Anda di halaman 1dari 8

NAMA : SALIS HIDAYATUL WIFQI

NIM : 126201211071
MATA KULIAH : TEOLOGI DAN MODERASI ISLAM
FAK/JUR/KLS : FTIK/PAI/3B
DOSEN : Dr. MUKHAMAD SUKUR, S.H.I., M.Pd.I

LEMBAR JAWABAN

1. Apa yang Saudara pahami tentang Teologi dan Moderasi Islam?


Jawab:
a. Teologi
Teologi secara etimologi berarti studi tentang Tuhan. Sedangkan secara terminologi,
teologi merupakan sebuah studi tentang kumpulan-kumpulan doktrin keagamaan
tertentu. Nama lain dari teologi adalah ilmu kalam. Dalam hal ini, teologi merupakan ilmu
yang membahas tentang akidah dengan dalil-dalil yang rasional dan ilmiah sebagai
benteng untuk menolak para penolak akidah. Islam merupakan agama yang
mendapatkan legalitas keridhaan Allah SWT sebagai agama umat manusia. Sehingga,
fokus pembahasan dalam teologi adalah aliran-aliran akidah dalam agama Islam.
b. Moderasi Islam
Dalam bahasa Indonesia, istilah “moderasi” berarti sebuah posisi yang tidak
berlebihan, tidak terlalu lembut atau terlalu kasar, tidak terlalu ke kanan dan tidak terlalu
ke kiri. Moderasi berarti mengambil jalan yang tengah yang bisa diterima secara rasional.
Di Indonesia, istilah “moderasi” sering dikaitkan dengan “agama” sehingga muncul istilah
popular “moderasi beragama”. Moderasi beragama di kalangan umat Islam lebih populer
dengan sebutan “Wasathiyah Al-Islam.” Penggunaan istilah Wasathiyah dan Wasathiyah
al-Islam baru dikenal umat Islam pada masa modern ini. Secara harfiah, kata ini
mengandung arti “Tengah”, “Pertengahan”, atau “Tempat yang berada di titik tengah
antara dua sisi yang sama jaraknya”.
Jadi, moderasi beragama yang dimaksud adalah moderasi di dalam pemikiran dan
pelaksanaan ajaran agama atau moderasi sikap dan perilaku keberagamaan yang
dipraktikkan oleh umat beragama. Cara seseorang beragama harus selalu didorong ke
jalan tengah, atau harus senantiasa dimoderasi, karena ia bisa berubah menjadi
ekstrem, tidak adil, bahkan berlebih-lebihan. Dengan demikian, salah satu kunci daripada
moderasi adalah sikap tidak berlebih-lebihan.
Istilah ini semakin popular seiring dengan munculnya paham-paham dan gerakan
radikalisme yang terjadi pada akhir-akhir ini. Di antara paham-paham dan gerakan
tersebut, sering mengatasnamakan agama sebagai legitimasi dalam perjuangannya.
Indonesia sebagai negara yang memiliki tingkat keragaman yang tinggi, terutama
berkaitan dengan agama, tentu sangat beresiko ketika paham-paham radikal ini
dibiarkan berkembang di Indonesia. Oleh karena itu, moderasi beragama sangatlah
penting untyk dilakaukan karena moderasi beragama bertujuan untuk menengahi serta
mengajak kedua kutub ekstrem dan berlebihan dalam beragama untuk bergerak ke
tengah. Moderasi beragam itu kembali kepada esensi ajaran agama, yaitu
memanusiakan manusia.

