Anda di halaman 1dari 97

http://konsultasi.wordpress.

com/2007/11/01/dibalik-isu-aliran-sesat/#more-246

DiBalik Isu Aliran Sesat


Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada 1 November 2007

Akhir-akhir ini, masyarakat kembali digemparkan dengan kemunculan aliran sesat.


Bak cendawan di musim hujan, kemunculannya semakin lama semakin banyak.
Modus yang diangkat umumnya adalah mengaku ada nabi/rasul setelah Muhammad
saw. Sebut saja Ahmadiyah yang mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai rasul,
kelompok Lia Eden yang mengaku mendapat wahyu dari Malaikat Jibril, dan baru-
baru ini muncul kelompok yang disebut-sebut al-Qiyadah al-Islamiyah. Kelompok
terakhir ini meyakini Rasulullah Muhammad saw. telah berakhir masa tugasnya
sampai 1400 H. Ahmad Mushaddeq (pimpinan kelompok tersebut yang dulunya non-
Muslim), mengklaim dirinya “Rasul Al-Masih Al-Mau’ud“.Dalam syahadatnya, mereka
tidak mengakui Muhammad saw sebagai nabi/rasul. Mereka berkeyakinan bahwa al-
Quran sekarang tinggal tulisan (bacaan)-nya, sedangkan jiwa (ruh)-nya sudah hilang
sejak 1300 (seribu tiga ratus) tahun yang lalu. Mereka menyatakan: beribadah tanpa
mengikuti Al-Masih Al-Mau’ud tidak akan diterima; shalat lima waktu tidak wajib;
orang Islam di luar kelompok mereka dianggap kafir/jahiliah; dll. Hal-hal tersebut
jelas-jelas menyimpang dari akidah dan hukum Islam yang qath‘i (tegas).

Menentukan Sikap

Memang, siapapun tidak boleh serampangan menuding suatu kelompok sesat. Perlu
didudukkan makna sesat (dhalal) itu sendiri. Suatu paham dikatakan sesat jika
bertentangan dengan akidah dan hukum-hukum syariah yang qath‘i. Suatu paham
yang menyimpang dari rukun iman, rukun Islam, dan atau tidak mengimani
kandungan al-Quran dapat dikategorikan sesat. Apalagi syahadatnya bukan syahadat
Islam. Dilihat dari sudut ini, al-Qiyadah al-Islamiyah dengan keyakinannya seperti di
atas dapat digolongkan kelompok sesat karena keluar dari akidah Islam. Pengakuan
suatu kelompok atas seseorang sebagai rasul yang diutus dengan suatu syahadat
adalah suatu bentuk kemungkaran yang merusak kesucian akidah Islam yang hanya
mengakui Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir, sebagaimana
firman Allah SWT:

‫َما َك اَن‬ ‫ ُمَح َّم ٌد َأَبا َأَح ٍد ِمْن ِر َج اِلُك ْم َو َلِكْن َر ُسوَل ِهللا َو َخ اَت َم‬‫الَّن ِبِّييَن َو َك اَن ُهللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َعِليًما‬

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian,
tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (QS al-Ahzab [33]: 40).

Imam ath-Thabari menafsirkan ayat tersebut antara lain dengan menyatakan, “Nabi
Muhammad adalah Rasulullah dan penutup para nabi (khâtam an-nabiyyîn). Beliau
adalah penutup kenabian (nubuwwah) sekaligus orang yang diberi cap kenabian.
Atas dasar itu, kenabian (nubuwwah) tidak akan dibukakan kepada seorang pun
setelah Beliau hingga Hari Kiamat.” (Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, XX/278).

1
Imam Ibnu Katsir menyatakan:
Ayat ini merupakan nash yang menunjukkan tidak adanya nabi setelah Nabi
Muhammad saw. Jika tidak ada nabi setelah Beliau, apalagi seorang rasul. Sebab,
kedudukan risalah (kerasulan) lebih khusus daripada kedudukan nubuwah
(kenabian). Pasalnya, setiap rasul adalah nabi, dan tidak sebaliknya. Oleh karena itu,
masalah ini telah disebutkan oleh hadis-hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh
mayoritas Sahabat dari Nabi saw…Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis, dari
Anas bin Malik, bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya, risalah dan
nubuwah telah terputus. Tidak akan ada rasul dan nabi setelahku.” [HR Ahmad]
(Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, QS al-Ahzab [33]: 40.

Hal senada disampaikan oleh Imam ath-Thabari (Tafsîr ath-Thabari, XX/278; Imam
al-Baghawi (Tafsîr al-Baghawi, VI/358; Imam asy-Syaukani (Fath al-Qadîr, VI/52).

Pengakuan tentang nabi/rasul setelah Muhammad saw. ini pun menikam hadis-hadis
Rasulullah saw., antara lain:

« ‫َك اَنْت َب ُنو ِإْس َر اِئيَل َت ُسوُسُهْم ْاَألْن ِبَياُء ُكَّلَما َه َلَك َن ِبٌّي َخ َلَف ُه َن ِبٌّي َو ِإَّن ُه َال َن ِبَّي َب ْع ِدي َو َسَي ُك وُن ُخ َلَف اُء َفَي ْك ُثُروَن َق اُلوا َفَما َت ْأُمُر َن ا َق اَل ُفوا ِبَب ْي َع ِة‬
‫“»ْاَألَّو ِل َف ْاَألَّو ِل َأْع ُط وُه ْم َح َّقُهْم َف ِإَّن َهللا َس اِئُلُهْم َعَّما اْس َت ْر َعاُه ْم‬Dulu Bani Israil diurus oleh para nabi. Setiap
kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak
ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah, yang berjumlah banyak.” Para
Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw.
bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama saja dan berilah mereka haknya.
Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang
mereka urus.” (HR Sahih al-Bukhari, XI/271).

Hadis-hadis dengan redaksi dan pengertian senada juga diriwayatkan oleh para
imam hadis yang lain. Semuanya menggambarkan bahwa Muhammad saw. adalah
nabi dan rasul terakhir. Sesudah Beliau, umat dipimpin bukan oleh nabi atau rasul,
melainkan para khalifah yang menerapkan Islam yang dibawa Rasulullah saw.

Ada Apa?

Kemunculan aliran-aliran yang menyimpang dari Islam penting untuk dicermati.


Sebab, sering bukan semata-mata karena ajaran yang dikembangkannya, melainkan
juga merupakan upaya untuk menghancurkan Islam itu sendiri. Ada beberapa hal
yang menarik dicatat. Pertama: ada upaya stigmatisasi (cap negatif) istilah.
Munculnya aliran-aliran tersebut selalu menggunakan istilah-istilah yang
memojokkan Islam. Sebagai contoh, dulu sempat dimunculkan gerakan Komando
Jihad yang ternyata sudah menjadi rahasia umum bahwa kelompok tersebut
rekayasa intelijen pada masa Orde Baru. Dengan nama itu, istilah jihad dikotori
sehingga umat Islam menjadi alergi terhadap istilah itu. Padahal jihad merupakan
ajaran Islam yang mulia. Bayangkan, tanpa ajaran jihad, bagaimana mungkin para
ulama menggerakkan rakyat hingga berhasil mengusir penjajah?

Belakangan dimunculkan istilah ‘Jamaah Islamiyah’ sebagai kelompok teroris.


Dengan istilah tersebut, kelompok-kelompok (jamaah-jamaah) Islam distigmatisasi
dan dicap negatif. Padahal istilah jamaah merupakan istilah bagi kesatuan umat.
Karenanya, dapat dikatakan bahwa stigmatisasi istilah tersebut ditujukan untuk
mencegah kesatuan umat dan agar umat menjauhi kelompok-kelompok yang
memperjuangkan syariah. Di Jawa Barat bulan lalu muncul kelompok al-Quran Suci
yang tidak mengakui hadis/sunnah Nabi saw. (inkar sunnah). Istilah ini akan dapat

2
memunculkan stigma negatif terhadap al-Quran sebagai kitab suci. Kini, muncul
kelompok ‘al-Qiyadah al-Islamiyah’ yang menyimpang. Istilah yang berarti
kepemimpinan islami ini merupakan istilah yang baik. Umat pun sekarang
merindukan adanya kepemimpinan Islam. Dengan munculnya kelompok dengan
nama tersebut, jelas ada target untuk menjauhkan umat dari kepemimpinan Islam
(qiyâdah islâmiyah) yang menerapkan Islam melalui stigmatisasi istilah.

Kedua: kemunculan aliran-aliran sesat tersebut menanamkan sikap saling curiga


terhadap sesama Muslim atau kelompok Islam. Adanya sikap saling curiga ini akan
mempersulit terjalinnya ukhuwah yang justru kini sedang dirajut.

Ketiga: adanya provokasi. Jika Pemerintah dan ulama tidak sigap dan bijaksana
bukan mustahil kemunculan kelompok yang menyimpang dari Islam merupakan
upaya provokasi agar terjadi bentrok fisik antar sesama Muslim. Di Jawa Barat sudah
ada sebagian kaum Muslim yang telah mengumandangkan akan men-sweeping
anggota kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Bukan tidak mungkin ada salah tangkap
atau salah sweeping. Jika ini terjadi, lagi-lagi umat Islam akan mengalami kerugian.

Keempat: umat perlu waspada dan cermat dalam menilai. Di antara ajaran yang
dianut kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah adalah mendirikan Negara Islam versi
mereka bahkan mendirikan Khilafah ala mereka. Pertanyaannya, apa mungkin
kelompok yang tidak mengaku Muhammad saw. sebagai rasul dan nabi terakhir,
memandang al-Quran sudah hanya tinggal tulisan, menyatakan shalat tidak wajib
dan bahkan menyimpang dari rukun iman, lalu memperjuangkan hukum Islam dan
kepemimpinan Khilafah yang sesuai hukum syariah? Umat jangan terjebak menolak
syariah (salah satunya kepemimpinan umat dalam Khilafah) yang diperintahkan
Allah dan Rasul hanya karena adanya kelompok tersebut.

Kelima: sering munculnya aliran-aliran sesat tersebut mencerminkan Pemerintah


tidak sungguh-sungguh menjaga akidah umat dan syariahnya. Padahal tugas
penguasa Muslim (ulil amri) antara lain:

Mereka adalah pihak yang akan menjalankan lima urusan kita; menyelenggarakan
shalat Jumat, jamaah, shalat Id, menjaga tapal batas negara, dan memberlakukan
hudûd (hukum Islam). Demi Allah, agama ini tidak akan sempurna tanpa mereka
(penguasa), meskipun mereka suka berbuat dosa dan zalim (Ibnu Qayyim al-
Jauziyah, Adab al-Hasan al-Bashri, hlm. 121. Lihat pula: Jâmi‘ al-‘Ulûm wa al-Hikam,
II/117); pemeliharaan agama dan pengaturan dunia dengannya. (Al-Mawardi, Al-
Ahkâm ash-Shulthâniyah, hlm. 5).Karena itu, umat harus memiliki negara dan
pemerintah yang benar-benar menjaga akidah dan menerapkan syariah.

Keenam: tidak menutup kemungkinan adanya skenario untuk menghancurkan Islam,


mengadu-domba umat Islam, dan menjauhkan umat dari para pejuang syariah
Islam. Menarik disimak pernyataan Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Prof.
DR. Achmad Satori Ismail, “MUI sudah melakukan survei, ternyata aliran sesat yang
akhir-akhir ini cukup marak itu merupakan skenario asing.

“Beliau menyebut kesimpulan MUI itu diperoleh dari temuan adanya pemimpin aliran
yang tidak dapat membaca al-Quran. “Kami heran, lalu kami tanya pengetahuan
pemimpin itu tentang Islam dan siapa yang membayarnya untuk menyebarkan aliran
sesat, dia menyebut sebuah negara (asing),” ucapnya.

3
Wahai kaum Muslim:

Waspadalah! Umat Islam sedang terus dihancurkan. Isu war on terrorism yang
diusung musuh-musuh Islam tidak mampu merobohkan Islam dan perjuangan
penerapan Islam. Kini isu aliran sesat digulirkan untuk tujuan yang sama. Wallâhu
a‘lam. []

Komentar al-islam:
Pemerintah Tak Akan Toleransi Aliran Agama Sesat (Republika.co.id,
30/10/2007).
Begitulah seharusnya sikap penguasa Muslim dalam melindungi akidah umat.

Sumber : BD Al Islam edisi 377

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

http://konsultasi.wordpress.com/2008/02/06/bagaimana-menyikapi-kelompok-sempalan/

Bagaimana Menyikapi Kelompok Sempalan?


Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada 6 Februari 2008

Soal: Di tengah-tengah masyarakat kita saat ini banyak terdapat kelompok-


kelompok keagamaan, yang sebagiannya dipandang sempalan dan sesat. Bagaimana
sesungguhnya Islam menyikapi persoalan ini?

Jawab: Untuk menjawab bagaimana Islam menyikapi kelompok sempalan, yang


harus dibahas terlebih dulu adalah, siapa sesungguhnya yang masuk dalam kategori
kelompok sempalan dalam pandangan Islam?

Harus diakui, bahwa ajaran Islam bisa dipahami secara beragam oleh pemeluknya.
Keberagaman paham tersebut sesungguhnya terbentuk karena adanya dua faktor,
yang sama-sama dibenarkan di dalam Islam. Pertama: faktor nash—baik al-Quran
maupun as-Sunnah—yang memiliki lebih dari satu makna (double meaning), yang
biasanya disebut oleh ahli ushul dengan istilah dzanni. Kedua: faktor intelektual,
yang berpotensi untuk memahami nash secara berbeda. Kedua faktor tersebut pada
dasarnya akan bertemu pada aspek yang bersifat dzanni, tetapi tidak dalam perkara
yang qath’i. Memang, antara satu ulama dengan ulama lain berbeda dalam
mengidentifikasi, mana nash yang qath’i dan mana dzanni. Sekalipun demikian, pada
tataran definisi, atau batasan nash yang qath’i, mereka tidak berbeda pendapat. Bisa
dikatakan, semuanya sepakat, bahwa nash yang qath’i adalah nash yang hanya
memiliki satu makna.

Dari nash yang dzanni inilah kemudian berkembang ikhtilâf (perbedaan pendapat).
Mula-mula ikhtilâf muncul dalam masalah hukum, yang kemudian melahirkan
banyak mazhab fikih. Setelah terjadinya Fitnah Kubra (peristiwa terbunuhnya
‘Utsman), ikhtilâf memasuki wilayah politik. Dari sana lahir beberapa kelompok
seperti Syiah, Sunni, Khawarij, dan Murjiah. Setelah masuknya pengaruh filsafat di
dalam tubuh umat Islam, perbedaan tersebut kemudian memasuki wilayah akidah
sehingga melahirkan banyak firqah kalâmiyah (kelompok kalam). Semuanya,

4
meminjam istilah Syaikh Abu Zahrah, masih disebut sebagai madzâhib islâmiyyah
(mazhab-mazhab Islam), baik madzâhib fiqhiyyah, siyâsiyah, maupun
i’tiqâdiyah. Dari mazhab yang terakhir (madzâhib i’tiqâdiyah) inilah kemudian
berkembang istilah al-firâq al-mubtadi‘ah (kelompok ahli bid’ah). Mereka itu adalah
Muktazilah dan Jabariah. Di samping itu, karena Syiah, Khawarij, dan Murjiah juga
membahas persoalan akidah dengan pendekatan mutakallimin—meski persoalan
tersebut bukan merupakan isu sentral mereka—maka mereka juga masuk ke dalam
kategori al-firâq al-mubtadi’ah. Mereka kemudian dipilah lagi: ada yang bid’ahnya
sampai menjerumuskannya dalam kekafiran sehingga disebut mukaffirah (yang
dinyatakan kafir); ada yang tidak sampai menjerumuskannya dalam kekufuran.
Mereka inilah yang disebut ghayra mukaffirah (yang tidak dinyatakan kafir).

Klasifikasi ini tentu membawa konsekuensi hukum bagi para penganutnya, termasuk
kategori kelompok Islam dan tidak, atau yang kini dipopulerkan dengan istilah
kelompok sempalan. Istilah sempalan, sebenarnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu
sempal yang berarti lepas, dari pangkalnya. Karena itu, penggunaan istilah kelompok
sempalan lebih tepat digunakan untuk menyebut kelompok yang sudah keluar dari
kategori Islam. Dalam pembahasan akidah, sekalipun kelompok kalam masuk dalam
kategori ahli bid’ah (karena tidak mengikuti metode pembahasan Nabi saw.), mereka
tidak bisa dimasukkan sebagai kelompok sempalan. Karena itu, al-Ghazali tetap
mengatakan mereka Muslim, dan pendapatnya pun masih dianggap sebagai
pendapat Islam. Dalam hal ini, kesalahan mereka, kata al-Ghazali, statusnya sama
dengan orang yang salah dalam berijtihad (mahalluhum fi mahalli al-ijtihâd). Tentu
saja, kategori ini berlaku untuk kelompok kalam yang bid’ahnya tidak sampai
menjerumuskan mereka ke dalam kekufuran.

Adapun untuk kelompok yang bid’ahnya telah menjerumuskan mereka ke dalam


kekufuran, statusnya jelas bukan Muslim, dan tidak masuk dalam kategori kelompok
Islam. Contohnya adalah: Ismailiyah, Batiniyah, dan Qaramithah dari sekte Syiah;
Ahmadiyah; Bahaiyah; dan sebagainya. Mereka ini bisa disebut kelompok sempalan,
bukan kelompok Islam. Selain itu, ada kelompok lain yang dengan jelas telah
dinyatakan kafir oleh al-Ghazali, yaitu kelompok filosof Muslim. Kelompok ini juga
bisa dikategorikan sebagai kelompok sempalan, bukan kelompok Islam. Nah,
sekarang apa ukurannya, sebuah kelompok dikatakan sempalan, atau tidak?
Ukurannya kembali pada pandangan dan pemikiran yang dianutnya. Islam, misalnya,
telah menetapkan sejumlah pemikiran dasar, baik yang kemudian disebut rukun
Islam, rukun iman, maupun sejumlah pemikiran yang dinyatakan oleh dalil-dalil yang
qath’i. Jika ada kelompok yang mengklaim sebagai kelompok Islam, tetapi
pandangan dan pemikirannya bertentangan dengan sejumlah pemikiran dasar di
atas, maka kelompok tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kelompok Islam.

Kalau kemudian di dalam negara Khilafah ada kelompok seperti ini, bagaimana
langkah-langkah negara untuk menanganinya? Pertama: Negara harus melakukan
itsbât (mengambil keputusan tetap), bahwa kelompok tersebut dinyatakan telah
keluar dari Islam, setelah melakukan sejumlah pembuktian, dengan bukti-bukti yang
qath’i, sebagaimana sabda Nabi saw.: ‫ِعْنَد ُك ْم ِم َن اِهلل ِفْيِه ُبْر َه اٌن‬
Dimana kalian mempunyai bukti-bukti yang meyakinkan di sisi Allah, tentang
kekufurannya. Dengan adanya kepastian hukum tersebut, maka vonis kafir atau
murtad bisa dijatukan pada kelompok tersebut.

5
Kedua: Negara harus meminta mereka untuk bertobat, agar kembali ke pangkuan
Islam. Caranya, bisa dengan dilakukan debat intelektual (wa jâdilhum billati hiya
ahsan), dengan meruntuhkan apa yang sebelumnya menjadi keyakinannya,
kemudian membangun keyakinan yang baru terhadap Islam. Kalau ini tidak berhasil,
maka bisa dilakukan dengan memberikan mau’izhah wa tadzkîr (nasihat dan
peringatan), termasuk mengingatkan akan konsekuensi dari masing-masing pilihan
yang diambilnya. Inilah yang ditempuh oleh Ali bin Abi Thalib ketika mengutus Ibn
Abbas untuk melakukan debat dengan Khawarij sehingga sebagian besar di antara
mereka akhirnya insyaf dan kembali ke pangkuan Islam. Ketika Musailamah al-
Kadzdzab muncul pada tahun ke-10 H, Rasulullah tidak langsung memeranginya,
melainkan memberinya peringatan melalui surat, yang beliau kirimkan kepada
Musailamah.[i] Ketiga: Jika cara yang kedua gagal, Negara akan memerangi mereka.
Khususnya, mereka yang tetap bertahan dalam kelompok tersebut. Dalam hal ini,
mereka diperangi sebagai ahl ar-riddah (orang murtad). Setelah Musailamah diberi
peringatan oleh Rasulullah saw., tetapi dia tetap bergeming, kemudian setelah itu
Rasulullah saw. wafat, maka Abu Bakar ash-Shiddiq melanjutkan misi Rasulullah
saw. dengan memerangi kelompok Musailamah.[ii] Abu Bakar juga telah memerangi
kelompok ahl ar-riddah yang lain, termasuk mereka yang menolak membayar zakat.
Ketika itu, Umar menolak tindakan tersebut seraya mempertanyakan, “Bagaimana
mungkin Anda akan memerangi orang, sementara Rasulullah saw. bersabda, ‘Aku
akan memerangi orang-orang itu hingga mereka menyatakan Lâ ilâha illâ Allâh.
Siapa yang menyatakan: Lâ ilâha illâ Allah, berarti diri dan hartanya telah terbebas
dariku, kecuali dengan cara yang haq, dan hisabnya diserahkan kepada Allah’?”

Akan tetapi, Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku memerangi siapa saja yang
memisahkan antara (kewajiban) shalat dan zakat, karena zakat itu merupakan hak
yang terkait dengan harta. Demi Allah, kalau mereka menolak membayar kepadaku,
mereka pasti akan membayarnya kepada Rasulullah…” Umar berkomentar, “Demi
Allah, aku hanya menyaksikan, bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar
untuk melakukan peperangan tersebut. Aku pun tahu, bahwa dia memang
benar.”[iii]

Dalam riwayat lain, salah satu nash yang menjadi pegangan Abu Bakar ash-Shiddiq
adalah firman Allah:

﴿ ‫َأَفُتْؤ ِم ُنوَن ِبَبْع ِض اْلِكَتاِب َو َتْك ُفُر وَن ِبَبْع ٍض َفَم ا َجَز اُء َمْن َيْف َعُل َذِلَك ِم ْنُك ْم ِإَّال ِخ ْز ٌي يِف اَحْلَياِة الُّد ْنَيا‬
‫َو َيْو َم اْلِق َياَم ِة ُيَر ُّدوَن ِإىَل َأَش ِّد اْلَعَذ اِب َو َم ا اُهلل ِبَغاِفٍل َعَّم ا َتْع َم ُلوَن‬

﴾Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab (Taurat) dan mengingkari adap


sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara
kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka
dilemparkan ke dalam siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang
kalian perbuat. (QS al-Baqarah [2]: 85)

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. (Hafidz Abdurrahman)


[] (www.konsultasi.wordpress.com)

6
http://cahayasunnah.wordpress.com/2006/04/11/pengertian-bidah-macam-macam-bidah-
dan-hukum-hukumnya/

PENGERTIAN BID’AH MACAM-MACAM BID’AH


DAN HUKUM-HUKUMNYA
April 11, 2006

PENGERTIAN BID’AH MACAM-MACAM BID’AH DAN HUKUM-HUKUMNYA

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

PENGERTIAN BID’AH

Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh.
Sebelumnya Allah berfirman.

Badiiu’ as-samaawaati wal ardli


“Artinya : Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah : 117]

Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman Allah.

Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli


“Artinya : Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. [Al-
Ahqaf : 9].

Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari
Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul
yang telah mendahuluiku.

Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah”, maksudnya : memulai satu cara
yang belum ada sebelumnya.

Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :

7
[1] Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-
penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan
ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena
asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.

[2] Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam
dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang
baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di
tolak (tidak diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya : Barangsiapa
yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di
tolak”.

MACAM-MACAM BID’AH

Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :

[1] Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti
ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah
(kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.

[2] Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa
yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian
yaitu :

[a]. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu
ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat
yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari
besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.

[b]. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan,


seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

[c]. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang
sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara
berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam
ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

[d]. Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi tidak
dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban
(tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya
shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan
pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

HUKUM BID’AH DALAM AD-DIEN

8
Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena


sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”.
[Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka
perbuatannya tertolak”.

Dan dalam riwayat lain disebutkan :

“Artinya : Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka
amalannya tertolak”.

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien
(Islam) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan tertolak.

Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.

Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya yang
menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan
diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada
kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka,
dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang
yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang
merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat
berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana
halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan
keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat
seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga
memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).

Catatan :
Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek)
adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Artinya :
Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat”.

Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid’ah
itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu
sesat, tapi ada bid’ah yang baik !

9
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya “Syarh Arba’in” mengenai sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah sesat”, merupakan
(perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat
tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya :
“Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka
perbuatannya ditolak”. Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian
menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai
rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-
masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.

Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid’ah itu
ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu pada shalat Tarawih :
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga mereka berkata : “Sesungguhnya telah ada hal-hal
baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-
Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya”.

Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada
rujukannya dalam syari’at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu
‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa dan
bukan bid’ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai
rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah” maksudnya adalah bid’ah menurut arti bahasa
bukan menurut syari’at, karena bid’ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam
syariat sebagai rujukannya.

Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur’an, tapi
penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu
anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.

Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat secara
berjama’ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama
mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus
sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu
menjadikan mereka satu jama’ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di
belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid’ah dalam Ad-Dien.

Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist
kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan
pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum adalah
ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur’an. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur’an sudah
sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Allah

10
Ta’ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga
kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak kehilangan
dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.

[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus
Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan,
terbitan At-Tibyan Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=439&bagian=0

===============================================================

http://muslim.or.id/manhaj/bidah-dalam-timbangan-islam.html

Bid’ah Dalam Timbangan Islam


Kategori Manhaj | 04-09-2008 | 34 Komentar

Para pembaca yang di muliakan oleh Allah ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah meninggalkan kita di atas tuntunan yang jelas, tuntunan yang terang
berderang, di atas petunjuk yang sempurna. Hal ini telah di tegaskan oleh Allah ta’ala
dalam firman-Nya:

‫َاْلَيْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد يَنُك ْم َو َأْتَم ْم ُت َع َلْيُك ْم ِنْع َم ِتي َو َر ِض يُت َلُك ُم اإلْسالَم ِد يًنا‬

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-
Maidah: 3)

Ayat yang mulia ini menunjukkan kesempurnaan syariat dan bahwasanya syariat ini telah
mencukupi segala keperluan yang dibutuhkan oleh makhluk.

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan nikmat Allah
yang paling besar, yaitu ketika Allah menyempurnakan agama bagi manusia sehingga
mereka tidak lagi membutuhkan agama selain islam, tidak membutuhkan seorang nabi
pun selain nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah Allah ta’ala
mengutus beliau sebagai nabi penutup para nabi dan mengutus beliau kepada manusia
dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada
sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali
perkara yang di syariatkan-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, dinukil dari ‘Ilmu Usul Bida’,
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi, 17)

Begitu pula Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫َتَر ْكُتُك ْم َع َلى اْلَبْيَض اِء َلْيُلَها َكَنَهاِرَها اَل َيِز يُغ َع ْنَها َبْع ِد ي ِإاَّل َهاِلٌك‬

11
“Aku tinggalkan kalian dalam suatu keadaan terang-benderang, siangnya seperti
malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka.”
(HR. Ahmad)

Juga sabdanya,

‫َم ا َبِقَي َش ْي ٌء ُيّقِر ُب ِم َن اْلَج َّنِة َو ُيَتاِع ُد َع ِن الَّناِر ِإَّال َقْد ُبِّيَن َلُك ْم‬

“Tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan diri kepada surga dan menjauhkan dari
neraka melainkan telah dijelaskan kepada kalian.” (HR. Thabrani)

Sahabat Abu Dzar al-Ghifari berkata:

‫َتَر َك َنا َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو َم ا َطاِئٌر ُيَقِّلُب َج َناَح ْيِه ِفي اْلَهَو اِء ِإَّال َو ُهَو َيْذ ُك ُر َلَنا ِع ْلًم ا‬

“Rasulullah wafat meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang
terbang di udara melainkan beliau telah mengajarkan ilmunya kepada kami.” (HR.
Thabrani)

Bahkan hal ini juga dipersaksikan oleh musuh-musuh islam yakni akan kebenaran dan
kesempurnaan agama islam ini. Seorang yahudi berkata kepada Salman Al Farisi (dengan
nada mengejek): “Nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu hingga cara
buang hajat!”. Salman menjawab (dengan penuh bangga): “Benar, beliau telah melarang
kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar atau buang air kecil, dan beliau
melarang kami untuk istinja’ dengan menggunakan tangan kanan dan istinja’ dengan
kurang dari tiga batu atau istinja’ dengan kotoran atau tulang.” (HR. Muslim)

Begitu pula yang menjadi akidah para ulama ahlussunnah, Imam Malik berkata,
“Barangsiapa mengadakan sesuatu yang baru (bid’ah) di dalam agama ini sedangkan ia
menganggap baik perbuatan tersebut maka sungguh ia telah menuduh Nabi Muhammad
telah berbuat khianat, karena Allah ta’ala telah berfirman, “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah: 3). Maka perkara
yang pada hari ayat ini diturunkan bukan agama maka sekarang juga bukan
merupakan agama.” (Al-I’tishom, 1/49, dinukil dari ‘Ilmu Usul Bida’, 20)

Maka berdasarkan keterangan di atas, bisa kita ambil kesimpulan betapa sempurnanya
syariat islam, sehingga penambahan atau pengurangan atas syariat islam tanpa dalil dari
al-Qur’an atau as-Sunnah menunjukkan pelecehan terhadap syariat, tindakan kriminal
agama dari pelakunya yang secara tidak langsung pelakunya menganggap bahwa syariat
islam ini belum sempurna, waliya’udzu billah.

Perbuatan yang tidak ada tuntunannya dalam syariat islam dikenal dengan nama bid’ah.

Makna Bid’ah

12
Secara bahasa, bid’ah berarti segala sesuatu yang terjadi atau dilakukan tanpa ada contoh
sebelumnya, hal ini sebagaimana Firman Allah ta’ala:

‫َم ا ُك نُت ِبْد ًعا ِّم َن الُّر ُس ِل‬

“Katakanlah: Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (QS. Al Ahqaf:
9)

Yakni, tidaklah aku adalah orang yang pertama kali diutus, namun sebelumku telah di
utus beberapa rasul.

Adapun definisi bid’ah secara istilah syar’i adalah sebagaimana di jelaskan oleh Imam
Asy-Syatibi, “Bid’ah adalah suatu metode di dalam beragama yang di ada-adakan
menyerupai syariat, dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa
ta’ala sedangkan tidak ada padanya dalil syar’i yang shahih dalam asal atau tata cara
pelaksanaannya.” (Al I’tisham: 1/37, dinukil dari ‘ilmu Usul Bida’, 24)

Hukum Bid’ah

Setiap bid’ah adalah kesesatan, setiap bid’ah membawa pelakunya kepada perbuatan
dosa, perbuatan kesesatan dan menodai syariat islam yang mulia dan sempurna ini.
Bukankah sesuatu yang sempurna jika ditambah atau dikurangi akan merusak
kesempurnaannya? Bukankah sebuah bola yang sudah bulat sempurna jika kita tambahi
atau kurangi malah akan merusak keindahannya??

Perbuatan bid’ah adalah kesesatan walaupun orang-orang menganggap perbuatan tersebut


adalah kebaikan, sebagaimana perkataan sahabat Abdullah Ibnu Umar,

‫ُك ُّل ِبْد َعٍة َض َالَلٌة َو ِإْن َر آَها الَّناُس َحَس َنًة‬

“Setiap bid’ah adalah kesesatan meskipun manusia menganggap perbuatan tersebut


adalah kebaikan.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َم ْن َأْح َد َث ِفي َأْم ِر َنا َهَذ ا َم ا َلْيَس ِم ْنُه َفُهَو َر ٌّد‬

“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam agama ini tanpa ada
tuntunannya maka amalannya tersebut tertolak.” (HR. Bukhari Muslim)

Juga dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ُك ُّل ِبْد َعٍة َض َالَلٌة‬

“Setiap bid’ah adalah kesesatn.” (HR. Tirmidzi)

13
Faedah

Bid’ah yang tercela dalam islam adalah perbuatan bid’ah dalam syariat islam, yaitu
melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan dengan alasan ibadah padahal tidak ada
dalil atas hal tersebut atau dalil yang menjadi sandarannya adalah hadits yang lemah,
tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum. Sehingga apabila ada seseorang melakukan
suatu perbuatan yang baru akan tetapi tidak dalam rangka beribadah kepada Allah ta’ala
maka perbuatan tersebut bukanlah disebut sebagai bid’ah yang tercela akan tetapi disebut
bid’ah secara bahasa, dan perbuatan tersebut boleh.

Misalnya seseorang ingin melaksanakan puasa khusus pada hari selasa saja tanpa hari
lainnya, sedangkan puasa adalah ibadah, ia melaksanakan puasa tersebut tanpa ada
contohnya dari Rasulullah dan para sahabatnya, maka puasa yang ia lakukan adalah
bid’ah yang diharamkan oleh islam. Adapun jika seseorang melakukan perbuatan yang
berkaitan dengan dunia seperti membuat kendaraan tipe baru yang belum ada contoh
sebelumnya, atau membuat kebiasaan baru, maraton setiap hari Rabu pagi dan seterusnya
maka tidak diragukan lagi bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah boleh.

Semoga bermanfaat…

***

Penulis: Abu Sa’id Satria Buana


Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

http://dhuha.net/en/downloads/ebook-islam/sunnah-dan-bidah-menurut-pandangan-
yusuf-qardhawi

Sunnah dan Bid'ah Menurut Pandangan DR.


Yusuf Qardhawi
Posted October 6th, 2008 by roemasa

o E-Book Islam

o Islam

Sebagian dari kita tentu sudah pernah mengenal DR. Yusuf Qardhawi melalui tulisan-tulisan

beliau. Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang berilmu dan berwawasan luas serta cukup

dikenal sebagai ulama yang 'moderat'. Sebagian kalangan juga ada yang menganggap DR.

14
Yusuf Qardhawi sebagai ulama yang 'keras' dan ada juga sebagian lagi yang menganggap

beliau sebagai ulama yang 'lunak'.

Bagaimana pandangan beliau tentang masalah Sunnah dan Bid'ah?

E-book ini akan mengungkapkan pandangan beliau tentang makna Sunnah dan Bid'ah.

Masalah pemahaman Sunnah dan Bid'ah sepertinya selalu menjadi bahan perdebatan di

kalangan umat Islam, setiap kubu membuat definisi-definisi tersendiri tentang Sunnah dan

Bid'ah dan DR. Yusuf Qardhawi melalui bukunya mencoba mendefinisikan ulang makna

Sunnah dan Bid'ah yang tentu saja berdasarkan pandangan dan keluasan ilmu yang dia miliki.

Perlunya mendefinisikan ulang masalah Sunnah dan Bid'ah ini karena banyak diantara kita

yang terjebak pada pemahaman yang kurang tepat diantara kedua hal itu. Untuk itu kita perlu

mengetahui tentang makna Sunnah yang sesungguhnya, juga makna Bid'ah dan apa sikap

Islam terhadap Bid'ah itu? Mengapa Islam mengingkari Bid'ah? Dan apakah mengingkari

Bid'ah berarti Bid'ah hal yang baru, apapun bentuk hal yang baru itu? Buku ini akan mencoba

memberikan penjelasan kepada kita semua tentang itu semua.

