Anda di halaman 1dari 3

Kamis, 29 Muharram 1439 H / 19 Oktober 2017

AJARAN SESAT DALAM ALIRAN TEOLOGI ISLAM


(BAGIAN II)
Kamaluddin Nurdin Marjuni
https://www.eramuslim.com/peradaban/pemikiran-islam/ajaran-sesat-dalam-aliran-
teologi-islam-bagian-ii.htm

Aliran- aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad
saw. Di samping posisi beliau sebagai Nabi dan Rasul, beliau juga menduduki jabatan
sebagai pemimpin Negara, sehingga ketika beliau wafat komuniti masyarakat Madinah
sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai Negara. Permasalahan ini sampai
mengganggu prosesi pemakaman beliau, dan mereka mengganggap pemakaman Nabi
merupakan soal kedua bagi mereka pada saat itu.

Selanjutnya, muncul persoalan ‘Khilafah’, yaitu soal pengganti Nabi Muhammad


saw. sebagai kepala Negara. Abu Bakar kemudian terpilih sebagai pemimpin umat Islam
setelah nabi Muhammad saw., dan diikuti oleh Umar pada periode berikutnya. Pada masa
pemerintahan Usman r.a. timbul pertikaian di antara sesama umat Islam yang
mengakibatkan berlakunya peristiwa pembunuhan Usman bin Affan, khalifah yang ketiga.

Peristiwa pembunuhan Usman menimbulkan munculnya perseteruan antara


Mua’wiyah dan Ali, di mana pihak Mu’awiyah menuduh pihak Ali sebagai otak
pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di
Madinah. Pertikaian keduanya juga berlanjut dalam memperebutkan posisi
kepemimpinan umat Islam setelah Mu’awiyah menolak diturunkan dari jabatannya
sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting point dari konflik politik
besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran.

Sikap Ali yang menerima tawaran arbitrase (perundingan) dari Mu’awiyah dalam
perang Siffin tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya yang pada akhirnya menarik
dukungannya dan berbalik memusuhi Ali. Kelompok ini kemudian disebut dengan
Khawarij ( orang-orang yang keluar ). Dengan semboyan La Hukma Illa lillah (tidak ada
hukum selain hukum Allah) mereka menganggap keputusan tidak bisa diperoleh melalui
arbitrase melainkan dari Allah. Mereka mencap orang-orang yang terlibat arbitrase
sebagai kafir karena telah melakukan “dosa besar” sehingga layak dibunuh.

Hal ini menandakan bahwa persoalan teologis dalam Islam berawal dari masalah
politik, sehingga memberikan pengaruh dan kesan besar terhadap perpecahan umat
Islam, bahkan dapat mempengaruhi tatanan kehidupan sosial masyarakat. Dan terkadang
masyarakat itu sendiri ikut langsung terlibat di dalam ranah politik, sehingga berbagai
kalangan dan tingkatan sosial di masyarakat bersaing untuk menjadikan pilihan politiknya
berkuasa.

Dalam perkembangan seterusnya, masalah politik meningkat menjadi masalah


teologi [1]. Dan peningkatan ini bersifat negatif, sebab membuat percampuran antara
politik dan ideologi yang semestinya harus dipisahkan. Efek yang timbul dan nyata dari
perkembangan tersebut adalah antara sesama penganut agama Islam saling menyalahkan
dan menyesatkan, bahkan mengkafirkan. Keadaan ini membuahkan hasil yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.

Sebab aqidah (ideologi) yang tadinya murni, dan bertujuan meningkatkan


keimanan dan ketaqwaan seseorang, mengembangkan persaudaraan Islam (Ukhuwah al-
Islamiyah), akibat pengaruh politik justru menjadi sebaliknya. Keimanan menjadi rapuh,
ketaqwaan semakin melemah, tali persaudaraan menjadi terputus, akibat berbagai
masalah serta problema yang dimunculkan oleh keadaan yang tidak dapat dibendung.
Sebagai contoh yang nyata, peristiwa yang menimpa umat Islam pada masa Khalifah Al
Mu’tsahim Billah tentang fitnah dan ujian ‘khalqul Qur’an’. Imam Ahmad bin Hambal
sangat tegar menghadapi tekanan penguasa kepada beliau untuk mengakui bahwa al-
Qur’an itu makhluq, namun dengan tegas ia menyatakan bahwa Al Qur’an adalah
kalamullah, bukan makhluk sebagaimana yang didoktrin oleh Khalifah.

