Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH MUNCULNYA PERSOALAN-PERSOALAN DALAM ILMU

KALAM

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aqidah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Jamal Ghofir S.Sos.I,.M.A

Disusun oleh

Kelompok 8 Kelas C :

1. Lailatul Badriyah

2. Heni Hanifatus Sholihatin

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MAKHDUM IBRAHIM TUBAN

2019/2020
Abstraksi
Sejarah dalam pendeklarasian ilmu kalam tidak luput dari sejarah perpecahan prinsip teologi
umat islam yang ketika itu dipicu persoalan politik dan kedangkalan ukhuwah dalam prilaku
perebutan kekuasaan, bermula dari peristiwa wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tanggal 8
juni 632 M melahirkan suatu perjuangan keagamaan dan politik dalam masyarkat islam sehingga
mengakibatkan timbulnya perpecahan dikalangan umat islam. Perpecahan ini mulai memanas
sejak Khalifah Utsman bin Affan mengambil kebijakan  mengangkat anggota keluarganya untuk
menduduki posisi dalam struktur politik dan jabatan penting, sehingga sebagian  besar
masyarakat islam tidak senang dengan kebijakan tersebut. Puncaknya adalah saat Khalifah
Utsman bin Affan terbunuh saat sedang membaca Al-Qur’an dirumahnya.

Kata kunci : Sejarah munculnya persoalan-persoalan, pergantian kekholifahan Rasulullah saw,


Abu Bakar as-shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

A. Sejarah Munculnya Persoalan-Persoalan dalam Imu Kalam


Sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam mencatat bahwa munculnya persoalan kalam
justru bermuara dari perbincangan umat tentang persoalan politik. Mungkin sebagian orang
merasa aneh kenapa didalam Islam sebagai agama, masalah pertama justru muncul persoalan
politik bukan persoalan keagamaan, seperti persoalan kalam atau persoalan fiqih. Namun,
memang demikianlah kenyataan sejarah masa lampau.
Sebagaimana diketahui, begitu pindah ke Madinah pada tahun 622 M. Nabi Muhammad tidak
hanya sebagai pemimpin Agama, melainkan sekaligus sebagai pemimpin negara. Beliaulah orang
pertama mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini, sebelumnya di madinah belum
pernah ada kekuasaan politik, karena kenyataan Nabi Muhammad sebagai kepala pemerintah atau
negara, inilah maka jadi perhatiaan ketika beliau wafat terpusat pada masalah pengganti beliau
sebagai kepala pemerintah, demi tetap tegak dan berlanjutnya negara Madinah yang baru berdiri
itu. Pemakaman jenazah nabi terlaksana justru setelah persoalan politik ini, pengganti kepala
negara, selesai dimusyawarahkan. Dari sinilah awal timbulnya persoalan khalifah (pemimpin),
penggantian Nabi sebagai kepala negara atau pemerintah, yang dalam perkembangannya dari
masa ke masa juga melahirkan bermacam-macam pandangan dikalangan tokoh pemikir politik di
dunia islam.
Kenyataan Nabi tidak menunjuk sahabat tertentu yang kelak akan menjadi pemimpin
pemerintahan sepeninggalan beliau, memaksa para tokoh umat terlibat dalam pembicaraan serius
tentang siapa dan golongan mana yang harus melanjutkan kepemimpinan Nabi.

B. Sejarah Pergantian Kekholifahan Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin


Setelah Rasulullah saw wafat, kaum muslimin dihadapkan sesuatu problema yang berat, karena
Nabi sebelum meninggal tidak meninggalkan pesan apa dan siapa yang akan mengganti sebagai
pemimpin umat. Suasana wafatnya Rasulullah saw tersebut menjadikan umat islam dalam
kebingungan. Hal ini karena mereka sama sekali tidak siap kehilangan beliau baik sebagai
pemimpin, sahabat maupun sebagai pembimbing yang mereka cintai.

Ditengah kekosongan pemimpin tersebut, ada golongan sahabat dari Anshar yang berkumpul di
tempat Shaqifah Bani Sa'idah yang dipimpin oleh Saad bin Ubadah. Pada waktu itu Saad bin
Ubadah mengajukan wacana dan gagasan bahwa kaum Anshar yang pantas memimpin kaum
muslimin dan berargumen bahwa kaum Anshar telah banyak menolong Nabi dan kaum
Muhajirin dari kejaran dan penindasan orang-orang kafir Quraisy. Kemudian tokoh Muhajirin
seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah menolak dengan tegas
pembaiatan Saad bin Ubadah. Abu Bakar mengatakan pada golongan Anshar bahwa jabatan
khalifah sebaiknya diserahkan kepada kaum Muhajirin karena merekalah yang memeluk dulu
memeluk islam.

