Anda di halaman 1dari 8

JAUH sebelum terjadinya faksi-faksi (firqah) di kalangan umat Islam, Nabi Muhammad Saw telah

memprediksi bahwa jika kelak akan muncul berbagai aliran dan golongan di kalangan umat Islam.
Sebagaimana sabda Nabi Saw:

“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: Orang-orang Yahudi terpecah ke dalam
71 atau 72 golongan, demikian juga orang-orang Nasrani. Dan umatku akan terbagi kedalam 73
golongan." (HR. Sunan Abu Dawud).

“Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditanganNya. Akan terpecah umatku sebanyak 73
firqah, yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka. Bertanya para sahabat: 'Siapakah yang tidak
masuk neraka itu ya Rasulullah?' Nabi menjawab: 'Ahlussunnah wal Jamaah." (HR. Imam Thabrani).

Sabda Nabi Saw di atas mengisyaratkan bahwa dinamika yang dialektis akan terjadi pada setiap
kelompok agama, tak terkecuali Agama Islam. Perbedaan-perbedaan di kalangan umat Islam dalam
perspektif akademik merupakan sunnatullah (natural), tergantung bagaimana kita menyikapinya dan
memposisikan dirinya dalam sebuah proses dialektika keberagaman kemanusiaan dan keislaman itu
sendiri. Pada konteks inilah kita harus cerdas dan bijak dalam membaca setiap gajala dialektis yang
timbul di masyarakat, tanpa harus melakukan kekerasan, apalagi pertumpahan darah. Lebih-lebih pada
dimensi kekinian, di mana umat manusia (umat Islam) semakin maju dan berkembang seiring dengan
dinamika jamannya, tentu cara-cara kekerasan bukanlah sebuah tindakan yang bijak dalam membaca
setiap perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam. Di bawah ini akan dipaparkan tentang pemikiran
dan gerakan Islam dalam perspektif sejarah, pemikiran dan aksi, agar kita dapat mengambil pelajaran
secara utuh terhadap dinamika yang terjadi di kalangan umat Islam tempo dulu, dan perkembangannya
dalam konteks kekinian.

Embrio Lahirnya Aliran Dalam Islam

Ketika Nabi Muhammad Saw. mulai menyiarkan Islam di Mekkah, kota ini memiliki sistem
kemasyarakatan terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraysy. Sistem pemerintahan kala itu
dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri dari kepala suku, dan dipilih berdasarkan kekayaan
serta pengaruhnya di masyarakat. Ketika Nabi Muhammad Saw. diangkat menjadi pemimpin, terjadi
perselisihan dan perlawanan dari mereka, khususnya para pedagang dan pebisnis Arab kala itu. Akhirnya
Rasulullah Saw. hijrah ke Yasrib/Madinah (622 M). Di Madinah Rasulullah berperan ganda, selain sebagai
pemimpin agama juga menjadi pemimpin negara/pemerintahan. Dari kota Madinah inilah syiar dan
pemerintahan Islam dikelola, sampai akhirnya Mekkah dapat dikuasai. Bahkan daerah kekuasaannya
telah meliputi seluruh semenanjung Arabia.

Pada jaman Rasulullah Saw. sesungguhnya telah muncul embrio kelompok penentang Nabi/Islam.
Setidaknya ada tiga kelompok yang mengemuka saat itu, yaitu: (1) kelompok inkar as-sunnah
(mengingkari hadits Nabi); (2) kelompok inkar Az-zakah (menolak membayar zakat), dan (3) kelompok
murtad (meninggalkan Islam dan kembali ke jahiliyah). Namun tiga kelompok ini, kala itu tidak diperangi,
karena masih berikrar sebagai penganut Islam, dan mengakui kenabian Muhammad Saw. selain itu, Nabi
Muhammad Saw. lebih memilih cara-cara damai dalam menyelesaikan setiap masalah, sebagaimana
sikap Nabi ketika ditekan orang-orang Quraysy di Thaif saat menyebarkan Islam.

