Anda di halaman 1dari 12

Standar kompetensi:

Memahami tentang bagaimana itu teologi islam

Kompotensi dasar:

1. Menerangkan teologi islam melalui pemahamn aliran aliran di islam


2. Menerangkan teologi islam melalui pemahaman sejarah
3. Menerangkan teologi islam melalui pemahaman analisa dan perbandingan

Materi pokok:

1. Aliran aliran yang ada pada islam


2. Sejarah islam di dunia
3. Analisa dan perbandingan teologi islam

RPP (Rencana Pelaksanaan pembelajaran):

1. Analisa biodata peserta (pencantuman identitas)


2. Langkah-langkah pembelajaran
3. Mukaddimah
4. Pengenalan peserta
5. Kegiatan inti:
a) Pengisian
b) Timbal balik peserta dan pemateri
c) Pencarian referensi tentang materi
d) Kegiatan penutup
e) Tanya jawab
f) Akhir

Materi:

A. Aliran Aliran Dalam Islam

1. Khawarij

Aliran Islam yang pertama adalah Kaum Khawarij. Sebagai sekte Islam pertama yang dapat
diidentifikasi. Mereka muncul ketika para pengikut Nabi Muhammad SAW berusaha untuk
menentukan sejauh mana seseorang dapat menyimpang dari norma-norma perilaku yang ideal
dan tetap disebut Muslim.

Mereka adalah mantan pendukung Khalifah Ali yang memberontak sebagai protes. Mereka
menegaskan bahwa "penghakiman hanya milik Tuhan", yang menjadi moto mereka. Ali dibunuh
pada tahun 661 oleh seorang Khawarij yang berusaha membalas dendam.
Kaum Khawarij percaya bahwa setiap Muslim, terlepas dari keturunan atau etnisnya, memenuhi
syarat untuk peran khalifah, asalkan mereka secara moral tidak tercela. Menurutnya, tugas umat
Islam untuk memberontak dan menggulingkan para khalifah yang berdosa.

2. Murjiah

Murji'ah berpendapat bahwa hanya Tuhan yang berhak menilai apakah seorang Muslim telah
murtad atau tidak. Akibatnya umat Islam harus mempraktekkan penundaan penghakiman pada
pelaku dosa besar dan tidak membuat tuduhan kafir.

Mereka juga percaya bahwa perbuatan baik atau kelalaian dari manusia tidak mempengaruhi
iman seseorang. Lalu orang yang tidak melakukan tindakan ketaatan lain tidak akan dihukum di
akhirat selama mereka berpegang pada iman yang murni.

3. Qadariyah

Qadariyah adalah istilah yang awalnya menghina para teolog Islam awal, yang menyatakan
bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Istilah ini berasal dari (qadar), "kekuatan".

Sumber-sumber abad pertengahan yang menjadi dasar informasi tentang Qadariya termasuk
Risālat al-qadar ilā Abd al-Malik.

4. Jabariyah

Aliran dalam Islam selanjutnya yang berbanding terbalik dengan Qadariyah. Jabriyah adalah
aliran filsafat Islam awal yang didasarkan pada keyakinan bahwa manusia dikendalikan oleh
takdir, tanpa memiliki pilihan atau kehendak bebas.

Jabariyah berasal dari Dinasti Umayyah di Basra. Istilah ini berasal dari akar kata bahasa Arab j-
b-r, dalam arti yang memberi arti seseorang yang dipaksa atau dipaksa oleh takdir.

5. Muktazilah

Muktazilah disebut juga Ahl al-ʿAdl wa al-Tawḥīd, adalah kelompok Islam yang muncul pada
awal sejarah dalam perselisihan tentang kepemimpinan Ali. Setelah wafatnya khalifah ketiga,
Utsman bin Affan.

Mereka mengambil posisi tengah antara Khawarij dan Syiah. Pada abad ke-10 M, istilah ini juga
merujuk pada aliran teologi spekulatif (kalām) Islam Sunni yang berkembang di Basra dan
Baghdad (abad ke-8-10).

