Anda di halaman 1dari 9

1.

Pengertian tauhid/ilmu kalam dan akhlak


tauhid berasal dari kata wahhda artinya meng-Esakan.Ilmu Kalam juga dinamakan Ilmu
Tauhid, tauhid ialah percaya kepada  Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sekutu baginya.
Ilmu Kalam dinamakan Ilmu Tauhid, karena tujuannya ialah menetapkan keesaan Allah
dalam Zat dan perbuatan-Nya dalam menjadikan alam semesta dan hanya Allah yang
menjadi tempat tujuan terakhir alam ini.Ilmu Kalam juga dinamakan Ilmu qaid atau Ilmu
Ushuludin, karena persoalan kepercayaan yang menjadi pokok ajaran agama itulah yang
menjadi pokok pembicaraannya.[1]
Ilmu kalam menyerupai Ilmu Theologi, terdiri dari dua kata yaitu ”Theo” artinya ”Tuhan”
dan ”Logos”  artinya ”Ilmu” jadi theologi bermakna ilmu tentang ketuhanan.
B.     Dasar-Dasar  Tauhid/ilmu Kalam Dan Akhlak
a.       Dasar-Dasar Tauhid/Ilmu Kalam
1.      Al-Qur’an : Banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan,
diantaranya:
Ø “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam
masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka
tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.”
Ø “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang
melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri
dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala
yang besar.”
2. Al-Hadis : Banyak juga Al-Hadits yang menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah
ketuhanan, diantaranya:
3. Ø Pemikiran Manusia Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat
islam sendiri atau pemikiran luar umat islam. Sebelum filsafat masuk dan berkembang di
dunia islam, umat islam sendiri telah menggunakan pemikiran rasionya untuk
menjelaskan ayat-ayat al-quran yang masih samar. Ternyata keharusan menggunakan
rasio telah mendapat pijakan dari beberapa ayat al-quran salah satunya: ( َ‫َأفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ْالقُرْ َءان‬
24 : ‫محمد‬ ( ‫ب َأ ْقفَالُهَا‬
ٍ ‫َأ ْم َعلَى قُلُو‬ “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah
hati mereka terkunci?”. Adapun sumber ilmu kalam yang berasal dari pemikiran luar
umat islam dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, pemikiran non muslim
yang telah menjadi peradapan lalu di transfer dan diasimilasikan dengan pemikiran umat
islam. Kedua, berupa pemikiran-pemikiran nonmuslim yang bersifat akademis seperti
filsafat (terutama dari Yunani) sejarah dan sains.
4. Ø Insting Manusia Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Karenanya,
kepercayaan adanya Tuhan berkembang sejak adanya manusia pertama. Menurut Abas
Mahmoud Al-Akkad, mitos merupakan asal-usul agama dikalangan primitif. Tylor, justru
mengatakan bahwa animisme (anggapan adanya kehidupan pada benda mati) merupakan
asal-usul keperyacaan kepada Tuhan, adapun Spencer mengatakan lain lagi. Ia
mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah paling
tua.
b.      Dasar-Dasar Akhlak

Dalam ajaran Islam yang menjadi dasar-dasar akhlak adalah berupa al-Quran dan Sunnah Nabi

Muhammad Saw. Baik dan buruk dalam akhlak Islam ukurannya adalah baik dan buruk

menurut kedua sumber itu, bukan baik dan buruk menurut ukuran manusia. Sebab jika

ukurannya adalah manusia, maka baik dan buruk itu bisa berbeda-beda.[2]

Semua ummat Islam sepakat pada kedua dasar pokok itu (al-Quran dan Sunnah) sebagai dalil

naqli yang tinggal mentransfernya dari Allah Swt, dan Rasulullah Saw. Keduanya hingga

sekarang masih terjaga keautentikannya, kecuali Sunnah Nabi yang memang dalam

perkembangannya banyak ditemukan hadis-hadis yang tidak benar (dha’if/palsu). Melalui kedua

sumber inilah kita dapat memahami bahwa sifat sabar, tawakkal, syukur, pemaaf, dan pemurah

termasuk sifat-sifat yang baik dan mulia. Sebaliknya, kita juga memahami bahwa sifat-sifat

syirik, kufur, nifaq, ujub, takabur, dan hasad merupakan sifat-sifat tercela. Selain itu yang

menjadi dasar pijakan Akhlak adalah Iman, Islam, dan Islam. Al-Qur’an menggambarkan bahwa

setiap orang yang beriman itu niscaya memiliki akhlak yang mulia yang diandaikan seperti

pohon iman yang indah.[3]

C.    Sejarah Perkembangan Dan  Alirannya


Umar bin Khattab adalah sahabat Nabi yang bergairah kepada Alqur’an dan lebih berpegang

teguh kepadanya, yang oleh Nabi semasa hidupnya pernah disebut sebagai orang yang paling

mungkin menjadi utusan Tuhan, seandainya Nabi sendiri bukan Rasul yang terakhir. Khalifah

kedua ini oleh mayoritas umat islam disepakati sebagai orang beriman yang paling berhasil.

Namun keadaan gemilang masa Umar itu tak berlangsung lama.

Utsman bin Affan, penggantinya selaku khalifah ketiga, sekalipun banyak mempunyai

kelebihan dan jasa di bidang lain, namun dalam kepemimpinannya dicatat sebagai orang yang

lemah. Mulailah bermunculan berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada Utsman sebagai

bertindak kurang adil dan menderita nepotisme. Utsman dihadapkan kepada berbagai gerakan

protes masyarakat, yang umumnya menghendaki turunnya Utsman dari kekhalifahan.

Sekelompok orang – orang dari Mesir datang ke Madinah, dan setelah tidak berhasil memaksa

Utsman turun dari jabatannya, mereka membunuh Khalifah ketiga itu.

Ali bin Abi Thalib terpilih sebagai pengganti Utsman, tetapi pilihannya tidak mendapat

suara bulat, ada kelompok tertentu yang tidak setuju atas pengangkatan Ali. Kelompok

pendukung Ali dikenal dengan golongan Syi’ah.[4]

Sedangkan golongan yang terang – terangan menentang Ali adalah kelompok Muawiyah.

Sehingga perang pun tak terhindarkan lagi yang dikenal dengan perang Shiffin, yang berakhir

dengan jalan kompromi. Peristiwa itu menyebabkan sebagian pendukung Ali keluar dari

kelompok Ali.
Kemudian mereka bertindak sendiri dengan membentuk golongan Khawarij. Prinsip utama

kaum Khawarij bahwa, orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari islam atau

tegasnya murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh.

Pernyataan itu ditentang oleh suatu golongan yang dikenal dengan

sebutan Murjiah. Golongan murjiah yang prinsipnya “masih memberi harapan” memang telah

ada sebelum lahirnya Khawarij, tetapi dapat  dikenal setelah Khawarij melontarkan masalah

status orang yang berdosa besar. Aliran murjiah menegaskan bahwa orang yang berbuat besar

tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada

Allah SWT untuk mengampuni atau tidak. 

Oleh karena itu muncul berbagai aliran lagi yang menambah deretan sekte dalam islam

yaitu Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam

kehendak dan perbuatannya. Sedangkan jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai

kehendak dalam perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak dengan paksaan

dari Tuhan.

Aliran itulah yang menjadi terbentuknya aliran Mu’tazilah. Aliran ini tidak sependapat

dengan prinsip khawarij dan murjiah. Menurut aliran mu’tazilah ini orang yang berdosa besar

bukan kafir tetapi bukan pula mikmin. Orang yang serupa dengan ini kata mereka mengambil

posisi diantara kedua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya terkenal dengan

istilah al-manzilah bainal manzilataini (posisi diantara dua posisi).[5]


Aliran mu’tazilah pada masa ketika al-Makmun, al-watsiq, dan al-Mu’tashim menjadi

khalifah, umat islam yang tidak sepaham dengan mu’tazilah mendapatkan perlakuan yang

menyakitkan, yang dikenal dengan mihnah. Keresahan dan ketakutan masyarakat akibat mihnah

tadi mendorong al-Asy’ari untuk segera bertindak, mengatasi dan mengakhirinya.

Al-Asy’ari menempuh sistem jalan tengah antara akal dan wahyu. Sikap inilah yang

kemudian memberi ciri khusus mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Pikiran – pikirannya yang

timbul denga jalan tengah dan moderat, maka aliran ini tumbuh menjadi kekuatan yang paling

berpengaruh bagi umat islam diseluruh dunia hingga saat ini.

Kemudian hampir bersamaan waktunya dengan Asy’ariyah muncul

aliran Maturidiyah, yang dibangun oleh Abu Mansur Al-Maturidi. Menurutnya semua perbuatan

manusia adalah dikehendaki oleh Tuhan. Dan perbuatan – perbuatan yang jahat tidaklah diiringi

oleh ridha tuhan. Sekalipun aliran Maturidiyah dan aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah nampak

ada perbedaan pandangan, namun keduanya memiliki kesamaan dalam hal membangun teologi

yang benar menurut Al-Qur’an dan Hadits.[6]

D.    Macam-Macam Akhlak

1.      Akhlak Terhadap Allah


Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya

dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik. Dan sebagai titik tolak

akhlak kepada Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah.

2.      Akhlak terhadap Rasulullah

Berakhlak kepada Rasulullah dapat diartikan suatu sikap yang harus dilakukan manusia

kepada Rasulullah sebagai rasa terima kasih atas perjuangannya membawa umat manusia kejalan

yang benar. Adapun diantara akhlak kita kepada rasulullah yaitu salah satunya ridho dan beriman

kepada rasul , ridho dalam beriman kepada rasul inilah sesuatu yang harus kita nyatakan

sebagaimana hadist nabi saw;Aku ridho kepada allah sebagai tuhan, islam sebagai agama dan

muhammad sebagai nabi dan rasul.