2. Sebutkan dan jelaskan alasan munculnya Teologi dalam Islam!


Jawab:
Teologi adalah ilmu yang membahas tentang tauhid sedangkan tauhid sama dengan
aqidah itu sendiri. Ilmu ini tumbuh di dalam Islam, sebagaimana agama-agama yang lain
sebelumnya karena beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhannya, kemudian
berkembang dari waktu ke waktu dalam sejarah Islam. Munculnya persoalan teologi ini
disebabkan dari berbagai faktor, yakni faktor dari dalam yang berasal dari kaum muslimin itu
sendiri dan faktor dari luar.
a. Faktor dari Dalam (Internal)
1) Berdasarkan dari isi al-Qur’an itu sendiri yang mengajak untuk bertauhid dan
mempercayai kenabian serta hal-hal yang berhubungan itu dan juga sedikit
membahas tentang agama pada masa nabi Muhammad, yang merupakan
kepercayaan yang tidak benar. Diantaranya:
 Golongan yang mengingkari agama dan Tuhan, dan mengatakan bahwa yang
menyebabkan kerusakan adalah waktu.
 Golongan-golongan syirik, yakni mereka yang menyembah bintang, bulan,
matahari, dan menjadikan berhala sebagai Tuhannya.
 Golongan yang tidak percaya akan nabi-nabi
 Golongan ini mengatakan bahwa semua yang terjadi di bumi ini adalah
perbuatan Tuhan, dan tidak ada campur tangan dari manusia itu sendiri.
2) Ketika kaum muslimin telah membuka negeri sendiri dan pikiran mereka sudah
tenang, kekayaan mereka melimpah, maka kaum muslimin berusaha mengungkapkan
persoalan agama dan mempertemukan nash-nash agama yang terlihat saling
bertentangan. Sehingga, hal tersebut mendatangkan fase penyelidikan dan pemikiran
secara filosofis untuk membicarakan persoalan agama.
Misalnya, hal yang pertama mereka permasalahkan ialah masalah taqdir (qadar).
Kemudian mereka mengumpulkan ayat- ayat yang berhubungan dengan taqdir
tersebut, dan memfilsatkannya. Karena ditemukan dua ayat yang saling bertentangan,
yakni ayat yang mengungkapkan bahwa manusia bisa melakukan perbuatannya serta
bisa bertanggung jawab atas perbuatannya, yang sekarang ini disebut dengan aliran
Qadariyah.
3) Karena faktor politik yang terjadi di kalangan kaum muslimin itu sendiri.
Dimana persoalan politik (khilafah) merupakan persoalan yang pertama kali
muncul bukan persoalan teologi. Persoalan politik pertama kali muncul di kalangan
umat Islam pada saat nabi Muhammad wafat. Yang mana pada saat itu kaum
muslimin lebih sibuk memikirkan pengganti Nabi Muhammad sebagai pemimpin
dibandingkan merawat jenazah beliau. Dan setelah dimusyawarahkan, maka Abu
Bakarlah yang ditunjuk untuk menjadi pemimpin (khalifah) pada saat itu, dikarenakan
Abu Bakarlah yang paling dekat dengan Nabi semasa hidupnya.
Namun, terdapat sebagian kaum muslimin yang tidak puas dengan hasil
keputusan tersebut, dikarenakan yang pantas untuk memperoleh jabatan tersebut
ialah Ali bin Abi Thalib (sebagai Ahl Bait). Dari kejadian tersebut muncullah aliran
Syi’ah, yaitu pengikut Ali. Namun, aliran itu tidak lagi muncul pada saat masa
pemerintahan berlangsung, mulai dari pemerintahan Abu Bakar dan ‘Umar bin
Khattab, situasi pemerintahan pada masa tersebut aman dan terkendali. Dan pada
saat ‘Umar bin Khattab wafat, maka digantikan oleh ‘Utsman bin ‘Affan.
Setelah ‘utsman wafat, maka calon yang kuat yaitu ‘Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi
situasi pemerintahan telah kacau. Tantangan demi tantangan saling berdatangan.
Hingga pada saat dalam perang Siffin yang berakhir dengan peristiwa tahkim.
Pasukan ali diwakili oleh Abu Musa al Asy'ari dan pasukan Mu’awiyah diwakili oleh
Amr Bin ‘Ash. Peristiwa ini mengakibatkan pecahnya pasukan Ali menjadi dua
golongan, yakni Syi’ah (pengikut ‘Ali) dan Khawarij (tentara yang keluar dari
barisannya) dikarenakan Ali telah berbuat salah karena menerima tahkim, dan mereka
berkeyakinan bahwa tidak ada hukum selain hukum Allah (laa hukma illa lillah).
Dari peristiwa tersebut, maka muncullah persoalan siapa yang kafir dan siapakah
yang bukan kafir. Maksudnya ialah siapa yang keluar dari Islam dan siapakah yang
masih tetap dalam Islam. Aliran Khawarij menganggap bahwa Ali kafir karena telah
menerima peristiwa tersebut, dan orang kafir halal darahnya.
Setelah ‘Ali wafat, aliran Khawarij pecah menjadi beberapa sekte, antara lain:
 Aliran Murji’ah, yang artinya kembali. Aliran ini menganggap bahwa orang yang
berbuat dosa besar masih tetap menjadi orang mukmin, selagi ia masih
beriman kepada Allah.
 Aliran Mu’tazilah, yang tidak sependapat dengan aliran Murji’ah. Aliran
Mu’tazilah menganggap bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin, dan juga
bukan kafir, namun pelaku dosa besar berada di tengah-tengah yaitu al-
manzilah baina manzilatain yang berarti posisi di antara dua posisi.
Setelah muncul tiga aliran tentang pelaku dosa besar. Maka muncullah dua aliran
mengenai taqdir atas perbuatan manusia, yaitu:
 Aliran Qadariyah
Aliran ini menganggap bahwa manusia itu merdeka atas semua perbuatannya.
 Aliran Jabariyah.
Sedangkan Jabariyah sebaliknya, yakni semua perbuatan manusia itu atas
kehendak Allah. Manusia tidak mempunyai hak atas semua itu.
 Al-Asy’ariyah
 Al- Maturidiyah, dan lain-lain.
b. Faktor Luar (Eksternal)
Selain faktor dari dalam, faktor dari luar juga sangat berpengaruh
terhadap munculnya permasalahan dalam teologi Islam, antara lain:
1) Banyaknya pemeluk Islam yang awal mulanya beragama Yahudi, Masehi, dan lain-
lain. Dan setelah pikiran serta hati mereka tenang dengan agama baru mereka
(Islam), mereka mulai mengingat kembali ajaran agamanya terdahulu, dan berusaha
memasukkannya ke dalam agama Islam.
2) Partai-partai Islam yang berusaha membela ‘aqidah Islamiyah (Mu’tazilah)
berpendapat bahwa mereka tidak dapat menunaikan kewajiban mereka sebagaimana
mestinya, melainkan dengan mengetahui sebaik-baiknya ‘aqidah yang dianut oleh
pihak lawan serta dalil-dalil yang mereka pergunakan. Sehingga dengan ini,
pengetahuan umat Islam tentang ‘aqidah menjadi luas, dan semakin dalam ilmu
tauhid yang mereka peroleh dari pendapat-pendapat dari pihak lawan serta bantahan-
bantahannya.
3) Dan mereka menemukan bahwa lawan-lawannya memakai falsafah sebagai senjata
dalam membela ‘aqidah mereka. Sehingga, mereka pun mempelajari falsafah Yunani,
dan memasukkannya dalam ilmu tauhid mereka untuk mempertahankan ‘aqidah
mereka.

3. Sebutkan dan jelaskan indikator moderasi beragama?


Jawab:
Menurut Luqman Hakim Saifuddin, indikator moderasi beragama ada empat hal, yaitu:
a. Komitmen kebangsaan
Komitmen kebangsaan merupakan indikator yang sangat penting untuk melihat
sejauh mana cara pandang, sikap, dan praktik beragama seseorang berdampak pada
kesetiaan terhadap konsensus dasar kebangsaan, terutama terkait dengan penerimaan
Pancasila sebagai ideologi negara, sikapnya terhadap tantangan ideologi yang
berlawanan dengan Pancasila, serta nasionalisme. Sebagai bagian dari komitmen
kebangsaan adalah penerimaan terhadap prinsipprinsip berbangsa yang tertuang dalam
Konstitusi UUD 1945 dan regulasi di bawahnya.
b. Toleransi
Toleransi merupakan sikap untuk memberi ruang dan tidak mengganggu hak orang
lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pen dapat,
meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang kita yakini. Dengan demikian, toleransi
mengacu pada sikap ter buka, lapang dada, sukarela, dan lembut dalam menerima
perbedaan. Toleransi selalu disertai dengan sikap hormat, menerima orang yang berbeda
sebagai bagian dari diri kita, dan berpikir positif.
Sebagai sebuah sikap dalam menghadapi perbedaan, toleransi menjadi fondasi
terpenting dalam demokrasi, sebab demokrasi hanya bisa berjalan ketika seseorang
mampu menahan pendapatnya dan kemudian menerima pendapat orang lain. Oleh
karena itu, kematangan demokrasi sebuah bangsa, antara lain, bisa diukur dengan
sejauh mana toleransi bangsa itu. Semakin tinggi toleransinya terhadap perbedaan, maka
bangsa itu cenderung semakin demokratis, demikian juga sebaliknya.
c. Antikekerasan
Radikalisme atau kekerasan, dalam konteks moderasi beragama ini dipahami
sebagai suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin melakukan perubahan
pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ekstrem atas
nama agama, baik kekerasan verbal, fisik dan pikiran. Inti dari tindakan radikalisme
adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-
cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan.
Lebih dari sekadar antikekerasan, kita sebetulnya harus melakukan hal-hal yang
baik, sekecil apapun. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 83, …
wa qulu linnasi husna..., berkatalah kepada manusia dengan perkataan yang baik.
Maksudnya, kita harus membicarakan atau melakukan sesuatu yang dapat memberikan
manfaat bagi orang lain.
d. Akomodatif terhadap kebudayaan lokal.
Praktik dan perilaku beragama yang akomodatif terhadap budaya lokal dapat
digunakan untuk melihat sejauh mana kesediaan untuk menerima praktik amaliah
keagamaan yang mengakomodasi kebudayaan lokal dan tradisi. Orang-orang yang
moderat memiliki kecenderungan lebih ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya
lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran
agama.
Keempat indikator ini dapat digunakan untuk mengenali seberapa kuat moderasi
beragama yang dipraktikkan oleh seseorang di Indonesia, dan seberapa besar
kerentanan yang dimiliki. Kerentanan tersebut perlu dikenali supaya kita bisa mengenali
dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk melakukan penguatan moderasi
beragama.
e. Tawassuth
Istilah “Tawassuth” merupakan rangkaian dari kata wassatha. Secara bahasa berarti
sesuatu yang ada di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya
sebanding. Sedangkan secara terminologi adalah nilai-nilai Islam yang dibangun atas
dasar pola pikir dan praktik yang lurus dan pertengahan, tidak berlebihan dalam hal
tertentu.
Dengan Tawassuth akan menciptakan sifat dan prilaku pertengahan dalam segala
hal, tidak ekstrem kiri dan kanan, serta menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban. Begitu pula Tawassuth mampu menempatkan kehidupan dunia dan akhirat
secara seimbang, bisa memerankan ibadah individual dengan sosial, serta mampu
menjaga keseimbangan antara doktrin dan pengetahuan bagi yang menjalankannya.
f. I’tidal (adil)
I’tidal sebagai indikator dalam nilai moderasi beragama dimaksudkan untuk
berperilaku proporsional dan adil serta dengan penuh tanggung jawab. Adil merupakan
perintah bagi orang-orang beriman I’tidal (adil) yaitu menunaikan sesuatu dengan sesuai
haknya, memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab berdasarkan
profesionalitas dan berpegang teguh pada prinsip. I’tidal adalah sikap jujur dan apa
adanya, memiliki prinsip yang kuat, tidak mudah goyah, serta menegakkan keadilan
kepada siapapun, di mana pun, dan dalam kondisi apapun, dengan sangat
mempertimbangan kemaslahatan. Sikap i’tidal ini memegang teguh kebenaran dan
berpegang pada keadilan sebagai komunitas yang tidak akan lembek dan lemah.
g. Asy-syura (musyawarah)
Syura (musyawarah) merupakan aktivitas yang dilaksanakan untuk menyelesaikan
segala macam persoalan dengan jalan duduk bersama, mengumpulkan pandangan yang
beragam untuk mencapai kesepakatan demi kemaslahatan bersama. Syura condong
pada konsultasi dan penyelesaian masalah melalui musyawarah untuk mencapai
mufakat.