Dengan usulan Abu Bakar ra. Golongan Anshar tidak dapat membantah usulannya. Kaum Anshar
menyadari dan ingat, bagaimana keadaan mereka sebelum Nabi dan para sahabatnya dari
Makkah mengajak masuk islam. Lalu esok harinya, baiat terhadap Abu Bakar secara umum
dilakukan untuk umat muslim di Madinah.

1. Pemerintahan Abu Bakar As-Shidiq dan Pergantian Kekholifahan

Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Abi Quhafah At-Tamimi, yang diberi julukan “Abu
Bakar” oleh Rasulullah yang artinya “Pelopor Pagi Hari”. Karena beliau masuk Islam dalam
periode paling awal. Gelar As-Shidiq yang disandang Abu Bakar yang berarti “Yang Percaya”,
merupakan tanda kemantapan tauhid dijiwanya yang berbeda dengan sahabat lainnya, gelar
tersebut diperoleh karena beliau sangat mempercayai kebenaran Islam, termasuk terhadap
peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. 

Dikalangan sahabat, Abu Bakar dikenal memiliki pengetahuan yang luas. Beliau berasal dari
bangsawan Quraisy dan bekerja sebagai pedagang, anaknya yang bernama Aisyah menikah
dengan Rasulullah saw. Masa Kekhalifahan beliau berlangsung selama dua tahun, 11 – 13 H atau
632 – 634 M.3 Di Masjid Nabawi Abu Bakar memutuskan berbagai kebijaksanan penting bagi
perkembangan Islam. Salah satu kebijakan momumental yang diambil oleh Abu Bakar adalah
upaya perluasan Islam yang berpusat di Madinah ke wilayah luar dunia Arab, serta
mengkodifikasi Qur’an. Walaupun pada masa beliau hanya mengumpulkan tulisan-tulisan Qur’an
yang ada pada tulang – belulang dan kulit hewan, kebijakan ini diambil mengingat banyaknya
para penghafal Qur’an yang gugur dalam perang penyebaran Agama dan beliau dikenal sebagai
Pelopor Kodifikasi Qur’an.
Dalam menjalankan kepemimpinannya, Abu Bakar berusaha konsisten dengan sistem yang
berlaku pada masa hidup Rasulullah. Setelah kurang lebih dua tahun, beliau jatuh sakit. Sebelum
wafat, beliau sempat meminta pendapat para sahabat Senior tentang orang yang paling tepat
menggantikannya sebagai khalifah, karena beliau tidak menginginkan terjadi perpecahan Umat.
Para sahabat dari kaum Muhajirin yang diajak berkonsultasi, adalah Ustman bin Affan dan Abdul
Rahman bin Auf, sedang dari kaum Anshar adalah Asid bin Khudair. Demi kemaslahatan Umat,
Abu Bakar meminta agar pembicaraan itu tidak bocor. Akhirnya, mereka sepakat menunjuk
Umar bin Khattab sebagai Khalifah Pengganti. Setelah Abu Bakar wafat, Umar bin Khattab
diangkat sebagai Khalifah Kedua. Pengangkatannya dianggap tepat karena pada saat itu negara
masih diancam perpecahan dan tindak penghinatan.

2. Pemerintahan Umar bin Khattab dan Pergantian Kekholifahan

Pengangkatan Umar sebagai khalifah atas wasiat dari khalifah Abu Bakar semasa hidupnya yang
telah menunjuk Umar sebagai penerusnya. Sepeninggal Abu Bakar, Umar dibai’at pada tahun
634 M dan menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun dari 13 – 23 H. Sebagai penerus Abu
Bakar beliau banyak meneruskan langkah-langkah Abu Bakar yang belum tuntas.
Kepribadiannya dikenal keras sehingga diberi gelar “Singa Padang Pasir”. Sebelum Rasulullah
meninggal, beliau pernah berdo’a “Ya Allah kuatkanlah Islam dengan dua Amr, yaitu Amr bin
Hisam dan Umar bin Khattab”, Amr bin Hisam (Abu Jahal) tetap kafir sampai dia meninggal,
sedangkan Umar masuk Islam setelah membaca surat Thaha 1 – 8, Kemudian Rasulullah
memberinya gelar “Al-Faruq” yang berarti “Orang yang mampu membedakan kebanaran dengan
kebathilan”. Pada masa pemerintahaannya, beliau berhasil membebaskan negeri-negeri jajahan
Romawi dan Persia, serta membebaskan Baitul Maqdis dari penduduk Romawi.