Di jaman Abu Bakar Ash-shiddiq, kelompok-kelompok di atas semakin menunjukkan eksistensinya,


bahkan menolak terhadap seluruh ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., sehingga Abu Bakar
meniscayakan peperangan atas mereka. Kelompok-kelompok penentang Nabi tersebut, akhirnya
berhasil ditumpas, dan seluruh tokohnya tewas dalam pertempuran. Perang melawan mereka di jaman
Abu Bakar disebut dengan “Perang Riddah” (perang melawan kaum murtad). Tokoh-tokohnya antara
lain: (1) Al Aswad Al Ansi. Dia memimpin Pasukan Badui di Yaman dalam sebuah pertempuran melawan
pasukan Abu Bakar. Ia terbunuh dalam pertempuran tersebut, dan pasukan Islam berhasil menguasai
Yaman; (2) Thulaihah bin KhuKhuwalid Al Asadi. Dia menganggap dirinya sebagai Nabi. Pengikutnya
berasal dari: Bani Asad, Bani Gatafan, dan Bani Amir. Pasukan muslim berhasil mengalahkan mereka di
bawah panglima perang Khalid bin Walid, dalam pertempuran di Bazakhah; (3) Malik bin Nuwairah. Dia
merupakan pemimpin Bani Yarbu’ dan Bani Tamim. Sepeninggal Nabi, ia tidak mengakui Islam. Malik bin
Nuwairah juga terbunuh dalam pertempuran yang dipimpin Khalid bin Walid; (4) Musailamah al-Kadzab
(Sang Pembohong). Musailamah adalah tokoh yang paling berbahaya. Dia mengklaim sebagai Nabi
ketika Nabi Muhammad Saw. masih hidup, baik di kalangan umat Islam maupun Kristen. Pengikut
terbesar Musailamah adalah Bani Hanifah di Yamamah. Pasukan muslim yang dipimpin Ikrimah bin Abu
Jahal dan Syurahbil bin Hasanah hampir kalah dalam pertempuran melawan Pasukan Musailamah.
Namun setelah datang bantuan bala tentara muslim di bawah Khalid bin Walid, pasukan Musailamah
berhasil dikalahkan. Tercatat ada 10 ribu kaum murtad terbunuh, dan ribuan kaum muslimin gugur
menjadi syuhada dalam pertempuran ini (rata-rata huffadz: ini pula yang menjadi cikal bakal kodifikasi
Al-Qur’an).

Sejarah Munculnya Aliran Dalam Islam

Bibit-bibit awal kemunculan aliran dalam Islam sesungguhnya mulai terjadi pada saat Rasulullah Saw.
wafat (632 M). Persoalannya berkisar pada masalah siapa pengganti pemimpin umat Islam sepeninggal
Nabi Muhammad Saw. Meski persoalan itu akhirnya dapat diselesaikan, namun bibit-bibit perpecahan
sudah mulai muncul pada saat itu. Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat Khilafah
Islamiyah mengalami suksesi kepemimpinan dari Utsman bin Affan ke Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib.
Perpecahan itu semakin kuat pada saat kekuasaan Ali Ibn Abi Thalib. Tercatat ada dua peperangan besar
yang terjadi di jaman Khalifah Ali, yaitu (1) Perang Jamal (Perang Onta) yang terjadi antara Ali dan
Aisyah, dibantu oleh Zubeir bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah; (2) Perang Siffin, yang berlangsung
antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abi Sufyan (Gubernur Damaskus kala itu).

Perselisihan antara Kubu Sayyidina Ali dan para penentangnya itu melahirkan aliran-aliran keagamaan
dalam Islam, antara lain: Syiah, Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Jabariyah, Qadariyah, dan
Ahlussunnah wal Jamaah. Aliran-aliran tersebut, dalam perkembangannya telah menginspirasi umat
Islam dunia di berbagai bidang, seperti hukum (fiqh), akidah (teologi), dan filsafat.

Oleh karena itu, jika dipetakan perkembangan pemikiran Islam secara umum dibagi dalam empat
kelompok, yaitu: (1) Pemikiran Ahli Fikih; (2) Pemikiran Teologi Islam; (3) Pemikiran Filsafat Islam; dan
(4) Pemikiran Modern.

Pertama, Pemikiran fikih sudah dimulai sejak Rasulullah masih hidup. Pada masa itu, semua hukum fikih
bisa langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Setelah Nabi wafat, perkembangan fikih pada masa sahabat
dibagi ke dalam dua macam kelompok, yaitu: (1) kelompok Ahl an Nash dan (2) kelompok Ahl al Ra’yi.
Perkembangan fikih setelah masa kepemimpinan Ali ibn Abu Thalib disebut dengan Fikih Tabi’in.