Aliran ini mengembangkan jenis rasionalisme Islam, sebagian dipengaruhi oleh filsafat Yunani
Kuno, yang didasarkan pada tiga prinsip dasar: keesaan dan keadilan Tuhan, kebebasan
bertindak manusia dan penciptaan Al-Qur'an. Kelompok yang terkenal karena menolak doktrin
Alquran, sebagai tidak diciptakan dan sama-sama abadi dengan Tuhan.
6. Ahlus Sunnah wal Jamaah

Aliran Ahlussunnah wal Jama'ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih.
Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan sunnah
khulafaurrasyidin. Sebagian besar umat muslim di tanah air diajarkan dalam ideologi dari
kelompok ini.

Pola pikir Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengambil jalan tengah antara Nash (Al Qur'an dan
Hadits) dengan Akal (Ijma' dan Qiyas). Kelompok ini dikenal juga dengan julukan Penganut
Islam Sunni

B. Sejarah Teologi Islam

Teologi islam atau ilmu kalam sebagai ilmu pengetahuan, baru muncul sekitar abad ke-3
Hijriah. Hal ini sama sekali bukan berarti aspek akidah atau teologi tidak mendapat perhatian
dalam ajaran islam atau ilmu-ilmu keislaman, bahkan sebaliknya dalam agama islam aspek
akidah merupakan inti ajarannya.

Pada waktu itu umat islam masih bersatu dalam segala persoalan pokok akidah, bersatu
dalam memahaminya. Umat islam waktu itu tidak pernah berkeinginan untuk mengungkit
persoalan akidah yang telah tertanam dan berakar kuat di hati umat islam.

Umat islam terus mengisi ruangan sejarah yang terus berjalan hingga sejarah itu sendiri
memproduk beberapa persoalan yang muncul kemudian yang harus dihadapi umat islam,
termasuk dengan munculnya persoalan-persoalan dalam masalah teologi. Persoalan-persoalan
tersebut diantaranya yaitu:

Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, semua persoalan agama dapat ditanyakan
kepada beliau secara langsung. Dan jawaban dari persoalan tersebut dapat diperoleh secara
langsung dari Rasulullah SAW. Para sahabat dan kaum muslimin percaya dengan sepenuh hati,
bahwa apa yang diterima dan disampaikan oleh Nabi adalah berdasarkan wahyu Allah. Dengan
demikian, tak ada keraguan sedikitpun terutama kebenarannya.

Dalam masalah akidah atau teologi, umat islam pada masa Nabi SAW tidak terjadi
perpecahan atau pengelompokan. Mereka semua bersatu dalam masalah akidah sampai pada saat
dua kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, yakni pada masa pemerintahan kholifah Abu Bakar As-
Sidiq dan khalifah Umar bin Khatab. Karena pada masa setelahnya umat islam telah terusik
nafsunya untuk mengambil pemahaman secara sepihak menurut versi kelompoknya dalam
masalah agama termasuk persoalan akidah atau teologi yang dalam agama islam merupakan
ajaran yang pokok.

Persoalan teologi dalam umat islam memang bukan merupakan persoalan yang muncul
sebagai persoalan teologis. Namun persoalan-persoalan teologi dalam umat islam muncul
dikarenakan isu persoalan politik yang melahirkan peristiwa pembunuhan Usman bin Affan
sebagai khalifah umat islam yang sah pada waktu itu. Dan dalam peristiwa pembunuhan tersebut
yang terlibat langsung adalah umat islam.

Ternyata, persoalan pertama yang muncul dalam islam justru persoalan politik yang
kemudian disusul persoalan teologi. Ketika Nabi SAW wafat, yang terfikir di dalam kalangan
(para sahabat) adalah siapa pengganti Rasulullah SAW? Dan berlanjut sampai khalifah Usman
yang terbunuh merupakan titik awal lahirnya permasalahan teologi yang dipertentangkan. Dari
peristiwa pembunuhan Usman yang menjadi permasalahan adalah dosa apa yang telah diperbuat
olehnya, dan bagaimana dosanya bagi orang-orang yang membunuh beliau? Peristiwa
pembunuhan itu sebenarnya merupakan peristiwa politik karena mempunyai latar belakang yang
bermuatan politik, yakni sebagai tanggapan terhadap kebijaksanaan pemerintahan yang
dijalankan pada waktu itu.

