan dunia dan akhirat saling berkaitan.
g. Mengarahkan manusia bahwa Allah memuji kebajikan dan menjanjikan ampunan bagi
pelakunya, serta mengecam kejahatan dan mengancam pelakunya.
h. Mengarahkan manusia bahwa perintah dan larangan Allah adalah rahmat bagi mereka.
i. Mengarahkan manusia bahwa kefasikan dan maksiat adalah konsekuensi logis dari tidak
adanya keimanan.
j. Mengharamkan pengeramatan kubur.
k. Mengarahkan manusia bahwa menerapkan hukum yang tidak diturunkan Allah adalah
kehancuran dunia dan penderitaan akhirat.
l. Mengarahkan manusia bahwa sikap mereka kepada sifat dan nama-nama Allah sesuai
dengan sikap Rasulullah Saw dan sahabat.
m. Mengarahkan manusia bahwa pangkal segala penyakit adalah membiarkan wanita
mengunjungi tempat maksiat.
n. Mengarahkan manusia bahwa pria harus berpegang teguh pada fungsinya sebagai
pemimpin kaum perempuan.
Lapangan JASM terbatas pada pengabdian bidang agama, budaya, sosial dan tidak
ada hubungannya sama sekali dengan politik. Beberapa tokoh kontemporer mengkritik
bahwa JASM miskin strategi, jama’ahnya terbatas pada sekelompok orang yang komit pada
agama, tenaga jama’ah habis terkuras di sekitar masalah furu’ agama, serta terhadap
pandangan mereka yang menganggap sistem dan organisasi adalah bid’ah modern.
Adapun penilaian penulis terhadap JASM adalah, bahwa tujuan JASM sangat mulia.
Namun sarana untuk mencapai tujuan kurang dan terbatas. Dan agaknya tidak dapat
mengantarkan kepada tujuan JASM yang besar, yaitu mengajak manusia kepada tauhid murni.
Tujuan JASM tersebut merupakan tujuan diutusnya Rasulullah Saw. Untuk itu beliau melewati
beberapa fase dakwah. Sementara JASM hanya terbatas pada satu fase dakwah Rasulullah
Saw, yaitu fase penyebaran.
13
Sarana HT untuk mencapai tujuan adalah :
- Melalui Dewan Perwakilan rakyat dalam umat.
- Menyebarkan pemikiran HT lewat buku, majalah, pidato, diskusi, dan lain-lain.
- Menyelenggarakan pertemuan untuk memproklamasikan prinsip HT.
- Mengajukan buku, catatan dan sejenisnya kepada instansi resmi untuk menjelaskan
pemikiran dan prinsip HT.
- Mengirim delegasi kepada umat ke segala penjuru.
- Menjalin hubungan baik dengan semua pihak, termasuk penguasa dan masyarakat biasa.
Prinsip HT adalah bahwa aqidah bersandar pada apa yang dapat dijangkau akal dan
dari sumber-sumber yang diterima akal sangat kuat/yakin, seperti al-Qur’an dan hadist
mutawatir, haram mengambil aqidah atas dasar dalil yang zhanni (mengandung
makna/pengertian yang lain); tidak memandang pelaksanaan amal apa pun, mulai dari shalat
dan puasa dan hukum-hukum Islam lainnya, juga tidak perlu mencegah kemunkaran kecuali
dengan bicara, dan tidak memberikan perhatian kepada akhlak. Pandangan tersebut timbul
karena HT menganggap semua hal tersebut adalah tugas negara setelah ia tegak. Jadi
Kutlah/kitlah (jama’ah HT sebelum mencapai kekuasaan) tidak boleh melakukan amal lain,
sebab amal yang penting baginya adalah menegakkan Negara Islam. HT menganut pemikiran
ini atas dasar firman Allah:
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya
mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan
mencegah dari perbuatan munkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan.”
(QS.al-Hajj: 41)
14
e. Memisahkan antara agama dan politik.
f. Tidak wajib seorang anggota berda’wah di daerah/kota tempat tinggalnya, namun wajib
berdakwah di daerah/kota lain.
g. Tidak memandang bahwa keluar dari 6 ajaran yang digariskan oleh Muhammad Ilyas
sebagai keluar dari Islam, tetapi sebagai keluar dari strategi JT. Adapun 6 prinsip ajaran
pokok tersebut adalah:
1. Kalimah Thayyibah: La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah, karena kalimat tersebut
tidak berarti bila hanya diucapkan dengan lisan.
2. Mendirikan shalat, sebab JT hanya menyuruh shalat bukan mendirikan shalat.
3. Ilmu dan dzikir.
4. Memuliakan setiap muslim.
5. Ikhlas.
6. Berjuang di jalan Allah.
15
Tujuan JIM adalah rukun ketiga dari rukun bai’at, yaitu amal yang terdiri dari :
a. Memperbaiki diri sendiri (membangun pribadi).
b. Membina rumah yang islami (membangun keluarga).
c. Membimbing masyarakat.
d. Membebaskan negeri dari setiap penguasa asing.
e. Memperbaiki pemerintahan.
f. Mengembalikan eksistensi internasional bagi umat islam.
g. Menjadi guru dunia dengan menyebarkan da’wah ke seluruh penjurunya.
Sedangkan rukun Bai’at dalam jamaah ini adalah 1. Kefahaman terhadap ajaran
Islam, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6. Taat, 7. Keteguhan, 8. Tajarrud (fokus
menekuni dakwah), 9. Persaudaraan, dan 10. Percaya sepenuhnya terhadap kepemimpinan
dan kemampuan jama’ah.
Adapun usrah adalah satu sel dari sekumpulan sel yang membentuk JIM yang terdiri dari 5
orang yang telah mencapai keanggotaan umum dan dipimpin oleh seorang ketua, setiap
anggota bertanggung jawab atas setiap macam jihad, yaitu: Jihad politik (siyasi), jihad harta
(maali), jihad pendidikan (ta’lim), jihad lisan (lisani) dan jihad kekuatan fisik/jiwa (bi al-yad).
16
4. Bidang Kepanduan, seperti mendirikan klub kepanduan yang mengadakan kontak dan
pengabdian pada masyarakat
5. Bidang kewanitaan, yaitu mendirikan kelompok akhwat al-Muslimat dengan berbagai
programnya.
6. Bidang ekonomi, yaitu mendukung ekonomi nasional dengan mendirikan perusahaan dan
anjuran menabung.
7. Bidang kesehatan, seperti mendirikan klinik dan rumah sakit, memperkokoh hubungan
dengan lembaga medis internasional, dan lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa, jama’ah yang menetapkan tujuan dan sasarannya secara
parsial dari agama Islam sesungguhnya telah bertindak memilah-milah hukum Islam. Sikap
tersebut diharamkan dalam ajaran Islam.
“Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian
yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada
siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang
yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan
siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”(QS. al-Baqarah: 85-86)
Rasulullah saw sendiri menolak parsialisasi, dengan kata-kata beliau kepada Kabilah
Bani Syaiban ketika beliau mendatangi mereka di Kota Mekah.
“Tidaklah buruk jawaban kalian ketika kalian mengungkapkannya dengan jujur, akan
tetapi tidak akan bisa melaksanakan ajaran agama ini kecuali orang yang melaksanakan
seluruh aspek ajarannya.”
17