Kedua, Pemikiran teologi Islam. Setelah kepemimpinan Islam dilanjutkan oleh para sahabat, banyak
tumbuh dan berkembang golongan teologi Islam, sebagaimana diuraikan dalam penjelasan di atas.
Tujuan dari golongan ini adalah menjelaskan dan membela akidah Islam, serta menolak akidah yang
bertentangan dengan akidah Islam.

Ketiga, Pemikiran Filsafat Islam. Pada masa ini banyak muncul tokoh-tokoh pemikir filsafat Islam, antara
lain: Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Syuhrowardi, Al-Kindi, Abu Bakar Arrazi, Al Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lain.

Keempat, Pemikiran Modern. Pada kelompok ini muncul beberapa pemikiran Islam, antara lain: (a) Islam
Tekstual, corak pemikiran ini bercorak fundamental dan tekstualis; (b) Islam Revivalisme, yakni
pengkombinasian Islam dan modernitas, tapi masih kental nilai keislamannya; (c) Islam Modern.
Coraknya lebih banyak memasukkan nilai-nilai kemodernan dalam pemikiran Islam; (d) Neo
Modernisme. Pemikirannya lebih banyak ke liberalisme dan kontekstualis.
Keberagaman pandangan dan pemikiran di kalangan umat Islam seperti dipaparkan di atas, pada satu
sisi telah berhasil membawa citra Islam yang maju, berkembang dan modern pada sejumlah dinasti
setelah era kekhalifahan, namun pada sisi yang lain juga telah membawa citra Islam terpuruk akibat
pertentangan politik di kalangan mereka sendiri.

Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia

Berbicara tentang peta pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan
dari sejarah masuknya agama Islam di negeri ini. Terdapat dua versi mengenai kapan dan dari mana
agama Islam itu disebarkan. Pertama, pendapat dari Snouck Hurgronje yang menyebut bahwa pada
abad ke-13 M. merupakan awal dari masuknya agama Islam ke tanah air, melalui Persi dan Gujarat
(India). Versi ini cukup banyak menghiasi buku-buku sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia mulai
dari pendidikan dasar sampai PT. Kedua, pendapat Thomas W. Arnold, yang menyebut Agama Islam
masuk ke Indonesia pada abad 7 M dibawa oleh para saudagar Arab (Mekah dan Mesir) sejak abad
pertama Hijriyah. Pendapat ini diperkuat oleh Buya Hamka (1982), seperti dikutip dalam bukunya
“Sejarah Umat Islam di Indonesia”. Corak dan ajaran Islam yang pertama kali berkembang menurutnya
banyak dipengaruhi oleh Madzhab Syafi'i.

Hamka memiliki sejumlah argumentasi mengenai pendapatnya itu, antara lain: (1) dalam buku catatan
perjalanannya, Ibnu Batutah menulis, ia menyaksikan Raja-raja Samudera Pasai bermadzhab Syafi'i. Dan
madzhab Syafi'i kala itu kebanyakan dianut oleh umat Islam di Mekah (sebelum jatuh ke ibnu Saud) dan
Mesir. (2) Al Malik, gelar yang dipakai oleh raja-raja Pasai adalah sama dengan gelar yang dipakai oleh
raja-raja Mesir. Tiruan gelar ini tidak ditemukan di Iran (Persia) atau di India. Gelar “Syah” raja-raja
Malaka baru dipakai pada permulaan abad 15 M. Ini berarti bahwa pengaruh India dan Persia datang
setelah pengaruh Arab dan Mesir. Masih menurut Hamka, jika pengaruh India yang besar maka
Madzhab Hanafiyah yang paling berpengaruh di sini. Dan Jika pengaruh Iran yang kuat, tentu Madzhab
Syiah yang paling berpengaruh di sini. Faktanya kedua madzhab tersebut tidak populer di negeri ini,
sejak permulaan Islam masuk sampai sekarang. (3) Sebelum Ibnu Batutah melawat ke Kerajaan Pasai
sudah ada ulama besar Indonesia yang mengajar ilmu tasawuf di Adn dan Arab, yakni Syaikh Abu Mas’ud
Abdullah bin Mas’ud Al-Jawi. Ini merupakan bukti bahwa hubungan dalam mencari ilmu pengetahuan
Islam langsung ke tanah Arab, bukan ke India atau Malabar.