Kata Bid'ah dal Al-Qur'an yaitu :


Badi'ussama watiwal ardhi ..
"Allah Pencipta langit dan bumi"(Qs.2:117, 6:101)

Katakanlah "Aku bukanlah rasul yang pertama/baru diantara rasul-


rasul (Qs.Al Ahqaaf (46):9)
Dan mereka mengada-adakan Rahbaniyah (Qs. Alhadid (57):27)
Bid'ah secara bahasa berdasarkan beberapa ayat tersebut adalah :
Sesuatu yang baru/mengada-adakan/ciptaan/pertama.
Bid'ah menurut istilah :
Menurut hadits riwayat Ibnu majah yang artinya:
Aku mendengar "Iryadh bin Sariah berkata: pada suatu hari Rasulullah
s.a.w hadir dihadapan kami, kemudian memberi nasihat kepada kami
dengan nasihat yang pasih yang menggetarkan qalbu kami dan membuat
kami mengis. Lalu dikatakan kepada beliau: "Engkau telah menasehati
kami dengan nasihat yang membekas maka buatlah sebuah janji untuk
kami". Rasulullah s.a.w bersabda : hendaklah kalian bertaqwa kepada
Allah dan mendengarkan serta mentaati meskipun seorang hamba orang
habsyi. Dan kalian akan melihat setelahku perbedaan pendapat yang
tajam. Maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan
sunnah khulafa'ur rasyidun yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia
dengan gigi geraham, dan hati-hatilah kamu terhadap perintah/perkara-
perkara yang baru. Maka sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat (H.R
Ibnu Majah)

15
Berdasarkan hadits tersebut pembagian bid'ah menjadi : Bid'ah
hasanah dan bid'ah sayyiah/sesat.
Pada hadits tersebut Rasulullah s.a.w sudah mengetahui bahwa akan
ada perselisihan yang tajam. Beliau mengajarkan bagaimana cara
menyikapi perselisihan tersebut yaitu :
1. Memegang teguh sunnah Rasulullah s.a.w dan
2. Memegang teguh sunnah khulafa'ur rasyidun
3. Menjauhi bid'ah
Seakan terjadi kontradiksi makna ketika para khulafa'ur rasyidun
melakukan bid'ah. Contoh ketika saidina Umar mengusulkan kepada
saidina Abu bakar pengumpulan Al-qur'an, pada mulaya saisina Abu
bakar tidak setuju dan berkata "sesungguhnya ini adalah perbuatan
Bid'ah).contoh lain ketika saidina Umar memerintahkan para sahabat
untuk shalat malam ramadhan berjamaah yang tidak dilakukan
Rasulullah s.a.w, saidina Umar mengatakan "ini sebaik-baik bid'ah)

Beranikah kita mengatakan Saidina Abu Bakar dan Umar sesat, masuk
neraka dan keluar dari Islam? Karena mereka telah melakukan bid'ah.
Padahal meraka adalah orang-orang yang telah dijamin masuk surga
karena ketinggian keimanannya.
Hadits 2:
Dari Huzaifah berkata : rasulullah s.a.w bersabda,"Allah tidak
menerima dari pelaku bid'ah baik puasanya, shalatnya, hajjinya,
umrahnya, jihadnya, tasharrufnya bahkan keadilannya. Dia keluar dari
islam sebagaimana rambut keluar dari pasta (HR Ibnu Majah)
Hadits 3 :
Dari Aisyah r.a berkata : Rasulullah s.a.w bersabda,"barang siapa
yang berbicara tentang sesuatu yang tidak ada perintahnya dari kami
maka dia tertolak (HR Bukhari)
Hadits 4 :
Aku mendengar Aisyah berkata : Rasulullah s.a.w bersabda, "barang
siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari
kami maka dia tertolak (HR Bukhari)
Jika kita mengkombinasikan hadits diatas maka akan tercipta
pengertian bid'ah yang sesuai dengan pendapat beberapa ulama
terkemuka :
Ibnu Taimiyah :
Suatu ajaran yang tidak disyariatkan oleh Allah dan RasulNya, tidak
ada perintah baik berbentuk kandungan wajib atau sunnah.
Adapun bila ada anjurannya, baik berbentuk wajib atau sunnah dengan
di dukung dalil-dalil syar'I terhadap anjuran tersebut, maka hal itu
bagian dari agama meskipun terdapat perselisihan diantara alim
ulama dalam sebagian masalah.
Asy Syatibi :
Cara yang diada-adakan dalam masalah agama yang berlawanan dengan
syariat, dengan tujuan membuat aturan dan berlebihan dalam
beribadah kepada Allah.
Ibnu Rajab :
Suatu yang diad-adakan dalam agama yang tidak ada dasarnya dalam
syariat,

Maka segala sesuatu yang ada dasarnya dari syariat bukanlah sesuatu
yang bid'ah, meskipun secara bahasa bisa di sebut bid'ah.

Kesimpulan keriteria bid'ah adalah :


1. Baru
2. Masalah agama

16
3. Bertentangan dengan Syari'at

Mari kita kaji ulang beberapa isu yang dianggap bid'ah dengan alat
ukur ketiga keriteria tersebut :
1. Suara dalam zikir : bukan hal baru, masalah agama, tidak
bertentangan dengan syariat. Kesimpulah Bukan Bid'ah
2. Tahlilan : hal baru, masalah agama, tidak bertentangan
dengan syariat. Kesimpulan bukan Bid'ah

Demikian
Wallahu'alam bishowab

http://sandynata.wordpress.com/2006/10/10/bidah-dalam-islam/

Bid’ah dalam Islam


Posted on Oktober 10, 2006 by sandynata

Sebetulnya sudah lama saya ingin membicarakan masalah bid’ah ini. Tapi berhubung ada
beberapa kendala (1) sibuk (2) masih blank (3) materi belum terkumpul banyak (4) masih
dalam proses mendalami hal-hal yg berkaitan tentang bid’ah, sampai sekarang pun saya
masih belum bisa membahasnya secara lengkap. Alhamdulillah beberapa bulan yang lalu
saya menemukan blog yang bertemakan Islam, dan bagusnya lagi disitu telah dibahas
masalah bid’ah selain masalah lainnya seperti, akhlak, fiqh, hadist dll.

Bertepatan dengan Bulan Suci Ramadhan ini saya mencoba untuk sedikit saja “mencukil”
permasalahan Bid’ah dengan tujuan agar kita semua dapat menjalankan Ibadah yang
BENAR di bulan ini dalam artian ibadah yang di ridhoi oleh Allah SWT karena
sebanyak-banyak nya “ibadah” yang kita lakukan tapi tidak dapat ridho dari-Nya maka
sia-sia lah ibadah tersebut dan malah bisa menghapus amal ibadah kita lainnya.

Pertama-tama mari kita baca kembali firman Allah:

‫اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم اإلسالم دينا‬

Artinya:

“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan
atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridho Islam menjadi agamamu”. (QS Al Maaidah: 3).

Maka jelaslah disini bahwa Allah telah menyempurnakan Islam bagi umatNya. Kira-kira
apa sih arti kata SEMPURNA? silahkan anda sebagai makhluk ciptaanNya yg diberikan
Akal dan Pikiran mendefinisikan sendiri, namun saya yakin dari definisi yang anda
temukan sama dengan apa yang ada dipikiran saya, dan seharusnya dari pengertian kata
“sempurna” itu kita sadari bahwa TIDAK ADA KEKURANGAN SEDIKITPUN dalam

17
Islam baik itu hukum-hukumnya, ibadahnya dan sebagainya. Maka tidak ada SATU
ALASANPUN yang bisa diterima apabila ada orang yang melakukan “ibadah” yang
MELEBIHI/MENGADA-ADA dalam artian tidak ada/pernah dilakukan sebelumnya
seperti yang di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW (contoh terbaik/sebaik-baiknya
contoh bagi umat Islam) ataupun tertulis pada kitab suci Al-Qur’an. OK, coba kita
berpikir logis sebentar, sesuatu kegiatan yang dikatakan telah sempurna tapi kita
menambah2kan sesuatu tersebut (walaupun baik dari sudut pandang manusia) apakah
bukan berarti bahwa kita telah tidak mempercayai ke “sempurnaan” tersebut? Beranikah
kita sebagai muslim tidak mempercayai sebuah kesempurnaan yang dijamin sendiri oleh
Allah SWT yang dapat kita lihat dengan jelas pada ayat diatas?

Allah berfirman:
‫ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين‬

Artinya:

“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Kitab ( Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri”. (QS An Nahl: 89).

‫واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو واآلصال وال تكن من الغافلين‬
“Dan berzikirlah (sebutlah) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa
takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan senja, dan janganlah
kamu menjadi orang yang lalai”. (Al A’araf: 205)

Selebihnya silahkan baca lebih lanjut pembahasan salah satu Bid’ah tentang Zikir
Berjama’ah

InsyaAllah kita semua diberikan rahmat dan hidayahNya, apalagi ini bulan suci, alangkah
sayangnya jika kesempatan yang tidak bisa kita jamin sendiri akan kita temui tahun
depan ini kita jalani dengan hal hal yang justru tidak mendapat ridho dariNya.

Akhir kata, segala kebenaran yang ada hanyalah datang dariNya dan segala kesalahan
muncul dari diri saya sendiri, oleh karena itu saya mohon ma’af jika ada konteks pada
artikel ini yang kurang berkenan.

Selamat berpuasa!

update 23 Juli 2007


muslim.or.id – Awas bahaya Bid’ah
muslim.or.id – Bid’ah dan dampak jelek terhadap umat

Note: jika ada yang ingin tanya jawab saya persilahkan ajukan ke http://muslim.or.id.
Akan lebih tepat dan afdol jika mereka (yang lebih punya pengetahuan ketimbang saya)
yang menjawab pertanyaan-pertanyaan anda.

18
http://www.aswaja-nu.com/2010/03/meluruskan-kesalah-pahaman-konsep-bidah.html

Saturday, February 27, 2010

MELURUSKAN KESALAH-PAHAMAN KONSEP


BID'AH (Bagian ke Satu)

Iftitah

Entah apa yang menjadi penyebabnya, yang jelas akhir-akhir ini terdapat
kelompok di kalangan kaum muslimin yang memiliki kegemaran
mengkafirkan, mensyirikkan, membid'ahkan dan menyesatkan sesama
muslim yang lain. Kelompok ini beranggapan bahwa pemahaman Islam yang
paling murni dan paling benar adalah pemahaman mereka, sedangkan
pemahaman kelompok yang lain adalah keliru, sesat dan menyimpang dari
ajaran yang sebenarnya.

Energi kaum muslimin banyak terkuras dan bisa jadi habis gara-gara masalah
ini, padahal masih terlalu banyak yang bisa dipikirkan dan diperbuat untuk
kepentingan izzul Islam wa al-muslimin. Harus diakui bahwa sampai saat ini
mayoritas kaum muslimin masih hidup dalam kondisi " fakir", baik dari sisi
ekonomi, maupun dari sisi keilmuan. Memikirkan dan menuntaskan
permasalah ini dengan "kebersamaan" jauh lebih bermanfaat untuk
kepentingan Islam dibandingkan dengan "mengembangkan hobi"
menyesatkan kelompok Islam yang lain, karena kefakiran dapat
menjerumuskan seseorang kepada kekafiran.

Hal ini bukan berarti permasalahan bid'ah, syirik, kafir dan lain sebagainya
tidak penting. Wacana ini tetap penting, Akan tetapi, harus ditempatkan pada
kerangka permasalahan yang "furu'iyah" dan "mukhtalaf fih". Maksudnya,
masing-masing kelompok memiliki argumentasi dan oleh sebab itu tidak
diperlukan sifat saling menyalahkan, apalagi saling menyesatkan. Bukankah
kaidah fiqh mengatakan : la yunkaru al-mukhtalafu fihi wa innama yunkaru al-
mujma'u alaihi.

Perbedaan pendapat tentang permasalahan agama sangat mudah dirunut


dan diklarifikasi, karena semua proses ijtihad yang dilakukan oleh siapapun
harus sesuai dengan logika dan kaidah ijtihad yang sudah disepakati

19
bersama.

Seputar permasalahan bid'ah

Untuk memperjelas permasalahan bid'ah, maka perlu ditegaskan terlebih


dahulu definisi bid'ah, kemudian dilanjutkan dengan pembagian dan
permasalahan lain yang biasa diperbincangkan seputar bid'ah. Hal ini perlu
dilakukan agar masing-masing kelompok yang berselisih memiliki konsep dan
kriteria yang sama tentang permasalahan yang sedang diperselisihkan.

Harus diakui bahwa definisi bid'ah merupakan sesuatu yang tidak pernah
ditegaskan oleh rasulullah SAW. Rasulullah di dalam haditsnya hanya
menyebutkan lafadz bid'ah dan tidak pernah menjelaskan sama sekali apa
yang dimaksud dengan lafadz tersebut dan apa pula kriterianya. Hal ini
penting untuk ditegaskan terlebih dahulu, karena dengan demikian tidak
boleh ada kelompok yang merasa paling benar, apalagi sampai menyesatkan
kelompok yang lain, hanya gara-gara masalah bid'ah yang bersifat mukhtalaf
fih.

Hadits nabi yang di dalamnya terdapat lafadz bid'ah diantaranya adalah :

‫َح َّد َث َن ا َع ْبُد ِهَّللا ْبُن َأْح َم َد ْب ِن َبِش يِر ْب ِن َذ ْك َو اَن الِّد َم ْش ِقُّي َح َّد َث َن ا اْلَو ِليُد ْبُن ُمْس ِلٍم َح َّد َث َن ا َع ْبُد ِهَّللا ْبُن اْلَع اَل ِء َح َّد َث ِني َي ْح َي ى‬
‫ْبُن َأِبي اْلُم َط اِع َق اَل َس ِمْع ُت اْلِعْر َب اَض ْب َن َس اِر َي َة َي ُقوُل َق اَم ِفيَن ا َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َذ اَت َي ْو ٍم َفَو َع َظ َن ا‬
‫َم ْو ِع َظ ًة َب ِليَغ ًة َو ِج َلْت ِم ْن َه ا اْلُقُلوُب َو َذ َر َفْت ِم ْن َه ا اْلُعُيوُن َفِقيَل َي ا َر ُسوَل ِهَّللا َو َع ْظ َتَن ا َم ْو ِع َظ َة ُم َو ِّد ٍع َفاْع َه ْد ِإَلْي َن ا ِبَع ْهٍد‬
‫َفَقاَل َع َلْي ُك ْم ِبَت ْق َو ى ِهَّللا َو الَّسْم ِع َو الَّط اَع ِة َو ِإْن َع ْب ًد ا َح َبِش ًّي ا َو َس َت َر ْو َن ِمْن َب ْع ِدي اْخ ِتاَل ًف ا َش ِديًد ا َفَع َلْي ُك ْم ِبُس َّن ِتي َو ُس َّن ِة‬
‫اْلُخَلَفاِء الَّر اِش ِديَن اْلَم ْهِدِّييَن َع َََُّض وا َع َلْي َه ا ِبالَّن َو اِج ِذ َو ِإَّياُك ْم َو اُأْلُموَر اْلُمْح َد َث اِت َفِإَّن ُك َّل ِبْد َع ٍة َض اَل َلٌة‬

Jadi, tentang apa yang dimaksud dengan bid'ah tidak ada panduan dari nabi,
sehingga masing-masing kelompok memiliki pandangan sendiri-sendiri dan
sampai sekarang nampaknya masih sulit untuk dipertemukan. Merupakan
perbuatan atau tindakan yang sangat naïf, gegabah dan sembrono ketika
seseorang menyesatkan, mengkafirkan sesama muslim yang lain hanya
didasarkan kepada dugaan yang belum pasti kebenarannya, Lebih-lebih
apabila kelompok yang dituduh sesat juga memiliki dasar argumentasi yang
kuat.

Kelompok wahabi dan yang semadzhab dengannya mengidolakan definisi


yang ditawarkan oleh Imam Syatibi (seorang tokoh ulama dari kalangan
malikiyah yang berpendapat bahwa semua bid'ah dalam urusan agama
adalah sesat) dan menganggapnya sebagai definisi yang paling jami' dan
mani' (ilmu ushul al-bida' : 24). Tentu saja pilihan dan penilaian mereka
terhadap definisi Syatibi sebagai yang paling jami' dan mani' sangat
tendensius, tidak memiliki parameter yang jelas dan dipengaruhi kepentingan
mereka.

20
Setiap definisi yang ditawarkan oleh ulama, meskipun tingkat kepakarannya
tidak diragukan lagi selalu saja ditolak atau ditafsiri lain oleh kalangan wahabi
dan dianggap kurang jami' dan mani'. Ada dua definisi tentang bid'ah yang
ditawarkan oleh Imam Syatibi yaitu :

‫فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة‬ ‫تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد هلل‬
‫سبحانه‬

"bid'ah merupakan ungkapan untuk sebuah jalan/metode di dalam agama


yang merupakan kreasi baru (sebelumnya tidak ada) dan menyerupai
syari'ah. Tujuan melakukannya dimaksudkan untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah"

‫البدعة‬ ‫طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية‬

"bid'ah adalah jalan/metode di dalam agama yang merupakan kreasi baru


(sebelumnya tidak ada). Tujuan melakukannya sama seperti tujuan
melakukan jalan/metode syariat"
Dari definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi di atas, ada beberapa hal
yang menjadi persyaratan sebuah perilaku seseorang atau kelompok
dikatakatan sebagai perbuatan bid'ah, yaitu :

1. merupakan "al-thariqah fi al-din" (jalan/metode di dalam agama)


2. harus mukhtara'ah (merupakan kreasi baru)
3. harus tudlahy al-syar'iyah (menyerupai syariah)
4. bertujuan (mubalaghah) berlebih-lebihan dalam beribadah
5. tujuan melakukannya sama dengan tujuan melakukan syari'at

Definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi ini, meskipun dianggap definisi
yang paling komprehensip menurut kalangan wahabi, akan tetapi dari sisi
aplikasi akan terlihat kelemahannya, sehingga menjadi sulit untuk diterapkan.
Dikatakan sulit untuk diterapkan, karena dengan definisi ini terpaksa kita
harus berani menganggap para sahabat nabi (Umar dalam kasus shalat
tarawih dan bacaan talbiyah, Ustman dalam kasus adzan Jum'at dua kali dan
banyak sahabat nabi yang lain yang melakukan kreasi dalam bidang
keagamaan) sebagai mubtadi'in (orang-orang yang ahli bid'ah yang sesat dan
calon penghuni neraka).

Menyadari definisi ini memiliki kelemahan, pada akhirnya mereka terpaksa


melakukan taqsimul bid'ah, sehingga terpaksa juga pada akhirnya mereka
mengakui –meskipun tidak terus terang- bahwa lafadz ‫ كل‬yang terdapat di
dalam hadits di atas adalah lafadz 'Amm yang urida bihi al-khusus

Sebagai bandingan dari definisi yang biasa dijadikan sebagai pegangan oleh
kalangan wahabi di atas, perlu juga ditampilkan definisi yang ditawarkan oleh

21
ulama yang lain yang biasa kita jadikan sebagai pegangan . Diantaranya
adalah :

Al-Imam Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, ulama terkemuka dalam


madzhab Syafi’i. beliau mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id Al-
Ahkam sebagai berikut:

‫َاْلِبْد َع ُة ِفْع ُل َم ا َلْم ُيْع َه ْد ِفْي َع ْص ِر َر ُسْو ِل ِهللا‬

“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada
masa Rasulullah ”. (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/172).

Al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarah Al-Nawawi, hafizh


dan faqih dalam madzhab Syafi’i, dan karya-karyanya menjadi kajian dunia
Islam seperti Syarh Shahih Muslim, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Riyadh
Al-Shalihin dan lain-lain. Beliau mendefinisikan bid’ah segai berikut:

‫ِهَي ِإْح َد اُث َم ا َلْم َي ُك ْن ِفْي َعْهِد َر ُسْو ِل ِهللا‬

“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada ”.
(Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, ).masa Rasulullah

Pembagian bid'ah

Taqsim al-bid'ah atau pembagian bid'ah merupakan wacana yang sensitive


dan banyak menyita perhatian, karena sampai saat ini ternyata kaum
muslimin belum satu suara. Maksudnya, ada kelompok yang berpendapat
bahwa semua bid'ah adalah sesat dan tidak terkecuali; sementara ada
kelompok lain yang berpendapat bahwa tidak semua bid'ah adalah sesat; ada
yang hasanah, ada yang sayyi'ah.

Sumber perbedaan pendapat tentang masalah ini, ternyata bermuara pada


penafsiran hadits di atas, khususnya menyangkut matan hadits yang berbunyi
:

‫َو ِإَّياُك ْم َو اُأْلُموَر اْلُمْح َد َث اِت َف ِإَّن ُك َّل ِبْد َع ٍة َض اَل َلٌة‬

Di dalam teori ilmu ushul fiqh, kita mengetahui bahwa lafadz ‫ كل‬merupakan
salah satu bentuk lafadz 'am. Permasalahannya kemudian adalah apakah
lafadz ‫ كل‬yang ada di dalam hadits harus diberlakukan sesuai dengan
keumuman lafadz, atau dianggap sebagai lafadz 'am, akan tetapi yang
dikehendaki adalah khusus. Satu kelompok berpandangan bahwa lafadz ‫كل‬
harus diberlakukan sesuai dengan keumuman lafadz; sedangkan kelompok
lain berpendangan bahwa lafadz ‫ كل‬di dalam hadits adalah lafadz yang
umum, akan tetapi yang dikehendaki adalah khusus (‫) عام اريد به الخصوص‬

22
Pandangan pertama biasa ditawarkan oleh kelompok wahabi dan madzhab
yang sejenis, sebagaimana yang ditegaskan oleh salah satu ulama mereka
yang berbunyi :

‫ َأَف َب ْع َد َهِذِه اْلُك ِّلَّيِة َيِص ُّح‬،)‫ ُم َس َّو َر ٌة ِبَأْق َو ى َأَد َو اِت الُّش ُمْو ِل َو اْلُعُمْو ِم (ُك ٌّل‬، ‫ َش اِم َلٌة‬، ‫ َع اَّم ٌة‬، ‫َقْو ُلُه (ُك ُّل ِبْد َع ٍة َض َالَلٌة ) ُك ِّلَّي ٌة‬
‫ اِإلْبَد اع في‬،‫ (محمد بن صالح العثيمين‬.‫ َأْو ِإَلى َأْق َس اٍم َخ ْم َس ٍة؟ َأَب ًد ا َه َذ ا َال َيِص ُّح‬،‫َأْن ُنَقِّس َم اْلِبْد َع َة ِإَلى َأْق َس اٍم َث َالَث ٍة‬
)13/‫ ص‬،‫َك َم ال الَّش ْر ع وَخ َط ِر االبتداع‬.

“Hadits “semua bid’ah adalah sesat”, bersifat global, umum, menyeluruh


(tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti
menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “‫( كل‬semua)”. Apakah
setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi
tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah
benar.” (Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa
Khathar Al-Ibtida’, hal. 13)

Wednesday, March 3, 2010

MELURUSKAN KESALAH-PAHAMAN KONSEP


BID'AH (Bagian ke Dua)

Sedangkan pandangan yang kedua ditawarkan oleh kalangan ulama ahlu al-
sunnah wa al-jama'ah. Al-Imam Al-Nawawi menyatakan:

‫ْل‬ ‫ْل‬ ‫ٌة َذ‬ ‫ُل‬


‫َقْو ُه َو ُك ُّل ِبْد َع ٍة َض َالَل َه ا َع اٌّم َم ْخ ٍُصْو ٌص َو ا ُم َر اُد َغ اِلُب ا ِبَد ِع‬.

“Sabda Nabi SAW, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum
yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah
sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim,
6/154).

Menfungsikan lafadz ‫ كل‬sebagai lafadz ‘amm yang bukan makhshush, akan


menjadikan ruang gerak kaum muslimin sangat sempit dan akan selalu
berhadapan dengan kesulitan yang cukup luar biasa. Padahal, sifat dasar dari
agama ini adalah yusrun dan rahmatan li al-alamin. Pikiran kritis ini harus
dimajukan karena memang memungkinkan untuk menganggap lafadz ‫ كل‬yang

23
termasuk dalam kategori lafadz ’amm sebagai 'amm yang makhshush.
Realitas semacam ini sangat banyak kita temukan di dalam al-qur’an,
diantaranya :

)79 : ‫َو َك اَن َو َر اَء ُه ْم َمِلٌك َي ْأُخ ُذ ُك َّل َس ِفيَن ٍة َغ ْص ًبا( الكهف‬

Ayat di atas menceritakan tentang perilaku nabi Hidlir yang merusak perahu
yang ditumpanginya dan kemudian diprotes oleh nabi Musa. Nabi Hidlir
memberikan penjelasan bahwa beliau melakukan hal itu lebih disebabkan
karena ada raja yang selalu mengambil perahu secara paksa.

Kalau seandainya lafadz ‫ كل‬yang ada di dalam ayat di atas diartikan sesuai
dengan kedudukannya sebagai lafadz ‘amm - sehingga meliputi seluruh
perahu- , baik yang bagus maupun yang jelek, maka tindakan yang dilakukan
oleh nabi Hidlir adalah merupakan tindakan yang sia-sia, karena meskipun
perahunya dirusak, maka raja yang ada di belakangnya tetap akan
merampas. Logika ini pada akhirnya mengantarkan kita bahwa yang
dimaksud dengan lafadz ‫ كل‬dalam ayat di atas adalah makhshush. Dan masih
banyak contoh-contoh yang lain untuk lafadz ‘amm yang makhshush.

Menjadikan klasifikasi bid’ah menjadi dua yaitu sayyi’ah dan hasanah juga
didukung oleh hadits-hadits yang lain, diantaranya :

‫َح َّد َث َن ا َأُبو ُم َع اِو َي َة َح َّد َث َن ا اَأْلْع َم ُش َع ْن ُمْس ِلٍم َي ْع ِني اْب َن ُص َب ْي ٍح َع ْن َع ْبِد الَّر ْح َم ِن ْب ِن ِه اَل ٍل اْلَع ْبِس ِّي َع ْن َج ِر يِر ْب ِن َع ْبِد‬
‫ِهَّللا َق اَل َخ َط َب َن ا َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَح َّث َن ا َع َلى الَّصَد َقِة َف َأْب َط َأ الَّن اُس َح َّت ى ُر ِئَي ِفي َو ْج ِه ِه اْلَغ َض ُب َو َقاَل‬
‫َمَّر ًة َح َّت ى َب اَن ُثَّم ِإَّن َر ُج اًل ِمْن اَأْلْن َص اِر َج اَء ِبُصَّر ٍة َفَأْع َط اَه ا ِإَّياُه ُثَّم َتَت اَبَع الَّن اُس َفَأْع َط ْو ا َح َّت ى ُر ِئَي ِفي َو ْج ِه ِه‬
‫الُّسُروُر َفَقاَل َم ْن َس َّن ُس َّن ًة َح َس َن ًة َك اَن َلُه َأْج ُر َه ا َو ِم ْث ُل َأْج ِر َم ْن َعِمَل ِبَه ا ِمْن َغ ْي ِر َأْن ُيْن َتَقَص ِمْن ُأُجوِر ِه ْم َش ْي ٌء‬
‫َو َم ْن َس َّن ُس َّن ًة َس ِّي َئ ًة َك اَن َع َلْيِه ِو ْز ُر َه ا َو ِم ْث ُل ِو ْز ِر َم ْن َعِمَل ِبَه ا ِمْن َغ ْي ِر َأْن ُيْن َتَقَص ِمْن َأْو َز اِر ِه ْم َش ْي ٌء َقاَل َمَّر ًة‬
‫َي ْع ِني َأَب ا ُم َع اِو َي َة ِمْن َغ ْي ِر َأْن َي ْنُقَص‬

Kelompok yang menentang terhadap pembagian bid’ah menjadi hasanah dan


sayyi’ah masih beranggapan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk klasifikasi bid’ah

24
‫‪menjadi sayyi’ah dan hasanah, karena lafadz yang digunakan oleh hadits‬‬
‫‪ tidak dapat diterjemahkan dengan‬سن ‪ dan lafadz‬من ابتدع ‪ bukan‬من سن ‪adalah‬‬
‫‪ .‬ابتدع ‪lafadz‬‬

‫‪pertanyaan selanjutnya yang perlu kita majukan adalah apakah memang‬‬


‫‪demikian ? Ada beberapa penjelasan dan pandangan ulama yang perlu‬‬
‫‪diperhatikan dalam menyelesaikan masalah ini diantaranya :‬‬

‫َأْل‬
‫َح َّد َث َن ا َأُبو َب ْك ِر ْبُن َأِبي َش ْي َب َة َو ُم َح َّم ُد ْبُن َع ْبِد ِهَّللا ْب ِن ُنَم ْي ٍر َو الَّلْف ُظ اِل ْب ِن َأِبي َش ْي َب َة َق ااَل َح َّد َث َن ا َأُبو ُم َع اِو َي َة َع ْن ا ْع َم ِش‬
‫َع ْن َع ْبِد ِهَّللا ْب ِن ُمَّر َة َع ْن َم ْس ُروٍق َع ْن َع ْبِد ِهَّللا َق ال َق اَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اَل ُتْق َت ُل َن ْف ٌس ُظْلًما ِإاَّل َك اَن‬
‫َع َلى اْب ِن آَد َم اَأْلَّو ِل ِك ْف ٌل ِمْن َد ِمَه ا َأِلَّن ُه َك اَن َأَّو َل َم ْن َس َّن اْلَقْت َل و َح َّد َث َن اه ُع ْث َم اُن ْبُن َأِبي َش ْي َب َة َح َّد َث َن ا َج ِر يٌر ح و‬
‫َأْل‬
‫َح َّد َث َن ا ِإْس َح ُق ْبُن ِإْب َر اِهيَم َأْخ َبَر َن ا َج ِر يٌر َو ِع يَس ى ْبُن ُيوُنَس ح و َح َّد َث َن ا اْبُن َأِبي ُع َمَر َح َّد َث َن ا ُس ْف َي اُن ُك ُّلُهْم َع ْن ا ْع َم ِش‬
‫ِبَه َذ ا اِإْلْس َن اِد َو ِفي َح ِديِث َج ِر يٍر َو ِع يَس ى ْب ِن ُيوُنَس َأِلَّن ُه َس َّن اْلَقْت َل َلْم َي ْذ ُك َر ا َأَّو َل َقْو له َص َّلى هَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ‪ ( :‬اَل‬
‫ُتْق َت ُل َن ْف ٌس ُظْلًما ِإاَّل َك اَن َع َلى ِاْبن آَد م اَأْلَّو ل ِك ْف ٌل ِم ْن َه ا ؛ َأِلَّن ُه َك اَن َأَّو ل َم ْن َس َّن اْلَقْت ل ) ‪ ( ،‬اْلِك ْف ل ) ‪ِ :‬بَك ْس ِر اْلَك اف ‪:‬‬
‫اْلُج ْز ء َو الَّن ِص يب ‪َ ،‬و َق اَل اْلَخ ِليل ‪ُ :‬ه َو الِّضْع ف ‪َ.‬و َه َذ ا اْلَح ِديث ِمْن َقَو اِعد اِإْلْس اَل م ‪َ ،‬و ُه َو ‪َ :‬أَّن ُك ّل َم ْن ِاْب َت َد َع َش ْي ًئ ا‬
‫ِمْن الَّش ّر َك اَن َع َلْيِه ِم ْث ل ِو ْز ر ُك ّل َم ْن ِاْق َت َد ى ِبِه ِفي َذ ِلَك اْلَع َم ل ِم ْث ل َع َم له ِإَلى َي ْو م اْلِقَي اَم ة ‪َ ،‬و ِم ْث له َم ْن ِاْب َت َد َع َش ْي ًئ ا‬
‫ِمْن اْلَخ ْير َك اَن َلُه ِم ْث ل َأْج ر ُك ّل َم ْن َي ْع َم ل ِبِه ِإَلى َي ْو م اْلِقَي اَم ة ‪َ ،‬و ُه َو ُم َو اِفق ِلْلَح ِديِث الَّصِحيح ‪َ " :‬م ْن َس َّن ُس َّن ة‬
‫َح َس َن ة َو َم ْن َس َّن ُس َّن ة َس ِّي َئ ة " َو ِلْلَح ِديِث الَّصِحيح " َم ْن َد َّل َع َلى َخ ْير َفَلُه ِم ْث ل َأْج ر َف اِع له " َو ِلْلَح ِديِث الَّصِحيح ‪" :‬‬
‫َم ا ِمْن َد اٍع َي ْد ُعو ِإَلى ُه ًد ى َو َم ا ِمْن َد اٍع َي ْد ُعو ِإَلى َض اَل َلة " ‪َ .‬و ُهَّللا َأْع َلم ‪ ( .‬شرح النووي على مسلم ‪ :‬ج ‪:6‬‬
‫‪)88‬‬

‫‪Hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan diberi syarah oleh‬‬
‫‪ sangat‬سن ‪Imam Nawawi menegaskan secara kongrit bahwa lafadz‬‬
‫‪ dan terjemahan yang‬ابتدع ‪memungkinkan untuk diterjemahkan dengan lafadz‬‬
‫‪benar memang demikian, sehingga tidak ada alasan untuk menolak hadits‬‬
‫‪yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas sebagai dasar bahwa klasifikasi‬‬
‫‪bid’ah memang ada dua; yaitu sayyi’ah dan hasanah.‬‬

‫;‪Hadits lain yang patut dipertimbangkan bahwa klasifikasi bid’ah ada dua‬‬
‫‪yaitu sayyi’ah dan hasanah adalah :‬‬

‫َك ِثيِر ْب ِن َع ْبِد ِهَّللا ُه َو‬ ‫َح َّد َث َن ا َع ْبُد ِهَّللا ْبُن َع ْبِد الَّر ْح َم ِن َأْخ َبَر َن ا ُم َح َّم ُد ْبُن ُع َي ْي َن َة َع ْن َم ْر َو اَن ْب ِن ُم َع اِو َي َة اْلَفَز اِر ِّي َع ْن‬
‫اْلَح اِر ِث اْع َلْم َق اَل َم ا‬ ‫اْبُن َع ْم ِر و ْب ِن َع ْو ٍف اْلُم َز ِنِّي َع ْن َأِبيِه َع ْن َج ِّد ِه َأَّن الَّن ِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َق اَل ِلِباَل ِل ْب ِن‬

‫‪25‬‬
‫َأْع َلُم َي ا َر ُسوَل ِهَّللا َق اَل اْع َلْم َي ا ِباَل ُل َقاَل َم ا َأْع َلُم َي ا َر ُسوَل ِهَّللا َق اَل ِإَّن ُه َم ْن َأْح َي ا ُس َّن ًة ِمْن ُس َّن ِتي َقْد ُأِم يَتْت َب ْع ِدي َفِإَّن‬
‫ُأ‬
‫َلُه ِمْن اَأْلْج ِر ِم ْث َل َم ْن َعِمَل ِبَه ا ِمْن َغ ْي ِر َأْن َي ْنُقَص ِمْن ُجوِر ِه ْم َش ْي ًئ ا َو َم ْن اْب َت َد َع ِبْد َع َة َض اَل َلٍة اَل ُتْر ِض ي َهَّللا‬
‫َو َر ُسوَلُه َك اَن َع َلْيِه ِم ْث ُل آَث اِم َم ْن َع ِمَل ِبَه ا اَل َي ْنُقُص َذ ِلَك ِمْن َأْو َز اِر الَّن اِس َش ْي ًئ ا َق اَل َأُبو ِع يَس ى َه َذ ا َح ِديٌث َح َس ٌن‬
‫َو ُم َح َّم ُد ْبُن ُع َي ْي َن َة ُه َو َمِّصيِص ٌّي َش اِمٌّي َو َك ِثيُر ْبُن َع ْبِد ِهَّللا ُه َو اْبُن َع ْم ِر و ْب ِن َع ْو ٍف اْلُم َز ِنُّي‬

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy yang menurut Abu
Isa di dalam kitab Tuhfat al-Ahwadziy juz : 6 / 476 berkwalitas hasan, secara
jelas kita lihat bahwa lafadz ‫ بدعة‬oleh nabi tidak diucapkan secara mutlak,
akan tetapi diucapkan dengan menggunakan qayyid. Hal ini bisa disimpulkan
bahwa bid’ah memang ada dua; bid’ah yang dlalalah dan bid’ah yang tidak
dlalalah atau dalam bahasa yang umum bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah.