Pembicaraan masalah dosa tersebut semakin meningkat ketika terjadi perebutan


kekuasaan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah dengan keputusan akhir adanya arbitrase
(takhim). Kelompok yang tidak setuju adanya arbitrase, menganggap bahwa orang yang terlibat
dalam persoalan arbitrase, seperti Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al
Asy’ari dan lain-lain dianggap kafir, karena telah mengambil hukum yang tidak berdasarkan Al-
Qur’an. Karena Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 44 yang artinya:

“Barang siapa yang tidak memutuskan, menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Mereka (kaum khawarij) berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh
arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang
ada dalam Al-Qur’an. Kemudian pengertian kafir semakin berkembang tidak hanya pada orang
yang tidak menentukan hukum berdasarkan Al-Qur’an, tetapi juga orang yang berbuat dosa
besar. Persoalan dosa besar mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya.
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam.

Dalam masalah teologis juga muncul persoalan mengenai perbuatan manusia dalam
kaitannya dengan perbuatan Tuhan. Pertanyaan di sekitar persoalan tersebut diantaranya apakah
manusia melakukan perbuatannya sendiri atau tidak? Apakah perbuatan yang dilakukan oleh
manusia terdapat campur tangan (intervensi) dari Tuhan yang mengatur alam raya ini beserta
seluruh isinya? Kalau tuhan ikut campur tangan dalam perbuatan manusia, sampai sejauh mana
intervensi Tuhan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengusik para ulama kalam
(Mutakallimin) untuk membahasnya. Dari pembahasan yang dilakukan para Mutakallim ini
kemudian terbentuk aliran-aliran/paham dalam persoalan teologi. Aliran-aliran telogi yang
munculpun berangkat dari latar belakang persoalan-persoalan tersebut.

Persoalan lain yang muncul dalam teologi islam selain dua persoalan di atas adalah
tentang sifat Tuhan. Para Mutakallimin dalam membahas persoalan tentang sifat Tuhan secara
garis besar dapat di bagi menjadi dua golongan pendapat yang berlawanan.
C. Analisa da perbandingan dalam teologi islam

1. Akal dan wahyu

Sejatinya persoalan dalam teologi mengacu pada dua persoalan, yakni kemampuan akal
dan fungsi wahyu dalam mengetahui adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan. Lalu yang
menjadi pertanyaan bisakah akal mengetahui adanya Tuhan? Jika seandainya bisa, lalu
bagaimana akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan? Berkaitan dengan baik
dan buruk benarkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan menjauhi yang
buruk? Dalam sejarah pemikiran Islam, teologi yang disebut oleh tradisi Islam dengan ilmu
kalam, berkembang mulai dari abad 1 H. adapun aliran teologi yang pertama kali muncul adalah
Mu’tazilah. Ciri khusus dari Mu’tazilah. ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya kemampuan
akal. Prinsip ini mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka
berjalan begitu jauh. Mereka berpendapat bahwa alam punya hokum kokoh yang tunduk kepada
akal. Mereka merupakan kelompok yang paling mirip dengan Descartes dari kalangan kaum
rasional modern. Mereka tidak mengingkari naql (teks al-Qur’an dan Hadis), tetapi tanpa ragu-
ragu mereka menundukan naql kepada hukum akal. Mereka menetapkan bahwa pikiran- pikiran
(akal) adalah sebelum sam’i. untuk itu mereka menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat, menolak
hadis-hadis yang tidak di akui oleh akal.

Mu’tazilah memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal, tidak terhadap wahyu. Dalam
pengertian Mu’tazilah, akal merupakan sumber pengetahuan di mana setiap manusia menaruh
keraguan terhadap apa saja. Dalam keraguan pengalaman pancaindra merupakan pengetahuan
paling rendah dan sumber pengetahuan paling tinggi adalah akal. Hal ini menunjukan bahwa akal
merupakan media informasi bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Sedangkan wahyu
bagi Mu’tazilah adalah sumber pengetahuan yang berasal dari agama. Sehingga pengetahuan
tersebut bagi Mu’tazilah adalah sebagai konfirmasi dari pengetahuan yang berasal dari akal.
Mu’tazilah memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal, maka gagasan dasarnya sangat
bercorak rasioanal. Disebut rasional karena dalam setiap memahami ayat-ayat al-Qur’an, mereka
selalu berfikir secara rasional, dan berusaha mencari kesamaan arti teks yang terdapat pada al
Qur’an, Mu’tazilah selalu menggunakan penafsiran secara majazi atau metaforis, dan tidak
menggunakan penafsiran secara harfiah. Salah satu contoh dalam menafsirkan ayat al-Qur’an
adalah dalam kalimat wajah Tuhan sebagai esensi Tuhan, dan tangan Tuhan diartikan kekuasaan
Tuhan. Adapun Asy’ariah mengartikan wajah Tuhan tetap mempunyai arti wajah Tuhan dan
tangan Tuhan tetap mempunyai arti tangan Tuhan, hanya saja wajah dan tangan Tuhan berbeda
dari wajah dan tangan manusia.

Kecendrungan Mu’tazilah menggunakan akal dalam setiap menafsirkan ayat-ayat al-


Qur’an, karena menggunakam dalil yang ada dalam al-Qur’an
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu? (Fushshilat:53)

Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, (al-Ghasyiah:17).

Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang
diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita
manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?(al-Araf:185)

Mu’tazilah berpandangan, pengetahuan dapat diketahui melalui perantaraan akal, dan kewajiban
kewajiban dapat pula diketahui melalui pemikiran mendalam. Sementara akal dapat mengetahui
kewajiban berterimakasih kepada Tuhan, dan wajib meninggalkan hal-hal buruk. 23 Sejatinya
akal bagian dari dasar utama bagi Mu’tazilah, akan tetapi akal hanya dapat mengetahui secara
garis besar, dan tidak terperinci. Dari keterbatasan akal maka Mu’tazilah memfungsikan wahyu
sebagai konfirmasi dari pengetahuan yang berasal dari akal. Asy’ariah. Mazhab Asy’ariah
bertumpu pada al-Qur,an dan al-Sunnah mereka amat teguh memegangi al-Ma’sur. “Ittiba’ lebih
baik dari pada ibtida’ (membuat bid’ah)”. Asy’ariah mengatakan: ”Pendapat yang kami
ketengahkan dan aqidah yang kami pegami adalah sikap berpegang teguh kepada kitab Allah,
Sunnah Nabi-Nya SAW dan apa yang diriwayatkan oleh sahabat, Tabi’in dan imam-imam hadis.
Kami mendukung semua itu. Dalam mensitir

2. Pengertian “Free will dan Predestination”


Perbuatan manusia diinterpretasikan oleh dua aliran yang paradoks. Pertama, ada yang
memandangnya sebagai kehendak bebas manusia. Bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu
adalah diciptakan manusia sendiri. Manusialah yang berkehendak. Apa yang dia inginkan, dia
bias lakukan. Sebaliknya, yang tidak diinginkan, dia bias saja untuk tidak melakukannya. Kedua,
begi kelompok ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh manusia. Melainkan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala. Bagi kelompok ini, manusia tidak bias berbuat apa-apa, manusia tidak
memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan. Manusia hanyalah dikendalikan Allah
subhanahu wa ta’ala. Aliran pertama ini, dalam pemikiran Islam dikenal dengan sebutan
Qadariyah (Free will). Sementara yang kedua disebut Jabariyah (Predestination).
3. Kekuasaan Dan Kehendak Mutlak Tuhan
Kekuasaan perspektif pemikir Barat bermakna kemampuan satu pihak
(berkuasa) untuk melakukan dan mempengaruhi pihak lain (yang dikuasai) baik
bersifat pribadi maupun kelompok untuk mencapai suatu tujuan. Islam memandang
bahwa manusia adalah khalifah Allah dibumi, karena pemegang kauasa sejati adalah
Allah Ta’ala 30.

Kemudian dalam menjelaskan kekuasaan dan kehendak Tuhan, al-Asy’ari


menyatakan bahwa Tuhan adalah dzat yang tidak tunduk kepada siapapun, kehendak
dan kekuasaan Tuhan bersifat absolute, Tuhan adalah Al-Malik yang absolut, berbuat
apasaja yang dikehendakiNya. Manusia memiliki kekuasaan dan kehendak dalam
berbuat, keistimewaan manusia dari mahluk Allah Ta’ala yang lain adalah kemampuan
berfikir dan berbuat menurut yang dikehendaki fikirannya dengan segala resiko yang
ditanggung.31 Jika keistimewaan ini hilang maka ia bukan memerankan fungsi sebagai
manusia lagi. Secara alami manusia memiliki kebebasan dalam menentukan kehendak
dan perbuatan dala kaidah sunnatullah. Abduh memgatakan bahwa menyebut bahwa Tuhan telah
menciptakan daya kepada manusia sebagai karunia untuk berfikir, berbuat dan
bertanggungjawab atas dirinya.

4. Keadilan Tuhan

Adil menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online adalah sama berat, tidak berat
sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar dan tidak sewenang-wenang. Sementara
keadilan diartikan sebagai suatu sifat atau perbuatan atau perlakuan yang adil.

Namun, bagaimana Keadilan menurut Aliran-aliran Teologi dalam Islam, khususnya tentang
keadilan Tuhan?, yakni keadilan Tuhan menurut kaum Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiah
golongan Bukhara dan Maturidiah golongan Samarkand. Paham keadilan Tuhan banyak
tergantung pada paham kebebasan manusia dan paham sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak
Tuhan.

Kaum Mu'tazilah, karena percaya kepada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan
manusia, mempunyai kecenderungan untuk meninjau wujud ini dari sudut akal dan kepentingan
manusia. Dalam paham Mu'tazilah semua makhluk lainnya diciptakan Tuhan untuk kepentingan
manusia. Tuhan juga mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatannya, tetapi karena Tuhan
Mahasuci dari sifat berbuat untuk kepentingan diri sendiri, perbuatan-perbuatan Tuhan adalah
untuk kepentingan mawjud lain, selain Tuhan.

Kaum Asy'ariyah, karena percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai


kecenderungan yang sebaliknya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai
tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Betul mereka akui
bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia dan
bahwa Tuhan mengetahui kebaikan dan keuntungan itu, tetapi pengetahuan maupun kebaikan
serta keuntungan-keuntungan itu, tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat.
Dalam hal ini, kaum Maturidiah golongan Bukhara mempunyai sikap yang sama dengan
kaum Asy'ariyah. Menurut Al-Bazdawi, tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk
menciptakan Kosmos (alam) ini.

Kaum Maturidiah golongan Samarkand, karena menganut paham free will dan free act, serta
adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi yang lebih dekat
kepada kaum Mu'tazilah daripada kaum Asy'ariyah.

Berdasarkan atas kecenderungan Mu'tazilah yang dijelaskan di atas, kata-kata "Tuhan adil"
mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang
buruk, dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia. Oleh
karena itu Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat meletakkan
beban yang tak dapat dipikul oleh manusia, dan mesti memberi upah kepada orang yang patuh
padanya dan memberi hukuman kepada orang yang menentang perintahnya.