Dengan tuduhan sesat dan menyesatkan kaum muslimin, Imam Ahmad bin
Hambal menerima penjara dan hukum pukulan dan cambukan. Dengan komitmen yang
tinggi dalam hati Imam Ahmad bin Hambal maka pada akhirnya aqidah kaum muslimin
terselamatkan dari tekanan dan pemaksaan penguasa yang menggunakan landasan
ideologi Mu’tazilah.

Dan yang menarik perhatian adalah ketika ada seseorang yang berkata kepada
imam Ahmad bin Hambal: “Semoga Allah menghidupkan engkau di atas Islam”, maka
beliau menjawab : “dan sunnah.” Ia berucap seperti itu karena ia mengerti bahwa umat
Islam telah berpecah dalam berbagai firqah, sekte dan kelompok, maka ia melengkapi
doanya dengan kata “dan sunnah”, yang maksudnya, ia dihidupkan di atas Islam dan
sunnah yang tidak dicampuri oleh berbagai macam bid’ah, termasuk di dalamnya politik.

Inilah contoh yang jelas ketika politik dan aqidah dicampuradukkan dan
dipolitikkan. Dan dari sini dapat dikatakan jika tidak terjadi perpecahan politik di kalangan
umat Islam niscaya kesatuan dan persatuan akan tercapai.

Namun perlu diingat bahwa ajaran sesat atau penyelewengan akidah ini bukanlah
suatu masalah dan problematika baru, melainkan telah muncul sejak sebelum wafat Nabi
Muhammad saw, di mana telah muncul beberapa orang yang mengaku dirinya sebagai
nabi selepas Rasulullah saw. Dan mereka menyebarkan ajaran-ajarannya kepada umat
Islam pada masa itu. Seperti yang tercatat dalam sejarah Islam, yaitu seseorang yang
bernama Musailamah, yang kemudian diberi gelaran sebagai al-Kazzab, Thalhah al-Asady
dari Kabilah Bani Asad, dan al-Aswad al-Anusi di Yaman.

Perlu disebutkan bahwa para sahabat Nabi Muhammad saw, menerima ajaran
aqidah dari Rasulullah saw dengan penuh ketaatan dan lapang dada (Sam’atan wa
Tha’atan), oleh karena itu, tidak pernah sedikitpun terlintas di dalam hati para sahabat
problema aqidah. Meskipun mereka terkadang bertanya kepada Rasulullah saw tentang
permasalahan agama, tapi hanya sekedar untuk mendapatkan petunjuk dan penjelasan
langsung dari Rasulullah saw.

Dalam hal ini, Ibu Abbas r.a berkata: ”Saya tidak pernah menemukan suatu kaum
yang lebih baik dari pada para sahabat Rasulullah saw, sebab mereka hanya bertanya
kepada Rasulullah saw seputar al-Qur’an, seperti: masalah hukum haid, haji, dan anak
yatim, dan mereka bertanya demi mendapatkan manfaat belaka”[2].

Syeikh Thasy Zadah menegaskan hal tersebut: ”Sesungguhnya para sahabat di


masa Rasulullah masih hidup di tengah-tengah mereka, di bangun atas satu kesatuan
aqidah, karena Rasulullah memang berada di sekeliling mereka dan berinteraksi langsung
dengan mereka, sehingga Rasulullah menghilangkan dari diri mereka segala yang berbau
sesat, ragu dan momok (khayalan)”[3]

Disebutkan dalam buku-buku sejarah sekte-sekte teologi islam, bahwa asas ajaran
sesat pada awal kemunculannya dipelopori oleh tiga golongan, yaitu: Khawarij yang
muncul pada tahun 37 Hijriyah, Syi’ah dan Qadariyah. Dan ketiga golongan ini kemudian
berkembang pesat sehingga sebagian golongan-golongan teologi islam dihinggapi
penyakit kesesatan.(Bersambung)

Rujukan:
[1] Disebutkan dalam Encyclopedia Britannica bahwa golongan Syi’ah (sebagai
pendukung imam Ali), pada awalnya merupakan partai politik (Harakah as-Siyasiyyah)
kemudian berkembang menjadi gerakan Islam (Harakah al-Islamiyah). (vol.20) (Chicago ،
William Benton ،1968) p.393. gerakan Islam inilah yang dikenali kemudian sebagai “al-
Firaq al-Islamiyah”, “al-Firaq al-Kalamiyah” dan “at-Tayyarat al-Kalamiyah”, dan
berbagai ragam istilah lainnya.
[2] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-I’lam, 1/71.
[3] Thasy Zadah, Miftahu as-Sa’adah wa Misbah as-Siyadah, 2/143.

Anda mungkin juga menyukai