Karena adanya dalil tentang masalah ini yang menyebutkan bid’ah secara
muqayyad, maka memungkinkan untuk membawa dalil yang menyebutkan
bid’ah secara mutlak- sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad di atas- untuk dibawa dan ditafsiri dengan dalil yang menyebutkan
bid’ah secara muqayyad. Metode semacam ini dalam istilah ushul fiqh
terkenal dengan sebutan “hamlu al-mutlaq ‘ala al-muqayyad” Karena analisis
di atas, maka tidak heran apabila jumhur al-ulama membagi bid’ah menjadi
dua; yaitu bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah.

Memperhatikan data, argumentasi dan realitas yang terjadi, pembagian bid'ah


merupakan sebuah keniscayaan. Apabila ini tidak dilakukan, maka kelompok
manapun akan sulit mencari benang merah terhadap kreasi al-thariqah fi al-
din yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi berikutnya. Karena
demikian, maka pada akhirnya semua melakukan pembagian bid'ah
meskipun dengan nama yang berbeda, akan tetapi substansinya sama.

Banyak pembagian bid'ah yang ditawarkan oleh ulama dari berbagai


madzhab yang kesimpulannya adalah :

1) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :

26
a. bid'ah syar'iyah, yaitu bid'ah yang tidak memiliki landasan dan dalil dalam
agama. Hal ini berarti menambahi syari'at agama. Tidak diragukan lagi bahwa
hal ini dilarang (manhaj al-salaf :338, Ilmu ushul al-bida' : 95)

b. bid'ah lughawiyah, yaitu sebuah perbuatan yang secara bahasa disebut


bid'ah, akan tetapi substansinya memiliki landasan dan dalil di dalam agama.

2) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid'ah diniyah, yaitu bid'ah yang berkaitan dengan permasalahan agama.

b. bid'ah dunyawiyah, yaitu bid'ah yang berkaitan dengan masalah dunia


(bukan agama)

3) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid'ah haqiqiyah, yaitu bid'ah yang tidak didukung oleh dalil.

b. bid'ah idlafiyah, yaitu bid'ah yang memiliki dua sisi; satu sisi ia didukung
oleh dalil, akan tetapi dari sisi yang lain tidak didukung oleh dalil.

4) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :

a. bid'ah hasanah

b. bid'ah sayyi'ah

Pembagian bid'ah dari yang pertama sampai yang ketiga kurang biasa kita b
dengar karena pembagian ini memang sering kali ditawarkan oleh kelompok
wahabi dan yang semadzhab. Sedangkan pembagian yang keempat adalah
pembagian yang cukup familiar di telinga kita karena memang ditawarkan
oleh jumhur ulama yang menjadi panutan kita.

27
Tentang pembagian ini ada kesimpulan menarik yang ditawarkan oleh Sayyid
Muhammad bin Alwi al-Maliki yang berbunyi :

‫ولذلك فإن تقسيم البدعة إلى حسنة وسيئة في مفهومنا ليس إال للبدعة اللغوية التي هي مجرد االختراع واإلحداث‬
‫ ولو فهم‬، ‫ وال نشك جميعًا في أن البدعة بالمعنى الشرعي ليست إال ضاللة وفتنة مذمومة مردودة مبغوضة‬،
‫ وزيادة في التقريب بين‬. ‫أولئك المنكرون هذا المعنى لظهر لهم أن محل االجتماع قريب وموطن النزاع بعيد‬
، ‫األفهام أرى أن منكري التقسيم إنما ينكرون تقسيم البدعة الشرعية بدليل تقسيمهم البدعة إلى دينية ودنيوية‬
‫ وأن القائلين بالتقسيم إلى حسنة وسيئة يرون أن هذا إنما هو بالنسبة للبدعة اللغوية‬. ‫واعتبارهم ذلك ضرورة‬
‫ وال شك في ذلك عندهم فالخالف شكلي‬، ‫ إن الزيادة في الدين والشريعة ضاللة وسيئة كبيرة‬: ‫ألنهم يقولون‬

"karena itu, sesungguhnya pembagian bid'ah pada bid'ah hasanah dan


sayyi'ah dalam konsep kita tidak lain kecuali diarahkan untuk bid'ah
lughawiyah yang hanya semata-mata kreasi baru (yang tidak bnertentangan
dengan al-qur'an dan al-hadits). Kita semua tidak ragu bahwa bid'ah dalam
arti syar'iy tidak ada kemungkinan lain kecuali sesat, fitnah, tercecela dan
tertolak.

Seandainya mereka yang ingkar memahami hal ini, maka akan tampak bagi
mereka bahwa ruang dan kesempatan untuk bersatu menjadi dekat dan
terbuka dan peluang untuk perselisihan menjadi jauh"… (nambah komentar
dalam rangka mendekatkan diantara pemahaman yang berkembang) saya
berpandangan bahwa kelompok yang mengingkari pembagian bid'ah
hanyalah hanyalah dalam konteks pembagian bid'ah syar'iyah dengan bukti
mereka terpaksa membagi bid'ah menjadi diniyah dan dunyawiyah.

Kelompok yang membagi bid'ah menjadi hasanah dan sayyi'ah tidak lain
diarahkan untuk bid'ah lughawiyah karena mereka berpandangan bahwa
menambah agama dan syariat merupakan kesesatan dan kejelekan yang
besar. Karena demikian tidak diragukan lagi bahwa perbedaan pendapat
yang terjadi hanya pada permasalahan kulit, bukan substansi"

http://www.aswaja-nu.com/2010/02/tahlilan-dan-ziarah-
kubur-larangan-atau.html

28
Tuesday, February 16, 2010

TAHLILAN DAN ZIARAH KUBUR, LARANGAN ATAU


ANJURAN ? (Bagian ke- Satu)

Sebenarnya permasalahan ini merupakan permasalahan yang cukup usang


dan sudah lama diperdebatkan. Akan tetapi dirasa perlu untuk diangkat
kembali karena ada pergeseran isu yang cukup substantive, yaitu dari furu'
menuju ushul. Maksudnya, pada awalnya permasalahan ini dianggap sebagai
permasalahan furu'iyah, sehingga masing-masing pihak yang berdebat tidak
saling mengkafirkan dan mensyirikkan, dan kemudian berubah menjadi
permasalahan ushul, sehingga pihak-pihak yang tidak setuju terhadap ziarah
kubur dan tahlilan mengkafirkan dan mensyirikkan para pelakunya.

Semua pasti sepakat bahwa syirik dan kafir adalah hal yang mesti harus
dijauhi dan dihindari. Semua muslim dari manapun kelompok dan
organisasinya pasti marah apabila keislaman dan keimanannya dianggap
tercemar dan berlumuran dengan Lumpur kesyirikan dan kekafiran. Demikian
juga halnya dengan kita warga nahdliyin, akan marah dan jengkel ketika
keislaman dan keimanan kita dianggap berlumuran dengan Lumpur
kesyirikan dan kekafiran. Dalam konteks inilah sebenarnya LBM NU cabang
Jember secara intensif melakukan kajian-kajian terhadap tradisi amaliyah
nahdliyah dan melakukan advokasi terhadapnya dengan sebuah keyakinan
bahwa para pendiri Nahdlatul Ulama adalah sosok ulama yang tingkat
keislaman, keimanan, keilmuan dan keikhlasannya tidak perlu diragukan lagu,
sehingga dalam menerima dan melanggengkan amaliyah nahdliyah beliah-
beliau pasti selektif dan didasarkan pada sebuah ilmu, tidak ngawur,
serampangan apalagi sembrono. Dengan tingkat keilmuan dan keikhlasan
yang dimiliki pasti beliau-beliau itu lebih takut dosa dan neraka dibandingkan
dengan kita, dan mungkin saja dibandingkan dengan mereka para penyerang
tradisi amaliyah nahdliyah.

Semua permasalahan apabila dinisbahkan kepada Islam pasti sangat mudah


untuk menyelesaikannya. Karena, semua keputusan hukum di dalam Islam

29
harus selalu ada cantolan dalilnya. Seseorang tidak dapat memubahkan,
mewajibkan, mengharamkan, mensunnahkan dan memakruhkan sesuatu
apabila tidak ada cantolan dalil dan argumentasinya. Demikian juga halnya
dengan para pendukung dan penentang amaliyah tahlilan dan ziarah kubur
harus mendasarkan pandangannnya pada dalil-dalil yang absah, tidak boleh
hanya didasarkan pada logika, hayalan dan lamunan saja.
Tulisan pendek ini mencoba untuk mengurai dasar-dasar argumentatif
amaliyah nahdliyah yang biasa kita lakukan khususnya berkaitan dengan
tahlil dan ziarah kubur.
Tradisi Tahlilan dan Analisis Argumentasi
Kata "tahlilan" merupakan bentuk masdar dari fi'il madli "hallala" yang berarti
mengucapkan ‫ الاله االهللا‬. Dari sisi istilah, kata tahlilan bisa jadi didefinisikan dan
digambarkan dengan sebuah bentuk ritual keagamaan yang berbentuk majlis
dzikir dengan menggunakan bacaan-bacaan dzikir tertentu dan
menghadiahkan pahalanya untuk si mayit. Biasanya majlis dzikir ini diadakan
pada waktu malam jum'at atau malam setelah kematian seseorang, atau juga
bisa dilaksanakan pada saat haul atau yang lain. Yang jelas, kapan ritual ini
harus dilaksanakan dan modelnya bagaimana tidak ada aturan dan ketentuan
yang pasti. Bisa jadi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain
memiliki teknis dan kaifiyah yang berbeda.

Biasanya sebab dan alasan kenapa tahlilan harus di tolak oleh para
penentangnya bermuara pada argumentasi sebagai berikut :

•Tahlilan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena


demikian dianggap bid'ah.

•Tahlilan merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian


dianggap tasyabbuh bi al-kuffar

•Tahlilan dianggap merepotkan dan memberatkan keluarga mayat,


karena di dalam tahlilan pasti selalu ada jamuan
•Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian

30
dianggap "niyahah" (meratap)

•Di dalam tahlilan pasti ada unsur tawasul.

Argumentasi-argumentasi para penentang di atas adalah argumentasi klasik


yang sudah ditanggapi berkali-kali. Akan tetapi, karena sejak awal bersikap
tazkiyat al-nafsi (menganggap dirinya yang paling benar), maka penjelasan
yang diberikan tidak berdampak dan berpengaruh sama sekali. Namun
demikian, dalam kesempatan ini akan kita jelaskan sekali lagi mengenai
kesalah-pahaman mereka yang dituduhkan kepada kita.

•Tahlilan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena demikian


dianggap bid'ah.
Memang harus diakui bahwa kata "tahlilan" sebagai sebuah bentuk tradisi
seperti yang kita pahami sekarang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah
SAW, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi tahlilan adalah dzikir
berjamaah dan berdoa untuk si mayit. Dzikir berjamaah dan berdoa untuk si
mayit yang muslim supaya mendapatkan pengampunan dari Allah -tidak
diragukan lagi- terlalu banyak penjelasannya di dalam al-Qur'an dan al-
Hadits, diantaranya adalah :

oDari al-Qur'an

Surat al-Hasyr : 10

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),


mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara
kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau
membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang
beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang."

31
Surat Muhammad : 19

"Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan)


selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-
orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat kamu tinggal".

oDari al-Hadits

• ‫ قال النبي صلى هللا عليه وآله وسلم «ال يقعد قوم‬:‫وعن أبي سعيد الخدري وأبي هريرة رضي هللا عنهما قاال‬
‫»يذكرون هللا عز وجل إال حفتهم المالئكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم هللا فيمن عنده‬
Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah saw.
bersabda: “Tidak ada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir
kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di
turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat
yang ada disisi-Nya”.

• ‫َو ِمْن َح ِديث ُم َع اِو َي ة َر َفَع ُه َأَّن ُه َق اَل ِلَج َم اَع ٍة َج َلُسوا َي ْذ ُك ُروَن هَّللا َت َع اَلى " َأَت اِني ِج ْب ِر يل َف َأْخ َبَر ِني َأَّن هَّللا ُيَب اِهي ِبُك ْم‬
‫ " اْلَم اَل ِئَك ة‬.
" Dari hadits Mu'awiyah yang dihukumi marfu', dia berkata "Nabi bersabda
untuk para jama'ah yang duduk berdzikir kepada Allah: " malaikat Jibril
datang kepadaku dan menginformasikan bahwa Allah membanggakan kamu
kepada malaikat"

oDari Logika

‫إن الجماعة قوة قال هللا تعالى واعتصموا بحبل هللا جميعا وال تفرقوا والحجارة ال يستطيع كسرها إال الجماعة‬
‫وقد شبه هللا تعالى القلوب القاسية بالحجارة في شدة قساوتها فقال عز من قائل ثم قست قلوبكم من بعد ذلك فهي‬
‫كالحجارة أو أشد قسوة فكما أن الحجارة ال يستطيع كسرها إال الجماعة فكذلك القلب القاسي يسهل تليينه إذا‬
) ‫ (الموسوعة اليوسفية‬.‫تساعدت عليه جماعة الذاكرين‬

Dari uraian dan argumentasi di atas dapat dipastikan bahwa substansi

32
tahlilan memliki cantolan dalil, baik naqliy (al-qur'an dan al-hadits), maupun
aqliy.

•Tahlilan merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian dianggap


tasyabbuh bi al-kuffar.
Untuk menyimpulkan apakah di dalam tradisi tahlilan terdapat unsur
tasyabbuh bi al-kuffar atau tidak, terlebih dahulu kita harus melakukan
penelitian secara seksama. Mungkin saja memang ada tradisi kumpul-kumpul
di dalam agama lain pada 1,2,3…..,7…,40 hari dan seterusnya setelah hari
kematian seseorang. Tampaknya pada titik inilah tradisi tahlilan dianggap
tasyabbuh bi al-kuffar. Namun demikian perlu diperhatikan beberapa hal,
diantaranya:

o Harus dipahami bahwa permasalahan ini termasuk dalam wilayah I'tiqadi.


Karena demikian, harus ditegaskan bahwa tidak ada keyakinan sama sekali
di dalam hati warga nahdliyin bahwa tahlilan pada hari pertama kematian, hari
kedua, ketiga dan seterusnya merupakan sebuah kewajiban, juga tidak ada
keyakinan bahwa berdo'a kepada si mayit pada hari pertama, kedua, ketiga
dan seterusnya lebih afdlal dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Tahlilan
yang substansinya adalah berdoa untuk si mayit agar mendapatkan
pengampunan dari Allah boleh dilakukan kapan saja, atau bahkan boleh tidak
dilakukan, meskipun biasanya kegiatan tahlilan ini dilaksanakan pada hari
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.

Tasyabbuh boleh dialamatkan kepada warga nahdliyin ketika meyikini bahwa


tahlilan wajib dilaksanakan pada hari-hari dimaksud dan juga meyakini bahwa
hari-hari dimaksud lebih afdlal dibandingkan hari lainnya. Jadi, penentuan hari
dan seterusnya tidak lebih dari sebuah tradisi yang boleh dilakukan dan juga
boleh ditinggalkan, berbeda dengan apa yang diyakini oleh umat Hindu.
Tradisi ini sama persis dengan dengan tradisi memperingati hari-hari besar
dalam Islam (Nuzulul qur'an, halal bi halal, maulid nabi, isra'-mi'raj dan lain
sebagainya) yang boleh dilakukan kapan saja, tidak terbatas pada tanggal-
tanggal tertentu. Peringatan hari besar yang biasanya diisi taushiah dan dzikir

33
‫‪hanyalah merupakan tradisi yang boleh dikerjakan dan juga boleh‬‬
‫‪ditinggalkan.‬‬

‫‪o Bahwa sikap warga nahdliyin sebagaimana di atas dapat dilihat dari kitab‬‬
‫‪yang biasa dijadikan sebagai rujukan oleh mereka, diantaranya di dalam kitab‬‬
‫‪al-fatawa al-fiqhiyah al-kubro yang berbunyi :‬‬

‫َأَع اَد ُهَّللا َع َلْي َن ا ِمْن َبَر َك اِتِه َع َّما ُيْذ َب ُح ِمْن الَّن َع ِم َو ُيْح َم ُل َمَع ِم ْلٍح َخ ْلَف اْلَمِّيِت إَلى اْلَم ْق َبَر ِة َو ُيَت َص َّد ُق ِبِه ) َو ُس ِئَل ( ‪o‬‬
‫ْل‬ ‫ْط‬ ‫َأ‬ ‫َث‬ ‫ْط‬ ‫ْل‬
‫َع َلى ا َح َّفاِر يَن َفَق َو َع َّما ُيْع َم ُل َي ْو َم اِلِث َم ْو ِتِه ِمْن َت ْه ِيَئ ِة ْك ٍل َو ِإ َع اِمِه ِل ُفَقَر اِء َو َغ ْي ِر ِه ْم َو َع َّما ُيْع َم ُل َي ْو َم الَّساِبِع‬
‫َك َذ ِلَك َو َع َّما ُيْع َم ُل َي ْو َم َت َم اِم الَّش ْه ِر ِمْن اْلَك ْع ِك َو ُيَد اُر ِبِه َع َلى ُبُيوِت الِّن َس اِء الاَّل ِتي َح َض ْر َن اْلِج َن اَز َة َو َلْم َي ْق ِص ُد وا‬
‫ِبَذ ِلَك إاَّل ُم ْق َت َض ى َع اَد ِة َأْه ِل اْلَب َلِد َح َّت ى إَّن َم ْن َلْم َي ْف َع ْل َذ ِلَك َص اَر َم ْم ُقوًت ا ِع ْن َد ُه ْم َخ ِس يًس ا اَل َي ْع َب ُئوَن ِبِه َو َه ْل إَذ ا‬
‫َق َص ُد وا ِبَذ ِلَك اْلَع اَد َة َو الَّت َص ُّدَق ِفي َغ ْي ِر اَأْلِخيَر ِة َأْو ُم َج َّر َد اْلَع اَد ِة َم اَذ ا َي ُك وُن اْلُح ْك ُم َج َو اٌز َو َغ ْيُرُه َو َه ْل ُيَو َّز ُع َم ا‬
‫ُص ِر َف َع َلى َأْن ِص َب اِء اْلَو َر َث ِة ِع ْن َد ِقْس َمِة الَّت ِر َك ِة َو ِإْن َلْم َي ْر َض ِبِه َب ْع ُضُهْم َو َع ْن اْلَم ِبيِت ِع ْن َد َأْه ِل اْلَمِّيِت إَلى ُمِض ِّي‬
‫ْل‬ ‫ُذ‬ ‫َأ‬ ‫ْل‬ ‫َأِل َذ‬
‫َش ْه ٍر ِمْن َم ْو ِتِه َّن ِلَك ِع ْن َد ُه ْم َك ا َفْر ِض َم ا ُح ْك ُمُه ‪َ (.‬ف َج اَب ) ِبَقْو ِلِه َج ِميُع َم ا ُيْف َع ُل ِمَّما ِكَر ِفي الُّسَؤ اِل ِمْن ا ِبَد ِع‬
‫اْلَم ْذ ُموَمِة َلِكْن اَل ُحْر َم َة ِفيِه إاَّل إْن ُفِعَل َش ْي ٌء ِم ْن ُه ِلَن ْح ِو َن اِئَح ٍة َأْو ِر َث اٍء َو َم ْن َق َص َد ِبِفْع ِل َش ْي ٍء ِم ْن ُه َد ْف َع َأْلِس َن ِة‬
‫اْلُجَّهاِل َو َخ ْو ِض ِه ْم ِفي ِعْر ِض ِه ِبَس َبِب الَّت ْر ِك ُيْر َج ى َأْن ُيْك َت َب َلُه َث َو اُب َذ ِلَك َأْخ ًذ ا ِمْن َأْم ِر ِه َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َم ْن‬
‫َأْح َد َث ِفي الَّص اَل ِة ِبَو ْض ِع َيِدِه َع َلى َأْن ِفِه َو َع َّلُلوُه ِبَص ْو ِن ِعْر ِض ِه َع ْن َخ ْو ِض الَّن اِس ِفيِه َلْو اْن َص َر َف َع َلى َغ ْي ِر َهِذِه‬
‫اْلَك ْي ِفَّيِة َو اَل َي ُجوُز َأْن ُيْف َع َل َش ْي ٌء ِمْن َذ ِلَك ِمْن الَّت ِر َك ِة َح ْي ُث َك اَن ِفيَه ا َم ْح ُجوٌر َع َلْيِه ُم ْط َلًقا َأْو َك اُنوا ُك ُّلُهْم ُر َش َد اَء َلِكْن‬
‫َلْم َي ْر َض َب ْع ُضُهْم َب ْل َم ْن َفَع َلُه ِمْن َماِلِه َلْم َي ْر ِج ْع ِبِه َع َلى َغ ْي ِر ِه َو َم ْن َفَع َلُه ِمْن الَّت ِر َك ِة َغ ِر َم ِحَّص َة َغ ْي ِر ِه اَّلِذي َلْم‬
‫َي ْأَذ ْن ِفيِه إْذ ًن ا َص ِحيًح ا َو ِإَذ ا َك اَن ِفي اْلَم ِبيِت ِع ْن َد َأْه ِل ( الفتاوى الفقهية الكبرى ألبن حجر الهيتمى )‬
‫والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب وال يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر او اقل وتقييده ببعض االيام ‪o‬‬
‫من العوائد فقط كما افتى بذلك السيد احمد دحالن وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته‬
‫وفى سابع وفي تمام العشرين وفى االربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حوال في يوم الموت كما افاده‬
‫شيخنا يوسف السنبالويني اما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم‬
‫يكن من مال االيتام واال فيحرم (نهاية الزين ‪ :‬باب فى الوصية ‪)281 ,‬‬

‫‪Tradisi yang berlaku dan berkembang di kalangan nahdliyin adalah : apabila‬‬


‫‪ada seorang muslim meninggal dunia, maka tetangga dan kerabat yang ada‬‬
‫‪disekitarnya berbondong-bondong melakukan ta'ziyah, dan dapat dipastikan‬‬
‫‪bahwa pada saat ta'ziyah kebanyakan dari mereka membawa beras, gula,‬‬
‫‪uang dan lain sebagainya. Tetangga yang ada di kanan-kiri bau-membau‬‬
‫‪membantu keluarga korban untuk memasak dan menyijakan jamuan, baik‬‬
‫‪untuk keluarga korban atau untuk para penta'ziyah yang hadir. Apabila hal ini‬‬

‫‪34‬‬
yang terjadi, apakah ini tidak dapat dianggap sebagai terjemahan kontekstual
dari hadits nabi yang berbunyi :
‫ اصنعوا آلل جعفر طعاما فقد أتاهم أمر يشغلهم‬: ‫قال النبي صلى هللا عليه و سلم‬

Hadits di atas apabila diamalkan secara tekstual justru akan menjadi


mubadzir, karena kalau seandainya semua tetangga yang ta'ziyah membawa
makanan yang siap saji, maka dapat dipastikan akan banyak makanan yang
basi. Catatan yang lain lagi adalah bahwa jamuan yang disajikan di dalam
acara tahlilan bukanlah merupakan tujuan. Tujuan utama para tetangga yang
hadir adalah berdo'a untuk si mayit. Karena demikian, jamuan boleh diadakan
dan juga boleh ditiadakan. Bahkan, banyak dari kalangan kyai yang menjadi
tokoh sentral warga nahdliyin memberikan pemahaman dan anjuran agar
jamuan yang ada lebih disederhanakan, dan bahkan kalau mungkin hanya
sekedar suguhan teh saja.

•Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian


dianggap "niyahah" (meratap).

Realitas berkumpul pada saat tahlilan sulit untuk dapat dipahami "hanya
sekedar berkumpul" dalam rangka tenggelam dan larut dalam kesedihan,
dimana hal ini dianggap sebagai illat al-hukmi kenapa berkumpul tersebut
dianggap sebagai niyahah. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab
I'anat al-Thalibin, yang berbunyi
‫كنا نعد االجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة‬
‫االهتمام بأمر الحزن‬.

Berkumpul pada malam setelah kematian bukanlah menjadi tujuan. Yang


menjadi tujuan adalah berdzikir dan berdoa untuk si mayit yang sedang
mengalami ujian berat sebagaimana yang ditegaskan didalam kitab Nihayat
al-zain, hal : 281 yang berbunyi :
– ‫وروي عن النبي صلى هللا عليه وسلم انه قال ما الميت في قبره اال كالغريق المغوث – بفتح الواو المشددة‬
‫اى الطالب الن يغاث ينتظردعوة تلحقه من ابنه او اخيه او صديق له فاذا لحقته كانت احب اليه من الدنيا وما‬
‫فيها‬

35
Ketika seorang muslim mendapat musibah (ditinggal mati keluarga, kena
gempa, dll), adalah suatu kesunahan bagi saudara-saudaranya untuk datang
takziah kepadanya, serta menghibur agar bersabar dari cobaan.Tidak ada
yang lebih baik dari menghibur serta meringankan bebannya selain daripada
mengajaknya berdzikir, mengingat Allah, dan berdoa bersama-sama,
mendoakan si mayit dan keluarga yg ditinggalkannya.

Dari uraian di atas sulit dapat diterima apabila lafadz " ‫ "االجتماع‬yang terdapat
didalam hadits nabi diarahkan pada tradisi tahlilan yang isinya adalah
berdzikir dan berdoa, bukan semata-mata berkumpul hanya sekedar
tenggelam dan berlarut-larut dalam kesedihan.

TAHLILAN DAN ZIARAH KUBUR, LARANGAN ATAU


ANJURAN ? (Bagian ke- Dua)

Di dalam tahlilan pasti ada unsur tawasul.

Sebagai gambaran awal untuk memetakan tentang konsep tawasul, dapat


dijelaskan sebagai berikut :
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tawasul adalah menjadikan
mutawasal bih sebagai wasilah (perantara) dalam rangka berdoa kepada
Allah. Berdoa dapat langsung kepada Allah (tanpa tawasul) dan juga dapat
menggunakan perantara mutawassal bih. Menggunakan mutawassal bih
sebagai perantara bukanlah merupakan sebuah keharusan dalam berdoa.
Mutawassal bih secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

o Mutawassal bih yang berupa al-a'mal al-shalihah.

o Mutawassal bih yang berupa al-dzawat al-fadlilah. Mutawassal bih yang


berupa al-dzawat al-fadlilah dibagi menjadi dua, yaitu :

o Dengan nabi Muhammad SAW. Kategori ini diklasifikasikan menjadi tiga,


yaitu :

36
‫) قبل وجوده( ‪- Sebelum lahirnya nabi‬‬
‫) فى حياته ( ‪- Pada saat nabi hidup‬‬
‫)بعد وفاته( ‪- Setelah nabi wafat‬‬

‫‪o Dengan awliya dan shalihin. Kategori ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :‬‬
‫)في حياتهم( ‪- Pada saat mereka masih hidup‬‬
‫‪).‬بعد وفاتهم( ‪- Setelah mereka wafat‬‬

‫‪Tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai diperbolehkannya menggunakan‬‬


‫‪al-a'mal al-shalihah sebagai mutawassal bih. Hal ini didasarkan pada hadits‬‬
‫‪nabi yang bercerita tentang tiga orang pemuda yang terjebak di sebuah goa.‬‬
‫‪Hadits tersebut berbunyi :‬‬

‫َح َّد َث َن ا َأُبو اْلَيَم اِن َأْخ َبَر َن ا ُشَع ْيٌب َع ِن الُّز ْه ِر ِّى َح َّد َث ِنى َس اِلُم ْبُن َع ْبِد ِهَّللا َأَّن َع ْبَد ِهَّللا ْب َن ُع َمَر ‪ -‬رضى هللا عنهما ‪-‬‬
‫َق اَل َس ِمْع ُت َر ُسوَل ِهَّللا ‪ -‬صلى هللا عليه وسلم ‪َ -‬ي ُقوُل « اْنَط َلَق َث َالَثُة َر ْه ٍط ِمَّمْن َك اَن َق ْب َلُك ْم َح َّت ى َأَو ُو ا اْلَم ِبيَت ِإَلى‬
‫َغ اٍر َفَد َخ ُلوُه ‪َ ،‬فاْن َح َد َر ْت َص ْخ َر ٌة ِمَن اْلَج َب ِل َفَس َّد ْت َع َلْي ِه ُم اْلَغ اَر َفَقاُلوا ِإَّن ُه َال ُيْن ِج يُك ْم ِمْن َهِذِه الَّص ْخ َر ِة ِإَّال َأْن َتْد ُعوا‬
‫َهَّللا ِبَص اِلِح َأْع َماِلُك ْم ‪َ .‬فَقاَل َر ُجٌل ِم ْن ُهُم الَّلُهَّم َك اَن ِلى َأَبَو اِن َش ْي َخ اِن َك ِبيَر اِن ‪َ ،‬و ُكْن ُت َال َأْغ ِبُق َق ْب َلُهَم ا َأْه ًال َو َال َم اًال ‪،‬‬
‫َفَن َأى ِبى ِفى َط َلِب َش ْى ٍء َي ْو ًما ‪َ ،‬فَلْم ُأِر ْح َع َلْي ِه َم ا َح َّت ى َن اَم ا ‪َ ،‬فَح َلْب ُت َلُهَم ا َغ ُبوَقُهَم ا َفَو َج ْد ُتُهَم ا َن اِئَم ْي ِن َو َك ِر ْه ُت َأْن‬
‫َأْغ ِبَق َق ْب َلُهَم ا َأْه ًال َأْو َم اًال ‪َ ،‬فَلِبْث ُت َو اْل َقَد ُح َع َلى َي َد َّى َأْن َت ِظ ُر اْس ِتيَقاَظ ُهَم ا َح َّت ى َبَر َق اْل َفْج ُر ‪َ ،‬ف اْس َت ْي َقَظ ا َفَش ِر َب ا َغ ُبوَقُهَم ا‬
‫‪ ،‬الَّلُهَّم ِإْن ُكْن ُت َفَع ْلُت َذ ِلَك اْبِتَغ اَء َو ْج ِه َك َفَفِّر ْج َع َّن ا َم ا َن ْح ُن ِفيِه ِمْن َهِذِه الَّص ْخ َر ِة ‪َ ،‬ف اْن َفَر َج ْت َش ْي ًئ ا َال َي ْس َت ِط يُعوَن‬
‫اْلُخ ُروَج » ‪َ .‬ق اَل الَّن ِبُّى ‪ -‬صلى هللا عليه وسلم ‪َ « -‬و َق اَل اآلَخ ُر الَّلُهَّم َك اَنْت ِلى ِبْن ُت َع ٍّم َك اَنْت َأَح َّب الَّن اِس ِإَلَّى ‪،‬‬
‫َف َأَر ْد ُتَه ا َع ْن َن ْف ِس َه ا ‪َ ،‬فاْم َتَن َع ْت ِم ِّن ى َح َّت ى َأَلَّم ْت ِبَه ا َس َن ٌة ِمَن الِّسِنيَن ‪َ ،‬فَج اَء ْت ِنى َفَأْع َط ْي ُتَه ا ِع ْش ِر يَن َو ِم اَئ َة ِد يَن اٍر َع َلى‬
‫َأْن ُتَخ ِّلَى َب ْيِنى َو َب ْي َن َن ْف ِس َه ا ‪َ ،‬فَفَع َلْت َح َّت ى ِإَذ ا َقَد ْر ُت َع َلْي َه ا َقاَلْت َال ُأِحُّل َلَك َأْن َت ُفَّض اْلَخ اَت َم ِإَّال ِبَح ِّقِه ‪َ .‬فَت َح َّر ْج ُت‬
‫ِمَن اْلُو ُقوِع َع َلْي َه ا ‪َ ،‬ف اْن َصَر ْف ُت َع ْن َه ا َو ْه َى َأَح ُّب الَّن اِس ِإَلَّى َو َت َر ْك ُت الَّذ َهَب اَّلِذى َأْع َط ْي ُتَه ا ‪ ،‬الَّلُهَّم ِإْن ُكْن ُت َفَع ْلُت‬
‫َذ ِلَك اْبِتَغ اَء َو ْج ِه َك َف اْف ُرْج َع َّن ا َم ا َن ْح ُن ِفيِه ‪َ .‬ف اْن َفَر َج ِت الَّص ْخ َر ُة ‪َ ،‬غ ْي َر َأَّن ُهْم َال َي ْس َت ِط يُعوَن اْلُخ ُروَج ِم ْن َه ا ‪َ .‬ق اَل الَّن ِبُّى‬
‫‪ -‬صلى هللا عليه وسلم ‪َ -‬و َقاَل الَّث اِلُث الَّلُهَّم ِإِّن ى اْس َت ْأَج ْر ُت ُأَج َر اَء َف َأْع َط ْي ُتُهْم َأْج َر ُه ْم ‪َ ،‬غ ْي َر َر ُج ٍل َو اِحٍد َت َر َك اَّلِذى‬
‫َلُه َو َذ َهَب َف َث َّمْر ُت َأْج َر ُه َح َّت ى َك ُثَر ْت ِم ْن ُه اَألْم َو اُل ‪َ ،‬ف َج اَء ِنى َب ْع َد ِحيٍن َفَقاَل َي ا َع ْبَد ِهَّللا َأِّد ِإَلَّى َأْج ِر ى ‪َ .‬ف ُقْلُت َلُه ُك ُّل‬
‫َم ا َت َر ى ِمْن َأْج ِر َك ِمَن اِإلِبِل َو اْلَب َقِر َو اْلَغ َن ِم َو الَّر ِقيِق ‪َ .‬فَقاَل َي ا َع ْبَد ِهَّللا َال َت ْس َت ْه ِز ْئ ِبى ‪َ .‬ف ُقْلُت ِإِّن ى َال َأْس َت ْه ِز ُئ ِبَك ‪.‬‬
‫َف َأَخ َذ ُه ُك َّلُه َف اْس َت اَق ُه َفَلْم َي ْت ُرْك ِم ْن ُه َش ْي ًئ ا ‪ ،‬الَّلُهَّم َف ِإْن ُكْن ُت َف َع ْلُت َذ ِلَك اْبِتَغ اَء َو ْج ِه َك َف اْف ُرْج َع َّن ا َم ا َن ْح ُن ِفيِه ‪َ .‬ف اْن َفَر َج ِت‬
‫‪ » .‬الَّص ْخ َر ُة َفَخ َر ُجوا َي ْم ُشوَن‬