Sejalan dengan pendapat di atas, KH Abdul Muhith Muzadi (2006) menjelaskan bahwa sejak awal para
muballigh dunia Islam memilih Indonesia sebagai lahan baru yang dapat ditanami Islam secara damai
dan sukarela, setelah penyiaran agama Islam di tempat lain diwarnai kekerasan dan peperangan. Islam
yang disiarkan di Indonesia beraliran Ahlussunnah wal Jamaah dan berhaluan madzhab yang berwatak
tawasuth dan rahmatan lil alamin. Tradisi keislaman seperti ini terus berkembang dan dikembangkan
pada masa Wali Songo sekitar abad 13-15 M. Setelah era Wali Songo, lahirlah ulama-ulama Nusantara
yang sangat terkenal yang mewarisi tokoh Islam sebelumnya, seperti Hamzah Fansyuri, Syamsudin al
Sumaterani, dan Nuruddin Arraniri dan sebagainya sebagai ulama generasi 16 M. Karya-karya mereka
antara lain Syarah al Asyiqin (Minuman orang birahi), Asrar Al Arifin (Rahasia Ahli Ma’rifat), muncul juga
karya-karya lain bercorak sastra Taj al Salatin (Mahkota raja-raja) dan lain-lain.

Para ulama generasi selanjutnya, sebagaimana dikutip Ahmad Ginanjar Sya’ban (2009), antara lain:
syaikh Abdurrauf Asingkili Al-Jawi (Aceh, Singkil), Syaikh Yusuf Al Makasari (Sulawesi), Syaikh Abdul
Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya, Sunda), sebagai generasi abad 17 M. Lalu, Syaikh Burhanuddin Al-Jawi
(Ulakan Minang), Syaikh Arsyad Al-Banjari (Banjarmasin), Syaikh Abdusshomad Al-Falambangi
(Palembang), sebagai generasi abad 18 M. Kemudian, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani (Banten),
Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (Minangkabau), dan Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan
(Madura) sebagai generasi abad 19 M. yang kemudian dilanjutkan generasi ulama pesantren sampai
sekarang.

Corak keislaman Nusantara yang syafiiyah ini mengalami proses polarisasi setelah dunia Arab dilanda
gerakan pemurnian dan pembaharuan, yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab dengan
paham Wahabiyahnya berkolaborasi dengan penguasa baru Arab yakni Ibnu Saud. Gerakan ini tidak
hanya menyangkut aspek ibadah dan akidah, namun juga muamalah. Sejak paham Wahabi merambah
tanah air, maka sejak itulah umat Islam Indonesia yang awalnya “homogen” menjadi terpolarisasi
dengan paham Wahabi sampai sekarang dengan varian-varian yang lebih beragam.

Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia

Peta pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia dapat dirunut sejarahnya pada dekade tahun 1800-1900-
an, setelah Haramain jatuh ke Ibnu Saud. Penguasa baru di tanah Arab itu kemudian menggandeng Ibnu
Abdul Wahab dalam gerakan pemurnian dan pembaharuan Islam. Ada dua missi besar yang diinginkan,
(1) menjadi Khilifah Islamiyah yang bersifat tunggal di kalangan dunia Islam, untuk menggantikan
Khilifah Usmaniyah di Turki yang baru digulingkan oleh Gerakan Turki Muda pimpinan Kemal Attaturk;
(2) menjadikan paham Wahabi sebagai satu-satunya madzhab tunggal di kalangan umat Islam dunia.

Sejumlah tokoh dan organisasi yang memainkan peranan penting dalam gerakan pemurnian dan
pembaharuan Islam menurut Ricklefs dalam Muhibbin (2010) di antaranya: Syaikh Thaher bin
Jamaluddin Al-Azhari (wafat, 1857), terlibat aktif dalam penyebaran gagasan pemurnian dan
pembaharuan Islam melalui surat kabar “Al Imam” yang terbit di Singapura. Selain itu, dikenal pula
nama Syaikh Muhammad Djamil Djambek (wafat, 1947) dan Haji Rasul/Haji Karim Amrullah (wafat,
1945). Ketiga putra minang ini dengan terang-terangan mencela tarekat dan praktek-praktek beragama
muslim melayu. Gerakan ini juga menyebar ke Tanah Jawa. Jam’iyatul Khayr (1905) merupakan
komunitas Arab di Batavia, tercatat sebagai organisasi Islam yang mengambil prakarsa pertama dalam
penyebaran paham Wahabi di tanah air. Kemudian Perserikatan Ulama (1911) di Jawa Barat,
Muhammadiyah (1912) di Yogyakarta, dan Al-Irsyad atau Jam’iyatul Ishlah wal Irsyad (1915), serta
Persis (1923) di Bandung.