Pada masa yang gemilang tersebut Umat Islam digemparkan dengan kabar meninggalnya
khalifah Umar bin Khattab, akibat tikaman dari Abu Lu’lu’ah ketika beliau sedang shalat subuh
di mesjid Nabawi. Kemudian beliau jatuh bersimba darah, dengan nafas tersenggal-senggal
beliau bertanya, “Siapakah yang menikam aku ?”. Para sahabat menjawab, ”Abu Lu-lu-ah”.
Kemudian beliau berkata, “Alhamdulillah, saya tidak dianiyah oleh sesama Muslim”. 

Karena khawatir bahwa luka yang diderita Umar akan menyebabkan kematiannya, para sahabat
meminta beliau menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Tetapi beliau menolak permintaan
itu, dan sempat marah ketika mereka mencalonkan putranya, Abdullah bin Umar sebagai
pengganti. Ketika para sahabat kembali mendesak, akhirnya beliau menyerah dan mengambil
jalan tengah dan membentuk formatur yang terdiri atas enam orang, yaitu Ali bin Abi Thalib,
Ustman bin Affan, Sa’ad bin Abu Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwan dan
Thalhah bin Ubaidah. Setalah khalifah Umar meninggal dunia, 5 anggota formatur bersidang,
sementara Thalhah pergi keluar kota Madinah. Pembicaraan itu berjalan alot karena semua
anggota mencalonkan diri dan tidak ada yang mau mundur. Dalam proses berikutnya Abdul
Rahman memundurkan diri sehingga tinggal 4 calon.
Masyarakat Islam pada saat itu terbagi dalam dua kelompok, yaitu yang mendukung Ustman dan
yang mendukung Ali. Abdul Rahman bertanya kepada Ali, seandainya bukan dia yang menjadi
khalifah, siapakah yang paling tepat, Ali menjawab “Ustman”. Kemudian pertanyaan serupa
diajukan kepada Zubair dan Sa’ad mereka pun menjawab “Ustman”. Ketika ditanyakan kepada
Ustman, jawabnya “Ali”. Dengan demikian ada dua calon yaitu Ali dan Ustman. Abdul Rahman
kemudian memanggil Ali dan menanyakan kesanggupannya bila dipilih sebagai khalifah. Ali
menjawab “Saya berharap dapat berbuat sejauh pengetahuan dan kemampuan saya”. Ketika
ditanyakan kepada Ustman, ia menjawab dengan tegas “Ya, saya sanggup”. Berdasarkan jawaban
itu maka Ustman dipilih sebagai khalifah, Ali sangat kecewa dan menuduh Abdul Rahman dan
Ustman telah menyusun rencana tersebut jauh sebelumnya, sebab jika Ustman menjadi khalifah,
kelompok Abdul Rahman juga akan “kecipratan” memegang kekuasaan.

3. Pemerintahan Ustman bin Affan dan Pergantian Kekholifahan

Seperti yang telah diusulkan oleh khalifah Umar, bahwasanya pengangkatan Ustman bin Affan
menjadi khalifah berdasarkan keputusan Majelis Pemilihan yang terdiri dari Abi bin Abi Thalib,
Ustman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqas dan Thalhah. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 12 tahun, yaitu mulai tahun 23- 35 H (644 – 656 M).
Ustman berasal dari Bani Umayyah, masa kepemimpinannya ditandai oleh perpecahan, berbeda
dengan masa dua khalifah sebelumnya. Khalifah Ustman sering melakukan kebijakan yang
bersifat Nepotisme, yaitu penyerahan banyak jabatan kepada anggota keluarga dengan
pertimbangan bahwa beliau sudah mengenal orang yang bersangkutan, dan keyakinannya bahwa
anggota keluarga yang diangkatnya tidak akan mencemarkan nama baiknya.Walaupun demikian
khalifah Ustman telah berhasil dalam melakukan kodifikasi Qur’an, sehingga kodifikasi naskah
atau mushaf Qur’an terdahulu dimusnahkan dengan tujuan agar tidak membingungkan Umat
Islam.

Namun pada akhirnya, pengaruh kekuasaanya pudar tergerus oleh golongan Separatis atau para
penentang yang menginginkan khalifah Ustman untuk turun dari jabatannya karena sikap
Nepotisme yang dilakukannya. Kemudian khalifah Ustman meninggal karena ditikam oleh
seseorang yang tidak menghendaki kepemimpinannya. Pembunuhan tersebut menimbulkan
berbagai gejolak pada tahun-tahun berikutnya, dan karena alasan inilah maka kemudian disebut
sebagai Al-Bab Al-Maftuh (Terbukanya pintu bagi perang saudara).

