Anda di halaman 1dari 9

TUGAS UAS RESUME ILMU KALAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Nama : Naswa Nathania Azzahra


NIM : 1204020103
Jurusan : Komunikasi dan Penyiaran Islam
Kelas : 2C
Sumber : Buku Studi Ilmu Kalam karya Dr. Suryan A. Jamrah, M.A
BAB 1
SEKITAR ILMU KALAM

A. SEJARAH MUNCULNYA PERSOALAN KALAM

Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, ilmu kalam lahir lebih


belakangan dibanding ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu hadis dan ilmu fikih. Ilmu
kalam tidak lahir secara spontan, melainkan telah melalui proses dan melintasi kurun
waktu yang cukup panjang, didahului oleh munculnya berbagai persoalan kalam
secara parsial.

Persoalan kalam bukan yang pertama muncul di dunia Islam sepeninggal


Rasulullah SAW, dan bukan pula sebagai hasil perenungan langsung terhadap
masalah – masalah teologis yang termuat dalam sistem akidah Islam. Bermuara dari
kemelut politik yang kemudian merambat ke masalah kalam.

Bagaimana fenomena dan pergumulan politik ini kemudian berujung pada


dinamika kalam, akan dikemukakan secara ringkas dalam uraian berikut.

1. Muhammad menyandang status ganda

Fenomena dan kenyataan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin politik,


pendiri dan pemimpin negara memunculkan kesadaran dan pengakuan di kalangan
Muslimin, bahwa Islam di samping sebagai agama, adalah juga sebagai sistem
politik. Paling tidak, dapat dikatakan bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari
politik dan politik tidak mungkin lepas dari Islam. Bukankah kenyataannya,
Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul sekaligus negarawan.

Rasulullah SAW telah meninggal, dan perhatian muslimin pun serta – merta
terfokus pada persoalan politik, yakni masalah khilafah, pengganti beliau sebagai
kepala negara. Bagi sebagian orang, fenomena ini sepintas dipandang sebagai
sesuatu yang aneh. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa masalah yang
pertama kali muncul dalam Islam – sebagai agama – sepeninggal Rasul adalah
masalah politik (khilafiyah) dan bukan masalah keagamaan seperti masalah kalam
dan ilmu fikih? Bukankah masalah politik, pada hakikatnya bukan ajaran utama
Islam?

Dengan logika tersebut, maka merupakan hal yang alami dan pasti apabila
persoalan politik muncul sebagai persoalan pertama sepeninggal Rasulullah SAW.
Dan persoalan ini mendesak untuk segera dibicarakan dan diselesaikan. Hal
tersebut dikarenakan Rasulullah tidak pernah menunjuk atau meninggalkan wasiat
tentang siapa yang akan menjadi pemimpin negara setelah dirinya wafat.
Ringkasnya, penyelesaian masalah khilafah ketika itu merupakan kebutuhan
kontekstual sosiopolitik, demi stabilitas dan integritas politik dunia Islam yang
sangat utama dan diutamakan. Begitu pentingnya masalah ini, sehingga
pemakaman jasad Rasulullah SAW tertunda dan baru dilaksanakan setelah
masalah khilafah ini selesai.

2. Abu Bakar Khalifah Pertama

Pada masa pemerintahan dua orang khalifah pertama, Abu Bakar dan Umar,
roda pemerintahan berjalan dengan baik dan situasi politik intern negara Islam
sangat stabil. Namun pada masa kekhalifahan Usman bin Affan, situasi politik
dalam negeri mulai berubah, terutama dalam kurun waktu paruhan kedua dari 12
tahun masa kekhalifahannya. Memasuki periode 6 tahun kedua, Khalifah Usman
dinilai oleh sebagian sahabat telah memperlihatkan kebijakan politik yang tidak
bijaksana. Misalnya, beliau dipandang melakukan kebijakan politik bernuansa
nepotis, cenderung mengutamakan orang dekat dan keluarga.

Ketika Ali bin Abi Thalib terpilih dan di baiat menggantikan Khalifah Usman
yang mati terbunuh, suasana politik dunia Islam semakin keruh dan kisruh.
Khalifah Ali bin Abi Thalib menghadapi 2 kubu oposisi Thalhah – Zubair dan
kubu Muawiyah.

Oposisi dari pihak Thalhah dan Zubair ini memuncak pada bentrok bersenjata,
yang dikenal dengan peristiwa Perang Jamal. Dalam pertempuran ini Khaifah Ali
berhasil mengatasi kubu oposisi.

Kini khalifah masih menghadapi kubu oposisi dari pihak Muawiyah. Konflik
politik dengan kubu ini ternyata tidak dapat pula diselesaisakn secara damai
melalui perundingan berdasarkan ukhuwah islamiah. Dua pasukan tentara pun
bertemu di medan perang yang terkenal dengan nama Perang Shiffin.

Perang pun dihentikan dan persoalan politik selanjutnya akan diselesaikan


melalui tahkim atau arbitrase. Untuk melaksanakan tahhkim, masing – masing
pihak mengutus seorang wakil. Pihak Khalifah Ali mengutus Abu Musa Al –
Asy’ari dan Muawiyah mengutus wakilnya Amr bin Ash.

Hasil tahkim yang dinodai kecurangan dan pengkhianatan oleh Amr bin Ash
ini sangat merugikan Khalifah Ali dan menguntungkan Muawiyah. Adalah wajar
kalau Khalifah Ali enggan menerima hasil tahkim tersebut dan tidak mau
melepaskan jabatan khalifah sampai akhir hayatnya tahun 661 M. Namun dengan
tahkim tersebut, paling tidak, telah mengangkat kedudukan Muawiyah menjadi
khalifah yang tidak resmi. Sehingga, sepeninggal Khalifah Ali, Muawiyah
otomatis dan dengan mudah menjadi khalifah resmi.

3. Dari Masalah Politik ke Masalah Kalam

Melihat hasil tahkim yang demikian, kelompok al – Qurra dari barisan


Khalifah Ali kontan menolak dengan keras dan mereka menyalahkan kebijakan
tahkim itu sendiri. Kelompok yang tidak setuju dengan tahkim ini akhirnya
mengambil sikap ekstrem keluar dari barisan Khalifah Ali. Karena itulah,
kelompok ini terkenal dengan sebutan kaum Khawarij.

Lebih lanjut mereka berpendapat, orang yang menghakimi atau memutuskan


sesuatu tidak berdasarkan hukum Allah, Al – Qur’an, adalah melakukan dosa
besar, pelaku dosa besar adalah kafir; dan darah orang kafir itu halal. Oleh sebab
itu, para pelaku dan orang yang menerima hasil tahkim adalah pelaku dosa besar,
telah kafir, dan harus dibunuh.

Dengan digunakannya term kafir oleh Khawarij terhadap pelaku tahkim, maka
persoalan politik tidak lagi murni sebaga masalah politik, tetapi sudah berpindah
kepada persoalan kalam atau teologi.

Demikian, masalah kalam atau teologi muncul di dunia Islam bermula dan
bermuara dari fenomena politik. Sejak kaum Khawarij menggunakan term kafir
terhadap lawan politik mereka, persoalan politik sudah berubah menjadi persoalan
kalam. Term kafir ini kemudian lebih dominan dihubungkan dengan pelaku dosa
besar, dan sejak itu satu per satu tema kalam bermunculan dan melahirkan
berbagai paham serta aliran di dunia Islam.

B. SEJARAH ILMU KALAM

1. Ilmu Kalam di Awal Sejarah Pemikiran Islam

Pada awal – awal sejarah pemikiran dalam Islam, ilmu kalam, tidak seperti
ilmu fikih, kurang mendapat perhatian bahkan tidak disetujui di kalangan
Muslimin. Sikap umat tersebut tidak lepas dari pengaruh pola pembinaan
keimanan di masa – masa awal Islam itu sendiri, yaitu masa Rasulullah dan para
sahabatnya.

Demikian, kalam sama sekali tidak mendapat tempat di masa – masa awal
Islam. Para sahabat dan tabi’in mengimani materi pokok akidah yang disampaikan
oleh Rasulullah secara global dan sepenuh hati, tanpa mempertanyakan secara
detail dan terperinci, apalagi mempermasalahkan dan memperdebatkannya.

Namun, adalah hal yang sangat wajar apabila pada perkembangan berikutnya,
umat Islam segera pindah dari tahap penerimaan akidah melalui hati kepada tahap
penerimaan melalui pemikiran dan analisis rasional. Kondisi tersebut dikarenakan
kecenderungan mempertanyakan dan menganalisis suatu masalah, termasuk
masalah keimanan, adalah satu hal yang sangat alami pada manusia. Dengan kata
lain setiap orang pada dasarnya memiliki kecenderungan dan kesiapan melakukan
penalaran rasional dan berfikir filosofis.

2. Sejarah Lahir dan Definisi Ilmu Kalam


Pada penghujung abad pertama atau awal abad kedua Hijriyah, muncul diskusi
sistematis dan silang pendapat di sekitar persoalan kalam, seperti masalah iman
dan kufur, pelaku dosa besar, dan masalah qadha qadr. Diskusi ini masih diikuti
para sahabat generasi akhir. Diskusi ini pula yang pada gilirannya melahirkan
ilmu kalam yang memusatkan materi bahasan pada aspek akidah dengan metode
sendiri, metode nasional.

Begitu pula bila dilihat dari aspek materinya, tema atau materi bahasan ilmu
kalam sama sekali tidak bergeser dari materi pokok akidah Islamiyah yang
digariskan dan dititikberatkan oleh al – Qur’an, yaitu masalah Allah dan tauhid.
Masalah ini pula yang menjadi tema pokok dalam kajian ilmu kalam. Tujuan para
mutakalim atau teolog muslim tidak lain adalah untuk memperkenalkan,
menanamkan, dan membela kebenaran akidah tauhid.

Demikian, ilmu kalam telah lahir di dunia Islam dengan materi, metode, dan
karakternya sendiri, yang membedakannya dengan disiplin keislaman lainnya.
Para ahli pun telah mencoba mengidentifikasi ilmu ini dengan mengemukakan
beberapa definisi konkret. Ibnu Khaldun, misalnya, mengemukakan definisi
sebagai berikut;

“Kalam adalah ilmu yang memuat diskusi – diskusi tentang akidah atau
keimanan berdasakan argumen rasional dan berisi bantahan terdapat para pelaku
bid’ah dari mazhab salaf dan ahli sunnah”

Sementara al – Tahanawi memberikan definisi kalam, sebagai berikut;

“Kalam adalah ilmu yang dengannya akidah agama (Islam) dapat diyakinkan
kepada orang lain dengan cara mengemukakan berbagai argumen dan menangkis
berbagai keraguan”

3. Sekitar Nama Ilmu Kalam

Disamping nama populernya “Ilmu Kalam”, ilmu ini lazim pula disebut
dengan Ilmu Ushuluddin, Ilmu ‘Aqaid, dan Ilmu Tauhid. Muhammad Mahmud
Shubhi, cenderung memandang nama “kalam” itu dihubungkan dengan “Kalam
Allah” yang menjadi tema perdebatan sentral di kalangan ulama ketika itu, dan
bukan di berikan oleh mu’tazilah. Bahkan kemungkinan besar nama itu diberikan
oleh orang – orang ahli sunnah wal jama’ah seperti yang tergambar pada definisi
Ibnu Khaldun yang telah dikemukakan terdahulu.

Adapun nama Ushuluddin (ajaran dasar agama), diberikan karena materi


utama bahasan ilmu ini adalah ajaran – ajaran pokok agama Islam, yakni akidah,
seperti tentang Allah dan sifat – sifat-Nya, tentang pengiriman para rasul dan
kebenaran risalah mereka, dan ajaran – ajaran pokok lainnya.
Disebut Ilmu ‘Aqaid, karena materi bahasan ilmu ini adalah membahas
masalah – masalah teoritis yang harus dipercayai atau diyakini di dalam hati
sebagai akidah. Sedangkan dinamakan Ilmu Tauhid, karena ilmu ini membahas
masalah ketuhanan yang berpusat pada masalah tauhid.

4. Faktor Pendorong Lahirnya Ilmu Kalam

a. Faktor intern
- Al – Qur’an
- Kondisi sosial dunia Islam
- Kondisi politik

b. Faktor ektern
- Paham agama lain
- Kontak dengan umat agama lain

5. Perbandingan Metode Kalam dan Filsafat

Secara garis besar, persamaan antara kedua bidang ilmu ini terletak pada alat
atau media argumentasi yang digunakan. Filsafat dan Ilmu Kalam sama – sama
menggunakan argumen rasional. Arguemn rasional yang awal mulanya adalah
metode filsafat ini, kemudian menjadi bagian dari ilmu kalam itu sendiri.

Adapun segi perbedaannya, oleh para ahli, lazim dilihat dari 2 aspek, yakni
metode pembahasan dan sejarah pembentukan. Secara metodologis, para
mutakalim, didalam pembahasan mereka, berangkat dari iman dalam arti
memercayai terlebih dahulu kebenaran pokok masalah yang dibahas, baru
kemudian mengemukakan argumen – argumen rasional untuk membuktikan
kebenaran pokok masalah yang telah diyakini dari sumber syar’i islami tersebut.

Adapun para filsuf, didalam pembahasan mereka, bebas dari berbagai


pengaruh dan keyakinan apapun. Mereka tidak mempunyai praduga maupun
prakonsep tentang masalah – masalah yang dibahas. Di tengah – tengah
pembahasan, mereka berupaya menyusun berbagai argumen sehingga sampai
kepada suatu hasil atau kesimpulan yang bagaimanapun adanya mereka yakini
sepenuhnya sebagai sesuatu yang benar.

Perbedaan antara ilmu kalam dan filsafat terlihat pula pada proses
pembentukannya. Ilmu kalam lahir di dunia Islam melalui proses panjang secara
berangsur – angsur, ditengah – tengah munculnya berbagai persoalan kalam dalam
rentang waktu cukup lama.

Adapun filsafat lahir di dunia Islam dalam bentuknya yang telah sempurna di
tangan para filsuf Yunani. Para filsuf muslim mengambilnya secara atau
mendekati utuh dari Yunani. Kemudian mereka berupaya mengkompromikan dan
mempertemukan sebagian ide filsafat Yunani tersebut dengan pandangan –
pandangan Islam atau paling tidak berusaha melakukan islamisasi terhadap filsafat
Yunani.
BAB 2
WILAYAH DAN MATERI PEMBAHASAN ILMU KALAM

A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP AKIDAH

Secara terminologis, akidah berarti “buhul” atau “ikatan tali” yang kuat.
Selanjutnya, dari kata akidah ini dipinjamkan pula beberapa arti yang lain, seperti
sumpah setia dan perjanjian. Dalam penggunaan sehari – hari, khususnya dalam
konteks agama, kata akidah lazim diartikan “kepercayaan”. Hal ini tentu tidak
menyimpang dari asal kebahasaannya. Sebab, kepercayaan atau keimanan dalam
Islam pada hakikatnya adalah ikatan yang kuat dalam hubungan manusia dengan
Allah Sang Khaliq, yang harus diikrarkan atau disumpahjanjikan oleh manusia.

Secara garis besar, masalah akidah dalam Islam menyangkut tiga bidang
persoalan utama;

- Keyakinan akan adanya Allah SWT sebagai pencipta dan pemelihara alam
semesta, yang sering diungkapkan dalam istilah mabda’.
- Keyakinan yang berhubungan dengan perantara antara Allah dan manusia,
yang lazim disebut dengan istilah al – wasth.
- Keyakinan akan adanya hari akhirat, yang biasa pula disebut dengan istilah
ma’ad.

B. HUBUNGAN ANTARA AKIDAH, IBADAH, DAN AKHLAK

Kedudukan akidah di dalam Islam, demikian kesepekatan para ulama, adalah


sebagai pokok (al – ushul) dan ibadah sebagai cabang (al – furu’). Klasifikasi yang
demikian, mengisyaratkan hubungan dan saling memengaruhi secara piramidal antara
akidah dan ibadah. Dalam hubungan kausalitas ini, akidah atau iman otomatis
melahirkan ibadah; dan ibadah tanpa dasar akidah menjadi sia – sia tanpa pahala.
Selanjutnya, akidah dan ibadah yang benar akan melahirkan perilaku moral atau
akhlak. Akhlak adalah hasil atau buah dari pemahaman dan penghayatan terhadap
nilai – nilai akidah dan ibadah.

C. AKIDAH TAUHID DAN ASPEK – ASPEKNYA

Bila dihadapkan dengan teori evolusi yang lazim digunakan tokoh antropologi
sosial untuk menjelaskan perkembangan agama, maka akidah tauhid atau paham
monoteistik ini, menurut Islam, sama sekali tidak mengikuti hukum atau mengalami
proses evolusi. Jadi, akidah tauhid islamiah bukan hasil proses perkembangan dari
politeisme menuju henoteisme dan berakhir pada monoteisme. Menurut Islam, akidah
tauhid atau paham monoteisme itu sama tuanya dengan awal keberadaan manusia di
muka bumi. Para Rasul Allah sejak Nabi Adam sampai ke Nabi Muhammad SAW,
menyerukan akidah yang sama, yaitu akidah tauhidiyah atau paham monoteisme.

Di dalam studi kalam, aspek akidah tauhidiah ini lazim dibedakan kepada
tauhid al – dzat, tauhid al – shifat, dan tauhid al – af’al.

- Tauhid al – dzat adalah keyakinan dan pengakuan akan Allah Yang Maha
Esa, Yang Tunggal, tidak terbilang dan tidak tersusun.
- Tauhid al – shifat adalah bahwa Allah itu unik, tidak ada sesuatu pun yang
menyerupai – Nya.
- Tauhid al – af’al adalah bahwa Allah itu pencipta segala sesuatu, tidak ada
pencipta selain Dia.

D. BEBERAPA ISTILAH KUNCI DALAM KAJIAN KALAM

1. Iman

Menurut bahasa, kata iman berarti percaya. Adapun menurut pengertian


istilahi iman adalah mempercayai dan mengkuti segala apa yang disampaikan oleh
Rasulullah SAW, baik yang berkenaan dengan akidah, ibadah, maupun
muamalah.

2. Kufur

Kufur adalah lawan dari iman. Dengan demikian, kufur berarti mengingkari
atau tidak memercayai akan adanya Allah dan agama yang Dia turunkan melalui
para Rasul – Nya. Secara lebih khusus, kufur adalah mengingkari atau tidak
mempercayai Allah dan risalah Nabi Muhammad SAW.

3. Nifaq

Nifaq berarti bersikap mengaku beriman melalui ucapan lisan tetapi kufur
didalam hati. Pelaku nifaq in disebut munafiq.

4. Syirik

Syirik berarti mempercayai adanya banyak tuhan selain Allah, yang dalam
istilah barat disebut politeisme. Pelaku tindakan syirik disebut musyrik. Berbeda
dengan kufur, syirik terjadi di kalangan manusia beragama. Artinya, mereka
adalah umat beragama, hanya saja Tuhan yang di percayai lebih dari satu.

5. Murtad
Murtad adalah tindakan keluar dari agama Islam, apakah itu dalam kasus yang
non-Islam masuk Islam kemudian kembali kepada agamanya semula, ataupun
orang yang sejak semula beragama Islam lalu berkonversi kepada agama lain.
E. AKIDAH POKOK DALAM ISLAM

1. Beriman Kepada Allah


2. Beriman Kepada Malaikat
3. Beriman Kepada Para Rasul
4. Beriman Kepada Kitab
5. Beriman Kepada Hari Akhir
6. Beriman Kepada Qadha dan Qadar

F. CARA ISLAM MENANAMKAN AKIDAH

Prinsip utama Islam dalam mengajak manusia mengimani ajaran akidah, baik
yang pokok maupun yang besifat cabang, adalah kebebasan tanpa pemaksaan. Al –
Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama
Islam. Dengan akal dan naluri keberagaman yang telah dianugerahkan oleh Allah,
islam menginginkan agar manusia beriman dan memeluk agama Islam menurut
pilihannya yang bebas, berdasarkan pertimbangan rasional dan memenuhi pangilan
fitrah keberagamannya tanpa paksaan.

Kebebasan memilih yang diberikan oleh Islam ini, merupakan pernyataan atas
kebenaran Islam itu sendiri. Sehingga bukti – bukti rasional dan naluri insani otomatis
akan membawa pilihan bebas seseorang kepada keimanan dan keislamannya,
sepanjang ia mau mengunakannya untuk merenung dan memikirkan bukti – bukti
tersebut.

Pemberian kebebasan oleh Islam ini seyogyanya tidak dipahami dalam arti
bebas mutlak, yang meniscayakan tanpa sanksi. Kebebasan tidak berarti bebas dari
sanksi. Bukti kebenaran Islam telah nyata, dan kebebasan telah diberikan, maka
manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala yang sudah menjadi pilihan.

Anda mungkin juga menyukai