4. Jelaskan pandangan Islam tentang Pluralisme!


Jawab:
Pluralisme merupakan suatu sistem nilai atau pandangan yang mengakui keragaman di
dalam suatu bangsa. Keragaman atau kemajemukan dalam suatu bangsa itu haruslah
senantiasa dipandang positif dan optimis sebagai kenyataan riil oleh semua anggota lapisan
masyarakat dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Esensi makna pluralisme
tidak hanya diartikan sebagai sebuah pengakuan terhadap keberagaman suatu bangsa,
akan tetapi juga mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, dan ekonomi.
Islam memandang bahwa pluralisme adalah sesuatu yang alamiah (sunatullah) dalam
wahana kehidupan manusia. Al-Qur’an sebagai kitabun muthahhar dan sebagai pedoman
hidup (hudan linnas) sangat menghargai pluralitas sebagai suatu keniscayaan manusia
sebagai khalifah di bumi. Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an.

‫اح ُك ْم َبْيَن ُه ْم مِب َٓا اَْنَز َل ال ٰلّهُ َواَل َتتَّبِ ْع‬ ِ ِ ِ ‫ص ِّدقًا لِّما َبنْي َ يَ َديِْه ِمن الْ ِكت‬ ِ ‫ك الْ ِكت‬ ِ
ْ َ‫ٰب َو ُم َهْيمنًا َعلَْيه ف‬ َ َ َ ‫ٰب باحْلَ ِّق ُم‬
َ َ ‫َواَْنَزلْنَٓا الَْي‬

ْ ََ ُ َ ْ َ ً َ َْ ْ ََ ِّ ۗ َ‫اَ ْه َواۤءَ ُه ْم َع َّما َجاۤءَ َك ِم َن احْل‬


ِ ‫ق لِ ُك ٍّل جع ْلنَا ِمْن ُكم ِشرعةً َّو ِمْنهاجا ۗولَو َشاۤء ال ٰلّه جَل علَ ُكم اَُّمةً َّو‬
‫اح َدةً َّو ٰل ِك ْن لِّيَْبلَُو ُك ْم يِف ْ َمٓا‬

َ‫ت اِىَل ال ٰلّ ِه َم ْر ِجعُ ُك ْم مَجِ ْي ًعا َفُينَبُِّئ ُك ْم مِب َا ُكْنتُ ْم فِْي ِه خَت ْتَلِ ُف ْو ۙن‬
ِ ۗ ‫استَبِ ُقوا اخْلَْي ٰر‬
ْ َ‫اٰتٰى ُك ْم ف‬
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan
membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan
menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan
janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan”. (Q.S. Al-
Maa’idah: 48). 
Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa dalam tataran teologis, ideologis, dan bahkan
sosiologis, Islam dengan kitab sucinya yaitu Al-Qur’an memandang positif terhadap pluralitas
sebagai suatu yang alamiah dan mutlak keberadaannya. Oleh karena itu pluralisme dalam
konsepsi Islam dapat dipahami sebagai tata nilai di tengah kehidupan manusia sebagai
khalifah, yang hadir dalam dimensi teologis agama, dan juga hadir dalam dimensi sosial
lainnya dengan segala kompleksitas dan konsekuensinya yang khas yang harus diterima
sebagai sebuah anugerah dengan penuh kesadaran. Fenomena pluralitas agama telah
menjadi fakta sosial yang harus dihadapi masyarakat modern. Ide awal lahirnya pluralitas
agama adalah keragaman yang pada muaranya akan melahirkan perbedaan cara pandang
bagi pemeluknya.

5. Apa yang saudara pahami tentang Islam Inklusif dan Eksklusif? Jelaskan ciri-cirinya!
Jawab:
a. Islam Inklusif dan Ciri-Cirinya
Inklusif memiliki arti tercakup, menyeluruh, komperhensif. Inklusif menunjukkan pada
suatu keadaan atau sikap yang memandang kelompok lain sebagai bagian atau termasuk
dari keadaan tersebut. Inklusif berkaitan dengan banyak aspek kehidupan manusia yang
di dasarkan atas prinsip persamaan, keseimbangan, dan hak individu. Adapun yang
dimaksud Islam inklusif adalah penanaman keislaman yang liberal dan toleran,
maksudnya adalah pemahaman atau wawasan keislaman yang terbuka, luwes, dan
toleran. Terbuka disini tidak hanya masalah berdakwah atau hukum, tetapi juga masalah
ketauhidan, sosial, tradisi, dan pendidikan. Pemahaman yang seperti itu berangkat dari
nilai-nilai dasar Islam yaitu Islam adalah agama rahmatan lil alamin.
Inklusif muncul tanpa mengahapus nilai kebenaran ataunilai-nilai yang terkandung
dalambagama lain. Islam inklusif menunjukkan bahwa tidak ada penyeragaman dan
paksaan terhadap agama lain entah dari segi keyakinan ataupun cara beribadah mereka,
serta mengakui adanya toleransi mengenai budaya, adat, dan seni yang menjadi
kebiasaan masyarakat dan pandangan Islam inklusif juga mengakui adanya pluralitas
mampu meminimalisir adanya konflik antar umat.
Islam yang inklusif tidak berarti membiarkan paham-paham maupun keyakinan lain
untuk bercampur dengan Islam, namun hanyalah sebagai upaya untuk mengambil
universalitas Islam sebagai agama rahmat dan kemudian mengimplementasikannya
dalam kehidupan sehari-hari. Ide utama dari teologi inklusif adalah pemahamannya untuk
memahami pesan Tuhan. Ciri-cirinya antara lain:
1) Mengakui kebenaran semua agama.
2) Menghormati kebebasan dalam keyakinan.
3) Menghormati antar sesama.
4) Menghormati adat atau kebiasaan masyarakat.
5) Berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah.
6) Terbuka terhadap pendapat atau kritikan dari agama lain.

b. Islam Eklusif dan Ciri-Cirinya


Eksklusif berarti sendirian, dengan tidak disertai yang lain, terpisah dari yang lain,
berdiri sendiri, semata-mata dan tidak ada sangkut pautnya dengan yang lain. Secara
umum, eksklusif adalah sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan pikiran
dan diri islam sendirilah yang paling benar, sementara keyakinan, pandangan, pikiran dan
prinsip yang dianut agama lain salah, sesat dan harus dijauhi. Kelompok Islam eksklusif
ini bersifat tertutup kaku, jumud, tidak terbuka dengan perkembangan mutakhir dan masih
mempertahankan paham ortodoks. Ciri-cirinya antara lain:
1) Mereka yang menerapkan model penafsiran literal terhadap al-qur’an dan sunah dan
masa lalu karena mengunakan pendekatan literal, maka ijtihad bukanlah hal yang
sentral kerangka berfikir mereka.
2) Mereka berpendapat bahwa keselamatan yang bisa dicapai adalah melalui agama
Islam. Bagi mereka, Islam adalah agama final yang datang untuk mengoreksi agama-
agama lain. Karena itu mereka menggugat otentisitas kitab suci agama lain.

Anda mungkin juga menyukai