‫‪Sedangkan tawassul dengan menggunakan dzawat fadlilah (orang-orang‬‬


‫‪yang keistimewaan di hadapan Allah, dari kalangan para nabi, awliya dan‬‬
‫‪shalihin) terjadi perbedaan pendapat yang cukup ekstrim tentang masalah ini.‬‬
‫‪Ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya dan bahkan‬‬
‫‪menganggapnya sebagai sebuah bentuk kesyirikan. Semua pandangan, baik‬‬
‫‪yang pro maupun yang kontra harus diapresiasi selama menggunakan dalil,‬‬
‫‪analisa dan argumentasi yang ilmiyah. Sebaliknya, pandangan yang‬‬
‫‪subyektif, sectarian dan tidak disertai argumentasi yang ilmiyah harus ditolak‬‬
‫‪dan diluruskan.‬‬

‫‪Dalil-dalil yang menguatkan kebolehan tawasul dengan menggunakan dzawat‬‬


‫‪fadlilah adalah :‬‬

‫‪• Bi al-nabi :‬‬

‫‪37‬‬
‫‪o Qabla wujudihi. Hadits nabi yang menguatkan hal ini adalah :‬‬

‫قال رسول هللا ‪ -‬صلى هللا عليه وسلم ‪ : -‬لما اقترف آدم الخطيئة قال ‪ :‬يارب ! أسألك بحق محمد لما غفرت لي(‬
‫‪ ،‬فقال هللا‪ :‬ياآدم ! وكيف عرفت محمدًا ولم أخلقه ؟ قال ‪ :‬يارب ! ألنك لما خلقتني بيدك ونفخت فَّي من روحك‬
‫رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوبًا ال إله إال هللا محمد رسول هللا ‪ ،‬فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك‬
‫إال أحب الخلق إليك ‪ ،‬فقال هللا ‪ :‬صدقت يا آدم ‪ ،‬إنه ألحب الخلق إلَّي ‪ ،‬أدعني بحقه فقد غفرت لك ‪ ،‬ولوال‬
‫أخرجه الحاكم في المستدرك وصححه [ج‪ 2‬ص‪ ، )1( ]615‬ورواه الحافظ السيوطي في ‪)) .‬محمد ما خلقتك‬
‫الخصائص النبوية وصححه (‪ ، )2‬ورواه البيهقي في دالئل النبوة وهو ال يروي الموضوعات ‪ ،‬كما صرح‬
‫بذلك في مقدمة كتابه (‪ ، )3‬وصححه أيضًا القسطالني والزرقاني في المواهب اللدنية [ج‪ 1‬ص‪، )4(]62‬‬
‫والسبكي في شفاء السقام ‪ ،‬قال الحافظ الهيثمي ‪ :‬رواه الطبراني في األوسط وفيه من لم أعرفهم (مجمع الزوائد‬
‫ج‪ 8‬ص‪)253‬‬

‫‪o Fi hayatihi. Hadits nabi yang menguatkan tentang hal ini adalah :‬‬

‫ائت الميضأة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قال اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد ‪ -‬صلى هللا عليه وسلم ‪-‬‬
‫نبي الرحمة يامحمد إني أتوجه بك إلى ربك فيجلي لي عن بصري ‪ ،‬اللهم شفعه فَّي وشفعني في نفسي ‪ ،‬قال‬
‫عثمان ‪ :‬فوهللا ما تفرقنا وال طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر)) ‪..‬قال الحاكم ‪ :‬هذا حديث‬
‫‪ .‬صحيح اإلسناد ولم يخرجاه ‪.‬وقال الذهبي عن الحديث ‪ :‬أنه صحيح (ج‪ 1‬ص‪)519‬‬

‫‪o Ba'da wafatihi. Penjelasan yang menguatkan tentang hal ini adalah :‬‬

‫وليس هذا خاصًا بحياته ‪ -‬صلى هللا عليه وسلم ‪ -‬بل قد استعمل بعض الصحابة هذه الصيغة من التوسل بعد‬
‫وفاته ‪ -‬صلى هللا عليه وسلم ‪ -‬فقد روى الطبراني هذا الحديث وذكر في أوله قصة وهي أن رجًال كان يختلف‬
‫إلى عثمان بن عفان رضي هللا عنه في حاجة له ‪ ،‬وكان عثمان رضي هللا عنه ال يلتفت إليه وال ينظر في حاجته‬
‫‪ ،‬فلقى الرجل عثمان بن حنيف فشكا ذلك إليه ‪ ،‬فقال له عثمان بن حنيف ‪ :‬ائت الميضأة فتوضأ ثم ائت المسجد‬
‫فصل فيه ركعتين ثم قل ‪:‬اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد ‪ -‬صلى هللا عليه وسلم ‪ -‬نبي الرحمة ‪،‬‬
‫‪ ..‬يامحمد ! إني أتوجه بك إلى ربك فيقضي حاجتي ‪ .‬وتذكر حاجتك‬

‫‪• Bi al-anbiya wa al-shalihin‬‬

‫‪o Fi hayatihim. Hadits nabi yang menguatkan tentang hal ini adalah :‬‬

‫أخرج البخاري في صحيحه عن أنس أن عمر بن الخطاب رضي هللا عنه ‪ -‬كانوا إذا قحطوا ‪ -‬استسقى بالعباس‬
‫‪ .‬بن عبد المطلب فقال ‪ [ :‬اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا ]‬

‫‪o Ba'da wafatihim. Hadits nabi yang menguatkan tentang hal ini adalah :‬‬

‫عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه قال ‪ :‬قال رسول هللا ‪ -‬صلى هللا عليه وسلم ‪ : -‬من خرج من بيته إلى‬
‫الصالة ‪ ،‬فقال ‪ :‬اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرًا وال بطرًا وال رياء‬
‫وال سمعة ‪ ،‬خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك ‪ ،‬فأسألك أن تعيذني من النار ‪ ،‬وأن تغفر لي ذنوبي ‪ ،‬إنه ال‬
‫‪ .‬يغفر الذنوب إال أنت ‪ ،‬أقبل هللا بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك‬

‫‪Uraian di atas menegaskan bahwa tradisi tahlilan yang dilakukan oleh warga‬‬

‫‪38‬‬
nahdliyin memiliki dasar, dalil dan argumentasi yang kuat, sehingga tidak
patut untuk disesatkan, disyirikkan atau dibid'ahkan. Menganggap tradisi
tahlilan adalah bid'ah, sesat dan syirik berarti yang bersangkutan kurang
memahami konsep dan dalil agama.

Ziarah Kubur dan Analisis Argumentasi

Tak seorangpun dapat menyangkal dan menentang bahwa ziarah kubur


merupakan hal yang disyariatkan di dalam Islam. Namun demikian, masih
saja terdapat kelompok orang yang menentang ziarah kubur dengan berbagai
dalih dan alasan yang tentunya kurang ilmiyah dan sangat emosional.

Ada nasihat yang sangat menarik yang ditawarkan oleh Imam al-qurthubi di
dalam kitab tafsirnya yang berbunyi :

‫ ينبغي لمن أراد عالج قلبه وانقياده بسالسل القهر إلى طاعة ربه ان يكثر من ذكر هاذم اللذات‬: ‫قال العلماء‬
‫ومفرق الجماعات وموتم البنين والبنات ويواظب على مشاهدة المحتضرين وزيادرة قبور أموات المسلمين فهذه‬
‫ثالثة أمور ينبغي لمن قسا قلبه ولزمه ذنبه أن يستعين بها على دواء دائه ويستصرخ بها على فتن الشيطان‬
‫وأعوانه فإن انتفع باإلكثار من ذكر الموت وانجلت به قساوة قلبه فذاك وإن عظم عليه ران قلبه واستحكمت فيه‬
‫دواعي الذنب فإن مشاهدة المحتضرين وزيارة قبور أموات المسلمين تبلغ في دفع ذلك ما ال يبلغه األول ألن‬
‫ذكر الموت إخبار للقلب بما إليه المصير وقائم له مقام التخويف والتحذير وفي مشاهدة من احتضر وزيادة قبر‬
‫من مات من المسلمين معاينة ومشاهدة فلذلك كان أبلغ من األول‬

Dari pandangan dan uraian Imam al-Qurtubi di atas, kita akan menganggap
wajar dan bahkan menganggap benar tradisi ziarah kubur yang dilakukan dan
digandrungi oleh kalangan nahdliyin dengan berjamaah ziarah ke makam wali
songo dan lain sebagainya. Karena ziarah kubur merupakan salah satu dari
tiga hal yang mujarab untuk mengobati dan menundukkan kerasnya hati; tiga
hal dimaksud adalah : mengingat mati, menyaksikan orang yang sedang
sakaratul maut dan ziarah kubur.

Dari pandangan ini, maka sebenarnya orang yang berziarah ke makam para
wali tidak hanya berkesempatan untuk bertawasul kepada para awliya dan
shalihin, akan tetapi juga berkesempatan untuk mengobati hatinya sehingga
pada akhirnya akan lebih taat kepada Allah.
Disamping pertimbangan di atas hadits nabi yang menjelaskan tentang
dianjurkannya ziarah kubur sangat banyak dan dikeluarkan oleh banyak
perawi, sehingga tingkat kemakbulannya tidak dapat diragukan lagi. Hadits-
hadits dimaksud diantaranya adalah :

• ‫حدثنا زبيد بن الحارث عن محارب بن دثار عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
) ‫ (رواه النسائى‬.... ‫إني كنت نهيتكم عن ثالث عن زيارة القبور فزوروها ولتزدكم زيارتها خيرا‬
• ‫و حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب أنبأ محمد بن عبد هللا بن عبد الحكم أنبأ ابن وهب أخبرني ابن جريج عن‬
‫ إني‬: ‫ أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم قال‬: ‫أيوب بن هانىء عن مسروق بن األجدع عن عبد هللا بن مسعود‬
‫كنت نهيتكم عن زيارة القبور و أكل لحوم األضاحي فوق ثالث و عن نبيذ األوعية أال فزوروا القبور فإنها‬

39
) ‫ (رواه الحاكم‬.... ‫تزهد في الدنيا و تذكر اآلخرة‬
• ‫َح َّد َث َن ا ُيوُنُس ْبُن َع ْبِد اَألْع َلى َح َّد َث َن ا اْبُن َو ْه ٍب َأْن َب َأَن ا اْبُن ُج َر ْي ٍج َع ْن َأُّيوَب ْب ِن َهاِنٍئ َع ْن َم ْس ُروِق ْب ِن اَألْج َد ِع َع ِن‬
‫ َق اَل « ُكْن ُت َن َه ْي ُتُك ْم َع ْن ِز َي اَر ِة اْلُقُبوِر َفُز وُروا اْلُقُبوَر َف ِإَّن َه ا ُتَز ِّه ُد‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اْب ِن َم ْس ُعوٍد َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا‬
) ‫ (رواه ابن ماجه‬.» ‫ِفى الُّد ْن َي ا َو ُتَذ ِّك ُر اآلِخَر َة‬
• ‫صلى هللا عليه‬- ‫ َخ َر ْج َن ا َمَع َر ُسوِل ِهَّللا‬: ‫َح َّد َث َن ا ُز َه ْيٌر َع ْن ُز َب ْيٍد َع ْن ُم َح اِر ِب ْب ِن ِد َث اٍر َع ِن اْب ِن ُبَر ْيَد َة َع ْن َأِبيِه َق اَل‬
‫ ُثَّم َأْق َبَل َع َلْي َن ا َو َع ْي َن اُه َت ْذ ِر َف اِن‬، ‫ ِفى َس َفٍر َفَنَز ْلَن ا َم ْن ِز ًال َو َن ْح ُن َمَع ُه َقِر يًبا ِمْن َأْلِف َر اِكٍب َفَقاَم َف َص َّلى َر ْك َع َت ْي ِن‬-‫وسلم‬
‫« ِإِّن ى اْس َت ْأَذ ْن ُت َر ِّبى ِفى‬: ‫ َم ا َلَك َي ا َر ُسوَل ِهَّللا َق اَل‬: ‫َفَقاَم ِإَلْيِه ُع َم ُر َر ِض َى ُهَّللا َع ْن ُه َفَفَد اُه ِباَألِب َو اُألِّم َو َق اَل َلُه‬
‫ َو ُكْن ُت‬، ‫ َو ِإِّن ى ُكْن ُت َن َه ْي ُتُك ْم َع ْن ِز َي اَر ِة اْلُقُبوِر َفُز وُروَه ا‬، ‫اْس ِتْغ َفاِر ى ُألِّمى َفَلْم َي ْأَذ ْن ِلى َف َب َك ْي ُت َلَه ا َر ْح َم ًة ِمَن الَّن اِر‬
‫ َو ُكْن ُت َن َه ْي ُتُك ْم َع ِن الُّش ْر ِب ِفى‬، ‫َن َه ْي ُتُك ْم َع ْن ُلُحوِم اَألَض اِحِّى َأْن ُتْم ِس ُك وَه ا َفْو َق َث َالٍث َفُك ُلوا َو َأْم ِس ُك وا َم ا َب َد ا َلُك ْم‬
‫ َر َو اُه ُمْس ِلٌم ِفى الَّصِحيِح َع ْن َي ْح َي ى ْب ِن َي ْح َي ى َع ْن‬.» ‫اَألْو ِع َيِة َف اْش َر ُبوا ِفى َأِّى ِو َع اٍء ِش ْئُتْم َو َال َت ْش َر ُبوا ُمْس ِكًر ا‬
) ‫ (رواه البيهقي‬.‫ُز َه ْي ٍر ُد وَن ِقَّصِة ُأِّمِه‬

Meskipun manfaat ziarah kubur sangat besar dan dalil yang menguatkannya
juga sangat banyak, namun masih saja banyak kelompok yang menentang
ziarah kubur. Dari literature yang kita baca yang ditulis oleh para penentang
ziarah kubur dapat disimpulkan bahwa penentangan mereka bermuara pada
beberapa alasan diantaranya adalah :

• Berbagai kemaksiatan banyak terjadi pada saat ziarah kubur.

• Kesyirikan banyak dilakukan oleh para peziarah.

Dua alasan di atas merupakan alasan yang bersifat 'aridly (insidentil) dan
bukan sesuatu yang pasti terjadi. Karena demikian, sebuah pembahasan
akan menjadi bias dan tidak ilmiyah karena meninggalkan substansi
permasalahan yang sebenarnya. Marilah kita mencoba untuk mengkritisi
alasan yang mereka kemukakan.

Saturday, February 20, 2010

TAHLILAN DAN ZIARAH KUBUR, LARANGAN ATAU


ANJURAN ? (Bagian ke- Tiga/Habis)

1) Penentang ziarah kubur menyebutkan banyak kemaksiatan yang


terjadi pada saat ziarah

Berbagai kemaksiatan terjadi pada saat ziarah kubur.


kubur, diantaranya adalah :

• Terjadi ikhthilat (percampuran) antara laki-laki dan perempuan


• Perempuan mempertontonkan (tabarruj) aurat dan kecantikannya
• Perempuan memakai wangi-wangian

40
• Berkata kotor dalam senda gurau
• Lebih mementingkan kuburan dari pada shalat berjamaah
• Dan lain-lain

Dalam kesempatan ini perlu ditegaskan bahwa kemaksiatan yang terjadi


pada saat ziarah kubur bersifat 'aridly dan tidak talazum antara ziarah kubur
dan kemaksiatan dimaksud. Bukan merupakan sebuah keniscayaan,
seseorang yang pergi ziarah pasti melakukan kemaksiatan dimaksud, lebih-
lebih apabila konteks pembicaraan dibatasi hanya pada kalangan intelektual,
santri atau orang-orang yang berilmu, maka kemaksiatan tersebut tidak akan
terjadi.

Kemaksiatan mungkin saja terjadi apabila orang yang ziarah kubur sangat
awam terhadap ilmu-ilmu keagamaan dan dalam konteks ini pasti semua
sepakat bahwa kita harus memberikan arahan, bimbingan, tuntunan sehingga
mereka menyadari betul apa arti penting dari ziarah kubur, bukan justru
melarang sama sekali kegiatan ziarah kubur.

Kemaksiatan yang disebutkan di atas dapat terjadi dimana saja. Menuntut


ilmu di lembaga pendidikan formal, baik di tingkat SMP, SMA atau perguruan
tinggi merupakan sebuah keharusan dan kewajiban. Islam membutuhkan
kader-kader yang berprofesi sebagai dokter, advokat, polisi, ekonom dan lain-
lain. Islam tidak hanya membutuhkan kader-kader yang hanya bisa membaca
kitab kuning saja. Realitas mengatakan bahwa tidak ada kewajiban untuk
memakai jilbab atau menutup aurat di lembaga pendidikan formal yang
disebutkan di atas.

Tidak ada larangan untuk memakai lipstick, memakai wangi-wangian dan lain
sebagainya. Pertanyaannya kemuadian adalah : apakah kader-kader kita
harus dicegah untuk menuntuk ilmu yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam
gara-gara banyak kemaksiatan yang terjadi di lembaga pendidikan formal
yang menjadi tempat menuntut ilmu tersebut ? apabila kita harus melarang,
maka dapat dipastikan bahwa Islam akan menjadi agama pecundang dan
akan sulit menghadapi gempuran dan serangan dari agama lain.

Alangkah bijak dan arifnya apabila sikap yang kita pilih adalah tetap
mengirimkan putra-putri terbaik kita untuk menuntut ilmu dan menasehati,
menjaga dan mengawasi meraka agar pada saat menuntut ilmu tidak berbuat
kemaksiatan (membuka aurat, tabarruj, memakai wangi-wangian yang
memancing laki-laki hidung belang untuk menggoda dan seterusnya).Realitas
semacam ini tidak hanya terjadi dalam konteks pendidikan, akan tetapi juga
terjadi di angkutan umum, rumah sakit, pergi haji dan lain-lain. Kita tidak
mungkin melarang orang pergi dengan menggunakan angkutan umum, pergi
haji dan lain-lain hanya karena disana terdapat kemaksiatan yang bersifat
insidentil. Bagaimanapun harus diakui bahwa ziarah kubur adalah anjuran.

41
Yang dilarang adalah kemaksiatan yang terjadi tidak hanya dalam konteks
ziarah kubur, sehingga yang harus diberangus dan dilarang bukan ziarah
kuburnya, akan tetapi kemaksiatannya.

2) Banyak kesyirikan yang dilakukan oleh para peziarah.

Kesyirikan yang dianggap terjadi pada saat ziarah kubur diantaranya adalah :

• Meminta tolong, kesuksesan dan lain sebagainya pada kuburan


• Membaca doa,dzikir, shalawat yang mengandung unsur kesyirikan.
• Dll

Untuk mengurai masalah ini, ada beberapa topik yang harus kita kaji,
diantaranya adalah :

• Posisi khaliq dan Makhluq


• Ta'dhim, antara ibadah dan adab
• Majaz aqliy
• Meminta tolong kepada makhluk

Posisi Khaliq dan Makhluq

Kajian tentang posisi al-Khaliq dan al-makhluq cukup signifikan dalam


konteks ilmu tawhid, karena hal ini akan menjadi garis demarkasi yang cukup
tegas (al-had al-fashil) dalam rangka menilai dan menakar apakah seseorang
masih dianggap sebagai seorang muslim atau sudah dianggap nyeleweng
dan tersesat dari ajaran Islam.
Secara sederhana dapat ditegaskan bahwa al-khaliq adalah merupakan dzat
penentu segalanya, yang mendatangkan manfaat dan madlarat dan segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini. Ini adalah merupakan posisi khaliq yang
tidak dimiliki oleh makhluq. Sedangkan makhluq hanyalah merupakan hamba
yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mendatangkan manfaat,
bahaya, kematian, kehidupan dan lain sebagainya. Sebagaimana hal ini
ditegaskan di dalam al-Qur’an surat al-a’raf : 188.

Kesadaran akan posisi al-Khaliq dan al-Makhluq ini pada akhirnya


menjadikan kita dapat menilai dengan pasti apakah praktik amaliyah
keseharian kita termasuk dalam kategori syirik atau tidak. Ketika seseorang
mencoba mencampur-adukkan antara posisi khaliq dengan makhluk,
misalnya dengan meyakini bahwa sebagian makhluq memiliki kemampuan
untuk mendatangkan madlarat dan manfaat tanpa dengan idzin dan
kehendak Allah, maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan telah
melakukan perbuatan syirik yang nyata. Ziarah kubur, bertawasul, istighatsah,
bershalawat, membaca burdah dan lain sebagainya tidak berefek apa-apa

42
terhadap kemurnian iman dan tawhid kita, ketika kita tetap berkeyakinan
bahwa dzat yang mampu mendatangkan manfaat dan madlarat hanyalah
Allah SWT.

Ta’dzim antara Ibadah dan adab

Banyak orang yang keliru dalam menilai hakikat dari ta’dzim dan ibadah.
Mereka mencampuradukkan dua hal yang sebenarnya berbeda ini, sehingga
pada akhirnya melakukan generalisasi dan menganggap bahwa semua
bentuk ta’dzim adalah ibadah. Berdiri dalam rangka memberi hormat,
mencium tangan orang yang alim, mengagungkan nabi dengan
menggunakan lafadz “sayyidina”, berdiri di depan makam beliau dengan
penuh kesopanan dan ketundukan dianggap sebagai penghormatan yang
keterlaluan yang merupakan bagian dari ibadah, sehingga hal itu semua
harus dilarang karena syirik.

Pandangan semacam ini merupakan sebuah bentuk kebodohan dan


pengingkaran yang pasti tidak akan mendapatkan restu dari Allah dan rasul-
Nya dan bertentangan dengan ruh syariat Islam. Hal ini harus ditegaskan,
karena yang dicontohkan di dalam al-Qur’an tidak hanya berdiri, mencium
tangan, atau sekedar ziarah kubur, akan tetapi lebih dari itu, yaitu perintah
Allah kepada para malaikat dan juga iblis untuk bersujud kepada nabi Adam,
sebagaimana firman Allah di dalam surat al-baqarah 34 .

Disamping disebutkan di dalam surat al-Baqarah, peristiwa tentang perintah


Allah kepada para malaikat dan juga Iblis untuk bersujud kepada nabi Adam
juga terekam di dalam surat al-a’raf, al-isra’, al-kahfi dan surat Thaha.

Sujud merupakan bentuk kepasrahan tertinggi yang dilakukan oleh


seseorang, akan tetapi tidak secara serta merta dianggap sebagai sebuah
bentuk ibadah. Apabila perilaku seseorang hanya dinilai dari aspek luarnya
saja, tanpa memperhatikan motivasi dan niatnya, maka seharusnya sujudnya
para malaikat terhadap nabi adam harus dianggap sebagai sebuah bentuk
kesyirikan dan berhak mendapatkan murka Allah.

Dan seharusnya pula apa yang dilakukan oleh Iblis merupakan sebuah
bentuk pemurnian tawhid yang harus mendapatkan apresiasi dan pahala dari
Allah. Akan tetapi justru yang terjadi adalah sebaliknya. Malaikat yang
bersujud kepada nabi Adam mendapatkan ridla dari Allah SWT, sedangkan
Iblis yang tidak mau bersujud kepada nabi Adam dan melakukan
pembangkangan justru mendapatkan murka dari Allah.

Imam al-Alusiy di dalam tafsirnya ketika menjelaskan tentang ayat-ayat di


atas memberikan penegasan tentang pengertian sujud dengan :

43
‫ وفي الشرع وضع الجبهة على قصد العبادة ( تفسير‬، ‫والسجود في األصل تذلل مع انخفاض بانحناء وغيره‬
)269 ‫ ص‬1 ‫االلوسي ج‬

“ Sujud pada asalnya diterjemahkan dengan merendahkan diri dengan cara


membungkuk atau yang lain, sedangkan menurut syara’ adalah meletakkan
dahi dengan tujuan ibadah”

Sujud yang dilakukan dengan cara membungkuk atau bahkan dengan cara
meletakkan dahi ke tanah, tidak dapat dianggap sebagai sebuah bentuk
ibadah ketika tidak ada qashdu al-ibadah, sehingga dapat dipahami bahwa
apa yang dilakukan oleh para malaikat terhadap nabi Adam tidak lebih dari
sekedar sujud perhormatan dan bukan sujud ibadah, sehingga tidak dapat
dikategorikan sebagai sebuah bentuk kesyirikan.

Sujud yang merupakan bentuk merendahkan diri yang luar biasa masih
tergantung pada qashdu al-ibadah untuk dapat dianggap sebagai ibadah,
apalagi hanya sekedar ziarah wali songo, istighatsah, tawassul dan lain-lain.

Dari uraian di atas menjadi penting untuk dibedakan tentang pengagungan


(ta’dzim) antara ibadah dan adab (etika/sopan santun). Ta’dzim terhadap
makhluk karena pemulyaan, adab, etika dan sopan santun dan tidak sampai
pada penyembahan sangat dianjurkan dan jauh dari unsur kesyirikan.

Majaz Aqliy

Konsep tentang hakikat dan majaz perlu mendapatkan kajian yang memadai
karena kelompok yang hobi menyesatkan dan mensyirikkan kelompok lain
ternyata hanya mendasarkan diri pada teks do’a, dzikir, shalawat dan lain
sebagainya yang sudah menjadi tradisi dan kebiasaan sehari-hari.

Dalam konteks ushul fiqh ketika berbicara tentang isti’mal al-lafdzi fi al-ma’na,
arti sebuah lafadz diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : hakikat dan majaz.
Hakikat diterjemahkan dengan :

‫كل لفظ اريد به ما وضع له في االصل لشيء معلوم‬


" setiap lafadz yang dimaksudkan dengannya arti asal dari lafadz tersebut”

Sedangkan majaz adalah :

‫كل لفظ مستعار لشيء غير ما وضع له لمناسبة بينهما او لعالقة مخصوصة‬
“ setiap lafadz yang dipinjam untuk sesuatu yang lain karena adanya
kesesuaian diantara keduanya atau karena adanya hubungan yang khusus”

Tidak dapat diragukan lagi bahwa penggunaan majaz di dalam al-Qur’an


benar-benar terjadi, seperti firman Allah,

44

Arti dari firman Allah di atas adalah “ dan ketika dibacakan ayat-ayat al-qur’an
atas mereka, maka ayat-ayat tersebut menambah keimanan mereka dan
hanya kepada tuhan mereka, mereka bertawakkal”

Kata-kata ‫ زادتهم ايمانا‬apabila diterjemahkan berdasarkan arti hakitat akan


berdampak pada sebuah kesimpulan bahwa ayat al-qur’an mampu
menambah keimanan seorang mukmin yang mendengarkan dan
memperhatikan ayat-ayat Allah. Seseorang yang memiliki pemahaman
semacam ini dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan mencampur
adukkan posisi al-khaliq dan makhluk, karena berkeyakinan bahwa ada
sesuatu yang lain selain Allah yang memiliki kekuatan.

Karena demikian, maka yang bersangkutan pasti disebut sebagai orang yang
musyrik. Ayat al-qur’an di atas harus dipahami dengan menggunakan arti
majaz dan qarinahnya adalah akal dan pikiran kita. Contoh analisis
sederhana di atas dan masih banyak contoh-contoh yang lain di dalam al-
qur’an dan al-hadits menjadikan kita harus berkesimpulan bahwa terminologi
majaz dikenal dan harus diperhatikan dalam rangka memahami teks-teks
keagamaan, baik do’a, dzikr, shalawat atau yang lain.

Shalawat nariyah, shalawat al-fatih, qashidah burdah, hizb bahr dan lain
sebagainya dianggap sebagai teks-teks yang mengandung syirik lebih
disebabkan karena sudut pandang, kerangka fikir dan paradigma analisis
yang dipakai adalah ”teks-teks keagamaan harus selalu dipahami dengan
menggunakan arti hakikat dan tidak mengenal arti majaz”. Sudut pandang,
kerangka fikir dan paradigma analisis semacam ini pada akhirnya menjadikan
kita harus menolak sebagian ayat-ayat al-qur’an dan hadits nabi yang tidak
dapat dipahami kecuali dengan menggunakan arti majaz.

Meminta Tolong Kepada Makhluk, Syirik ?

Diantara hal yang patut mendapatkan tanggapan secara serius adalah


adanya anggapan bahwa meminta tolong kepada makhluk Allah dari para
nabi dan orang-orang shaleh adalah termasuk dalam kategori perbuatan
syirik. Perlu ditegaskan bahwa untuk mensyirikkan sebuah perbuatan
hendaknya kita harus selalu mendasarkan pada teks-teks al-qur’an dan al-
hadits, dan bukan didasarkan pada dugaan dan kebencian kita terhadap
kelompok atau amaliyah kelompok tertentu.

Anggapan bahwa meminta tolong kepada para nabi dan orang-orang shaleh
termasuk dalam kategori syirik sebenarnya lebih disebabkan oleh
kedangkalan ilmu agama mereka dan kekurang-jelian mereka akan realitas
sejarah yang terekam baik di dalam al-qur’an, maupun al-hadits. Kasus nabi
Sulaiman yang terekam di dalam al-qur’an dimana beliau meminta kepada

45
bangsa jin dan manusia yang menjadi pengikutnya untuk mendatangkan dan
memindahkan istana ratu Bulkis ke istana beliau adalah contoh konkrit yang
ada di dalam al-qur’an mengenai masalah ini.sebagaimana yang ditegaskan
di dalam al-Qur’an,

Memindahkan istana Bulkis dengan model sebagaimana yang dijelaskan di


dalam al-Qur’an adalah merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan
kecuali oleh Allah. Semua nabi Allah termasuk nabi Sulaiman pasti
memahami akan hal itu. Akan tetapi realitasnya nabi Sulaiman tetap meminta
kepada pengikutnya untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan
oleh pengikutnya tersebut. Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita berani
menuduh dan menetapkan nabi Sulaiman sebagai orang yang kafir atau
musyrik karena telah meminta tolong kepada makhluk Allah untuk melakukan
sesuatu yang sebenarnya diluar kemampuan mereka ?

Nabi Muhammad tidak pernah menegur para sahabat yang meminta


kesembuhan dan sesuatu yang lain yang diluar kemampuan manusia kepada
beliau dengan mengatakan kamu semua sudah melakukan perbuatan syirik,
oleh sebab itu kamu harus memperbaharui keimanan kamu, pun juga
demikian al-Qur’an juga tidak pernah menetapkan nabi Sulaiman yang
melakukan hal di atas sebagai orang yang musyrik.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa selama kita masih memposisikan
al-Khaliq sebagai khaliq yang memiliki kuasa untuk mendatangkan manfaat
dan madlarat dan menempatkan makhluk sebagai makhluk yang tidak
memiliki kekuasaan sedikitpun untuk mendatangkan manfaat dan madlarat,
maka meminta tolong kepada para nabi dan orang-orang shaleh yang hanya
kita anggap sebagai wasilah bukanlah merupakan perbuatan syirik, lebih-
lebih hal ini sudah pernah dicontohkan oleh nabi sulaiman dan para sahabat
rasul. Bukankah yang paling mengerti akan ketauhidan adalah rasul dan
sahabatnya ?

http://www.aswaja-nu.com/2010/01/merasionalkan-aqidah-sifat-dua-puluh.html
Monday, January 18, 2010

Merasionalkan Aqidah Sifat Dua Puluh

Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi
Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang
Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20

46
tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam
al-Qur'an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam
hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma' al-Husna)
jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang
wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99
sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma' al-Husna? Sebagaimana yang
sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.

Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah dalam menetapkan konsep sifat 20


tersebut sebenarnya berangkat dari kajian dan penelitian yang mendalam.
Ada beberapa alasan ilmiah dan logis yang dikemukakan oleh para ulama
tentang latar belakang konsep wajibnya mengetahui sifat 20 yang wajib bagi
Allah, antara lain:

Pertama, setiap orang yang beriman harus meyakini bahwa Allah SWT wajib
memiliki semua sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya. Ia
harus meyakini bahwa Allah mustahil memiliki sifat kekurangan yang tidak
layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini pula bahwa Allah boleh
melakukan atau meninggalkan segala sesuatu yang bersifat mungkin seperti
menciptakan, mematikan, menghidupkan dan lain-lain. Demikian ini adalah
keyakinan formal yang harus tertanam dengan kuat dalam hati sanubari
setiap orang yang beriman.

Kedua, para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah sebenarnya tidak membatasi


sifat-sifat kesempurnaan Allah dalam 20 sifat. Bahkan setiap sifat
kesempurnaan yang layak bagi keagungan Allah, sudah barang tentu Allah
wajib memiliki sifat tersebut, sehingga sifat-sifat Allah itu sebenarnya tidak
terbatas pada 99 saja sebagaimana dikatakan al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi:
‫ َو َقْو ُلُه‬J: « ‫ َو ِإَّن َم ا َأَر اَد َو ُهللا َأْع َلُم َأَّن َم ْن َأْح َص ى ِمْن َأْس مَاِء ِهللا َع َّز‬، ‫ِإَّن ِهلل ِتْس َع ًة َو ِتْس ِعْي َن ِاْس ًما » َال َي ْن ِفْي َغ ْي َر َه ا‬
‫َو َج َّل ِتْس َع ًة َو ِتْس ِعْي َن ِاْس ًما َد َخ َل اْلَج َّنَة‬.
Sabda Nabi J: "Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan
Nama", tidak menafikan nama-nama selainnya. Nabi J hanya bermaksud –
wallahu a'lam-, bahwa barangsiapa yang memenuhi pesan-pesan sembilan
puluh sembilan nama tersebut akan dijamin masuk surga. (al-Baihaqi, al-
I'tiqad 'ana Madzhab al-Salaf, hal. 14).

Pernyataan al-Hafizh al-Baihaqi di atas bahwa nama-nama Allah SWT


sebenarnya tidak terbatas dalam jumlah 99 didasarkan pada hadits shahih:
‫ َق اَل َر ُسْو ُل ِهللا‬، ‫ َق اَل‬،‫ َع ِن اْب ِن َم ْس ُعْو ٍد‬J: ‫ َأْو َأْن َز ْلَت ُه‬، ‫ َس َّم ْيَت ِبِه َن ْف َس َك‬، ‫ َأْس َأُلَك ِبُك ِّل اْس ٍم ُه َو َلَك‬... ‫الَّلُهَّم ِإِّن ْي َع ْبُد َك‬
‫ َو ُنْو َر‬، ‫ َأْن َت ْج َع َل اْلُقْر آَن َر ِبْي َع َقْلِبْي‬، ‫ َأِو اْس َت ْأَث ْر َت ِبِه ِفْي ِع ْلِم اْلَغ ْيِب ِع ْن َد َك‬، ‫ َأْو َع َّلْم َت ُه َأَح ًد ا ِمْن َخ ْلِقَك‬، ‫ِفْي ِك َت اِبَك‬
‫ َو َذ َه اَب َه ِّمْي‬، ‫ َو َج َالَء َح َز ِنْي‬، ‫َبَص ِر ْي‬.
Ibn Mas'ud berkata, Rasulullah J bersabda: "Ya Allah, sesungguhnya aku
hamba-Mu… Aku memohon dengan perantara setiap Nama yang Engkau
miliki, baik Engkau namakan Dzat-Mu dengan-Nya, atau Engkau turunkan
nama itu dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang di

47
antara makhluk-Mu, dan atau hanya Engkau saja yang mengetahui-Nya
secara ghaib, jadikanlah al-Qur'an sebagai taman hatiku, cahaya mataku,
pelipur laraku dan penghapus dukaku." (HR. Ahmad, Ibn Hibban, al-
Thabarani dan al-Hakim).