3.      Akhlak Terhadap Diri Sendiri (Individual)

Manusia sebagai makhluk Allah mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri. Namun

bukan berarti kewajiban ini lebih penting daripada kewajiban kepada Allah. Dikarenakan

kewajiban yang pertama dan utama bagi manusia adalah mempercayai dengan keyakinan yang

sesungguhnya bahwa “Tiada Tuhan melainkan Allah”. Keyakinan pokok ini merupakan

kewajiban terhadap Allah sekaligus merupakan kewajiban manusia bagi dirinya untuk

keselamatannya.

Manusia mempunyai kewajiban kepada dirinya sendiri yang harus ditunaikan untuk

memenuhi haknya. Kewajiban ini bukan semata-mata untuk mementingkan dirinya sendiri atau
menzalimi dirinya sendiri. Dalam diri manusia mempunyai dua unsur, yakni jasmani (jasad) dan

rohani (jiwa). Selain itu manusia juga dikaruniai akal pikiran yang membedakan manusia dengan

makhluk Allah yang lainnya. Tiap-tiap unsur memiliki hak di mana antara satu dan yang lainnya

mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan untuk memenuhi haknya masing-masing.

4.      Akhlak Terhadap Masyarakat (Sosial)

Berbuat baik dalam segala sesuatu adalah karakteristik islam, demikian juga pada tetangga.

Imam Al Marwazi meriwayatkan dari Al Hasan Al Bashriy pernyataan beliau: “Tidak

mengganggu bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga akan tetapi berbuat baik terhadap

tetangga dengan sabar atas gangguannya.” Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda: “Sebaik-baiknya sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik kepada

sahabatnya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik pada tetangganya.”

Di antara ihsan kepada tetangga adalah memuliakannya. Sikap ini menjadi salah satu tanda

kesempurnaan iman seorang muslim.Di antara bentuk ihsan yang lainnya adalah ta’ziyah ketika

mereka mendapat musibah, mengucapkan selamat ketika mendapat kebahagiaan, menjenguknya

ketika sakit, memulai salam dan bermuka manis ketika bertemu dengannya dan membantu

membimbingnya kepada hal-hal yang bermanfaat dunia akhirat serta memberi mereka hadiah.

5.      Akhlak Terhadap Lingkungan


Salah satu konsep pelestarian lingkungan dalam Islam adalah perhatian akan penghijauan

dengan cara menanam dan bertani. Nabi Muhammad saw menggolongkan orang-orang yang

menanam pohon sebagai shadaqah.

6.      Akhlak Muslim terhadap Negara

Negara merupakan suatu wadah tempat berlindung para bangsa,yang di dalamnya tedapat

peraturan-peraturan yang mengikat baik tertulis maupun secara lisan.Disitulah kita menumphkan

kemerdekaan kita,kemerdekan yang telah diraih para pahlawan yang tak mengenal darah

juangnya.Maka patutlah para pemuda meneruskan perjuangan mereka yang telah rela meberikan

darahnya untuk tanah air ini untuk kebahagiaan kita menghuni tanah air ini.

5.      Faktor-Faktor  Yang Mempengaruhi Akhak

Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi akhlak pada khususnya dan pendidikan

pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer. Pertama aliran Nativisme. Kedua,

aliran Empirisme, dan ketiga aliaran Konvergensi.[7]

1.      Nativisme

Menurut aliran ini faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan akhlak seseorang adalah

faktor pembawaan dapat berupa kecenderungan, bakat, akal. Jika seseorang sudah memiliki

pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut

menjadi baik, begitu juga sebaliknya. Aliran ini tampaknya begitu yakin terhadap potensi batin

yang ada dalam diri manusia, dan hal ini erat kaitannya dengan pendapat aliran intuisisme dalam
penentuan baik dan buruk. Namun dalam aliran ini tampaknya kurang menghargai peran

pembinaan dan pendidikan.

2.      Empirisme

Menurut aliran ini faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan akhlak seseorang

adalah faktor dari luar, yaitu lingkunagn sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang

diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan itu baik, maka orang itu akan menjadi

baik, begitu pula sebaliknya. Aliran ini lebih percaya kepada peranan pembinaan dan pendidikan

yang diberikan.

3.      Konvergensi

Menurut aliran ini berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak

seseorang adalah faktor internal, yaitu pembawaan seseorang dan disertai dengan faktor

eksternal, yaitu pembinaan, pendidikan, dan interaksi dalam lingkungan sosial.

Dengan demikan faktor yang mempengaruhi pembinaan akhlak manusia ada dua, yaitu faktor

dari dalam diri yaitu potensi fisik, intelektual, serta hati nurani yang dibawanya sejak lahir, dan

faktor dari luar yaitu pembinaan, pendidikan, serta interaksi dengan lingkungan sosial.

Anda mungkin juga menyukai