Paham Wahabiah yang merambah ke tanah air melalui sejumlah tokoh dan organisasi di atas
menimbulkan ketegangan di internal umat Islam Indonesia. Masalah pokok yang menjadi sumber
ketegangan sesungguhnya bukanlah substansi dari nilai ajaran Islam, tetapi lebih menunjuk kepada
aspek khilafiyah, seperti soal taqlid, upacara kematian, tahlil dan talqin, ushalli dan sebagainya atau isu
yang terkenal kala itu adalah TBC (taklid, bid’ah dan churafat). Upaya untuk menyatukan perbedaan ini
bukan tidak ada, tetapi selalu gagal dalam beberapa kali pertemuan. Fenomena inilah yang kemudian
menjadi salah satu sebab atau motivasi kenapa Nahdlatul Ulama (NU) harus berdiri pada tahun 1926.

Setelah NU berdiri, ketegangan di kalangan umat Islam Indonesia bukan tidak ada, tetapi berpindah dari
ranah kultural ke ranah politik. Dijelaskan oleh Djohan Effendi (2010), sejak pembentukannya pada
tahun 1926, NU menempati posisi sentral dan memainkan peranan penting di kalangan masyarakat
santri, terutama di pedesaan. Ia menunjukkan kemampuan membangkitkan kesadaran kolektif umat
Islam Indonesia, terutama di bidang agama, sosial, kebangsaan, pendidikan dan sebagainya.

Beberapa catatan yang menjadi prestasi NU sejak jaman kolonial, revolusi dan kemerdekaan, antara lain:
(1) keputusan (ijtihat politik) NU tentang status Indonesia di jaman Belanda; (2) Resolusi Jihad untuk
mempertahankan kemerdekaan RI; (3) Pemberian gelar kepada Presiden Soekarno; (4) Kembali ke UUD
1945; (5) Pembubaran PKI; dan (6) Keputusan tentang asas tunggal dan NKRI. Seluruh keputusan NU
tersebut menjadi landasan bagi seluruh bangsa, baik Islam maupun non Islam, dan baik NU maupun non
NU. Dinamika yang terjadi di tubuh NU, baik pada jaman Kolonial, Revolusi Kemerdekaan, era Orla dan
era Soeharto merupakan salah satu bentuk gerakan pemikiran di tengah kompetisi politik dan budaya
umat Islam Indonesia kala itu.

*********

Berdasarkan catatan di atas, jelas sekali bahwa paham Wahabi dunia, merupakan satu-satunya aliran
yang cukup massif melakukan penetrasi terhadap kantong-kantong umat Islam di Indonesia, sementara
aliran lain, seperti Syiah dan sebagainya (meski) diakui pernah masuk ke Indonesia tetapi tidak
berdampak signifikan terhadap mainstream Islam di negeri ini. Kini, Islam Indonesia semakin memiliki
corak dan karakter yang beragam, baik dari sisi pemikiran maupun gerakan. Keragaman ini tercermin
dari jumlah organisasi keislaman dan kelompok kepentingan atas nama Islam yang dari waktu ke waktu
semakin bervariasi.

Dari segi gerakan dan organisasi massa/orpol, kita mengenal beberapa segmen, antara lain: Sarekat
Dagang Islam-SDI (1905); Jamiatul Khoiriyah (1905); SDI berubah menjadi SI (1911); Muhammadiyah
(1912); Al Irsyad (tt); Persis (1923); NU (1926); Perti (1928); Al Washliyah (1930); dll. Adapun yang
berbentuk partai politik, antara lain: PSI (1923); Perti (tt); Partai Arab (tt); Masyumi (1943); NU (1953),
PSII (tt), Parmusi (tt), dll. Kini, partai politik Islam terfragmentasi pada berbagai partai, antara lain: PKB,
PPP, PAN, PKS, dan PBB. Dikalangan pemuda dan mahasiswanya, terdapat sejumlah organisasi
kepemudaan dan kemahasiswaan, antara lain: PMII, HMI, IPNU/IPPNU, PEMUDA MUHAMMADIYAH,
IMM, PII, dan lain-lain. Pada kelompok kepentingan (interest group), terdapat beberapa organisasi,
antara lain: FPI, HTI, KISDI, Lasykar Jihad, JAT, MMI, DDII, JIL, JIM dan lain-lain.