Kaum Asy'ariyah memberikan pendapat yang berlainan sekali dengan pendapat Mu'tazilah di
atas. Sesuai dengan kecenderungan mereka untuk meninjau segala-galanya dari sudut kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hatinya
dalam kerajaannya. Sungguhpun hal sedemikian itu, menurut pandangan manusia, adalah tidak
adil. Al-Asy'ari sendiri berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan
seluruh manusia ke dalam surga dan tidaklah bersifat zalim Jika ia memasukkan seluruh manusia
ke dalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan
karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum, perbuatan Tuhan tidak pernah
bertentangan dengan hukum.

5. Sifat-Sifat Tuhan

Pembahasan dalam ilmu kalam ini menimbulkan perdebatan diantara Aliran- Aliran
kalam. Masing-masing berkeyakinan bahwa paham dan pendapatnya dapat menyucikan dan
memelihara keesaan Allah Swt, meningkatkan kepercayaan keagamaan dengan bukti-bukti dan
dasar-dasar yang meyakinkan atau kuat. Perbedaan paham antar aliran kalam mengenai sifat-sifat
Tuhan tidak terbatas hanya pada persoalan apakah Tuhan memiliki sifat atau tidak. Perbedaan
paham antar aliran tersebut sampai kepada perdebatan pada persoalan-persoalan cabang sifat-
sifat Allah Swt, seperti melihat Tuhan dan esensi Al-Qur'an.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa Tuhan berarti sesuatu yang
diyakini, dipuja dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa dan Mahaperkasa. Tuhan
adalah merupakan suatu Zat yang "Maha Tinggi" yang tidak satupun orang menyamai bahkan
segala sesuatu yang ada di dalam jagat raya ini, terlihat maupun tersembunyi (gaib) semuanya
tergantung kepada-Nya. Dalam Islam, Al-Qur'an telah diyakini sebagai wahyu yang Qat'i Al-
wurud. Selain itu, al-Qur'an merupakan petunjuk bagi umat manusia dalam segala aspek
kehidupan manusia, walaupun sebagian petunjuknya masih bersifat universal. Dalam hal nama-
nama Tuhan (sifat-sifat), salah satu firman Allah. sebagai berikut: Al-A'raf ayat 180.

Dan Allah memiliki Asma'ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah


kepada-Nya dengan menyebutnya Asma'ul-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.

Asmaul Husnah adalah nama-nama Tuhan yang telah popular di kalangan umat Islam
yang berjumlah 99 nama, sekaligus nama-nama tersebut mengandung pensifatan kepadan-Nya.
Al-A'raf ayat 54 Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada
perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan
seluruh alam.

Sifat Allah yang ditetapkan di dalam al-Quran dan hadis jika diperhatikan akan terbagi
menjadi dua macam, yaitu sifat Dhtiyah dan sifat fi'liyah.:

Sifat Dhtiyah adalah sifat yang senantiasa mensifati Allah, ada yang termasuk ke dalam
sifat ma'nawiyah seperti sifat Al-'Ilmu (ilmu), Al-Qudrah (mampu), Al-Sam'u (mendengar), Al-
Baar (melihat). Fi'liyah (perbuatan)

Sifat Fi'liyah adalah sifat yang berkaitan dengan kehendak Allah, jika Allah berkehendak
mengerjakannya maka Allah mengerjakannya dan apabila tidak maka tidak; seperti ber-Istiw di
atas 'Arsh, dan turun kelangit dunia disetiap sepertiga malam terakhir.

Aliran Mu'tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa dan tidak memiliki sifat-sifat. Aliran
mu'tazilah memandang dirinya sebagai aliran Ahlut Tauhid wal 'adil dengan menafikan sifat-sifat
Tuhan, tujuannya adalah untuk menyucikan keesaan Tuhan. Tuhan mengetahui dengan
pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan itu sendiri. Washil bin Atha' menegaskan bahwa
siapa saja yang menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah Swt, ia telah menetapkan adanya dua
Tuhan. Mu'tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, sebab apabila tuhan memiliki
sifat, sifat tersebut harus kekal seperti halnya zat Tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, maka yang
kekal bukan hanya satu tetapi banyak. Dengan kata lain, ayatayat Al-Qur'an yang
menggambarkan Tuhan bersifat jasmani ditakwil dengan pengertian yang layak bagi kebesaran
dan keagungan Allah.