Ketiga, para ulama membagi sifat-sifat khabariyyah, yaitu sifat-sifat Allah


yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadits seperti yang terdapat dalam al-
Asma' al-Husna, terbagi menjadi dua. Pertama, Shifat al-Dzat, yaitu sifat-sifat
yang ada pada Dzat Allah SWT, yang antara lain adalah sifat dua puluh. Dan
kedua, Shifat al-Af'al, yaitu sifat-sifat yang sebenarnya adalah perbuatan
Allah SWT, seperti sifat al-Razzaq, al-Mu'thi, al-Mani', al-Muhyi, al-Mumit, al-
Khaliq dan lain-lain. Perbedaan antara keduanya, Shifat al-Dzat merupakan
sifat-sifat yang menjadi Syarth al-Uluhiyyah, yaitu syarat mutlak ketuhanan
Allah, sehingga ketika Shifat al-Dzat itu wajib bagi Allah, maka kebalikan dari
sifat tersebut adalah mustahil bagi Allah. Sebagai contoh, misalhnya ketika
Allah SWT bersifat baqa' (kekal), maka Allah SWT mustahil bersifat
kebalikannya, yaitu fana'.

Dari sini para ulama menetapkan bahwa Shifat al-Dzat ini bersifat azal (tidak
ada permulaan) dan baqa' (tidak berakhiran) bagi Allah. Hal tersebut berbeda
dengan Shifat al-Af'al. Ketika Allah memiliki salah satu di antara Shifat al-
Af'al, maka kebalikan dari sifat tersebut tidak mustahil bagi Allah, seperti sifat
al-Muhyi (Maha Menghidupkan) dan kebalikannya al-Mumit (Maha
Mematikan), al-Dhar (Maha Memberi Bahaya) dan kebalikannya al-Nafi'
(Maha Memberi Manfaat), al-Mu'thi (Maha Pemberi) dan kebalikannya al-
Mani' (Maha Pencegah) dan lain-lain. Di samping itu para ulama juga
mengatakan bahwa Shifat al-Af'al itu baqa' (tidak berakhiran) bagi Allah,
namun tidak azal (ada permulaan).

Dari sini dapat kita memahami, kekeliruan pernyataan Nurcholis Madjid


beberapa tahun yang lalu, bahwa untuk saat ini sifat Rahmah Allah mestinya
lebih layak ditekankan untuk diketahui dari pada yang lain. Karena
pernyataan ini berangkat dari ketidakpahaman Nurcholis terhadap konsep
Shifat al-Dzat yang menjadi Syarth al-Uluhiyyah (syarat ketuhanan) dan
Shifat al-Af'al yang bukan Syarth al-Uluhiyyah.

Keempat, dari sekian banyak Shifat al-Dzat yang ada, sifat dua puluh
dianggap cukup dalam mengantarkan seorang Muslim pada keyakinan
bahwa Allah memiliki segala sifat kesempurnaan dan Maha Suci dari segala
sifat kekurangan. Di samping substansi sebagian besar Shifat al-Dzat yang
ada sudah ter-cover dalam sifat dua puluh tersebut yang ditetapkan
berdasarkan dalil al-Qur'an, sunnah dan dalil 'aqli.

Kelima, sifat dua puluh tersebut dianggap cukup dalam membentengi akidah
seseorang dari pemahaman yang keliru tentang Allah SWT. Sebagaimana

48
dimaklumi, aliran-aliran yang menyimpang dari faham Ahlussunnah Wal-
Jama'ah seperti Mu'tazilah, Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan
Allah SWT dengan makhluk), Mujassimah (kelompok yang berpendapat
bahwa Allah memiliki sifat-sifat makhluk), Karramiyah dan lain-lain menyifati
Allah dengan sifat-sifat makhluk yang dapat menodai kemahasempurnaan
dan kesucian Allah. Maka dengan memahami sifat wajib dua puluh tersebut,
iman seseorang akan terbentengi dari keyakinan-keyakinan yang keliru
tentang Allah. Misalnya ketika Mujassimah mengatakan bahwa Allah itu
bertempat di Arsy, maka hal ini akan ditolak dengan salah satu sifat salbiyyah
yang wajib bagi Allah, yaitu sifat qiyamuhu binafsihi (Allah wajib mandiri).

Ketika Musyabbihah mengatakan bahwa Allah memiliki organ tubuh seperti


tangan, mata, kaki dan lain-lain yang dimiliki oleh makhluk, maka hal itu akan
ditolak dengan sifat wajib Allah berupa mukhalafatuhu lil-hawadits (Allah wajib
berbeda dengan hal-hal yang baru). Ketika Mu'tazilah mengatakan bahwa
Allah Maha Kuasa tetapi tidak punya qudrat, Maha Mengetahui tetapi tidak
punya ilmu, Maha Berkehendak tetapi tidak punya iradat dan lain-lain, maka
hal itu akan ditolak dengan sifat-sifat ma'ani yang jumlahnya ada tujuh yaitu
qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama', bashar dan kalam. Demikian pula dengan
sifat-sifat yang lain. Wallahu a'lam.

Wednesday, December 9, 2009

Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid ( Pengajian ke :


01 )

Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling penting bagi tiap-tiap


Muslim. Karena bahasan ilmu tauhid ini menyangkut akidah
Islam. Sedangkan akidah dalam Islam merupakan pondasi
bagi keberagamaan seseorang dan benteng yang kokoh untuk
memelihara akidah Muslim dari setiap ancaman keraguan dan
kesesatan.
Kita seringkali mendengar terjadinya berbagai
penyimpangan dalam berpikir, berkata dan bertindak. Hal itu
terjadi karena jauhnya pemahaman yang benar terhadap
dasar-dasar akidah Islam dan masalah-masalah keimanan.
Prinsip-prinsip akidah dalam Islam dan masalah-masalah
keimanan adalah ajaran yang dibawa oleh para rasul sejak

49
dulu. Hal tersebut harus diyakini oleh setiap orang yang
beriman, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah SWT:
‫اء‬55‫ (األنبي‬. ‫َو َم ا َأْر َس ْلَن ا ِمْن َقْب ِلَك ِمْن َر ُسْو ٍل ِإَّال ُنْو ِحْي ِإَلْي ِه َأَّن ُه َال ِإَلَه ِإَّال َأَن ا َفاْع ُبُد ْو ِن‬
.)25 :
"Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu
melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak
ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah
olehmu sekalian akan aku". (QS. al-Anbiya' : 25).
Telah dimaklumi dalam ajaran agama, bahwa semua amal
saleh yang dilakukan oleh seseorang dengan penuh ketulusan
hanya akan diterima oleh Allah SWT apabila didasari dengan
akidah Islam yang benar yang menjadi bahasan ilmu tauhid
ini. Karena penyimpangan dari akidah yang benar berarti
penyimpangan dari keimanan yang murni kepada Allah. Dan
penyimpangan dari keimanan berarti kekufuran kepada Allah
SWT. Sedangkan Allah tidak akan menerima amal baik yang
dilakukan oleh orang kafir, berapa pun banyaknya amal yang
dia kerjakan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
‫َو َم ْن َيْر َت ِدْد ِم ْنُك ْم َع ْن ِد ْي ِن ِه َفَيُم ْت َو ُه َو َك اِفٌر َفُأولِئ َك َح ِبَط ْت َأْع َم اُلُهْم ِفي الُّد ْن َي ا‬
.)217 : ‫ (البقرة‬. ‫َو ْاآلِخَر ِة َو ُأولِئَك َأْص َح اُب الَّن اِر ُه ْم ِفْيَه ا َخ اِلُد ْو َن‬
"Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya,
lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka Itulah yang sia-
sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. al-
Baqarah : 217).
Pengertian ASWAJA
Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja adalah
singkatan dari Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Ada tiga kata yang
membentuk kata tersebut.
1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan
oleh Rasulullah SAW, maksudnya, semua yang datang dari

50
Nabi SAW, berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi
SAW. (Fath al-Bari, juz XII, hal.245).
3. Al-Jama'ah, yakni apa yang telah disepakati oleh para
sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin
(Khalifah Abu Bakar r.a, Umar bin al-Khatthab r.a, Utsman bin
Affan r.a, dan Ali bin Abi Thalib r.a). Kata al-Jama'ah ini
diambil dari sabda Rasulullah SAW :
-1/77( ‫) والحاكم‬209( ‫ (رواه الترمذي‬. ‫َم ْن َأَر اَد ُبْح ُبْو َح َة اْلَج َّن ِة َفْلَي ْلَز ِم اْلَج َم اَع َة‬
.)‫) وصححه ووافقه الحافظ الذهبي‬78
"Barang siapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang
damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-jama'ah
(kelompok yang menjaga kebersamaan)". (H.R al-Tirmidzi
(2091), dan al-Hakim (1/77-78) yang menilainya shahih dan
disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi).
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (471-561 H/1077-1166 M)
menjelaskan:
‫ ِفْي‬J ‫ َو اْلَج َم اَع ُة َم ا اَّت َفَق َع َلْي ِه َأْص َح اُب َر ُس ْو ِل ِهللا‬J ‫َفالُّس َّن ُة َم ا َس َّن ُه َر ُسْو ُل ِهللا‬
‫ة‬55‫ (الغني‬. ‫ِخَالَفِة ْاَألِئَّم ِة ْاَألْر َبَع ِة اْلُخ َلَف اِء الَّر اِش ِد ْي َن اْلَمْه ِد ِّيْي َن َر ْح َم ُة ِهللا َع َلْي ِهْم َأْج َم ِع ْي َن‬
.)1/80 ،‫لطالبي طريق الحق‬
"Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah
SAW (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau).
Sedangkan al-Jama'ah adalah segala sesuatu yang telah
menjadi kesepakatan para sahabat Nabi SAW pada masa
Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah
(mudah-mudahan Allah memberi Rahmat kepada mereka
semua)." (Al- Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I,
hal.80).
Lebih jelas lagi, Hadlratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim
Asy'ari (1287- 1336 H / 1871-1947) menyebutkan dalam
kitabnya Zidayat Ta'liqat (hal, 23-24) sebagai berikut :
‫َأَّم ا َأْه ُل الُّس َّن ِة َفُهْم َأْه ُل الَّت ْف ِس ْي ِر َو اْل َح ِد ْي ِث َو اْلِفْق ِه َف ِإَّن ُهْم اْلُمْه َت ُد ْو َن اْلُم َت َمِّس ُك ْو َن‬
‫ َقاُلْو ا َو َقْد اْج َت َمَع ْت اْلَيْو َم‬. ‫ َو اْلُخ َلَفاِء َبْع َد ُه الَّر اِش ِد ْي َن َو ُه ُم الَّط اِئَفُة الَّن اِجَي ُة‬J ‫ِبُس َّن ِة الَّن ِبِّي‬
. ‫ِفي َم َذ اِه َب َأْر َبَع ٍة اْلَح َن ِفُّيْو َن َو الَّش اِفِع ُّيْو َن َو اْلَم اِلِك ُّيْو َن َو اْلَح ْن َب ِلُّيْو َن‬

51
"Adapun Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah kelompok ahli
tafsir, ahli hadits dan ahi fiqih. Merekalah yang mengikuti
dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan
sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Mereka adalah
kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka
mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini
terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu madzhab
Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hanbali."
Dari defenisi ini, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-
Jama'ah bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari
beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang
hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah Islam yang
murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW dan sesuai
dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para
sahabatnya.
Hukum Akal ('Aqli)
Apabila kita menerima sesuatu keterangan, maka akal kita
tentu akan menerima dengan salah satu pendapat atau
keputusan hukum sebagaimana di bawah ini:
a. Membenarkan dan mempercayainya
b. Mengingkari dan tidak mempercayainya
c. Memungkinkan, artinya boleh jadi dan boleh tidak jadi
Putusan akal atau hukum akal yang pertama itu disebut
wajib:
(wajib 'aqli) ‫واجب عقلي‬
yang kedua disebut:
muhal atau mustahil ‫مستحيل عقلي‬
dan yang ketiga disebut:
jaiz atau mungkin (mungkin jadi dan mungkin tidak) ‫جائز عقلي‬
Contoh-contoh:
1. Wajib menurut akal (pasti)
Apabila ada orang yang berpendapat bahwa:
a. 2 X 2 = 4

52
b. Satu itu sama dengan sepertiga dari tiga
c. Segala benda itu apabila tidak bergerak tentu diam,
dan apabila tidak diam tentu begerak.
d. Seperempat kali seperempat sama dengan seperenam
belas.
maka semua pendapat itu tentu akan diterima akal yang
sehat. Dengan membenarkan dan mempercayainya dan
itu namanya keterangan yang wajib diterima oleh akal
(wajib 'aqli).
2. Muhal menurut akal (tidak mungkin)
Apabila ada orang yang berpendapat bahwa:
a. 2 X 2 = 5
b. Ada benda yang pada suatu waktu tidak diam dan
tidak bergerak
c. Seperempat kali seperempat sama dengan seperdua
kali tiga perempat
maka semua pendapat itu tentu akan ditolak oleh akal
yang sehat, tidak dapat dibenarkan dan tidak akan dapat
dipercayainya, dan itu namanya hal-hal yang muhal atau
mustahil.
3. Jaiz (mungkin)
Apabila ada orang berkata bahwa:
a. Si Fulan nanti akan mempunyai seorang anak.
b. Rumah ini akan rusak pada tahun ini.
maka semua keterangan itu tidak akan ditolak sama
sekali oleh akal, dan tidak pula akan dipastikan
kebenarannya dan dipercayai. Hal itu mungkin terjadi,
dan mungkin pula tidak akan terjadi. Yang sedemikian itu
namanya hal-hal yang mungkin atau jaiz.
Hukum Kebiasaan, Bukan Hukum Akal
Banyak orang yang telah biasa melihat api dapat membakar
kertas. Jika orang berpegang teguh pada kebiasaan yang
telah diketahui berulang-ulang itu, maka ditetapkan undang-

53
undang bahwa tiap-tiap api itu mesti dapat membakar segala
macam kertas. Dan apabila dikatakan sebaliknya, ia
mengatakan muhal atau mustahil, atau ia heran dan tidak mau
percaya.
Perbedaannya:
Dalam kejadian semisal di atas, arti mesti dan muhal
tidaklah sama dengan arti mesti atau muhal pada akal. Itu
hanyalah kepastian dari kebiasaan. Adapun menurut pendapat
akal, kejadian itu masih harus disebut hal yang mungkin saja
terjadi, dan mungkin dengan mengetahui beberapa sebab dan
musabab atau akibat, akan berubahlah kepastian tersebut.
Maka dari itu, jelas bahwa hukum kebiasaan tidak sama
dengan hukum akal.
Demikianlah, segala pengetahuan manusia tentang
kebiasaan alam yang sering sudah dikatakan undang-undang
alam itu, masih harus disebut "hal yang mungkin". Menurut
pendapat akal, karena keputusan atau undang-undang itu,
terdapat hanya dari memperhatikan kepada kejadian-kejadian
yang berulang-ulang saja.
Menurut akal, masih ditanyakan apakah yang menyebabkan
adanya tabiat? Apakah yang menyebabkan api dapat
membakar? Dan apakah yang menyebabkan air mengalir ke
tempat yang rendah? Dan apa yang menyebabkan tiap-tiap
zat mempunyai sifat dan tabiat yang berlainan? Demikian
seterusnya.

Friday, December 11, 2009

Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid ( Pengajian ke: 02


)
Alam, Tabiat Dan Hukumnya

Alam seisinya disebut hawadits.

Segala sesuatu yang dahulunya tidak ada kemudian ada, kemudian tidak ada lagi, atau segala

sesuatu yang dahulunya bergerak, kemudian diam, maka benda yang serupa itu namanya barang

54
yang mungkin belaka, dan juga dinamakan barang baru atau "hawadits", artinya barang yang

dahulunya tidak ada.

Dengan berubahnya sifat, dari tidak ada menjadi ada, dari diam menjadi bergerak, maka akal dapat

memutuskan dengan pendapatnya, bahwa sesuatu itu adalah barang yang mungkin belaka, bukan

barang wajib atau mustahil. Jika dikatakan wajib, tentu akan terus keadaannya. Dan jika dikatakan

mustahil, tentu tidak akan pernah terjadi.

Demikianlah segala alam seisinya ini, ternyata sebagai hawadits. Barang baru, yKajian Aswajaang

dahulunya tidak ada dan senantiasa berubah-ubah.

Dan semua hawadits, atau barang yang mungkin itu, tidak akan terjadi dan berubah dengan tanpa

sebab yang menyebabkan.

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

‫الَّر ِحْي ِم َد اِئِم ْاِإلْح َس‬ ‫ُأ‬ ‫َأْب‬


‫اِن‬ ‫َد ِبْس ـِم ِهللا َو الَّر ْح مِن َو ِب‬
‫ُّو ِل‬ ‫ِر اْلَبـاِقي ِبَالَت َح‬ ‫ِدْي ِم ْاَألَّو ِل َاآلِخ‬ ‫ُد ِهلل اْلَق‬ ‫َف اْلَح ْم‬

Saya memuji dengan menyebut Nama Allah SWT, Nama al-Rahman dan al-Rahim yang selalu

berbuat kebaikan

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Qadim (tidak ada permulaannya), dan Maha Awal

Yang Maha Akhir, dan kekal tanpa ada perubahan

‫َد ا‬ ‫ْد َو َّح‬ ‫ِر َم ْن َق‬ ‫ْر َمَد ا َع َلى الَّن ِبِّي َخ ْي‬ ‫َالُم َس‬ ‫َالُة َو الَّس‬ ‫ُثَّم الَّص‬

Kemudian shalawat dan salam sejahtera semoga selamanya tercurahkan kepada Nabi Muhammad

SAW sebagai orang terbaik yang mengesakan Allah SWT

Syarh:

Muncul pertanyaan, apa perlunya mengucapkan salawat kepada Nabi Muhammad SAW padahal

beliau adalah orang yang mulia dan terpilih, dengan jaminan surga dari Allah SWT?

Jawaban dari pertanyaan ini adalah, di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa mengucapkan shalawat

adalah teladan dari Allah SWT dan para malaikat yang mengucapkan shalawat kepada Nabi

Muhammad SAW. Sekaligus perintah Allah SWT kepada seluruh umat Islam untuk membaca

shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Firman Allah SWT:

)56 ،‫ِليًما (األحزاب‬ ‫ِّلُموا َت ْس‬ ‫ِه َو َس‬ ‫ُّلوا َع َلْي‬ ‫وا َص‬ ‫ِذيَن َءاَم ُن‬ ‫ا اَّل‬ ‫ُّلوَن َع َلى الَّن ِبِّي َياَأُّيَه‬ ‫ُه ُيَص‬ ‫ِإَّن َهللا َو َم َالِئَكَت‬.

"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang

beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (QS. al-

55
Ahzab : 56).

Sebagian ulama menyatakan bahwa shalawat adalah mendoakan Nabi Muhammad SAW, agar selalu

mendapatkan shalawat dan salam Allah SWT. Mendoakan Nabi Muhammad SAW agar pada masa

yang akan datang, rahmat dan salam Allah SWT itu akan terus diberikan kepada Nabi Muhammad

SAW.

Sebagian lain mengatakan bahwa walaupun shalawat adalah mendo’akan Nabi Muhammad SAW

namun pada hakikatnya ketika seorang membaca shalawat ia sedang bertawassul dan mengharapkan

barokah Allah SWT turun kepada dirinya dengan perantara shalawat tersebut. Oleh karena itulah

ketika seseorang membaca shalawat, niatnya tidak untuk mendoa’kan Nabi Muhammad SAW, tetapi

mengharap kepada Allah SWT agar semua keinginannya bisa terkabulkan dengan barokah shalawat

yang dibaca.

‫ِدْع‬ ‫َر ُمْب َت‬ ‫ِّق َغ ْي‬ ‫ِبْي َل ِدْي ِن اْلَح‬ ‫ْع َس‬ ‫ِه َو َص ـْح ِبِه َو َم ْن َت ِب‬ ‫َو آِل‬

Begitu pula shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada keluarga serta para sahabatnya dan

siapa pun yang mengikuti jalan agama yang benar tanpa berbuat bid’ah

Syarh:

Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW kemudian diiringi dengan shalawat kepada

keluarga dan para sahabat Nabi Muhammad SAW.

Yang dimaksud sahabat Nabi adalah orang-orang yang pernah melihat Nabi dalam keadaan Islam

dan meninggalkan dunia tetap pada keislamannya.

Sahabat adalah orang-orang yang mulia, dan selalu dalam petunjuk Allah SWT, walaupun bukan

berarti mereka tidak pernah berbuat salah dan dosa. Di antara mereka ada yang telah dijamin masuk

surga. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan yang kokoh, rela mengorbankan harta

bahka nyawa demi kejayaan agama Allah SWT. Taat beribadah kepada Allah SWT dengan sepenuh

hati, bersujud demi mengabdi kepada Allah SWT. Firman Allah SWT:
‫َأ‬ ‫َأ‬
‫ُمَح َّم ٌد َر ُسوُل ِهللا َو اَّلِذيَن َمَع ُه ِش َّداُء َع َلى اْلُكَّف اِر ُرَح َم اُء َب ْي َن ُهْم َت َر اُه ْم ُر َّك ًع ا ُس َّج ًد ا َي ْب َتُغ وَن َف ْض ًال ِمَن ِهللا َو ِر ْض َو اًن ا ِس يَماُه ْم ِفي ُو ُج وِه ِه ْم ِمْن َث ِر‬
)29 ،‫ (الفتح‬.‫ُجوِد‬ ‫ال ُّس‬.

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras

terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan

sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari

bekas sujud." (QS. al-Fath : 29).

Atas jasanya yang besar pada perjuangan menegakkan agama Allah SWT, Allah SWT memberikan

56
ridha-Nya kepada mereka dan menjanjikan balasan surga yang siap menanti kedatangan mereka di

akhirat. Firman Allah SWT:

‫َو الَّساِبُقوَن ْاَألَّو ُلوَن ِمَن اْلُمَهاِج ِر يَن َو ْاَألْن َص اِر َو اَّلِذيَن اَّت َبُعوُه ْم ِبِإْح َس اٍن َر ِض َي ُهللا َع ْن ُهْم َو َر ُضوا َع ْن ُه َو َأَع َّد َلُهْم َج َّن اٍت َت ْج ِر ي َت ْح َت َها ْاَألْن َهاُر َخ اِلِديَن ِفيَها‬

)100 ،‫ (التوبة‬.‫ْو ُز اْلَع ِظ يُم‬ ‫َك اْل َف‬ ‫ًد ا َذ ِل‬ ‫َأَب‬.
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin

dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan

merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir

sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang

besar." (QS. al-Taubah : 100).

Ketika Allah SWT telah memberikan ridha-Nya kepada para sahabat, maka sudah seharusnya kita

sebagai umat Islam wajib mengakui serta menghormati dan mendo’akan sahabat Nabi Muhammad

SAW. Tidak menyalahkan apalagi mengkafirkan mereka. Sabda Nabi Muhammad SAW:

‫ َع ْن َأِبْي ُهَر ْي َر َة َق اَل َق اَل َر ُسْو ُل ِهللا‬J ‫َال َت ُسُّبْو ا َأْص َح اِبْي َال َت ُسُّبْو ا َأْص َح اِبْي َف َو اَّلِذْي َن ْف ِس ْي ِبَيِدِه َلْو َأَّن َأَح َد ُك ْم َأْن َفَق ِم ْث َل ُأُح ٍد َذ َهًبا َما َأْد َر َك ُمَّد َأَح ِدِه ْم َو َال‬
)4610 :‫ رقم‬،‫ (صحيح مسلم‬.‫ْي َف ُه‬ ‫َن ِص‬.

“Dari Abu Hurairah RA. berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabat,

janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku!. Demi Dzat Yang Menguasaiku, andaikata salah satu

diantara kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, maka (pahala nafkah itu) tidak akan

menyamai (pahala) satu mud atau setengahnya dari (nafkah) mereka”. (Shahih Muslim [4610]).

Para sahabat tidak melakukan hal-hal yang terlarang dalam agama, termasuk pula tidak akan berbuat

bid’ah yang terlarang dalam agama. Apa yang mereka kerjakan, walaupun tidak dicontohkan secara

langsung oleh Rasulullah SAW, bukanlah sebuah bid’ah yang buruk (sayyi’ah), tetapi bid’ah yang baik

(hasanah) yang dianjurkan dalam agama. Karena Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam untuk

mengikuti apa yang beliau teladankan serta apa yang diteladankan oleh para sahabatnya. Sabda

Rasulullah SAW:

‫ َع ْن َع ْبِد الَّر ْح َم ِن ْب ِن َع ْم ٍر و الُّس َلِمِّي َأَّن ُه َس ِمَع اْلِعْر َباَض ْب َن َس اِر َي َة َق اَل َو َع َظ َن ا َر ُس وُل ِهللا‬J: ‫َف َع َلْي ُك ْم ِبَم ا َع َر ْفُتْم ِمْن ُس َّن ِتي َو ُس َّن ِة اْلُخ َلَف اِء الَّر اِش ِديَن‬
)16519 ،‫ (مسند احمد بن حنبل‬. ‫ِِد ِّيْي َن‬ ‫اْلَم ْه‬.

"Dari Abdurrahman bin Amr as-Sulamy, sesungguhnya ia mendengar Irbadh bin Sariyah berkata,

Rasulullah SAW memberikan wejangan kepada kami, “Maka kalian wajib berpegang teguh pada

sunnahku (apa yang aku ajarkan) dan sunnah al-Khulafaur Rasyidin (sahabat yang empat yang

terpilih) yang mendapatkan petunjuk dari Allah.” (Musnad Ahmad Ibn Hanbal, 16519).

57
‫َف ْة‬ ‫ِر ْي َن ِص‬ ‫ْة ِمْن َو اِج ٍبِ ِهلل ِع ْش‬ ‫ْو ِب اْلَم ْع ِر َف‬ ‫اْع َلْم ِبُو ُج‬ ‫ُد َف‬ ‫َو َب ْع‬

Setelah apa yang dikemukakan tadi, ketahuilah tentang kewajiban mengetahui ada dua puluh sifat

yang wajib bagi Allah SWT

Syarh:

Aqoid lima puluh adalah 50 hal yang wajib ketahui dan diyakini oleh seorang yang beriman kepada

Allah SWT dan Rasul-Nya.

)3 ،‫ِاْع َلْم َأَّن ُه َي ِج ُب َع َلى ُك ِّل ُمْس ِلٍم َأْن َي ْع ِر َف َخ ْم ِس ْي َن َع ِقْي َد ًة َو ُك ُّل َع ِقْي َد ٍة َي ِج ُب َع َلْي َه َأْن َي ْع ِر َف َلَه ا َد ِلْي ًال ِاْج َماِلًّّي ا َأْو َت ْف ِص ْي ِلًّيا (كفاي¶¶ة العوام‬.

"Ketahuilah bahwa setiap muslim (laki-laki atau perempuan) wajib mengetahui lima puluh akidah

beserta dalil-dalilnya yang bersifat global atau terperinci." (Kifayatul 'Awam, 3).

Lima puluh keyakinan itu terdiri dari:

Keimanan kepada Allah SWT:

1. Sifat wajib bagi Allah SWT = 20

2. Sifat mustahil bagi Allah SWT = 20

3. Sifat jaiz bagi Allah SWT = 1

Keimanan kepada para rasul:

4. Sifat wajib bagi rasul = 4

5. Sifat mustahil bagi rasul = 4

6. Sifat jaiz bagi rasul = 1

Jumlah = 50

Yang dimaksud sifat wajib di sini adalah sesuatu yang pasti ada atau dimiliki Allah SWT atau rasul-

Nya, di mana akal tidak akan membenarkan jika sifat-sifat itu tidak ada pada Allah SWT dan rasul-

Nya.

Mustahil merupakan perkara yang tidak mungkin ada pada Allah SWT dan rasul-Nya. Kebalikan dari

sifat wajib, yaitu akal tidak akan terima jika sifat-sifat tersebut ada pada Allah SWT dan para rasul-

Nya.

Sedangkan jaiz adalah sifat yang tidak harus ada pada Allah SWT dan rasul-Nya. Dengan pengertian

bahwa ada dan tidak adanya sifat ini pada Allah SWT dan rasul-Nya bisa diterima oleh akal.

‫ْاِإلْط َالِق‬ ‫ِق ِب‬ ‫اِلٌف ِلْلَخ ْل‬ ‫اِقْي ُم َخ‬ ‫ِدْي ٌم َب‬ ‫ْو ٌد َق‬ ‫َف اُهلل َم ْو ُج‬

Maka Allah SWT adalah Dzat yang bersifat Wujud (Ada), Qadim (tidak ada permulaan-Nya), Kekal,

dan berbeda dengan makhluk secara mutlak

58
Syarh:

Sifat Allah SWT yang dua puluh tersebut adalah sebagai berikut:

1. Wujud (Ada)

Allah SWT adalah Tuhan yang wajib kita sembah itu pasti ada. Allah SWT, ada tanpa ada perantara

sesuatu dan tanpa ada yang mewujudkan. Firman Allah SWT:

)14 ،‫ِذ ْك ِر ي (طه‬ ‫َالَة ِل‬ ‫ْد ِني َو َأِقِم الَّص‬ ‫ا َف اْع ُب‬ ‫َه ِإَّال َأَن‬ ‫ا ُهللا َال ِإَل‬ ‫ِإَّن ِني َأَن‬.

"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku

dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (QS. Thaha : 14).

Kalau sekarang manusia tidak bisa melihat Allah SWT, itu karena memang ada hijab sehingga

manusia tidak mampu melihat Allah SWT, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Musa AS (QS. Al-A'raf

: 143). Kelak di surga, ketika hijab itu diangkat, manusia akan mampu melihat jelas Dzat Allah SWT

dan dengan mata telanjang. Sabda Nabi SAW:

‫ َع ْن َج ِر يِر ْب ِن َع ْبِد ِهللا َق اَل ُكَّن ا ِع ْن َد الَّن ِبِّي‬J ‫َفَن َظ َر ِإَلى اْلَقَم ِر َلْي َلَة اْلَب ْد ِر َفَقاَل ِإَّنُك ْم َس َت َر ْو َن َر َّب ُك ْم َك َم ا َت َر ْو َن َه َذ ا اْلَقَم َر َال ُتَض اُّموَن ِفي ُرْؤ َيِت ِه (رواه‬

)‫البخاري ومسلم‬.

"Dari Jarir bin Abdillah RA ia berkata, "Suatu malam kami berkumpul bersama Nabi SAW. Kemudian

Nabi SAW melihat bulan purnama, lalu bersabda, "Sesungguhnya kelak kalian akan melihat Tuhan

kalian (sama jelasnya ) seperti kalian melihat bulan purnama ini, kalian tidak silau ketika melihatnya"

(HR. Bukhari dan Muslim).

Adanya alam semesta beserta isinya merupakan tanda bahwa Allah SWT ada. Dialah yang

menciptakan alam raya yang menakjubkan ini.

Kebalikan sifat ini adalah sifat adam (‫)العدم‬, yakni Allah SWT mustahil tidak ada.

2. Qidam (Dahulu)

Sebagai Dzat yang menciptakan seluruh alam, Allah SWT pasti lebih dahulu sebelum makhluk. Firman

Allah SWT:

)3 ،‫ْي ٍء َع ِليٌم (الحدي¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶د‬ ‫ِّل َش‬ ‫َو ِبُك‬ ‫اِط ُن َو ُه‬ ‫اِهُر َو اْلَب‬ ‫ُر َو الَّظ‬ ‫َو ْاَألَّو ُل َو ْاآلِخ‬ ‫ُه‬.

“Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan dia Maha mengetahui segala

sesuatu." (QS. al-Hadid : 3).

Dahulu bagi Allah SWT tanpa awal. Tidak berasal dari tidak ada kemudian menjadi Ada. Sabda Nabi

SAW:

‫ْو ُل ِهللا‬ ‫اَل َر ُس‬ ‫ َق‬، ‫ْي ٍن‬ ‫َر اَن ْب ِن ُحَص‬ ‫ َع ْن ِع ْم‬J، )‫ُرُه (رواه البخاري والبيهقي‬ ‫ْي ٌء َغ ْي‬ ‫اَن ُهللا َو َلْم َي ُك ْن َش‬ ‫َك‬.

"Dari Imron bin Hushain RA, Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT ada (dengan keberadaan tanpa

59
permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya." (HR. al-Bukhari dan al-Baihaqi).

Kebalikannya adalah huduts (‫)حدوث‬, yakni mustahil Allah SWT itu baru dan memiliki permulaan.

Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid ( Pengajian ke:


03)
3. Baqa’ (Kekal)
Arti baqa' adalah bahwa Allah SWT senantiasa ada, tidak akan mengalami
kebinasaan atau rusak. Dalam al-Qur’an disebutkan:
)27-26 ،‫َر اِم (الرحمن‬ ‫َك ُذ و اْلَج َالِل َو ْاِإلْك‬ ‫ُه َر ِّب‬ ‫اٍن َو َي ْب َقى َو ْج‬ ‫ا َف‬ ‫ُّل َم ْن َع َلْي َه‬ ‫ُك‬.
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (QS. ar-Rahman : 26-27).

Allah SWT adalah Dzat yang Maha Mengatur alam semesta. Dia selalu ada
selama-lamanya dan tidak akan binasa untuk mengatur ciptaan-Nya itu.
Hanya kepada-Nya seluruh kehidupan ini akan kembali. Firman Allah SWT:
)88 ،‫وَن (القصص‬ ‫ِه ُتْر َج ُع‬ ‫ُه اْلُح ْك ُم َو ِإَلْي‬ ‫ُه َل‬ ‫ٌك ِإَّال َو ْج َه‬ ‫ْي ٍء َهاِل‬ ‫ُّل َش‬ ‫ُك‬.
"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan,
dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (QS. al-Qashash : 88).
Kebalikannya adalah sifat Fana (‫)فناء‬, yang berarti mustahil Allah SWT tidak
kekal.

4. Mukhalafatu Lilhawaditsi, (Berbeda dengan makhluk)


Allah SWT pasti berbeda dengan segala yang baru (makhluk). Perbedaan
Allah SWT dengan makhluk itu mencakup segala hal, baik dalam sifat, dzat
dan perbuatannya. Firman Allah SWT:
)11 ،‫ (الشورى‬. ‫يُر‬ ‫ِميُع اْلَبِص‬
‫َو الَّس‬ ‫ْي ٌء َو ُه‬ ‫ِه َش‬ ‫َلْي َس َك ِم ْث ِل‬.
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. as-Syura : 11).
Apapun yang terlintas di dalam benak dan pikiran seseorang, maka Allah
SWT tidak seperti yang
dipikirkan itu. Imam Ahmad mengatakan:
)20 ،‫ (الفرق بين الفرق‬. ‫َك‬ ‫َك َف اُهلل ِبِخ َالِف َذ ِل‬ ‫َّو ْر َت ِبَباِل‬ ‫ا َت َص‬ ‫َم ْه َم‬.
"Apapun yang terlintas di benakmu (tentang Allah SWT) maka Allah SWT
tidak seperti yang dibayangkan itu." (Al-Farqu Bainal Firoq, 20).