4. Pemerintahan Ali bin Abi Thalib dan Pergantian Kekholifahan

Ustman tidak sepakat menunjuk penggantinya. Setelah meninggal dunia, para pemberontak yang
dipilih oleh Abdullah bin Saba menuju rumah Ali. Mereka berkata “Kami akan membai’atmu
sebagai khalifah”. Ali menolak “ Bukan hak kalian untuk menunjukku, itu adalah hak para Ahli
Musyawarah dan orang yang ikut dalam perang Badar. Siapa yang direstuinya dialah yang akan
menjadi khalifah”. Mereka terus berkeras memaksakan kehendaknya. Akhirnya, Ali
mengusulkan pembai’atan di mesjid, supaya Umat Islam menyetujuinya, tetapi usul tersebut
ditolak secara tiba-tiba kaum Muhajirin dan Anshar diikuti oleh semua yang hadir melakukan
pembai’atan secara terbuka.

Pengangkatan Ali sebagai khalifah oleh Majelis Pemilihan, ternyata mendapat pertentangan dari
Thalhah dan Zubair selaku dua orang anggota majelis dari enam orang anggota Majelis Pemilihan
Khalifah. Karena keduanya menuduh Ali berada di belakang peristiwa pembunuhan khalifah
Ustman, walaupun demikian Ali tetap dinobatkan sebagai khalifah ke-empat setelah Ustman
wafat. Thalhah dan Zubair sebenarnya termasuk orang-orang yang berasal dari keluarga atau
golongan Umayyah. Dari sinilah sebenarnya mulai muncul pembangkangan oleh kekuasaan
Umayyah yang memilih Damaskus sebagai sebagai Pusat Pemerintahan, dengan Muawiyah
sebagai khalifahnya.

Khalifah Ali pada saat penobatan dirinya sebagai khalifah mendapat dukungan dari golongan
Syi’ah, yang memiliki anggapan bahwa sebenarnya semenjak Nabi Muhammad wafat, yang
berhak meneruskan kepemimpinannya secara hukum adalah Ali bin Abi Thalib. Mereka
menuduh bahwa khalifah terdahulu merebut hak kewarisan kepemimpinan dari Ali. Sebagaimana
yang diketahui bahwa Ali adalah keponakan dan sekaligus menantu Nabi. Oleh karena itu
golongan Syi’ah mengklaim bahwa keturunan dari sahabat Ali yang berhak atas kepemimpinan
Islam sampai akhir zaman.

Setelah Ali dibai’at di Madinah, banyak sahabat yang tidak mendukung, kemimipinannya ditolak
oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan Gubernur Suri’ah, yang masih kerabat Ustman. Alasannya, Ali
harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Ustman dan hak untuk memilih khalifah bukan lagi
monopoli orang-orang di Madinah mengingat semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam. Pada
akhirnya terjadi pertempuran antara pendukung Ali dengan pendukung Muawiyah, yang terjadi di
Siffin, peristiwa ini disebut dengan Fitnatul Qubra ( Bencara Besar ), karena terjadi perang
saudara yang amat besar. Peperangan tersebut berlanjut karena masing-masing memiliki kekuatan
yang imbang. Sampai akhirnya pihak Umayyah melemah dan mereka mengusulkan untuk
mengadakan perundingan damai. Ali menyetujui usulan perundingan tersebut dengan mengutus
Musa Al-Asy’ari, sedang pihak Umayyah memilih Amir bin Ash sebagai orang kepercayaan
mereka. Mereka mengadakan perundingan dengan dipandu oleh golongan Penengah. Namun
pihak Penengah dari pihak Muawiyyah tidak jujur, dan berpihak pada Muawiyyah. Akhirnya,
hasil dari keputusan tersebut menyatakan bahwa Muawiyyah sebagai khalifah resmi. Mendengar
keputusan tersebut, perangpun bergejolak kembali, sampai pada suatu hari pada tanggal 24
Januari 661 M. Khalifah ini terbunuh dengan Pedang Beracun, sehingga berakhirlah Era
Khulafaur Rasyidin. 
Kesimpulan

Sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam mencatat bahwa munculnya persoalan kalam
justru bermuara dari perbincangan umat tentang persoalan politik, agama, masalah pertama justru
muncul persoalan politik bukan persoalan keagamaan, seperti persoalan kalam atau persoalan
fiqih.

Setelah Rasulullah saw wafat, kaum muslimin dihadapkan sesuatu problema yang berat, karena
Nabi sebelum meninggal tidak meninggalkan pesan apa dan siapa yang akan mengganti sebagai
pemimpin umat.

Kemudian digantikan oleh Khulafaur Rasyidin diantaranya :


1. Abu Bakar as-shidiq
2. Umar bin Khattab
3. Usman bin Affan
4. Ali bin Abi Tholib

Daftar Pustaka
Achmadi, Wahid dkk. 2006. Menjelajahi Peradaban Islam. Pustaka Insan Madani : Sleman
http://lafire77.blogspot.com/2011/12/sejarah-latar-belakang-munculnya.html?m=1
http://pustakakhusus.blogspot.com/2008/06/peralihan-kekuasaan-dalam-khulafaur.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai