Anda di halaman 1dari 6

A.

PENDAHULUAN
- Latar Belakang

- Rumusan Masalah

1. Bagaiaman Sejarah Timbulnya Aliran Mu’tazilah ?


2. Apa saja Pokok-pokok Ajarannya (Al-Ushul Al-Khomsah) ?
3. Apa itu Aliran Mu’tazilah Basrah?
4. Apa itu Aliran Mu’tazilah Baghdad?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Aliran Mukktazilah

Kata Muktazilah berasal dari kata I’tazala yang bermakna memisahkan diri. Kata ini berasal dari
ucapan Hasan Al-Basri “ I’tazala ‘anna” yang dialamatkan kepada Washil bin Atha. Dari ucapan itu
bermulalah nama Muktazilah bagi suatu aliran dalam pemikaran itu. 1 Kaum Muktazilah adalah
golongan yang membawa persoalan-persolan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis
daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, Kaum
Muktazilah banyak memakai akal sehingg mereka dinamakan “Kaum Rasionalisme Islam”.2

Ada seorang ulama tabi’in yang terkenal bernama Imam Hasan Al-Basri (110 H) yang
menyelenggarakan majlis pengajarannya di masjid kota Basroh. Diantara muridnya yang terbilan
pandai ialah Washil bin Atha (131 H). suatu hari Imam Hasan Al- Basri ini menerangkan bahwa
seorang islam yang telah beriman kepada Allah SWT dan Rasul-nya, kemudian orang itu melakukan
dosa besar, lalu orang itu meninggal sebelum bertaubat, menurut Imam Hasan Al-Basri orang itu
tetap muslim tetapi hanya saja sebagai muslim yang durhaka. Diakhirat kelak, diadimasukan ke
dalam neraka untuk sementara waktu guna menerima hukuman atas dosanya tersebut. Sampai
batas tertentu setelah menjalani hukuman itu dia dikelurkan dri neraka kemudia di masukan ke
surga.3 Kemudian Washil bin Atha mengatakan bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin
dan bukan pula kafir, tetapi menggambil posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir itu.
Sesudah menyampaikan pendapatnya itu Washil kemudian berdiri dan pindah kebagian lain dari
masjid Basroh dan mengulangi pendapatnya itu. Inilah kemudian yang menyebabkan Hasan Al-Basri
melontarkan ucapannya (I’tazala ‘anna).4

Menurut Al- Syahrastani, setelah Washil mengungkapkan pendapatnya lalu ia keluar dari majlis
gurunya (Imam Hasan Al-Basri) dan kemudian Ia mengadakan majlis bersama temannya yang
bernama Amr bin ‘Ubaid (144 H) yang dinamakan kaum Muktazilah.

1
Yunan Yusuf. Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam. Prenadamedia Group. Jakarta: 2014. Hlm 71
2
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. UI-Press. Jakarta:2002. Hlm. 40
3
Nasir, A Sahilun. Pemikiran kalam (teologi islam) Sejarah,Ajaran, dan Perkembangannya. Raja Grafindo Persada.
Jakarta:2010. Hlm. 163
4
Yunan Yusuf. AlamPeikiran Islam Pemikiran Kalam… Hlm 72
Menurut Al- Baghdadi, setelah Washil mengungkapkan pendapatnya Ia dan temanya (Amr bin
‘Ubaid) di usir oleh Hasan Al-Basri dari majlisnya, karena ada pertikaian antara mereka. Keduanya
menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum
Muktazilah.

Menurut Al-Mas’udi, pemberian nama Muktazilah tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa
pertikaian paham antara Washil dan Amr dari satu pihak dan Hasan Al-Basri dari pihak lain. mereka
disebut kaum Muktazilah karena mereka berpendapat bahwa orng berdosa besar bukan mukmin
dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi itu (al-manzilah bain al-
manzilatain)

B. Pokok-pokok Ajaran Mu’tazilah

Ada lima prnsip ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan oleh tokoh besar aliran ini, Abu Huzail al-
Allaf:

1. Al-Tauhid (keesaan Allah)

2. Al’Adl (keadilan Allah)

3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman)

4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi diantara dua posisi)

5. Amar Makruf dan Nahi Munkar

Tauhid adalah prinsip utama dalam aqidah Islam. Jadi, prinsip ini bukan hanya milik
Mu’tazilah. Melainkan milik semua umat Islam. Akan tetapi, Mu’tazilah mempersalahkannya
lebih mendalam dan filosofis. Dari prinsip al-tauhid, lahir beberapa pendapat Mu’tazilah,
diantaranya:5

a. Menafikan sifat-sifat Allah. Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat Allah. Apa yang
dipandang orang sebagai sifat, bagi Mu’tazilah tidak lain adalah zat Allah sendiri.
Alasannya, jika Tuhan mempunyai sifat berarti ada dua yang qadim, yaitu zat dan sifat.
Sdangkan bagi Mu’tazilah yang qadim itu hanya satu, Allah. La qadima illa Allah (tidak
ada yang qadim kecuali Allah)

5
Yusran Asmuni. Ilmu Tauhid PT Raja Grafindo Persada. Jakarta: 2000 Hlm 115
b. Al-Qur’an adalah mahluk. Karena itu, Al-Qur’an diciptakan dan tidak qadim.

c. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat kelak. Yang dapat dilihat
dengan mata kepala bukanlah Tuhan.

d. Tuhan tidak sama dengan mahluk (tajassum). Karena itu, setiap ayat al-Qur’an yang
menunjukan seolah-olah ada persamaan antara Tuhan dengan mahluk seperti
mempunyai tangan, mata, dan telinga, ayat itu ditakwilkan sehingga tidak ada lagi kesan
bahwa Tuhan ada persamaan dengan mahluknya.

Prinsip kedua ialah al-‘adl (keadilan Tuhan). Dalam hal ini, Mu’tazilah menekankan
bahwa Tuhan itu adil dan tidak berlaku alim kepada manusia. Karena itu, jika manusia
berbuat baik akan diberi pahala dan jika berbuat jahat akan mendapat siksa. Manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya.

Menurut Mu’tazilah, Tuhan tidak menghendaki keburukan bagi manusia, manusia


sendirilah yang menghendaki keburukan. Manusia dengan kemampuan yang diberkan
Tuhan pada dirinya dapat melakukan yang baik. Karena itu, jika ia melakukan kejahatan
berarti ia sendiri yang menghendaki hal tersebut.

Dari prinsip ini timbul ajaran Mu’tazilah yang dikenal dengan al-shalah wa al-ashlah,
maksudnya , Allah hanya menghendaki yang baik, bahkan terbaik untuk kemaslahatan
manusia.

Prinsip ketiga adalah al-Wa’d wa al-Wa’id (janji baik dan ancaman), yaitu janji Allah ang
akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menyiksa orang yang
berbuat jahat. Janji Tuhan pasti dipenuhi, karena Tuhan tidak akan ingkar terhadap janji-
Nya. Dengan prinsip ini Mu’tazilah menolak adanya syafaat di hari kiamat sebab syafaat
(pertolongan atau pengampunan di hari akhirat) bertentangan dengan janji Tuhan.

Prinsip keempat ialah al-manzilah bain al-manzilatain. Pendapat Mu’tazilah tentang al-
manzilah bain al-manzilatain dimunculkan oleh Washil bin Atha’dan merupakan
pendapat Mu’tazilah pertama yang muncul, bahkan yang menyebabkan golongan ini
disebut Mu’tazilah. 6

6
Yusran Asmuni. Ilmu Tauhid PT Raja Grafindo Persada. Jakarta: 2000 Hlm 116
Menurut ajaran ini, seorang muslim yang melakukan dosa besar dan tidak sempat
bertobat kepada Allah SWT tidaklah mukmin, tapi tidak pula kafir. Ia berada diantara
keduanya, berada pada posisi di antara dua posisi. Ia tidak munkmin karena melakukan
dosa besar dan tidak kafir karena masih percaya kepada Allah dan berpegang pada dua
kalimah Syahadat. Washil menyebut orang semacam ini sebagai fasiq.

Kaum Mu’tazilah membagi maksiat kedalam dua macam. Pertama, maksiat yang
merusak dasar agama seperti syirik. Jika orang melakukan maksiat digolongkan kafir.
Kedua maksiat yang tidak sampai merusak dasar pokok agama, seperti perbuatan dosa
besar. Jika seorang muslim melakukan maksiat tidak dianggap kafir.

Prinsip kelima ialah Amar Makruf dan Nahi Mngkar. Prinsip ini lebih banyak berkaitan
dengan masalah hukum atau fikih, bahwa amar makruf nahi mungkar harus ditegakkan
dan dilaksanakan.Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menerangkan tentang masalah
ini, antara lain surat Ali Imran ayat 104 dan surat Luqman ayat 17. Prinsip ini harus
dijalankan oleh setiap muslim untuk menyiarkan agama.7 Kaum Mu’tazilah sangat gigih
melaksanakan prinsip ini, bahkan pernah melakukan kekerasan demi amar makruf dan
nahi mungkar. Kekerasan terjadi pada zaman Khalifah al-ma’mun (813-833) dengan
peristiwa mihnah yang menggemparkan. Tapi, kekerasan itu pulalah yang menyebabkan
popularitas Mu’tazilah menurun dan mayoritas anti-pati kepada kelompok ini.8

C. Mu’azilah Basrah

Pada permulaan abad 11 H, dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin ‘Ubaid, diperkuat oleh
murid-muridnya Utsman at-Thawil, Hafsh bin Salim, Hasan bin Zakwan, Khalik bin Sofwan, dan
Ibrahim bin Yahya al-Madani.

Pada permulaan abad ke 3 H, Mu’tazilah yang berpusat di Basrah dipimpin oleh Abu Hudzail al-
‘Allaf (235 H), Ibrahim bin Sayar an-Nazham (221 H), Abu Basyar al-Marisi (218 H), Utsman al-
Jahiz (255 H), Ibn al-Mu’ammar (210 H), dan Abu Ali al-Juba’I (303 H).9

7
Sahilun A. Nasir Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta:2010 Hlm 173-174
8
Yusran Asmuni. Ilmu Tauhid PT Raja Grafindo Persada. Jakarta: 2000 Hlm 117
9
Sahilun A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah Ajaran dan Perkembangannya… Hlm 165
D. Mu’tazilah Baghdad

Dipimpin oleh Basyar bin al-Mu’tamar, dibantu oleh Abu Musa al-Murdan , Ahmad bin Abi
Dawud (240 H), Ja’far bin Mubasyar (234 H), dan Ja’far bin Harib al-Hamdani (235 H).10

Salah seoraang pemuka Mu’tazilah Baghdad Abu Musa al- Murdar (226 H). Menurut al-
Syahrastani ia dengan kuat mempertahankan pendapat bahwa al-Qur’an tidak bersifat qadim,
tetapi diciptakan Tuhan dan memandag orang yang mengatakan al-Qur’an qadim menjadi kafir,
karena dengan demikian orang serupa itu telah membuat yang bersifat qadim menjadi dua.
Dengan kata lain, orang yang demikian, menurut al-Murdar telah menduakan Tuhan.

Hisyam Ibn ‘Amr al-Fuwati, seorang pemimpin lain dari cabang Bagdad, mengatakan bahwa
surga dan neraka belum mempunyai wujud sekarang karena masa memasuki suurga atau
neraka belum tiba. 11

10
Sahilun A. Nasir Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta:2010 Hlm 165
11
Harun Nasution. Telogi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan UI Press. Jakarta: 2002 Hlm 52

Anda mungkin juga menyukai