60
Karena itulah seorang mukmin tidak diperkenankan membahas Dzat Allah
SWT karena ia tidak akan mampu untuk melakukannya. Justru ketika ia
menyadari akan kelemahannya itu, maka pada saat itu sebenarnya ia telah
mengenal Allah SWT. Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq mengatakan:
‫َر اٌك‬ ‫ٌر َو إْش‬ ‫ِه ُكْف‬ ‫ُز َع ْن َد ْر ِك ْاِإلْد َر اِك ِاْد َر اٌك َو اْلَب ْح ُث َع ْن َذ اِت‬ ‫َاْلَع ْج‬
Ketidakmampuan untuk mengetahui Allah SWT adalah sebuah kemampuan.
Sedangkan membahas Dzat Allah SWT adalah kufur dan syirik
Kebalikannya adalah mumatsalatuhu lilhawaditsi (‫)مماثلته للحوادث‬, yakni mustahil
Allah SWT sama dengan makhluk-Nya.

‫ْي‬ ‫اِلٌم ِبُك‬


‫ِّل َش‬ ‫ٌد َع‬ ‫اِدْر ُم ِر ْي‬ ‫ٌد َو َح ْي َق‬ ‫اِئٌم َغ ِني َو َو اِح‬ ‫َو َق‬
Allah SWT hádala Dzat Yang berdiri sendiri, Tunggal, Hidup, Berkuasa,
Berkehendak dan Mengetahui segala sesuatu

Syarh:

5. Qiyamuhu binafsih (berdiri sendiri)


Berbeda dengan makhluk yang masih membutuhkan sesuatu yang lain di luar
dirinya, Allah SWT tidak butuh terhadap sesuatu apapun. Allah SWT tidak
membutuhkan tempat dan dzat yang menciptakan. Dalam hal ini Allah SWT
berfirman:
)6 ،‫اَلِميَن (العنكبوت‬ ‫ِإَّن َهللا َلَغ ِنٌّي َع ِن اْلَع‬.
"Sesungguhnya Allah SWT benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam." (QS. al-Ankabut : 6).
Allah SWT Maha Kuasa untuk mewujudkan sesuatu tanpa membutuhkan
bantuan makhluk-Nya. Tetapi merekalah yang membutuhkan Allah SWT.
Firman Allah SWT:
)15 ،‫َو اْلَغ ِنُّي اْلَح ِمي¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶ُد (فاطر‬ ‫َر اُء ِإلَى ِهللا َو ُهللا ُه‬ ‫اُس َأْنُتُم اْلُفَق‬ ‫َي اَأُّيَه‬.
‫ا الَّن‬
"Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah
Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji." (QS.
Fathir : 15).
Allah SWT tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Bahkan terhadap
ibadah yang dilakukan seorang hamba, Allah SWT tidak membutuhkannya.

61
Ketika Allah SWT mensyariatkan shalat, puasa, zakat, haji, sedekah dan lain
sebagainya, maka itu bukan karena Allah SWT membutuhkannya. Tetapi
karena di dalamnya ada manfaat besar yang akan dirasakan oleh orang-
orang yang melaksanakan-Nya. Jadi ibadah itu bukan untuk kepentingan
Allah SWT, tetapi itu adalah kebutuhan kita sebagai hamba.
Kebalikan dari sifat ini adalah ihtiyajuhu li ghairihi ( ‫ ) إحتياجه لغيره‬artinya
mustahil Allah SWT butuh kepada makhluk.

6. Wahdaniyat (Esa/satu)
Allah SWT satu/esa, tidak ada tuhan selain Diri-Nya. Allah SWT Maha Esa
dalam Dzat, Sifat dan perbuatan-Nya. Firman Allah SWT:
)108 ،‫ُق ْل ِإَّن َم ا ُي وَح ى ِإَلَّي َأَّن َم ا ِإَلُهُك ْم ِإلٌه َو اِح ٌد َفَه ْل َأْنُتْم ُمْس ِلُموَن (األنبي¶¶¶¶¶¶¶اء‬.
"Katakanlah: "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah:
"Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka hendaklah kamu
berserah diri (kepada-Nya)". (QS. al-Anbiya' : 108).
Satu dalam Dzat Artinya, bahwa Dzat Allah SWT satu, tidak tersusun dari
beberapa unsur atau anggota badan dan tidak ada satupun dzat yang
menyamai Dzat Allah SWT.
Satu dalam sifat artinya bahwa sifat Allah SWT tidak terdiri dari dua sifat yang
sama, dan tidak ada sesuatupun yang menyamai sifat Allah SWT.
Dan satu dalam perbuatan adalah bahwa hanya Allah SWT yang memiliki
perbuatan. Dan tidak satupun yang dapat menyamai perbuatan Allah SWT.
Sifat yang mustahil bagi-Nya yaitu “ta’addud" (‫ )تعدد‬berbilangan, bahwa
mustahil Allah lebih dari satu. Firman Allah SWT:
)22 ،‫َل ْو َك اَن ِفيِه َم ا َء اِلَه ٌة ِإَّال ُهللا َلَفَس َد َت ا َفُس ْب َح اَن ِهللا َر ِّب اْلَع ْر ِش َع َّم ا َيِص ُفوَن (األنبي¶¶¶¶اء‬.
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai
'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS. al-Anbiya’: 22).

7. Qudrat (Kuasa)
Allah SWT Maha Kuasa dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Kekuasaan
Allah SWT meliputi terhadap segala sesuatu. Kuasa untuk mewujudkan dan
meniadakan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Allah SWT berfirman:

62
)6 ،‫ِد يٌر (الحشر‬ ‫ْي ٍء َق‬ ‫ِّل َش‬ ‫َو ُهللا َع َلى ُك‬.
“Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. al-Hasyr : 6).
Kalau Allah SWT tidak kuasa, tentu Ia tidak akan mampu meciptakan alam
raya yang sangat menakjubkan ini. Karena itu, mustahil bagi Allah SWT
memiliki sifat al-'Ajzu ( ‫) العجز‬ yang berarti lemah.

8. Iradah (Berkehendak)
Allah SWT Maha berkehendak, dan tidak seorangpun yang mampu menahan
kehendak Allah SWT. Dan segala yang terjadi di dunia berjalan sesuai
dengan kehendak Allah SWT. Allah SWT berfirman:
)11 ،‫ (الفتح‬.‫ُقْل َفَم ْن َي ْم ِلُك َلُك ْم ِمَن ِهللا َش ْي ًئ ا ِإْن َأَر اَد ِبُك ْم َض ًّر ا َأْو َأَر اَد ِبُك ْم َن ْف ًعا َب ْل َك اَن ُهللا ِبَم ا َت ْع َم ُل وَن َخ ِب يرًا‬.
"Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi
kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia
menghendaki manfa`at bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan." (QS. al-Fath : 11).
Allah SWT juga berfirman:
)82 ،‫وُن (يس‬ ‫وَل َل‬ ‫ْي ًئ ا َأْن َي ُق‬ ‫ُرُه ِإَذ ا َأَر اَد َش‬
‫ُه ُك ْن َف َي ُك‬ ‫ا َأْم‬ ‫ِإَّن َم‬.
"Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah
berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia." (QS. Yasin : 82).
Lawan dari sifat ini adalah ( ‫ ) الكراهة‬yang mempunyai makna “ terpaksa", yakni
mustahil Allah berbuat sesuatu karena terpaksa, atau tidak dengan
kehendak-Nya sendiri.

9. Ilmu (Mengetahui)
Allah SWT adalah Dzat yang Maha Menciptakan, maka Ia pasti mengetahui
segala sesuatu diciptakan-Nya. Allah SWT mengetahui dengan jelas akan
semua perkara yang jelas tampak ataupun yang samar, tanpa ada perbedaan
antara keduanya. Allah SWT berfirman:
)7 ،‫ (األعلى‬.‫ا َي ْخ َفى‬ ‫َر َو َم‬ ‫ُه َي ْع َلُم اْلَج ْه‬ ‫ِإَّن‬.
“Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.” (QS. al-
A’la : 7).

Kebalikan sifat ini adalah al-jahlu (‫)الجهل‬, yang berarti bodoh. Bahwa mustahil

63
Allah SWT bodoh atau tidak mengetahui pada apa yang diciptakan.

10. Hayat (Hidup)


Allah SWT Maha Hidup, dan hidup Allah SWT adalah kehidupan abadi, tidak
pernah dan tidak akan mati.
)58 : ‫ (الفرقان‬.‫َو َت َو َّك ْل َع َلى ٱْلَح ِّي ٱَّل ِذي َال َي ُم وُت َو َس ِّبْح ِبَح ْم ِدِه َو َكَفٰى ِب ِه ِب ُذ ُنوِب ِع َب اِدِه َخ ِب يرًا‬.
"Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan
bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-
dosa hamba-hamba-Nya." (QS. al-Furqan : 58).
Kebalikan dari sifat ini adalah al-mautu (‫)الموت‬, yang berarti mati. Yakni
mustahil Allah SWT mati.

‫ْب َع ٌة َت ْن َت ِظ ُم‬ ‫ُه ِص َفـاٌت َس‬ ‫ْيُر َو اْلُم َتَك ِّلُم َل‬ ‫َس ِم ـْيٌع اْل َبِص‬
‫َت َم ْر‬ ‫اٌة اْلِع ْلُم َكَالٌم اْس‬ ‫ْر َح َي‬ ‫ْم ٌع َبَص‬ ‫َف ُقـْد َر ٌة ِإَر اَد ٌة َس‬
Allah SWT juga Maha Mendengar, Melihat, dan Berbicara
Dia mempunyai tujuh sifat yang teratur
Yaitu sifat Qudrat, Iradat, Sama', Bashar
Hayat, Ilmi dan Kalam yang berlangsung terus

Syarh:
11. Sama’ (Mendengar)
Allah SWT Maha Mendengar. Namun pendengaran Allah SWT tidak sama
dengan pendengaran manusia yang bisa dibatasi ruang dan waktu. Allah
SWT mendengar dengan jelas semua yang diucapkan hamba-Nya.
Pendengaran Allah SWT tidak berbeda pada perkara yang dhahir atau yang
bathin. Firman Allah SWT:
)6 : ‫ (الدخان‬. ‫ِميُع ٱْلَع ِليُم‬ ‫َو ٱلَّس‬ ‫ُه ُه‬ ‫ِإَّن‬.
"Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS.
ad-Dukhan : 6).
Kebalikan dari sifat ini adalah al-shamamu (‫ )الصمم‬yang berarti tuli. Yakni
bahwa mustahil Allah SWT itu tuli.

12. Bashor (Melihat)

64
Allah SWT Maha melihat segala sesuatu. Baik yang nampak ataupun yang
samar. Bahkan andaikata ada semut yang sangat hitam berjalan di tengah
malam yang gelap gulita, Allah SWT dapat melihatnya dengan jelas.
‫َف اِط ُر ٱلَّسَم اَو اِت َو ٱَألْر ِض َج َع َل َلُك م ِّمْن َأنُفِس ُك ْم َأْز َو اجًا َو ِمَن ٱَألْن َع اِم َأْز واجًا َي ْذ َر ُؤ ُك ْم ِفي¶¶ِه َلْي َس َك ِم ْث ِل ِه َش ْي ٌء َو ُه َو‬
)11 : ‫ (الشورى‬. ‫يُر‬ ‫ِميُع ٱْلَبِص‬ ‫ٱلَّس‬.
"(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-
pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. as-Syura : 11).
Kebalikan sifat ini adalah al-'ama (‫ )العمى‬yang berarti buta, yakni bahwa
mustahil Allah SWT itu buta.

13. Kalam (Berfirman)


Allah SWT Maha berfirman, namun firman Allah SWt tidak sama seperti
perkataan manusia yang terdiri dari suara dan susunan kata-kata. Firman
Allah SWT, tanpa suara dan kata-kata.
)164 : ‫ (النساء‬.‫َو ُرُس ًال َق ْد َقَص ْص َن اُه ْم َع َلْي َك ِمن َقْب ُل َو ُرُس ًال َّلْم َن ْق ُصْص ُهْم َع َلْي َك َو َك َّلَم ٱُهلل ُموَس ٰى َت ْك ِليمًا‬.
"Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan
tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan
tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan
langsung." (QS. an-Nisa’ :164).
Kebalikan sifat ini adalah al-bakamu (‫)البكم‬, yang berarti bisu. Yakni bahwa
mustahil Allah SWT itu bisu.
Tujuh sifat ini adalah tergolong sifat Ma’ani. Sedangkan tujuh sifat setelahnya
adalah sifat Ma’nawiyyah. Yakni, 14) Qodiron (Allah Maha Berkuasa ), 15)
Muridan (Allah Maha Berkehendak), 16) Aliman (Allah Maha Mengetahui), 17)
Hayyan (Allah Maha Hidup), 18) Sami’an (Allah Maha Mendengar), 19)
Bashiron (Allah Maha Melihat), dan 20) Mutakalliman (Allah Maha Berbicara).
Jika diperinci, maka dua puluh sifat wajib bagi Allah SWT terbagi menjadi
empat kriteria.
1. Sifat Nafsiyyah, yakni sifat untuk menegaskan adanya Allah SWT, di mana
Allah SWT menjadi tidak ada tanpa adanya sifat tersebut. Yang tergolong

65
sifat ini hanya satu, yakni sifat wujud.
2. Sifat Salbiyyah, yaitu sifat yang digunakan untuk meniadakan sesuatu yang
tidak layak bagi Allah SWT. Sifat Salbiyah ini ada lima sifat yakni, 1) Qidam,
2) Baqo', 3) Mukhalafatu lil hawaditsi, 4) Qiyamuhu binafsihi, dan 5)
Wahdaniyyah.
3. Sifat Ma’ani, adalah sifat yang pasti ada pada Dzat Allah SWT. Terdiri dari
tujuh sifat, 1) Qudrat, 2) Iradah, 3) Ilmu, 4) Hayat, 5) Sama’, 6) Bashar dan 7)
Kalam.
4. Sifat Ma’nawiyyah, adalah sifat yang mulazimah (menjadi akibat) dari sifat
ma’ani, yakni 1) Qadiran, 2) Muridan, 3) Aliman, 4) Hayyan, 5) Sami’an, 6)
Bashiran, 7) Mutakalliman.
Sifat Jaiz Bagi Allah SWT

‫ِه‬ ‫ِّل ُمْم ِك ٍن َك ِفْع ِل‬ ‫ْر ٌك ِلُك‬ ‫ِه َت‬ ‫ِلِه َو َع ْد ِل‬ ‫اِئٌز ِبَفضْـ‬ ‫َو َج‬
Dan adalah boleh dengan anugerah Allah SWT dan keadilannya, ialah
meninggalkan segala yang mungkin seperti halnya Dia melakukannya

Syarh:
Sifat jaiz
Allah SWT ada satu, yakni:
‫ُه‬ ‫ِّل ُمْم ِك ٍن َأْو َت ْر ُك‬ ‫ُل ُك‬ ‫ِفْع‬
"Allah berhak untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan (tidak
mengerjakan)nya."
Tidak ada satu pun kekuatan yang dapat memaksa-Nya. Allah SWT memiliki
hak penuh untuk mengerjakan atau mewujudkan suatu perkara.
Sebagaimana juga Allah SWT mempunyai pilihan bebas untuk tidak
menjadikannya. Firman Allah SWT:
)40: ‫ (النحل‬. ‫وُن‬ ‫ُه ُك ْن َفَي ُك‬ ‫وَل َل‬ ‫اُه َأن َّنُق‬ ‫ْي ٍء ِإَذ آ َأَر ْد َن‬ ‫ا ِلَش‬ ‫ا َقْو ُلَن‬ ‫ِإَّن َم‬.
"Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka
jadilah ia." (QS. an-Nahl : 40).
Tidak seorangpun dari makhluk Allah SWT yang berhak untuk memaksa
Allah SWT untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu. Karena Allah
SWT adalah Dzat yang Maha Memaksa dan Maha Kuasa, tidak bisa dipaksa

66
atau dikuasai. Sedangkan usaha dan doa manusia hanya sekedar perantara
untuk mengharap belas kasih Allah SWT dalam mengabulkan apa yang
diinginkan. Keputusan akhir adalah mutlak ada pada kekuasaa Allah SWT.
Firman Allah SWT:
)68 : ‫ (القصص‬. ‫َو َر ُّب َك َي ْخ ُل ُق َم ا َي َش اُء َو َي ْخ َت اُر َم ا َك اَن َلُهُم اْلِخَي َر ُة ُس ْب َح اَن ِهللا َو َت َع اَلى َع َّم ا ُيْش ِر ُك وَن‬.
"Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-
kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa
yang mereka persekutukan (dengan Dia)." (QS. al-Qashash : 68).

‫ْة‬ ‫ِغ َو ْاَألَم اَن‬ ‫ْد ِق َو الَّت ْب ِلْي‬ ‫ْة ِبالِّص‬ ‫ا َذ ِو ْي َف َط اَن‬ ‫َل َأْن ِبَي‬ ‫َأْر َس‬
Allah SWT mengutus beberapa nabi yang memiliki kecerdasan, dengan
perkataan yang benar, menyampaikan perintah Allah SWT dan amanah

Syarh:
Allah SWT mengutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan serta
menyebarkan ajaran Islam ke muka bumi. Nabi adalah seorang manusia
yang menerima wahyu dari Allah SWT, namun tidak ada perintah untuk
disampaikan kepada kaumnya. Sedangkan rasul, selain menerima wahyu ia
juga diperintahkan untuk menyampaikannya kepada kaum. Maka bisa
dikatakan bahwa setiap rasul pasti nabi, tetapi tidak semua nabi adalah rasul.
Sebagai utusan Allah SWT, mereka adalah manusia-manusia pilihan yang
dibekali Allah SWT dengan keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki
makhluk Allah SWT yang lain. Begitu pula mereka diberikan sifat-sifat
kesempurnaan sebagai penguat atas risalah yang dibawa.
Khusus bagi Rasul, sebagai kesempurnaan dari risalah yang disampaikan,
Allah SWT menganugerahkan empat sifat kesempurnaan, yang pasti dimiliki
oleh seorang rasul Allah SWT. Yakni:

1. Shidiq (jujur)
Setiap rasul pasti jujur dalam ucapan dan perbuatannya. Pujian Allah SWT
kepada Nabi Ibrahim:
)41: ‫ (مريم‬.‫ا‬ ‫اَن ِص‬ ‫ِّدْي ًقا َن ِبًّي‬
‫َر اِهيَم ِإَّن‬ ‫اِب ِإْب‬ ‫ُه َك‬ ‫ْر ِفي اْلِك َت‬ ‫َو اْذ ُك‬.
"Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (al-Qur'an) ini.

67
Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang
Nabi." (QS. Maryam : 41).
Setiap rasul pasti jujur dalam pengakuan atas kerasulannya. Dan apa yang
disampaikan pasti benar adanya, karena memang bersumber dari Allah SWT.
Firman Allah SAW:
‫َو ِإَّال َو ْح ٌي ُي‬
)4-3 : ‫ (النجم‬, ‫وَح ٰى‬ ‫ ِإْن ُه‬، ‫َو ٰى‬ ‫ُق َع ِن ٱْلَه‬ ‫ا َينِط‬ ‫َو َم‬.
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."
(QS. an-Najm : 3-4).

2. Tabligh (menyampaikan)
Setiap rasul pasti menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT. Jika
Allah SWT, memerintahkan rasul untuk menyampaikan wahyu, seorang rasul
pasti menyampaikan wahyu tersebut kepada kaumnya. Dalam al-Qur’an
disebutkan:
)62 : ‫ (األعراف‬. ‫وَن‬ ‫ُح َلُك ْم َو َأْع َلُم ِمَن ِهللا َم‬
‫ا َال َت ْع َلُم‬ ‫اَالِت َر ِّبْي َو َأْن َص‬ ‫ُأَب ِّلُغ ُك ْم ِر َس‬.
"Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi
nasehat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu
ketahui". (QS. Al-A’raf : 62).

3. Amanah (bisa dipercaya)


Secara bahasa amanah berarti bisa dipercaya. Sedangkan yang dimaksud di
sini bahwa setiap rasul adalah dapat dipercaya dalam setiap ucapan dan
perbuatannya, karena rasul tidak mungkin melakukan perbuatan yang
dilarang dalam agama, begitu pula hal yang melanggar etika. Setiap rasul
tidak mungkin terperosok ke dalam perzinahan, pencurian, menkonsumsi
minuman keras, berdusta, menipu dan lain sebagainya. Rasul tidak mungkin
memiliki sifat hasud, riya’, sombong, dusta dan sebagainya.

4. Fathonah (cerdas)
Dalam menyampaikan risalah Allah SWT, tentu dibutuhkan kemampuan dan
strategi khusus agar risalah yang disampaikan bisa diterima dengan baik.
Karena itu, seorang rasul pastilah orang yang cerdas. Kecerdasan ini sangat

68
berfungsi terutama dalam menghadapi orang-orang yang membangkang dan
menolak ajaran Islam. Dalam al-Qur’an disebutkan:
)32 : ‫ (هود‬. ‫َق اُلوا َي اُنوُح َق ْد َج اَد ْلَتَن ا َف َأْك َث ْر َت ِج َد اَلَن ا َف ْأِتَن ا ِبَم ا َت ِع ُد َن ا ِإْن ُكْن َت ِمَن الَّص اِدِقيَن‬.
"Mereka berkata: "Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan
kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka
datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika
kamu termasuk orang-orang yang benar." (QS. Hud : 32).

‫َر ِض‬ ‫ِف اْل َم‬ ‫ِر َن ْق ٍص َكَخ ِفْي‬ ‫َر ِض ِبَغ ْي‬ ‫اِئٌز ِفي َح ِّقِه ْم ِمْن َع‬ ‫َو َج‬
Adalah boleh bagi para rasul mengalami kejadian yang dialami manusia
Tanpa mengurangi derajat mereka seperti sakit yang ringan

Syarh:
Walaupun sebagai seorang utusan Allah SWT yang memiliki sifat
kesempurnaan melebihi makhluk Allah SWT yang lain, namun hal itu tidak
akan melepaskan mereka dari fitrah kemanusian yang ada dalam dirinya.
Seorang rasul tetaplah sebagai seorang manusia biasa yang berprilaku
sebagaimana manusia yang lain.
Para rasul Allah SWT memiliki sifat serta melakukan aktifitas sebagaimana
manusia kebanyakan. Sudah tentu yang dimaksud adalah prilaku dan sifat-
sifat yang tidak mengurangi derajat kenabian mereka di mata manusia.
Seperti makan, minum, tidur, sakit dan semacamnya. Sedangkan prilaku
yang dapat merendahkan derajat kerasulannya, mereka tidak pernah
melakukannya. Dan inilah yang membedakan mereka dengan manusia yang
lain.

‫ٌة َو َف اَض‬
‫ُلْو ا الَم ـَالِئَك ْة‬ ‫ْة َو اِج َب‬ ‫اِئِر اْلَم َالِئَك‬ ‫َم ُتُهْم َك َس‬ ‫ِع ْص‬
Mereka wajib terpelihara dari perbuatan dosa (ma'shum) seperti halnya
Malaikat dan keutamaan mereka melebihi para Malaikat

Syarh:

69
Sebagaimana para malaikat, yang selalu patuh kepada perintah Allah SWT,
dan tidak pernah sekalipun melanggar larangan Allah SWT, maka para nabi
dan rasul Allah SWT juga demikian. Mereka adalah orang-orang yang dijaga
Allah SWT dari perbuatan yang dapat mendatangkan dosa. Para nabi dan
Rasul adalah orang yang selalu melaksanakan perintah Allah SWT dan
menjauhi larangannya.
Allah SWT telah menjaga para nabi dan rasul dari terjerumus ke dalam
perbuatan dosa, sejak mereka masih kecil, sebelum mereka mengemban
risalah Allah SWT, begitu pula setelah diangkat menjadi nabi dan rasul Allah
SWT.
Oleh karena itu, jika ada seseorang yang mengaku sebagai nabi Allah SWT,
namun diantara perbuatannya ada yang melanggar perintah Allah SWT, atau
mempermainkan dan mempermudah ajaran agama yang dibawa, maka
pengakuannya sebagai nabi harus ditolak.

‫ْي َن ِبُح ْك ٍم َو اِج ِب‬ ‫ْظ ِلَخ ْم ِس‬ ‫ِّل َو اِج ِب َف اْح َف‬ ‫ُّد ُك‬ ‫َت ِحْيُل ِض‬ ‫َو اْلُمْس‬
Sifat mustahil adalah kebalikan dari setiap sifat yang wajib, maka hafalkanlah
aqaid lima puluh untuk melaksanakan hukum yang wajib

Syarh:
Sedangkan sifat mustahil bagi rasul adalah kebalikan dari sifat wajib yang
empat di atas. Perincian sifat mustahil bagi para rasul tersebut adalah
sebagai berikut.:
1. Shidiq (jujur) = Kidzib (dusta)
2. Amanah (dapat dipercaya) = Khiyanat (tidak dapat dipercaya)
3. Tabligh (menyampaikan wahyu) = Kitman (menyembunyikan wahyu)
4. Fathonah (cerdas) = Baladah (bodoh)
Dengan demikian maka genaplah aqoid lima puluh yang wajib diketahui oleh
umat Islam.

‫ْق َو اْغ َت ِنْم‬ ‫ٍف َفَح ِّق‬ ‫َّل ُم َك َّل‬ ‫ِز ْم ُك‬ ‫ِر ْي َن َل‬ ‫ٍة َو ِع ْش‬ ‫ْيُل َخ ْم َس‬ ‫َت ْف ِص‬

70
Rincian 25 rasul wajib diketahui oleh setiap orang mukallaf, maka pastikan
dan raihlah jumlahnya

Syarh:
Para rasul Allah SWT sangat banyak, sebagian ulama mengatakan hingga
mencapai 315 rasul. Sedangkan nabi Allah SWT mencapai 124.000. Di
antara mereka ada yang wajib untuk diketahui dan ada yang tidak wajib. Nabi
dan rasul Allah SWT yang wajib diketahui berjumlah 25, yakni mereka yang
disebutkan di dalam al-Qur’an. Dengan perincian sebagai berikut:

‫ْع‬ ‫ٌّل ُم َّت َب‬ ‫َر اِهْي ُم ُك‬ ‫ْع َص ـاِلْح َو ِإْب‬ ‫ْو ُد َم‬ ‫ْو ٌح ُه‬ ‫ُه ْم آَد ٌم ِإْد ِر ْيُس ُن‬
‫ََذ ا‬ ‫ْو ُب اْح َت‬ ‫ُف َو َأُي‬ ‫ْو ُب ُيْو ُس‬ ‫َذ ا َي ْع ُق‬ ‫َح اُق َك‬ ‫ْو ٌط َو ِإْس ـَماِع ْيُل ِإْس‬ ‫ُل‬
‫ْع‬ ‫َلْي َم اُن اَّت َب‬ ‫ِل َد اُو ُد ُس‬ ‫ْع ُذ ْو اْلِك ْف‬ ‫ى َو اْلَيَس‬ ‫اُرْو ُن َو ُمْو َس‬ ‫َع ْيُب َه‬ ‫ُش‬
‫ا‬ ‫اِتٌم َد ْع َغ َّي‬ ‫ى َو َط ـَه َخ‬ ‫ا َي ْح َي ِع ْي َس‬ ‫ْو ُنُس َز َك ِر َّي‬ ‫ِاْلَي ــاُس ُي‬
‫اُم‬ ‫َع َلْي ِه ُم الَّصـَالُة َو الـَّس َالُم َو آِلـِه ْم َم ـا َد اَمِت ْاَألَّي‬
Mereka adalah Nabi Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih dan Ibrahim semuanya
diikuti
Luth, Isma’il, Ishaq, ya’qub, Yusuf, Ayyub yang mengikuti
Syu’aib, Harun, Musa, Ilyasa’, Dzulkifli, Dawud dan Sulaiman yang mengikuti
Ilyas, Yunus, Zakariya, Yahya, Isa, dan Thaha (Nabi Muhammad) sebagai
nabi yang terakhir, maka tinggalkanlah jalan yang sesat
Shalawat dan salam sejahtera semuga selalu terlimpahkan kepada mereka
dan keluarganya, selama hari-hari masih berjalan

Syarh:
Inilah jumlah nama dan urutan nabi dan rasul Allah SWT yang wajib ketahui.
Dimulai dari Nabi Adam AS sebagai pembuka para nabi, dan diakhiri Nabi
Muhammad SAW, nabi dan rasul Allah SWT yang terakhir.
Penegasan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi dan rasul Allah SWT
yang terakhir ditegaskan langsung oleh Allah SWT dan Rasul-Nya di dalam
al-Qur’an dan
hadits. Di antaranya adalah firman Allah SWT:
)40 : ‫َم ا َك اَن َمَح َّم ٌد َأَب ا َأَح ٍد ِمْن ِر َج اِلُك ْم َو َلِكْن َر ُسْو َل ِهللا َو َخ اَت َم الَّن ِبـِّي ـْي َن َو َك اَن ُهللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِلْيًم ا (األحزاب‬.

71
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara
kamu, tetapi dia adalah Rasûlullâh dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzâb : 40).
Nabi SAW juga bersabda:
‫ َق اَل َر ُس وُل ِهللا‬، ‫ َع ْن َأَن ِس ْب ِن َماِل ٍك َق اَل‬J ‫ (سنن‬. ‫ِإَّن الِّر َس اَلَة َو الُّن ُب َّو َة َق ْد اْن َقَط َع ْت َفَال َر ُس وَل َب ْع ِدي َو َال َن ِبَّي‬
)2198 ،‫الترمذي‬.
“Dari Anas bin Mâlik ia berkata, bahwa Rasûlullâh SAW bersabda,
“Sesungguhnya misi kerasulan dan kenabian telah selesai. Karena itu tidak
ada rasul dan nabi setelah aku.” (Sunan al-Tirmidzî, 2198).
Dalam hadits yang Nabi lain SAW bersabda:
‫ عن َع ْبد ِهللا ْب َن َع ْم ٍر و َق اَل َر ُسْو ُل ِهللا‬J ، ‫ (مسند احمد‬.‫َأَن ا ُم َح َّم ٌد الَّن ِبُّي ْاُألِّمُّي َق اَل ُه َث َالَث َم َّر اٍت َو َال َن ِبَّي َب ْع ِدي‬
)6318
"Dari Abdullah bin Amar, Rasulullah SAW bersabda, "Saya adalah
Muhammad, seorang nabi yang ummi (beliau mengucapkannya tiga kali), dan
tidak ada nabi setelah saya." (Musnad Ahmad, 6318).
Dalam hadits lain, Nabi SAW juga bersabda tentang Bani Israil:
‫ َع ْن ُفَر اٍت اْلَقَّز اِز َق اَل الَّن ِبُّي‬J ‫َك اَنْت َب ُنو ِإْس َر اِئيَل َت ُسوُس ُهْم ْاَألْن ِبَي اُء ُك َّلَم ا َه َل َك َن ِبٌّي َخ َلَف ُه َن ِبٌّي َو ِإَّن ُه َال َن ِبَّي َب ْع ِدي‬
)3197 ، ‫(صحيح البخاري‬.
"Dari Furat al-Qazzaz, Nabi SAW bersabda, " Bani Isra'il dulu dipimpin oleh
para nabi. Setiap seorang nabi meninggal dunia, maka digantikan oleh nabi
yang lain. Namun (berbeda dengan umatku, karena) setelah aku tidak akan
ada nabi lagi." (Shahih al-Bukhari, 3198).
Sabda Nabi Muhammad SAW tentang wafatnya putra beliau yang bernama
Ibrahim:
‫ َع ْن ِإْس َماِع يَل ُقْلُت ِالْب ِن َأِبي َأْو َف ى َر َأْيَت ِإْب َر اِهيَم اْب َن الَّن ِبِّي‬J ‫ َق اَل َم اَت َص ِغيًر ا َو َلْو ُقِض َي َأْن َي ُك وَن َب ْع َد ُم َح َّم ٍد‬J
)5726 ، ‫ (صحيح البخاري‬.‫َد ُه‬ ‫ُه َو َلِكْن َال َن ِبَّي َب ْع‬ ‫اَش اْب ُن‬ ‫َن ِبٌّي َع‬.
“Dari Ismail, saya berkata kepada Ibnu Abi Awfa, “Engkau telah melihat
Ibrahim putra Nabi SAW?" Dia menjawab, "(Ya, saya melihatnya) meninggal
ketika masih kecil (dalam usia delapan belas bulan). Andaikan Allah SWT
telah menetapkan bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW, niscaya
Ibrahim akan hidup (tidak meninggal dunia). Tetapi (Allah SWT telah
menentukan bahwa) tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW.” (Shahih
al-Bukhari, 5726).

72
Rasul SAW juga bersabda:
‫ُأ‬
‫ َع ْن َث ْو َب اَن َق اَل َق اَل َر ُسوُل ِهَّللا‬J ‫َو ِإَّن ُه َس َي ُك وُن ِفي َّمِتي َث َالُثوَن َك َّذ اُبوَن ُك ُّلُهْم َي ْز ُع ُم َأَّن ُه َن ِبٌّي َو َأَن ا َخ اَت ُم الَّن ِبـِّييَن َال‬
)2145 ،‫ (سنن الترمذي‬.‫ِدي‬ ‫َن ِبَّي َب ْع‬.
“Dari Tsaubân ia berkata, Rasûlullâh SAW bersabda, “Sesungguhnya kelak
pada umatku ada tiga puluh orang pendusta. Mereka semua mengaku dirinya
sebagai nabi. (Maka janganlah percaya karena sesungguhnya) akulah akhir
para nabi dan tidak ada nabi setelahku.” (Sunan al-Tirmidzî, 2145).
Ini merupakan nubuwat Rasulullah SAW tentang adanya orang-orang yang
mengaku sebagai nabi setelah beliau. Dan dengan tegas Nabi SAW
mengatakan agar umat Islam tidak mempercayai mereka, karena beliau
adalah akhir dan penutup para nabi.
Keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir begitu kuat
tertanam di dada para sahabat Nabi SAW, sehingga ketika ada yang
mengaku sebagai nabi, serta merta mereka menolaknya, sekaligus
menyatakan perang kepada mereka.
Terkait dengan meninggalnya putra beliau Ibrahim, Ibn Abbas mengatakan:
“Allah SWT bermaksud apabila aku tidak menjadikan dia (Muhammad SAW)
penutup para nabi, niscaya pasti aku ciptakan seorang anak untuknya yang
akan menjadi nabi sesudahnya.” (Al-Shabuni, Shafwah al-Tafâsir, juz II hal
529).

‫ْو َم َلُهْم‬ ‫ْر َب َو َالَن‬ ‫َل َالَش‬ ‫ِذي ِبَال َاٍب َو ُأّم َال َأْك‬ ‫ُك اَّل‬ ‫َو اْلَم َل‬
Dan Malaikat yang tanpa ayah dan ibu, tidak makan dan tidak minum serta
tidak tidur

Syarh
Umat Islam wajib percaya kepada adanya malaikat sebab hal itu sudah
ditegaskan dalam al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT:
‫َء اَمَن الَّر ُسوُل ِبَم ا ُأْن ِز َل ِإَلْيِه ِمْن َر ِّبِه َو اْلُمْؤ ِم ُنوَن ُك ٌّل َء اَمَن ِباِهلل َو َم َالِئَك ِتِه َو ُكُتِبِه َو ُرُسِلِه َال ُنَفِّر ُق َب ْي َن َأَح ٍد ِمْن ُرُسِلِه‬
)285 ،‫ (البقرة‬. ‫يُر‬ ‫َك اْلَمِص‬ ‫ا َو ِإَلْي‬ ‫َك َر َّب َن‬ ‫ا ُغ ْف َر اَن‬ ‫ِمْع َن ا َو َأَط ْع َن‬ ‫اُلوا َس‬ ‫َو َق‬.
“Rasul Telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman

73
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.
(Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun
(dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami
dengar dan kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami Ya Tuhan kami
dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS. al-Baqarah: 285).
Iman kepada malaikat artinya adalah meyakini bahwa Allah SWT telah
menciptakan makhluk yang terbuat dari cahaya, dan tidak pernah durhaka
kepada Allah SWT.
Malaikat adalah makhluk yang sangat mengagumkan. Mereka tidak makan,
tidak minum, tidak tidur, tidak berkeluarga. Mereka dapat merubah bentuk
dirinya menjadi manusia, sebagaimana terjadi pada malaikat Jibril ketika
menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak jarang ia
menampakkan dirinya dalam bentuk manusia.
Masing-masing malaikat diberi tugas oleh Allah SWT. Di antara mereka ada
yang ditugaskan untuk menyampaikan wahyu, mencatat amal manusia,
menjaga surga, mengikuti dan menghadiri majlis dzikir. Di antara mereka ada
yang ditugaskan hanya untk menyembah dan bertasbih kepada Allah SWT.
Ada pula yang ditugaskan untuk menjaga badan manusia dan sebagainya.
Para malaikat hanya mengerjakan apa yang diperintahkan Allah SWT
kepadanya. Mereka tidak melanggar larangan Allah SWT ataupun sesuatu
yang tidak diperintahkan kepadanya. Dalam al-Qur’an disebutkan:
‫َي اَأُّيَه ا اَّلِذيَن َء اَم ُنوا ُقوا َأْنُفَس ُك ْم َو َأْه ِليُك ْم َن اًر ا َو ُقوُد َه ا الَّن اُس َو اْلِحَج اَر ُة َع َلْي َه ا َم َالِئَك ٌة ِغ َالٌظ ِش َد اٌد َال َي ْع ُص وَن َهللا َم ا‬
)6 ،‫ (التحريم‬. ‫ْؤ َم ُروَن‬ ‫ا ُي‬ ‫وَن َم‬ ‫َر ُه ْم َو َي ْف َع ُل‬ ‫َأَم‬.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (QS. al-Tahrim : 6).

‫ُل‬ ‫ُل ِمْيـَك اُل ِاْس ـَر اِفْيُل ِع ْز َر اِئْي‬ ‫ٍر ِم ْن ُهُم ِج ْب ِر ْي‬ ‫ْيُل َع ْش‬ ‫َت ْف ِص‬
‫ََذ ى‬ ‫َو اُن اْح َت‬ ‫ٌك َو ِر ْض‬ ‫ٌد َماِل‬ ‫َذ ا َع ِتْي‬ ‫ٌر َو َر ِقْيٌب َو َك‬ ‫ْر َن ِكْي‬ ‫ُم ْن َك‬
Rincian sepuluh dari Malaikat adalah Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Mungkar,

74
Nakir, Raqib, Atid, Malik dan Ridhwan yang mengikuti

Syarh:
Malaikat-malaikat Allah SWT banyak sekali, namun yang wajib diketahui
hanya sepuluh Yakni
1. Malaikat Jibril bertugas menyampaikan wahyu Allah SWT.
2. Malaikat Mika’il bertugas memberikan rizki.
3. Malaikat Izra’il bertugas mencabut arwah.
4. Malaikat Israfil bertugas meniup terompet pertanda hari kiamat.
5. dan 6. Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir, bertugas menjaga kuburan.
7. dan 8. Malaikat Raqib dan Malaikat Atid, bertugas mencatat amal baik dan
buruk manusia.
9. Malaikat Ridwan, bertugas menjaga surga.
10. Malaikat Malik, bertugas menjaga neraka.

‫ا‬ ‫َد ى َت ْن ِز ْي ُلَه‬ ‫ْو َر اُة ُمـْو َس ى ِباْلُه‬ ‫ْي ُلَه ا َت‬ ‫َأْر َب ـَع ٌة ِمْن ُكُتٍب َت ْف ِص‬
‫ِر اْلَم َال‬ ‫اٌن َع َلى َخ ْي‬ ‫ى َو ُفْر َق‬ ‫ْيُل َع َلى ِع ْي َس‬ ‫ْو ُر َد اُو َد َو ِإْن جِـ‬ ‫َز ُب‬

Rincian empat kitab (yang wajib diketahui) adalah Taurat(nya Nabi) Musa
yang diturunkan membawa petunjuk, Zabur(nya Nabi) Dawud, Injil yang
diturunkan atas Isa dan Furqan (al-Qur'an) yang diturunkan kepada sebaik-
baik nabi

‫ْل‬ ‫ْل‬ ‫ِل َو اْلَك ِلْي ِم ِفْي َه‬ ‫َو ُصـُح ُف اْلَخ ِلْي‬
‫ا َك ـَالُم ا َح َك ِم ا َع ِلْي ِم‬
Shuhuf Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, di dalamnya terdapat firman Tuhan
Yang Maka Bijaksana lagi Maha Mengetahui

Syarh:
Iman kepada kitab Allah SWT adalah percaya dan meyakini bahwa Allah
SWT telah menurunkan beberapa kitab kepada para rasul-Nya untuk
dijadikan pedoman hidup manusia. Dalam hal ini, beriman kepada kitab Allah
SWT mencakup tiga perkara:
1. Percaya bahwa kitab-kitab itu benar-benar diturunkan oleh Allah SWT.

75
2. Beriman bahwa Allah SWT telah menurunkan beberapa kitab yang wajib
diketahui. Yakni, al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, Taurat kepada
Nabi Musa as, Injil kepada Nabi Isa as dan Zabur kepada Nabi Dawud as.
3. Mempercayai kepada berita-berita yang dibawa oleh kitab-kitab tersebut.
Kenapa Allah SWT menurunkan kitab kepada para rasul-Nya. Tidak
cukupkah manusia dengan akalnya dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya
dapat menentukan baik dan buruk untuk mencari kebahagiaan dunia dan
akhirat? Jawabannya dari pertanyaan ini bisa dilihat dari tiga sisi:
1. Akal manusia itu sangat terbatas. Begitu pula dengan ilmu yang diberikan
Allah SWT kepada manusia hanya sedikit sekali. Ibarat setetes air yang
berada di samudera yang luas membentang, itulah gambaran ilmu yang
dimiliki manusia dibandingkan dengan ilmu Allah SWT.
2. Kalau manusia diberikan kebebasan sepenuhnya, maka yang terjadi
adalah manusia akan berbeda dalam mendefinisikan perkara baik yang dapat
mengantarkannya menuju kebahagiaan dunia akhirat, serta perbuatan buruk
yang menjadikan hidup manusia menjadi sengsara. Contoh kecil tentang
pergaulan bebas atau seks pra nikah. Bisa saja di suatu daerah, misalnya di
Barat dianggap baik dan tidak akan menimbulkan kerusakan, tapi dalam
budaya timur hal itu merupakan perbuatan asusila yang mendatangkan
kesengsaraan dunia dan akhirat. Di sinilah fungsi kitab Allah SWT yang
menjelaskan berbagai hukum Allah SWT.
3. Tidak semua perbuatan dapat diketahui dengan akal manusia. Ada banyak
hal yang membutuhkan petunjuk dari Allah SWT agar perbuatan itu dapat
dikerjakan dengan cara yang benar. Misalnya tentang tata cara beribadah
kepada Allah SWT seperti shalat, puasa dan haji. Untuk mengetahui cara
tersebut harus menunggu penjelasan dari Allah SWT melalui kitab dan rasul-
Nya. Tanpa penjelasan itu maka manusia tidak akan mengetahui tatacara
beribadah yang benar kepada Allah SWT.
Inilah diantara beberasa alasan kepada Allah SWT menurunkan kitab kepada
para rasul-Nya.

‫ْو ُل‬ ‫ِلْي ُم وَاْلَقُب‬ ‫ْو ُل َفـَح ُّقُه الَّت ْس‬ ‫ا َأَت ى ِبـِه الَّر ُس‬ ‫َو ُك ـُّل َم‬

76
Segala sesuatu yang disampaikan oleh rasul, maka kewajibannya adalah
dibenarkan dan diterima

Syarh:
Umat Islam wajib meyakini dan melaksanakan semua yang dibawa dan
disampaikan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perintah, larangan atau hal
yang terkait dengan kabar tentang hal-hal gaib. Dalam hal ini Allah SWT
berfirman:
)7 ،‫ (الحشر‬.‫َو َم ا َء اَت اُك ُم الَّر ُس وُل َفُخ ُذ وُه َو َم ا َن َه اُك ْم َع ْن ُه َف اْن َت ُهوا َو اَّتُق وا َهللا ِإَّن َهللا َش ِديُد اْلِع َق اِب‬.
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS. al-Hasyr : 7).
Apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah perkara yang wajib diyakini
kebenarannya. Termaktub semuanya di dalam al-Qur’an dan hadits. Ketika
Allah SWT dan Rasulullah SAW menyampaikan bahwa Nabi Muhammad
SAW adalah nabi terakhir, maka hal tersebut wajib diyakini kebenarannya.
Begitu pula pengakuan Allah SWT dan rasul-Nya kepada sahabat nabi, maka
wajib bagi umat Islam untuk meyakininya.
Meyakini apa yang dibawa oleh Nabi SAW bisa berarti bahwa umat Islam
wajib melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan Allah SWT dan
Rasul-Nya. Melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji, berbuat baik kepada
semua makhluk Allah SWT, kemudian tidak melakukan pencurian,
perzinahan, perusakan lingkungan, aniaya, penipuan dan semacamnya,
adalah bentuk dari upaya untuk melaksanakan apa yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. Dan inilah yang disebut Islam yang sempurna (kaffah)
sebagaimana difirmankan Allah SWT:
)208 : ‫ (البقرة‬. ‫َي اَأُّيَه ا اَّلِذيَن َء اَم ُن وا اْد ُخ ُل وا ِفي الِّس ْلِم َك اَّف ًة َو َال َت َّت ِبُع وا ُخ ُط َو اِت الَّش ْي َط اِن ِإَّن ُه َلُك ْم َع ُد ٌّو ُم ِبيٌن‬.
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. al-Baqarah :
208).

77
‫ِه ِمَن اْلَع َج ْب‬ ‫اَن ِب‬ ‫ا َك‬ ‫ِّل َم‬ ‫ٍر َو َج ْب َو ُك‬ ‫ْو ٍم آَخ‬ ‫ِإْيـَم اُنَن ا ِبَي‬
Kita wajib percaya akan adanya hari akhir, dan segala keajaiban yang terjadi
pada hari itu

Syarh:
Maksud dari beriman kepada hari akhir adalah keyakinan yang pasti akan
datangnya hari akhir dan sesuatu yang berhubungan dengannya. Dalam
masalah iman kepada hari akhir, ada beberapa hal yang harus diyakini oleh
seorang mukmin yakni, siksa dan nikmat kubur, hari mahsyar, hisab, surga,
neraka dan semacamnya.
1. Nikmat dan Siksa Kubur
Kita yakin bahwa kematian itu pasti akan menjemput setiap manusia. Dan
apabila kematian telah datang kepada seseorang, maka tidak akan bisa
dimajukan atau ditunda. Allah SWT berfirman:
)34 : ‫ (األعراف‬. ‫َو ِلُك ِّل ُأَّم ٍة َأَج ٌل َف ِإَذ ا َج اَء َأَج ُلُهْم َال َي ْس َت ْأِخُروَن َس اَع ًة َو َال َي ْس َت ْق ِدُموَن‬.
"Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Maka apabila telah datang
waktunya mereka (ajal) tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan
tidak dapat (pula) memajukannya." (QS. al-A’raf : 34).

Dan setelah seseorang dikuburkan, Allah SWT mengembalikan ruh orang


tersebut, kemudian datang dua malaikat yang akan menanyakan beberapa
hal kepadanya. Malaikat itu bertanya kepadanya tentang Tuhan, nabi, agama,
kiblat dan saudaranya.
Orang-orang yang dapat menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir
adalah mereka yang selama hidupnya selalu berbuat kebaikan, banyak
beribadah kepada Allah SWT, serta menolong sesama manusia. Allah SWT
berfirman:
‫ِإَّن اَّل ِذيَن َق اُلوا َر ُّب َن ا ُهللا ُثَّم اْس َتَقاُموا َتَتَن َّز ُل َع َلْي ِه ُم اْلَم َالِئَك ُة َأَّال َتَخ اُفوا َو َال َت ْح َز ُن وا َو َأْبِش ُروا ِباْلَج َّن ِة اَّلِتي ُكْنُتْم‬
)30 ،‫ (فصلت‬. ‫ُد وَن‬ ‫ُتوَع‬.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah",
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun
kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah
merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah

78
dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fusshilat : 30).
Sedangkan orang-orang yang selama hidupnya selalu diisi dengan
kedurhakaan dan tindakan yang menyengsarakan sesama, akan mendapat
siksa dalam kuburnya. Dalam hal ini, siksa kubur dibagi menjadi dua.
Pertama, Adzab kubur yang berlangsung terus sampai hari kiamat. Yaitu
untuk orang tidak beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta orang-
orang yang selalu berbuat dosa besar. Sebagaimana disebutkan di dalam al-
Qur’an tentang keluarga Fir’aun:
)46 : ‫ (المؤمن‬.‫الَّن اُر ُيْع َر ُض وَن َع َلْي َه ا ُغ ُد ًّو ا َو َعِش ًّي ا َو َي ْو َم َت ُق وُم الَّس اَع ُة َأْد ِخ ُل وا َء اَل ِفْر َع ْو َن َأَش َّد اْلَع َذ اب‬.
"Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari
terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir`aun dan
kaumnya ke dalam azab yang sangat keras". (QS al-Mukmin : 46).
Kedua, Adzab kubur yang berlaku sementara. Yakni siksa kubur yang
diterima oleh orang mukmin yang melakukan kemaksiatan. Ia disiksa sesuai
dosa yang dilakukan di dunia. Siksa ini bisa diringankan atau bahkan
dihentikan jika apa yang dia diterima sudah dianggap cukup untuk menebus
dosa yang pernah dilakukan. Atau ada do’a dan permohonan ampunan
(istighfar) atau kiriman pahala sodakoh, bacaan al-Qur’an dan lainnya, yang
dipanjatkan oleh sanak keluarga, famili, dan teman-teman yang masih hidup.
Dari sinilah, bagi segenap kaum muslim yang masih hidup, sebaiknya
senantiasa mendo’akan keluarga, terutama kedua orang tua, sahabat atau
seluruh kaum muslimin yang telah meninggal dunia. Hal itu merupakan salah
satu bentuk kepedulian kepada mereka, sehingga dapat menjalani kehidupan
alam kubur dengan tenang dan bahagia.
Dalam hal inilah, tradisi tahlilan yang sudah berlaku umum di masyarakat
Indonesai perlu terus dilakukan dan dilestarikan, karena apa yang dibaca
dalam acara tersebut merupakan sesuatu yang memang sangat dibutuhkan
oleh orang yang telah meninggal dunia.
Begitu pula, setiap selesai shalat lima waktu agar tidak henti-hentinya
mendo’akan kedua orang tua atau keluarga yang telah meninggal dunia, atau
dengan mengirimkan pahala bacaan surat al-Fatihah untuk mereka.

B. Hari Kiamat

79
Hari kiamat adalah hancurnya seluruh alam semesta. Bumi dan seluruh alam
raya serta makhluk yang ada di dalamnya akan binasa. Semua makhluk
bernyawa akan menemui kematian. Bumi hancur, langit runtuh dan air laut
tumpah. Semua orang bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Firman Allah
SWT:
( ‫) َي ْو َم ِئٍذ ُتَح ِّد ُث َأْخ َب اَر َه ا‬3( ‫) َو َق اَل ْاِإلْن َس اُن َم ا َلَه ا‬2( ‫) َو َأْخ َر َج ِت ْاَألْر ُض َأْث َقاَلَه ا‬1( ‫ِإَذ ا ُز ْلِز َلِت ْاَألْر ُض ِز ْلَز اَلَه ا‬
)4.
"Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat), dan
bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan
manusia bertanya: "Mengapa bumi (jadi begini)?", pada hari itu bumi
menceritakan beritanya.” (QS. al-Zalzalah : 1-4).
Hari kiamat pasti akan terjadi, namun tidak seorangpun yang mengetahui
waktu terjadinya kiamat. Manusia dengan segala perangkat ilmu dan
tekhnologi yang dimilikinya tidak akan dapat memprediksikan kapan
terjadinya hari tersebut. Hanya Allah SWT yang mengetahuinya.
Sebagaimana firman-Nya SWT:
‫َي ْس َأُلوَن َك َع ِن الَّساَع ِة َأَّياَن ُمْر َس اَه ا ُقْل ِإَّن َم ا ِع ْلُم َه ا ِع ْن َد َر ِّبْي َال ُيَج ِّلْي َه ا ِلَو ْق ِتَه ا ِإَّال ُه َو َث ُقَلْت ِفي الَّسَمَو اِت َو ْاَألْر ِض َال‬
)187 : ‫ (المائدة‬. ‫َت ْأِتيُك ْم ِإَّال َب ْغ َت ًة َي ْس َأُلوَن َك َك َأَّن َك َح ِفٌّي َع ْن َه ا ُقْل ِإَّن َم ا ِع ْلُم َه ا ِع ْن َد ِهللا َو َلِكَّن َأْك َث َر الَّن اِس َال َي ْع َلُم وَن‬.
"Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?"
Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi
Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya
selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit
dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-
tiba". Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar
mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari
kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
(QS. al-A’raf : 187).
Manusia hanya diberi pengetahuan tentang tanda-tanda terjadinya kiamat
tersebut, agar kita selalu waspada dan terus meningkatkan keimanan kepada
Allah SWT. Umumnya tanda kiamat dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
tanda-tanda kecil, yakni sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits.
Diantaranya adalah ketika Nabi Muhammad ditanya oleh malaikat Jibril
tentang hari kiamat. Nabi SAW menjawab:

80
‫ َق اَل َر ُسْو ُل ِهللا‬،‫ َع ْن َأِبي ُه َر ْي َر َة‬J ‫ َس ُأْخ ِبُر َك َع ْن َأْش َر اِط َه ا ِإَذ ا َو َل َد ْت ْاَألَم ُة َر َّبَه ا‬، ‫َم ا اْلَم ْس ُئْو ُل ِبَأْع َلَم ِمَن الَّساِئِل‬
)48 ،‫ (صحيح البخاري‬. ‫اِن‬ ‫ِل اْلُبْه ُم ِفي اْلُبْن َي‬ ‫اُة ْاِإلِب‬ ‫اَو َل ُر َع‬ ‫َو ِإَذ ا َت َط‬.
“Dari Abi Huroiroh, Nabi SAW bersabda kepada orang yang bertanya tentang
hari kiamat, "Orang yang ditanya ditanya tentang hari kiamat tidak lebih tahu
dari yang bertanya. Tetapi saya akan memberitahukanmu tentang tanda-
tandanya. Yakni jika budak wanita telah melahirkan tuannya, jika pengembala
onta berlomba-lomba meninggikan bangunan." (Shahih al-Bukhari [48]).
Tanda-tanda yang lain misalnya pendeknya waktu, berkurangnya amal,
munculnya berbagai fitnah, banyaknya pembunuhan, pelacuran, kefasikan
dan lain sebagainya.
Kedua, tanda-tanda besar, yakni keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa AS,
munculnya matahari dari Barat, munculnya al-Mahdi, dabbah (binatang ajaib)
dan lain sebagainya.
Hari kiamat berlansung sangat cepat, ditandai dengan tiupan sangkakala dari
malaikat Isrofil dan matinya seluruh makhluk hidup. Mereka tetap dalam
keadaan seperti untuk masa tertentu sebelum akhirnya dibangkitkan dari
alam kubur.
C. Hari Kebangkitan, Padang Mahsyar dan Siroth
Yang dimaksud beriman kepada hari kebangkitan adalah kita berkeyakinan
bahwa Allah SWT akan membangkitkan orang-orang yang ada di dalam
kuburan mereka kemudian di kumpulkan pada satu tempat untuk melakukan
penghitungan amal. Allah SWT berfirman:
)16-15 ،‫ (المؤمنون‬. ‫ِة ُتْب َع ُث وَن‬
‫) ُثَّم ِإَّنُك ْم َي ْو َم اْلِقَي اَم‬15( ‫َد َذ ِل َك َلَم ِّي ُت وَن‬ ‫ُثَّم ِإَّنُك ْم َب ْع‬.
"Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan
mati. Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari
kuburmu) di hari kiamat." (QS. al-Mukminun : 15-16).
Kebangkitan manusia dari alam kubur ditandai dengan tiupan sangkakala
yang kedua. Setelah itu, seluruh manusia dikumpulkan di suatu tempat
(Mahsyar) untuk ditimbang amal baik dan buruk yang telah dilakukan selama
hidup di dunia.
)44 ،‫ (ق‬. ‫يٌر‬ ‫َك َح ْش‬ ‫َر اًعا َذ ِل‬
‫ا َيِس‬ ‫َّقُق ْاَألْر ُض َع ْن ُهْم ِس‬
‫ٌر َع َلْي َن‬ ‫ْو َم َتَش‬ ‫َي‬.
"(Yaitu) pada hari bumi terbelah-belah menampakkan mereka (lalu mereka
keluar) dengan cepat. Yang demikian itu adalah pengumpulan yang mudah

81
bagi Kami." (QS. Qaf: 44).
Firman Allah SWT:
)30 ،‫ (ي¶¶ونس‬. ‫ُه َن اِل َك َت ْب ُل و ُك ُّل َن ْف ٍس َم ا َأْس َلَفْت َو ُرُّدوا ِإَلى ِهللا َم ْو َالُه ُم اْلَح ِّق َو َض َّل َع ْن ُهْم َم ا َك اُنوا َي ْف َت ُروَن‬.
"Di tempat itu (padang Mahsyar), tiap-tiap diri merasakan pembalasan dari
apa yang telah dikerjakannya dahulu dan mereka dikembalikan kepada Allah
Pelindung mereka yang sebenarnya dan lenyaplah dari mereka apa yang
mereka ada-adakan." (Yunus 30).
Di tengah penantian di padang mahsyar itu, masing-masing orang hanya
memikirkan dirinya sendiri. Tidak ada waktu bagi seseorang untuk
memikirkan orang lain. Firman Allah SWT dalam ayat lain:
‫ِلَّلِذيَن اْس َت ْك َب ُروا ِإَّن ا ُكَّن ا َلُك ْم َت َب ًعا َفَه ْل َأْنُتْم ُم ْغ ُنوَن َع َّن ا ِمْن َع َذ اِب ِهللا ِمْن َش ْي ٍء َق اُلوا‬ ‫َو َبَر ُز وا ِهلل َج ِميًع ا َفَقاَل الُّضَع َفاُء‬
)21 ،‫ (ابراهيم‬. ‫َو اٌء َع َلْي َن ا َأَج ِز ْع َن ا َأْم َص َب ْر َن ا َم ا َلَن ا ِمْن َمِحيٍص‬ ‫َل ْو َه َد اَن ا ُهللا َلَه َد ْي َن اُك ْم َس‬.
"Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke
hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang
yang sombong, "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu,
maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun)
sedikit saja?" Mereka menjawab, "Seandainya Allah memberi petunjuk
kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja
bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak
mempunyai tempat untuk melarikan diri." (QS. Ibrahim : 21).
Kecuali nabi Muhammad SAW, yang dengan keagungan dan kemuliaan yang
diberikan Allah SWT kepadanya, mampu memberikan syafa’at (pertolongan)
kepada seluruh umat manusia. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa pada
saat umat manusia kebingungan karena suasana hirup pikuk yang terjadi,
manusia mendatangi Nabi Adam as, meminta bantuan agar padang mahsyar
bisa selesai. Namun nabi Adam as tidak menyanggupinya. Begitu pula
dengan para nabi yang lain. Akhirnya umat manusia mendatangi nabi
Muhammad SAW untuk meminta syafaat, dan nabi Muhammad SAW pun
memberikan syafaatnya.
Setelah itu, masing masing orang diadili di hadapan Allah SWT. Mereka tidak
akan berdusta di hadapan Allah SWT.
)65 ،‫ (يس‬. ‫اْلَي ْو َم َن ْخ ِتُم َع َلى َأْف َو اِه ِه ْم َو ُتَك ِّلُم َن ا َأْي ِديِه ْم َو َت ْش َه ُد َأْر ُج ُلُهْم ِبَم ا َك اُنوا َي ْك ِس ُبوَن‬.
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan

82
mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu
mereka usahakan. (QS. Yasin: 65)
Diberikan kitab yang berisi catatan amal perbuatannya selama di dunia.
Orang yang menerima kitab tersebut dengan tangan kanan, maka ia akan
mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Sedangkan mereka yang menerima
kitab itu dengan tangan kiri atau dari balik punggung, akan menyesal dan
susah akan siksa yang diterima.
‫) َو َأَّم ا َم ْن ُأوِتَي‬9( ‫) َو َي ْن َقِلُب ِإَلى َأْه ِل ِه َم ْس ُروًر ا‬8( ‫) َفَس ْو َف ُيَح اَس ُب ِحَس اًبا َيِس يًر ا‬7( ‫َف َأَّما َم ْن ُأوِتَي ِك َت اَب ُه ِبَيِميِنِه‬
)12( ‫ِعيًر ا‬ ‫َلى َس‬ ‫) َو َي ْص‬11( ‫وًر ا‬ ‫ْد ُعو ُثُب‬ ‫ْو َف َي‬ ‫) َفَس‬10( ‫ِر ِه‬ ‫ُه َو َر اَء َظ ْه‬ ‫ِك َت اَب‬.
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan
diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada
kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang
diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: "Celakalah aku".
Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. Al-
Insyiqaq : 7-12).
Amal baik dan buruk manusia ditimbang, sebagai vonis akhir untuk
menentukan apakah seseorang akan masuk surga atau terjerumus ke dalam
neraka.
‫) َو َم ْن َخ َّفْت َمَو اِز يُن ُه َف ُأوَلِئ َك اَّل ِذيَن َخ ِس ُروا‬8( ‫َو اْل َو ْز ُن َي ْو َمِئ ٍذ اْلَح ُّق َفَم ْن َث ُقَلْت َمَو اِز يُن ُه َف ُأوَلِئ َك ُه ُم اْلُم ْف ِلُح وَن‬
)9-8 ،‫ (األعراف‬. ‫وَن‬ ‫ا َي ْظ ِلُم‬ ‫اُنوا ِبآَياِتَن‬ ‫ا َك‬ ‫ُهْم ِبَم‬ ‫َأْنُفَس‬.
Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat
timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang
yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-
ayat Kami.(QS. Al-A’raf : 8-9).
Di sini, setiap manusia yang ketika hidup di dunia selalu menjalankan
perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, beramal sholeh untuk kebaikan seluruh
manusia, akan merasakan air dari telaga nabi Muhammad SAW (haudhun
nabi). Dalam beberapa hadits diceritakan bahwa luas dan panjang telaga itu
sama. Setiap sisi panjangnya satu bulan perjalanan. Airnya berasal dari
telaga al-Kautsar, di tengahnya terdapat dua pancuran dari surga. Airnya
lebih putih dari susu dan lebih dingin dari es, lebih manis daripada madu, dan
lebih wangi dari minyak kasturi. Cangkir-cangkirnya sebanyak bintang di

83
langit. Orang yang meminum airnya, tidak akan haus selama-lamanya.
Setelah melalui proses padang mahsyar, umat manusia akan melewati siroth.
Yakni jembatan yang membentang di atas neraka sebagai satu-satunya jalan
menuju ke surga. Karena itu, setiap orang pasti akan melewatinya. Dan
setiap orang yang akan masuk surga pasti akan melewatinya. Firman Allah
SWT:
)71 ،‫ (مريم‬.‫ًّي ا‬ ‫َك َح ْت ًم‬ ‫ا َم ْق ِض‬
‫اَن َع َلى َر ِّب‬ ‫ا َك‬ ‫َو ِإْن ِم ْنُك ْم ِإَّال َو اِر ُد َه‬.
Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu.
Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. (QS.
Maryam : 71).
Kemampuan menyeberang juga sangat tergantung dari amal perbuatan
selama di dunia. Siapa saja yang istiqomah di atas jalan yang diridhai Allah
SWT, ia akan dapat menyeberangi sirath tersebut kemudian masuk surga
Allah dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya. Namun bila
kehidupan dunia selalu diisi dengan keburukan dan perbuatan maksiat
kepada Allah SWT, akan tergelincir ke dalam neraka, dan siksa yang amat
pedih akan mengisi hari-harinya.

D. Surga dan Neraka


Setelah berada di padang mahsyar dan berjalan di atas siroth, tahap terakhir
adalah pilihan antara surga dan neraka. Di akhirat Allah SWT hanya
menyediakan dua tempat sebagai akhir dari perjalanan manusia. Tidak ada
pilihan ketiga, juga tidak ada ada suatu tempat di antara surga dan neraka
(al-Manzilah bainal manzilataini).
Surga adalah rumah kebahagiaan yang dijanjikan oleh Allah SWT kepada
orang-orang yang beriman. Diperuntukkan bagi orang-orang yang
melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya.
Firman Allah SWT:
‫) َج َز اُؤ ُه ْم ِع ْن َد َر ِّب ِه ْم َج َّن اُت َع ْد ٍن َت ْج ِر ي ِمْن َت ْح ِتَه ا‬7( ‫ِإَّن اَّلِذيَن َء اَم ُنوا َو َعِم ُلوا الَّصاِلَح اِت ُأوَلِئَك ُه ْم َخ ْيُر اْلَب ِر َّيِة‬
)8-7 ،‫ (البينة‬.‫ْاَألْن َه اُر َخ اِل ِديَن ِفيَه ا َأَب ًد ا َر ِض َي ُهللا َع ْن ُهْم َو َر ُض وا َع ْن ُه َذ ِل َك ِلَم ْن َخ ِش َي َر َّب ُه‬.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan
mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka

84
kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan
merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang
yang takut kepada Tuhannya. (QS. Al-Bayyinah: 7-8).
Di dalamnya terdapat segala kenikmatan dan keindahan, yang tidak pernah
terbayangkan di dalam angan dan perasaan manusia di dunia. Tentang
nikmat surga ini, al-Qur’an menggambarkannya:
‫َم َث ُل اْلَج َّن ِة اَّلِتي ُو ِعَد اْلُم َّتُقوَن ِفيَه ا َأْن َه اٌر ِمْن َماٍء َغ ْي ِر َءاِس ٍن َو َأْن َه اٌر ِمْن َلَب ٍن َلْم َي َت َغ َّيْر َط ْع ُم ُه َو َأْن َه اٌر ِمْن َخ ْم ٍر َل َّذ ٍة‬
‫ِللَّش اِر ِبيَن َو َأْن َه اٌر ِمْن َعَس ٍل ُم َص ًّفى َو َلُهْم ِفيَه ا ِمْن ُك ِّل الَّث َم َر اِت َو َم ْغ ِف َر ٌة ِمْن َر ِّب ِه ْم َك َم ْن ُه َو َخ اِل ٌد ِفي الَّن اِر َو ُس ُقوا‬
)15 ،‫ (محمد‬. ‫اَء ُه ْم‬ ‫َع َأْم َع‬ ‫ا َفَقَّط‬ ‫اًء َح ِميًم‬ ‫َم‬.
(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-
orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada
berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah
rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi
peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka
memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari
Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi
minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?
(QS. Muhammad : 15).
Sedangkan nikmat teragung bagi penduduk surga adalah tatkala mereka
melihat Allah SWT secara langsung. Dzat yang Maha Rahasia, yang tidak
dapat dibayangkan dan dilihat selama hidup di dunia, akan dapat dilihat
secara jelas. Lama atau sebentarnya seseorang melihat Allah SWT
tergantung seberapa banyak amal kebajikan yang dilakukan di dunia. Dalam
al-Qur’an Allah SWT berfirman:
) 23-22 ‫ (القيامة‬.‫اِظ َر ٌة‬ ‫ا َن‬ ‫َر ٌة ِإَلى َر ِّب َه‬ ‫ٍذ َن اِض‬ ‫ْو ٌه َي ْو َمِئ‬ ‫ُو ُج‬.
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari (akhirat) itu berseri-seri.
Kepada Tuhan-Nyalah mereka melihat”. (QS. al-Qiyamah : 22-23).
Hadits Nabi Muhammad SAW. :
‫ َع ْن َأِبْي ُه َر ْي َر َة َر ِض َي ُهللا َع ْن ُه َأَّن الَّن اَس َق اُلْو ا َي ا َر ُسْو َل ِهللا َه ْل َن َر ى َر َّب َن ا َي ْو َم اْلِقَي اَم ِة ؟ َفَق اَل َر ُس ْو ُل ِهللا‬J ‫َه ْل‬
‫ُتَض اُّر ْو َن ِفْي اْلَقَم ِر َلْي َلَة اْلَب ْد ِر ؟ َق اُلْو ا َال يَا َر ُسْو َل ِهللا قَاَل َفَه ْل ُتَض اُّر ْو َن ِفْي الَّش ْم ِس َلْي َس ُدْو َن َه ا َس َح اٌب ؟ َق اُلْو ا َال َي ا‬
) 6885 ‫ رقم‬، ‫ (صحيح البخاري‬. ‫َذ ِلَك‬ ‫ُه َك‬ ‫ِإَّنُك ْم َت َر ْو َن‬ ‫اَل َف‬ ‫ َق‬,‫ْو َل ِهللا‬ ‫َر ُس‬.
“Dari Abû Hurairah RA bahwa orang-orang bertanya kepada Rasulullah,
‘Wahai Rasulullah, apakah kami bisa melihat Tuhan kami pada hari kiamat?

85
Rasulullah SAW bertanya, ‘apakah mata kalian rusak ketika melihat bulan
purnama? Mereka menjawab, ‘Tidak, Rasul’. Rasul bertanya, ‘”Apakah
berbahaya pada mata kalian ketika melihat mentari yang tak terhalang awan?
Mereka menjawab, ‘Tidak Rasul’. Rasul bersabda, ‘Ya begitulah, kalian akan
melihat Tuhan kalian.” (Shahih al-Bukhari [2885]).