Menurut aliran Asy'ariyah, Tuhan memiliki sifat karena perbuatan-perbuatannya. Mereka


juga mengatakan bahwa Tuhan mengetahui, berkuasa, menghendaki dan sebagainya serta
memiliki pengetahuan, kemauan dan daya. Asy'ariyah berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan itu
tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Pendapat Asy'ariyah ini berlawanan dengan
paham Mu'tazilah yang menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Ayat-ayat al-Qur'an yang
menggambarkan Tuhan memiliki sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan tetapi harus diterima
sebagaimana makna harfiahnya. Oleh sebab itu, Tuhan dalam pandangan Asy'ariyah mempunyai
mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana. Tetapi, semua dikatakan la yukayyaf wa la
yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya). Asy'ari berpendapat bahwa Tuhan dapat
dilihat dengan mata kepala kelak di akhirat.

Pendapat aliran Maturidiyah mengenai sifat Tuhan sama dengan pendapat Asy'ariyah
yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki sifat. Maturidiyah berpendapat bahwa sifat sifat Tuhan
itu Mulazamah ada bersama zat tanpa terpisah (innaha lam takun ain al-zat wa la hiya ghairuhu).
Maturidiyah maknai sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu'tazilah. Perbedaannya, al-
Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu'tazilah menolak adanya sifat-sifat
Tuhan. Menurut Maturidi Samarkand, dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran
Tuhan memiliki sifat jasmani, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka,
mata dan kaki adalah kekuasaan Tuhan. Pendapat aliran Samarkand ini kelihatannya tidak
sepaham dengan Mu'tazilah karena al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah tuhan, akan
tetapi juga tidak lain dari tuhan. Aliran Maturidiyah Bukhara sependapat dengan Asy'ariyah dan
Maturidi Samarkand bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Al-Bazdawi tokoh
Maturidiyah Bukhara mengatakan bahwa Tuhan kelak memperlihatkan dirinya untuk kita lihat
dengan mata kepala, sesuai dengan apa yang Tuhan kehendak.

Syi'ah menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim. Mereka berpendapat
bahwa Tuhan tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya. Sebagian dari mereka
berpendapat bahwa pengetahuan merupakan sifat zat tuhan dan bahwa Tuhan tahu tentang
dirinya sendiri, tetapi Tuhan tidak dapat disifati tahu terhadap sesuatu sebelum sesuatu itu ada.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa tuhan senantiasa mengetahui dan pengetahuannya
merupakan sifat zatnya. Tuhan tidak dapat bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum sesuatu itu
ada, sebagaimana manusia tidak dapat bersifat melihat dan mendengar sesuatu sebelum bertemu
dengan sesuatu itu sendiri. Mayoritas tokoh Syi'ah Rafidhah mensifati Tuhan dengan bada
(perubahan). Mereka beranggapan bahwa Tuhan mengalami banyak perubahan. Sebagian
mereka mengatakan bahwa Tuhan terkadang memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya.
Terkadang tuhan menghendaki melakukan sesuatu kemudian mengurungkannya karena ada
perubahan pada dirinya. Perubahan ini bukan dalam arti naskh, tetapi dalam arti bahwa pada
waktu yang pertama tuhan tidak tahu apa yang akan terjadi pada waktu yang kedua.

6. Konsep Iman

Iman artinya percaya. Menurut istilah, iman adalah membenarkan dan meyakinkan
dengan hati, diucapkan oleh lisan, dan diamalkan dengan perbuatan. Kita semua pasti memiliki
iman masing-masing, tetapi kuat lemahnya iman setiap kita pasti berbeda.
Dari perbedaan itu kita ketahui mana ciri-ciri orang yang kuat imannya. Orang yang kuat
imannya pasti punya rasa takut terhadap Allah SWT., khusyuk dalam menjalankan sholat, dan
menjauhkan diri dari kegiatan sia-sia.