Sedangkan dari sisi pemikiran, kita mengenal ada sejumlah kategori yang biasa dilekatkan dalam
pemikiran Islam di Indonesia, yakni Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam neo-tradisionalis, Islam
neo-modernis, Islam liberal, Islam post-tradisionalis, Islam radikal, Islam ekstrim, Islam moderat, Islam
fundamentalis, Islam kanan, Islam kiri, dan sebagainya.

Menurut catatan yang diambil dari Workshop Islam dan Pluralisme (2008) Semua varian yang
disebutkan di atas dalam sejarah keindonesiaan tidak jarang satu sama lain mengalami benturan,
ketegangan, pergesekan, dan persaingan yang sangat dinamis. Dinamika itu terjadi karena didorong oleh
banyak faktor. Di antara faktor yang dominan adalah perebutan kekuasaan (akses) politik dan ekonomi.
Relasi antar organisasi ini juga tidak simetris atau paralel, tetapi seperti sarang laba-laba yang satu titik
dengan titik lain bisa saling berhubungan. Jaring laba-laba ini bukan untuk memperkuat atau
melemahkan, melainkan semata-mata untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing.

Oleh karena itu, jika dilihat dari perspektif politik, tidak selalu orang NU memilih atau mendukung PKB,
meski PKB secara resmi didirikan oleh orang-orang NU. Banyak orang NU yang mendukung PPP, PBB,
Golkar, PDIP, bahkan PKS. Begitu juga orang Muhammadiyah tidak dapat diidentikkan dengan PAN atau
PKB. Di beberapa daerah, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Nangroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, NTB, tidak sedikit orang NU adalah orang Perti, al-Washliyah, al-Khairat,
DDI, Nahdlatul Wathan. Satu orang aktif di dua organisasi sosial keagamaan sekaligus. Bahkan, ada
orang NU yang menjadi aktivis Muhammadiyah, Lasykar Jihad, FPI, dan Hizbut Tahrir. Ini betapa cair dan
dinamisnya organisasi sosial keagamaan di Indonesia, yang sekaligus juga menandai betapa sulitnya
membuat identifikasi dan kategorisasi berdasarkan organisasi keagamaan.
Ragam gerakan dan pemikiran tersebut secara makro dan simplistis dapat dikategorikan menjadi dua
saja, yakni, Pertama, Islam yang orientasi perjuangan dan cita-cita sosialnya menjunjung tinggi
keluruhan Islam dan kaum muslimin (’izzul Islâm wal Muslimîn), yakni “Islam Eksklusif”. Yang masuk
dalam kategori ini secara umum adalah organisasi DDII, LDII, FPI, MMI, HTI, Persis, dan sebagian orang
Muhammadiyah. Kedua, Islam yang berorientasi pada kerahmatan semesta (rahmatan lil ‘âlamîn), yakni
“Islam Inklusif”. Masuk dalam kategori inklusif secara umum adalah organisasi NU, orang-orang (bukan
keorganisasiannya) Muhammadiyyah, al-Washliyyah, Perti, al-Khairat, dan Nahdlatul Wathan.

Pertanyaannya adalah, di mana posisi PMII di tengah pergumulan pemikiran dan gerakan Islam
Indonesia? untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat ditelisik dari akar kesejarahannya, ideologi
gerakannya, komunitasnya, dan segala performance yang melekat pada organisasi ini dan orang-
orangnya. Di sini saya tidak akan memberikan stigma dan kategorisasi apapun kepada PMII. Karena
hanya PMII-lah yang sejatinya tahu akan jati dirinya. Yang terpenting adalah bagaimana PMII tetap
menjaga komitmennya sebagai organisasi yang berbasis akademik, berbasis keislaman, dan
keindonesiaan, yang secara dinamis terus dikontekstualisasikan dalam dimensi kekinian dan keakanan,
untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat, bangsa, agama dan kemanusiaan.

Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thoriq

Anda mungkin juga menyukai