Dengan redaksi yang lebih jelas Nabi SAW bersabda :


‫ َع ْن َج ِر ْي ٍر ْب ِن َع ْب ِد ِهللا َق اَل َق اَل الَّن ِبُّي‬J )6883 ‫ رقم‬، ‫ (صحيح البخاري‬.‫ِإَّنُك ْم َس َت َر ْو َن َر َّب ُك ْم ِع َي اًن ا‬.
“Dari Jarir bin Abdullah RA, dia berkata bahwa Nabi SAW bersabda,
‘sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian secara nyata.” (Shahih al-
Bukhari [2883]).
Selain menyediakan surga bagi hamba yang taat dan patuh, Allah SWT juga
menciptakan neraka sebagai balasan bagi orang-orang yang senantiasa
menghiasi kehidupan dunianya dengan perbuatan durhaka kepada Allah
SWT. Mereka menjadi bahan bakar api neraka yang menyala-nyala. Firman
Allah SWT:
‫َي اَأُّيَه ا اَّلِذيَن َء اَم ُنوا ُقوا َأْنُفَس ُك ْم َو َأْه ِليُك ْم َن اًر ا َو ُقوُد َه ا الَّن اُس َو اْلِحَج اَر ُة َع َلْي َه ا َم َالِئَك ٌة ِغ َالٌظ ِش َد اٌد َال َي ْع ُص وَن َهللا َم ا‬
)6 ،‫ (التحربم‬. ‫ْؤ َم ُروَن‬ ‫ا ُي‬ ‫وَن َم‬ ‫َر ُه ْم َو َي ْف َع ُل‬ ‫َأَم‬.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (QS. at-Tahrim: 6).
Setiap orang yang masuk neraka, akan mendapatkan siksa yang sangat
pedih akibat dari perbuatannya di dunia. Mengenai pedihnya siksa neraka al-
Qur’an menceritakan:
‫ِإَّن اَّلِذيَن َكَفُروا ِبآَياِتَن ا َس ْو َف ُنْص ِليِه ْم َن اًر ا ُك َّلَم ا َن ِض َج ْت ُج ُلوُد ُه ْم َب َّد ْلَن اُه ْم ُج ُلوًد ا َغ ْي َر َه ا ِلَي ُذ وُقوا اْلَع َذ اَب ِإَّن َهَّللا َك اَن‬
)56 ،‫ (النساء‬.‫ا‬ ‫َع ِز ي¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶ًز ا َح ِكيًم‬.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan
Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus,
Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan
azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’
: 56).

86
‫ٍف ِمْن َو اِج ٍب‬ ‫ا َع َلى ُم َك َّل‬ ‫ِر َب‬ ‫ٌة ِفي ِذ ْك‬ ‫َخ اِتَم‬
‫َو اِج ِب ِمَّم‬ ‫اِقي اْل‬
Bagian berikut ini adalah penutup, dalam menerangkan kewajiban yang
tersisa yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf

‫َال‬ ‫ًة َو ُفِّض‬


‫َال ِلْل ـَع اَلِمْي َن َر ْح َم‬ ‫ْد ُأْر ِس‬ ‫َن ِبـُّي َن ا ُمـَح َّم ٌد َق‬
Nabi kita, Nabi Muhammad, sungguh telah diutus oleh Allah SWT atas
seluruh alam, sebagai rahmat dan diutamakan (atas semua rasul)

Syarh:
Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT sebagai nabi terakhir yang
membawa rahmat untuk seluruh alam. Tidak hanya untuk manusia tetapi
untuk seluruh makhluk Allah SWT yang ada di jagat raya ini. Dalam al-Qur’an
ditegaskan:
‫ًة ِلْلَع‬ ‫ْلَن اَك ِإَّال َر ْح َم‬
)107 ،‫ (األنبي¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶اء‬. ‫اَلِميَن‬ ‫ا َأْر َس‬ ‫َو َم‬.
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (QS. Al-Anbiya’ : 107).
Syariat Nabi Muhammad SAW tidak hanya berlaku bagi orang Arab saja,
tetapi untuk seluruh umat manusia. Beda halnya dengan syariat nabi
sebelumnya yang hanya berlaku pada waktu dan untuk umat tertentu. Ajaran
Islam juga rahmat bagi seluruh alam, dengan adanya kepedulian dari agama
untuk menjaga lingkungan hidup, tidak boleh merusak dan mengganggu
semua makhluk Allah yang ada di muka bumi.
Salah satu bentuk rahmat Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad SAW
adalah ditangguhkannya siksa bagi orang-orang yang melanggar aturan Allah
SWT, hingga nanti di akhirat. Tidak seperti yang dialami umat nabi
sebelumnya, yang langsung menerima adzab di dunia atas pelanggaran yang
mereka lakukan. Seperti yang menimpa kaum nabi Luth AS, nabi Musa AS,
Nuh AS dan lainnya.
Selain itu, umat Islam wajib meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
makhluk Allah SWT yang paling mulia. Para ulama menegaskan bahwa di
antara dua puluh lima rasul Allah SWT yang wajib diketahui, ada lima yang
paling utama, yang mendapat gelar ulul azmi. Dan Nabi Muhammad SAW

87
ada di urutan pertama dari kelima nama tersebut.
Kemuliaan Nabi Muhammad SAW dikarenakan keistimewaan syariat yang
beliau bawa. Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah
menyempurnakan ajaran nabi-nabi sebelumnya. Sesuai dengan fitrah
manusia, dan tidak membebani manusia dengan sesuatu di luar kemampuan
manusia untuk melaksanakannya. Atas dasar inilah, tidak ada ajaran lain
yang melebihi keutamaan ajaran Islam.
‫ِه‬ ‫َالُم َي ْع ُل‬
‫ْو َو َالُيْع َلى َع َلْي‬ ‫َاِإلْس‬
"Islam adalah agama yang luhur dan tidak ada yang dapat menandingi
keluhurannya."
Akhlak dan kepribadian yang beliau miliki juga menjadi salah satu penyebab
keutamaan nabi Muhammad SAW. Keluhuran akhlak nabi Muhammad SAW
ditegaskan langsung dalam al-Qur’an pada surat al-Qalam ayat 4.
)4 ،‫ٍق َع ِظ يٍم (القلم‬ ‫َك َلَع لى ُخ ُل‬ ‫َو ِإَّن‬.
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. al-
Qalam: 4).
Dalam sebuah hadits:
‫ َع ْن َع اِئَش َة َق اَلْت َق اَل َر ُس وُل ِهللا‬J )3830 ،‫ (سنن الترمذي‬.‫َخ ْي ُر ُك ْم َخ ْي ُر ُك ْم َألْه ِل ِه َو َأَن ا َخ ْي ُر ُك ْم َألْه ِلي‬.
“Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang
yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik kepada keluarga
(istrinya). Dan saya adalah orang yang paling baik di antara kamu dalam
memperlakukan istriku.” (Sunan al-Tirmidzi, 3830).

‫ْب‬ ‫اٍف َي ْن َت ِس‬ ‫ٌم َع ْب‬ ‫ُد اْلُم َّط ِلْب َو َهاِش‬
‫ُد َم َن‬ ‫ُد ِهللا َع ْب‬ ‫ْو ُه َع ْب‬ ‫َأُب‬
‫ْة َأْر َض ـَع ْت ُه َح ِلـْي َم ُة الَّس‬
‫ْع ِدَّي ُة‬ ‫َو ُأُّمــُه آِمـَن ُة الُّز ْه ِر َّي‬
Ayahnya Nabi SAW ialah Abdullah bin Abdul Muththolib bin Hasyim bin Abdi
Manaf yang nasabnya bersambung
Ibunya ialah Siti Aminah az-Zuhriyyah dan yang menyusuinya adalah
Halimatus Sa’diyah

Syarh:
Garis keturunan Nabi Muhammad SAW adalah dari golongan suku Quraisy.
Yakni suatu kelompok yang sangat disegani di tanah Makkah. Ayah beliau

88
adalah Abdullah bin Abdulmuththalib bin Hasyim bin Abdimanaf.
Dalam hal ini, terdapat pertalian darah antara Nabi Muhammad SAW dan
Khulafur Râsyidin, terlebih Sayyidina ‘Utsmân RA yang merupakan putra dari
sepupu Nabi SAW yakni Arwa, sebagai putri dari bibi Nabi Muhammad SAW
yang bernama al-Baidha’ binti Abdul Muththalib. Sedangkan Sayyidina ‘Alî RA
adalah sepupu Nabi Muhammad SAW.
Di samping itu, keduanya merupakan menantu Nabi Muhammad SAW.
Sayyidina ‘Utsmân menikah dengan dua putri Rasul SAW secara bergantian,
yakni Sayyidatuna Ruqayyah RA dan Sayyidatuna Ummu Kultsûm RA.
Sedangkan sayyidina ‘Alî RA menikah dengan Sayyidatuna Fâthimah RA.
Begitu pula dengan Sayyidina Abû Bakr RA dan Sayyidina ‘Umar RA yang
merupakan mertua Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW menikah
dengan Aisyah binta Abû Bakr RA dan Hafshah binta ‘Umar RA.
Inilah salah satu alasan mengapa Nabi Muhammad sangat mencintai para
sahabatnya. Nabi Muhammad SAW tidak segan-segan memuji para
sahabatnya dan menyebutnya sebagai generasi terbaik Islam.

‫ َع ْن ِع ْم َر اَن ْب َن ُح َص ْي ٍن َر ِض َي ُهللا َع ْن ُهَم ا َق اَل َق اَل الَّن ِبُّي‬J ‫ (صحيح‬. ‫َخ ْيُر ُك ْم َقْر ِني ُثَّم اَّلِذيَن َي ُلوَن ُهْم ُثَّم اَّلِذيَن َي ُلوَن ُهْم‬
)2457 ‫البخاري رقم‬.
“Dari sahabat 'Imron bin Hushain ra ia berkata. Nabi SAW bersabda, ”Sebaik-
sebaik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya lalu
generasi sesudahnya”. (Shahih al-Bukhari, [2457]).

Kecintaan itu juga ditunjukkan oleh ahlul bait atau keluarga Nabi SAW kepada
para sahabat, begitu pula para sahabat yang sangat mencintai dan
menghormati keluarga nabi. Bahkan musibah perselisihan yang terjadi pada
sebagian sahabat tidak dapat dijadikan tanda kalau di antara para sahabat
tidak terjalin persaudaraan yang sangat erat. Justru sebaliknya, jalinan
kemesraan yang bertaut di hati mereka ibarat cinta bersambut, kasih
berjawab. Indahnya pergaulan antara keluarga dan sahabat Nabi SAW harus
diteladani oleh umat Islam. Hal ini terungkap dari tutur kata dan perbuatan
mereka mereka yang menunjukkan hal tersebut.

89
1. Sayyidina Alî AS berkata tentang sahabat Abû Bakr RA dan Umar RA:
)60/‫ (الشيعة منهم عليهم ص‬.‫ِإَّن َخ ْي َر َه ِذِه ْاُألَّم ِة َب ْع َد َن ِبِّي َه ا َاُب ْو َب ْك ٍر َو ُع َم ُر َر ِض َي ُهللا َع ْن ُهَم ا‬.
“Sesungguhnya umat yang paling baik setelah Nabinya adalah Abû Bakar RA
dan Umar RA.” (Al-Syî`ah Minhum `Alaihim, 60).
2. Sayidina RA juga berkata tentang Sayidina Umar RA sebagai berikut:
‫ َم ا َع َلى ْاَألْر ِض َأَح ٌد َأَح ُّب ِإَلَّي َاْن َأْلَقى َهللا ِبَص ِحْي َفِتِه ِمْن َه ِذ‬:‫َلَّما ُغ ِس َل ُع َم ُر َو ُك ِفَن َد َخ َل َع ِلٌّي َو َق اَل َع َلْيِه الَّس َالُم‬
)53/‫ (الشيعة منهم عليهم ص‬. ‫ِر ُك ْم‬ ‫َّج ى َب ْي َن َأْظ ُه‬ ‫اْلُم َس‬.
"Ketika sahabat ‘Umar dimandikan dan dikafani, Sayyidina Alî RA masuk, lalu
berkata, “Tidak ada di atas bumi ini seorangpun yang lebih aku sukai untuk
bertemu Allah SWT dengan membawa buku catatan selain dari yang
terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar).” (Al-
Syî`ah Minhum `Alaihim, 53).
Sikap Sayyidina Alî RA ini merupakan ekspresi spontan dari lubuk hati
terdalam bahwa di dalam hati beliau benar-benar tertanam jalinan kasih dan
tambatan sayang kepada Sayyidina Umar RA. Sebab mustahil beliau
melakukannya sekedar taqiyah (pura-pura) karena takut pada Sayyidina
Umar RA, sebab pada waktu itu Sayyidina Umar RA telah meninggal dunia.
3. Ucapan Sayyidina Abû Bakar RA, tentang keluarga Rasulullah SAW:
‫ َلَقَر اَب ُة َر ُس ْو ِل ِهللا‬،‫ َع ْن َع اِئَش َة َر ِض َي ُهللا َع ْن َه ا َق اَل َأُبْو َب ْك ٍر َر ِض َي ُهللا َع ْن ُه‬J . ‫َأَح ُّب ِإَلَّي َأْن َأِص َل ِمْن َق َر اَب ِتْي‬
)3730 :‫(صحيح البخاري رقم‬.
“Dari Aisyah RA, sesungguhnya Abû Bakar RA berkata, “Sungguh kerabat
Rasûlullâh SAW lebih aku cintai daripada keluargaku sendiri.” (Shahîh
Bukhârî, [3730]).
4. Pada kesempatan yang berkata, lain, Abû Bakar RA juga
‫ًد ا‬ ‫ْو ا ُم َح َّم‬ ‫ ُاْر ُقُب‬J
)3436 ‫ (صحيح البخاري‬. ‫ِه‬ ‫ِل َبْيِت‬ ‫ِفْي َأْه‬.
“Perhatikan Nabi Muhammad SAW terhadap ahli baitnya.” (Shahîh al-Bukhârî
[3436]).
5. Dari 33 putra Sayyidina Ali RA tiga di antaranya diberi nama Abu Bakar,
Umar, dan Utsman. Dari 14 putra Sayyidina Hasan RA dua di antaranya
diberi nama Abu Bakar dan Umar, dan di antara 9 putra Sayyidina Husain RA
dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan Umar. Pemberian nama ini tentu
saja dipilih dari nama orang-orang yang menjadi idolanya, dan tidak mungkin
diambil dari nama musuhnya. (Lihat, Al-Hujaj al-Qath’iyyah, hal. 195). Bagi

90
Ahlussunnah Sayyidina Ali RA adalah hamba Allah yang mulia dan harus
dijadikan panutan. Sayyidina Ali RA adalah seorang pemberani dan sekali-
kali bukanlah seorang pengecut. Sebagai pemimpin pasukan, di antara
sekian banyak peperangan yang dilakukan pada zaman Rasul, beliau selalu
menjadi pahlawan yang tak terkalahkan. Karena itu tidak mungkin beliau
melakukan sikap pura-pura atau taqiyah apalagi mengajarkannya. Di samping
itu, Sayyidina Ali adalah sosok yang bersih hatinya dan jauh dari sifat balas
dendam. Sikap dan prilaku beliau telah membuktikan bahwa beliau bukan
jenis manusia yang di dalam hatinya penuh dengan dendam kesumat, karena
itu tidak mungkin beliau mengajarkan raj’ah yang identik dengan balas
dendam.
Bahkan lebih jauh, kecintaan antara para sahabat dan keluarga Nabi
Muhammad SAW berlangsung hingga keturunan mereka bahkan, berlanjut
sampai tingkatan perbesanan. Misalnya Sayyidina Umar RA menikah dengan
Ummi Kultsûm RA putri Sayyidina Ali RA, Zaid bin Amr bin Utsmân bin Affân
RA menikah dengan Sukainah binti al-Husain bin Ali bin Abî Thâlib. Fathimah
binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib menikah dengan Abdullah bin Amr bin
Utsman bin Affan lalu mempunyai anak Muhammad. (Nasabu Quraisy li al-
Zubairi, juz 4, hal 120 dan 114)
Begitu pula sikap yang dicontohkan oleh Imam Ja'far al-Shâdiq ketika beliau
ditanya tentang sikapnya kepada sahabat Abu Bakar dan Umar. Beliau
menjawab, “Keduanya adalah pemimpin yang adil dan bijaksana. Keduanya
berada di jalan yang benar dan mati dengan membawa kebenaran. Mudah-
mudahan rahmat Allah SWT selalu dilimpahkan kepada keduanya hingga hari
kiamat.” (Ihqâq al-Haq li al-Syusyturî, juz 1, hal 16).
Dalam konteks ini pula Imam Ja‘far al-Shâdiq RA berkata:
)‫ (رواه الدارقطني‬. ‫َّر َت ْي ِن‬ ‫ٍر َم‬ ‫ْو َب ْك‬ ‫َد ِنْي َأُب‬ ‫َو َل‬.
“Aku telah dilahirkan oleh Abû Bakr dua kali." (Riwayat al-Dâraquthni).
Silsilah yang pertama dari ibunya, yang bernama Ummu Farwah binti al-
Qâsim bin Muhammad bin Abû Bakar al-Shiddîq. Dan kedua dari neneknya
yakni istri al-Qâsim yang bernama Asmâ’ binti Abdurrahmân bin Abû Bakar
al-Shiddîq. (Fâthimah al-Thâhirah, RA, 113).
Dengan demikian, kita harus memberikan penghormatan yang proporsional

91
terhadap keluarga Nabi saw dan semua sahabatnya. Kita tidak boleh
mencela seorang di antara mereka. Dalam konteks ini, Imam Abdul Ghani al-
Nabulusi berkata:
‫َد ا‬ ‫َد ى َت ْف ـِض ْي ُلُهْم ُم َر َّت ـٌب ِبَال اْع ِت‬ ‫ْح ُبُه َج ِمْيُعُهْم َع َلى ُه‬ ‫َو َص‬
‫ْر‬ ‫ِه اَأل َغ‬ ‫اُن ُذ و اْلَو ْج‬ ‫َد ُه ُع ْث َم‬ ‫ْر َو َب ْع‬ ‫وَب ْك ٍر َو َب ْع ـَد ُه ُع َم‬ ‫َف ـُهْم َأُب‬
‫َر ْة‬ ‫َر ْة َو ِهـَي اَّلِتْي ِفْى َج ـَّن ٍة ُم َب َّش‬ ‫ُثَّم َع ِلٌّي ُثَّم َب ـاِقي اْلَع َش‬
Semua sahabat Nabi SAW selalu mengikuti jalan petunjuk
Keutaman mereka dijelaskan dalam urutan berikut tanpa melampauinya
Mereka adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman yang memiliki
wajah yang cerah
Kemudian Ali, kemudian sisa sepuluh orang sahabat yang dikabarkan oleh
Nabi SAW akan masuk surga

Syarh:
Semua shabat Nabi SAW, secara umum selalu mengikuti jalan kebenaran
yakni petunjuk Nabi SAW, sehingga kita tidak boleh membicarakan mereka
kecuali dengan baik. Sedangkan sahabat yang paling utama menurut
Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah sesuai urutan berikut ini, Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, kemudian sisa sepuluh orang sahabat yang dikabarkan akan
masuk surga oleh Nabi SAW, yaitu Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin
Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, Sa'id bin Zaid, Abdurrahman bin Auf dan
Abu Ubaidah bin al-Jarrah.
Di sini mungkin ada yang bertanya, mengapa kita harus menghormati dan
mencintai keluarga dan sahabat Nabi SAW tercinta? Untuk menjawab
pertanyaan ini, Almarhum Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf –mantan
mufti Mesir-, berkata:
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya iman itu tidak akan menjadi kenyataan
tanpa dibarengi dengan kecintaan kepada Rasulullah SAW. Dalam hadits
dijelaskan:
‫اِس َأْج َم ِعْي َن‬ ‫ِدِه َو الَّن‬ ‫ْو َن َأَح َّب ِإَلْي‬
‫ِدِه َو َو اِل‬ ‫ُد ُك ْم َح َّت ى َأُك‬
‫ِه ِمْن َو َل‬ ‫ْؤ ِمُن َأَح‬ ‫َال ُي‬.
"Tidak akan menjadi kenyataan iman salah seorang di antara kamu, sehingga
aku lebih dicintai oleh kamu melebihi anak, orang tua dan seluruh manusia."
Sedangkan kecintaan kepada Nabi SAW tidak akan sempurna kecuali disertai

92
dengan mencintai orang-orang yang dicintai Nabi SAW. Demikian itu
menuntut kita untuk mencintai keluarga Nabi SAW, mencintai kerabat-kerabat
Nabi SAW yang dicintainya dan mencintai para sahabatnya." (Al-Durar al-
Naqiyyah hal. 35).

‫َة اْلَم ـِدْي َن َة‬ ‫ْة َو َف ـاُتُه ِبَط ْي َب‬ ‫َة ْاَألِمْي َن‬ ‫َم ـْو ِلُد ُه ِبَم َّك‬
‫ِّت ْي َن ا‬ ‫اَو َز الِّس‬ ‫ْد َج‬ ‫ُرُه َق‬ ‫ا َو ُعْم‬ ‫َو ْح ِي َأْر َب ِعْي َن‬ ‫َل اْل‬ ‫َأَت َّم َق ْب‬
Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah yang aman dan meninggal dunia di
Thaibah yaitu Madinah
Umur Nabi SAW genap 40 tahun sebelum menerima wahyu, sedangkan usia
Nabi SAW (pada saat wafatnya) melebihi 60 tahun (yakni 63 tahun)

‫ٌة ِمـَن الُّذ ُك ْو ِر ُتْف َه ُم‬ ‫َو َس ْبـَع ُة َأْو َالُد ُه َفِم ـْن ُهْم َث َالَث‬
‫َذ ْي ٍن َذ ا ُيَلَّقُب‬ ‫ُو الَّط ِّيُب َو َط ـاِه ٌر ِب‬ ‫ُد ِهللا َو َه‬ ‫ْم َو َع ْب‬ ‫َق اِس‬
‫َر اِهْي ُم ِمْن َس ـِر َّي ْة َف ـُأُّمُه َم ـاِر َي ُة اْل ِقـْبِط َّي ْة‬ ‫َأَت ـاُه ِإْب‬
Nabi Muhammad mempunyai 7 anak, di antara mereka adalah tiga anak laki-
laki yang harus dimengerti
Yaitu Qasim dan Abdullah yang menyandang gelar al-Thayyib dan al-Thahir
Lalu Ibrahim yang lahir dari budak perempuan (Nabi SAW), yaitu ibunya yang
bernama Mariyah al-Qibthiyyah

‫ْة‬ ‫ْذ ِبِه ْم َو ِلْي َج‬ ‫َّت ٌة َف ُخ‬ ‫ْة ُه ْم ِس‬ ‫َر اِهْي َم ِمْن َخ ِدْي َج‬ ‫ُر ِإْب‬ ‫َو َغ ْي‬
Selain Sayyid Ibrahim, putra-putri Nabi SAW lahir dari Sayyidah Khadijah,
mereka semuanya ada enam Khadijah adalah 6 dan kenalilah mereka
dengan penuh kecintaan
‫ْذ َك ُر‬ ‫ِع ُي‬ ‫َو اُن َر ِّبي ِلْلَج ِمْي‬ ‫ْذ َك ُر ِر ْض‬ ‫اِث ُت‬ ‫َو َأْر َب ـٌع ِمَن ْاِإلَن‬
4 putri Nabi SAW akan disebutkan berikut ini, semoga ridha Tuhanku kepada
semuanya selalu disebut
‫ُلُهْم َج ِلي‬ ‫ْب َط اِن َفْض‬ ‫ا ِس‬ ‫ا َع ِلي َو اْب َن اُه َم‬ ‫َر اُء َب ْع ُلَه‬ ‫ُة الَّز ْه‬ ‫َف اِط َم‬
‫ْة َو ُأُّم ُك ْلُثـْو ٍم َز َكْت َر ِض ـَّي ْة‬ ‫َفَز ْيـَن ٌب َو َب ْع ـَد َه ا ُر َق َّي‬
Keempat putri Nabi SAW tersebut adalah 1) Sayidah Fatimah az-Zahra' yang

93
bersuami Sayidina Ali dan memiliki dua putra (yaitu Hasan dan Husain), yaitu
dua cucu Nabi yang tampak keutamaannya; 2) Sayidah Zainab; 3) Sayidah
Ruqayyah dan 4) Sayidah Ummi Kulsum yang suci dan diridhoi

‫اْخ َت ْر َن الَّن ِبَّي اْلُم ْق َتَفى‬ ‫ْر َن َف‬ ‫َط َفى ُخ ِّي‬ ‫اُة اْلُمْص‬ ‫َو ٍة َو َف‬ ‫ِع ِنْس‬ ‫َع ْن ِتْس‬
‫َع ـاِئَش ٌة َو َح ْف ـَص ٌة َو َس ـْو َد ْة َص ـِفَّي ٌة َم ْيـُمْو َن ٌة َو َر ْم ـَلْة‬
‫َّي ْة‬ ‫اٌت َم ْر ِض‬ ‫ْة ِلْل ـُمْؤ ِم ِنْي َن ُأَّمَه‬ ‫َذ ا ُج َو ْي ِر َّي‬ ‫ِه ْن ـٌد َو َز ْي َن ـٌب َك‬
Al-Mushthafa (Nabi Muhammad SAW) wafat dengan meninggalkan 9 istri,
mereka disuruh memilih, lalu mereka memilih Nabi SAW yang dapat diikuti
(Mereka adalah) Aisyah, Hafshoh, Saudah, Shofiyah, Maimunah, Romlah,
Hindun, Zainab dan Juwairiyah
Bagi orang-orang mukmin mereka adalah ibu-ibu yang diridhoi

Syarh:
Nabi Muhammad SAW meninggal dunia meninggalkan sembilan istri. Mereka
adalah perempuan-perempuan yang mulia. Kesetiaan mereka telah terbukti
dengan menjadi pendamping Nabi Muhammad SAW dalam suka dan duka.
Mereka lebih memilih menjadi istri Nabi Muhammad SAW dari pada gelimang
harta dan kemewahan dunia. Di dalam al-Qur’an kisah mereka diabadikan:
‫) َو ِإْن‬28( ‫َي اَأُّيَه ا الَّن ِبُّي ُقْل َِألْز َو اِج َك ِإْن ُكْنُتَّن ُتِر ْد َن اْلَح َي اَة الُّد ْن َي ا َو ِز يَنَت َه ا َفَت َع اَلْي َن ُأَم ِّت ْع ُك َّن َو ُأَس ِّر ْح ُك َّن َس َر اًح ا َج ِميًال‬
)29( .‫ُكْنُتَّن ُت ِر ْد َن َهللا َو َر ُس وَلُه َو الَّداَر ْاآلِخ َر َة َف ِإَّن َهللا َأَع َّد ِلْلُمْح ِس َن اِت ِم ْنُك َّن َأْج ًر ا َع ِظ يًم ا‬.
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini
kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan
kepadamu mut`ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika
kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta
(kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi
siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar." (QS. al-Ahzab : 28-
29).
Mereka adalah adalah keluarga Nabi. Perempuan-perempuan terbaik yang
menjadi ibu dari seluruh umat Islam (ummahatul mukminin). Dalam hal ini
Allah SWT berfirman:
‫ُأ‬ ‫ِه ْم َو َأْز َو اُج‬ ‫اْلُمْؤ ِمِنيَن ِمْن َأْنُفِس‬
)6 ،‫ (األحزاب‬. ‫اُتُهْم‬ ‫ُه َّمَه‬ ‫الَّن ِبُّي َأْو َلى ِب‬.
“Nabi itu lebih utama dari orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Dan

94
Istri-istri Nabi adalah ibu mereka.” (QS. al-Ahzab : 6).
Oleh karena itulah, umat Islam wajib menghormati mereka, mendo’akan dan
membacakan shalawat kepada mereka.
‫ َع ْن َأِبي ُح َم ْيٍد الَّساِعِدِّي َر ِض َي ُهللا َع ْن ُه َق اُلوا َي ا َر ُسوَل ِهللا َك ْي َف ُنَص ِّلي َع َلْي َك َفَقاَل َر ُسوُل ِهللا‬J ‫ُقوُلوا الَّلُهَّم َص ِّل‬
‫ (صحيح‬.‫َع َلى ُم َح َّم ٍد َو َأْز َو اِج ِه َو ُذ ِّر َّيِت ِه َك َم ا َص َّلْيَت َع َلى آِل ِإْب َر اِهيَم َو َب اِر ْك َع َلى ُم َح َّم ٍد َو َأْز َو اِج ِه َو ُذ ِّر َّيِت ِه‬
)2118 ،‫البخاري‬.
“Dari Abu Humaid al-Sa’idi, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW,
"Bagaimana cara kami membaca shalawat kepadamu?" Rasulullah SAW
menjawab, "Bacalah, “Ya Allah mudah-mudahan engkau selalu mencurahkan
shalawat kepada Muhammad, istri dan anak cucunya.” (HR. al-Bukhari
[2118]).

http://konsultasi.wordpress.com/2009/12/23/natalan-bersama/

Natalan Bersama
Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada 23 Desember 2009

Pertanyaan : Apa hukum mengikuti natalan bersama ?

Jawaban :

Haram, Ikut Natal Bersama!

Apabila ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka, maka
ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridlai dan terpengaruh dengan
kemunkaran itu.

Setiap bulan Desember umat Islam selalu dihadapkan fitnah yang bisa mengancam aqidahnya. Dengan
dalih toleransi dan kerukunan beragama, umat Islam diseret turut serta terlibat dalam perayaan Natal
bersama. Bahkan seolah menjadi ritual wajib, pejabat yang menduduki jabatan publik harus ikut hadir.
Ironisnya, ada saja di antara tokoh umat yang menyerukan kebolehan terlibat dalam perayaan Natal.
Bahkan beberapa tahun lalu, ketua sebuah ormas Islam mempersilakan semua fasilitas organisasinya minus
masjid digunakan sebagai perayaan Natal.

Haram Terlibat dalam Perayaan Kufur

Bagi kaum Muslim seharusnya senantiasa mengikatkan dirinya dengan hukum syara’. Dan hukum syara’
mengenai persoalan tersebut sesungguhnya telah jelas: haram. Kaum muslim diharamkan melibatkan diri di
dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas:
mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim

95
kartu selamat, dan lain sebagainya. Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh
perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-
orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).

Ketentuan tersebut didasarkan pada firman Allah swt: al-ladzîna lâ yasyhadûna al-zûr (QS al-Furqan [25]:
72). Ayat ini menjelaskan tentang salah satu dari sifat ‘ibâd al-Rahmân. Menurut sebagian besar mufassir,
makna kata al-zûr (kepalsuan) di sini adalah syirik. Demikian papar al-Syaukani dalam kitab tafsirnay,
Fath al-Qadîr.. Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm menyitir pendapat beberapa
mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, al-Dhahhak, al-Rabi’ bin Anas, dan lainnya,
memaknai al-zûr di sini adalah hari raya kaum Musyrik. Lebih luas, Amru bin Qays menafsirkannya
sebagai majelis-majelis yang buruk dan kotor.

Sedangkan kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna al-zûr, tidak
menghadirinya. Demikian penjelasan al-Syaukani dalam Fath al-Qadîr. Memang ada yang memahami ayat
ini berkenaan dengan pemberian kesaksian palsu (syahâdah al-zûr) yang di dalam Hadits Shahih
dikategorikan sebagai dosa besar. Akan tetapi, dari konteks kalimatnya, lebih tepat jika dimaknai lâ
yahdhurûnahu, tidak menghadirinya. Sebab, dalam frasa berikutnya disebutkan: “Dan apabila mereka
melewati (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya” (TQS al-Furqan [25]: 72).

Dengan demikian, keseluruhan ayat ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak menghadiri al-zûr.
Dan jika mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun
olehnya (lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).

Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri menghadiri perayaan
hari raya kaum kafir. Ibnu Taimiyyah menyitir penjelasan beberapa ulama terkemuka mengenai persoalan
ini. Ahmad bin Hanbal berkata: “Kaum Muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang
Yahudi dan Nasrani.“ (lihat Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201). Imam Baihaqi menyatakan, “Jika
kaum Muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” (lihat Iqtidhâ’ al-
Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).

Sedangkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Ahkâm Ahl al-Dzimmah menyitir penjelasan yang
dikemukakan Abu al-Qasim al-Thabari. Beliau berkata, “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim
menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemunkaran dan kedustaan (zawr). Apabila
ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka, maka ahli ma’ruf itu sebagaimana
halnya orang yang meridlai dan terpengaruh dengan kemunkaran itu. Maka kita takut akan turunnya
murka Allah atas jama’ah mereka, yang meliputi secara umum. Kita berlindung kepada Allah dari murka-
Nya, juz 1. hal. 235).

Pada masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam saat itu –sejak masa Rasulullah SAW –, kaum
muslim tidak diperbolehkan merayakan hari raya ahlul Kitab dan kaum musyrik. Dari Anas ra bahwa
ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari raya yang mereka rayakan, beliau
pun bersabda: “Sungguh Allah swt telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang yang lebih baik
daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan idul Adha.” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i dengan sanad yang
shahih).

Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab, beliau juga telah melarang kaum Muslim
merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad
shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata, “Janganlah kalian menmempelajari bahasa-
bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari raya
mereka. Sesungguhnya murka Allah SWT akan turun kepada mereka pada hari itu.” (HR. Baihaqi). Beliau
juga mengatakan: “Jauhilah musuh-musuh Allah pada di hari raya mereka.”

96
Jelaslah, Islam telah melarang umatnya melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir,
apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan
untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya.
Adapun perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci
mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul
kitab).

Melenyapkan Syubhat

Di antara ayat sering digunakan untuk melegitimasi bolehnya mengucapkan selamat natal adalah firman
Allah Swt: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku
meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (TQS Maryam [19]: 33).

Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan kebolehan mengucapkan selamat natal kepada kaum Nasrani. Di
dalam ayat ini memang disebutkan tentang keselamatan pada hari kelahiran Isa. Akan tetapi, itu
memberitakan keselamatan Nabi Isa ketika beliau dilahirkan, diwafatkan dan dibangkitkan. Tidak ada
kaitannya dengan ucapan selamat Natal. Sebab, Natal adalah perayaan dalam rangka memperingati
kelahiran Yesus di Bethlehem. Sejak abad keempat Masehi, pesta atau perayaan natal ditetapkan tanggal 25
Desember, menggantikan perayaan Natalis Solis Invioti (kelahiran matahari yang yang tak terkalahkan).

Telah maklum, bahwa keyakinan Nasrani terhadap Isa as –yang mereka sebut Yesus– adalah sebagai
Tuhan. Dan keyakinan ini menjadi salah satu penyebab kekufuran mereka. Banyak sekali ayat menegaskan
hal ini, seperti firman QS al-Maidah [5]: 72, QS al-Maidah [5]: 73-74).

Bertolak dari fakta tersebut, perayaan Natal yang merayakan ‘kelahiran Tuhan’ merupakan sebuah
kemunkaran besar. Sikap yang seharusnya dilakukan kaum Muslim terhadap pelakunya adalah menjelaskan
kesesatan mereka dan mengajak mereka ke jalan yang benar, Islam. Bukan malah mengucapkan selamat
terhadap mereka. Tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai sikap ridha dan cenderung terhadap
kemunkaran besar yang mereka lakukan. Padahal Allah Swt berfirman:“Dan janganlah kamu cenderung
kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada
mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”
(TQS Hud [11]: 113).

Menurut Abu al-Aliyah, makna kata al-rukûn adalah ridla. Artinya ridla terhadap perbuatan orang-orang
zhalim. Ibnu Abbas memaknainya al-mayl (cenderung). Sedangkan menurut al-Zamakhsyari, al-rukûn tak
sekadar al-mayl, namun al-mayl al-yasîr (kecenderungan ringan). Ini berarti, setiap Muslim wajib
membebaskan dirinya dari kezahliman. Bukan hanya dalam praktik, namun sekadar kecenderungan sedikit
saja sudah tidak diperbolehkan.

Jelaslah, haram hukumnya kaum Muslim terlibat dalam perayaan hari raya kaum kaum kafir, baik Musyrik
maupun Ahli Kitab. Wal-Lâh a’lam bi al-Shawâb. (Abu Burhan dan Abu Said)

Sumber jawaban : www.hizbut-tahrir.or.id

97

Anda mungkin juga menyukai