Sedangkan orang yang lemah imannya, kebalikan dari yang kuat imanya, seperti dia tidak
merasa bersalah dan takut kepada Allah saat melakukan dosa dan malas dalam segala hal
peribadahan.

Iman menurut teologi dalam Islam, pertama Khawarij, mereka berpendapat bahwa iman
bukan hanya sekedar pengakuan hati terhadap keesaan Allah, tetapi amal pun merupakan unsur
dari iman. Kedua Murjiah, menurut mereka iman itu terdiri dari dua unsur, yaitu membenarkan
dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan.

Membenarkan dengan hati aja tidak cukup dan mengikrarkan dengan lisan juga tidak
cukup harus dengan kedua-duanya supaya seseorang menjadi mukmin. Ketiga Mu'tazilah, iman
itu bukanlah Tashsiq, dan iman dalam arti pengetahuan pun belumlah cukup, tetapi iman itu bagi
kaum Mu'tazilah ialah amal yang timbul sebagai akibat mengetahui Tuhan tetapi melawanya
bukan mukmin.

Pada saat ini keimanan umat Islam mudah goyah dikarenakan adanya pendapat yang
membuat kita mudah percaya tentang satu hal sedangkan pendapat itu salah dalam agama. Kita
sebagai umat Islam harus bisa menyaring dan memutuskan mana pendapat yang baik untuk kita
pelajari dan kita pahami.

Kita sebagai umat muslim harus memiliki ilmu pengetahuan, karena semakin bertambah
pemahaman dan ilmu seseorang maka kualitas dan kuantitas iman akan memuncak dan rasa
takutnya bertambah kepada Allah akan menyelimuti hatinya hingga ia senantiasa dalam ketaan.

Belajar dari ilmu pengetahuan kita akan senantiasa berbuat amal shalih, baik itu amal
hati, lisan, maupun anggota badan yang dilakukan semua dengan ikhlas dan mengharapkan ridha
Allah, maka akan semakin menguatkan iman kita. Iman dan amal shalih lah bekal utama kita
agar kita hidup tentram dan bahagia. Dengan kekutan iman yang dilandasi ilmu pengetahuan kita
akan senantiasa berbuat amal shalih dengan benar.

Ilmu pengetahuan dan amal shalih akan meningkatkan iman kita. Sehingga iman bukan
hanya nama dalam jiwa umat Islam. Karena kita ketahui sejak dari awal masa pandemi keimanan
umat Islam sudah digoyahkan dengan semua ketidakpastian. Jadi orang yang lemah imannya
akan mudah mengikuti ketidakpastian tersebut. Sebagai umat yang berilmu pengetahuan kita
harus dapat menyaring semua yang tidak baik bagi diri kita.

Dalam masa pandemi ini banyak yang salah kaprah dalam hal beribadah dan bertaqwa
kepada Allah, karena mereka beranggapan apabila masjid ditutup maka kita tidak melaksanakan
sholat lagi, tidak beribadah lagi, dan hanya malas-malasan di dalam rumah. Tetapi dalam hal ini
sebenarnya disinilah kita dapat berbenah diri dalam rumah. Karena di dalam rumah yang sebagai
kepala keluarga dapat menjadi imam di dalam rumah dan mengajarkan agama bagi keluarganya.

Banyak amalan yang dapat dilakukan umat Islam ketika masa pandemi ini. Diantaranya
memperbanyak zikir, tadarus, dan mengkaji kitab suci Al-Qur'an, hingga berdoa mohon
ampunan kepada Allah. Dengan melakukan semua itu keimanan kita akan terjaga dan kita lebih
dekat dengan Allah. Jadi kita sebagai umat Islam harus bisa meningkatkan keimanan kita sendiri.

Anda mungkin juga menyukai