Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2
Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin
Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzali. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan
meninggal pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh
‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya
bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat
Allah.
Aliran mu’tazilah ini timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-
131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil
termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-
Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya
kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-
kabair). mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah
menyatakan mukmin. ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju
dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini).
setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan sang
guru dan membentuk pengajian baru. atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna”
(Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada
mereka.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis,
istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik
murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti
bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-
lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis,
golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik
tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh
dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan
teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya
peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan
golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat
dosa besar
-Ajaran-ajaran : Terdapat lima ajaran dalam aliran mu’tazilah yaitu : Al-tahuhid (
keesaan Allah), Al-Adl (keadilan Allah), Al-Wa’dwa’id ( janji dan ancaman), Al-
Manzilah bain al- manzilatain, dan Amar Makhruf dan Mahi Mungkar. Adapun
secara rinci kelima ajaran ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
5. Amar Makruf dan Nahi Mungkar : Prinsip ini lebih banyak berakaitan
dengan masalah hokum atau fiqih. Bahwa amar amkruf dan Nahi Mungkar harus
ditegakkan dan di laksanakan.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Muktazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain
al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua
tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran
itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-
manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran
tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
c. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya
ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui
akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-
ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
d. An-Nazzam
e. Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai
paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah
disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan
manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, melainkan ada
pengaruh hukum alam.
g. Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut
pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf.
Asy’ariyah
-Perkembangan : Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ari
meninggalkan Mu’tazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-
Asy’ariah, berikut ini dipaparkan :
-Ajaran-ajaran Asy’ariyah
Menurut al-Asy’ari, Zat Tuhan tidak bisa disamakan dengan zat (esensi)
makhluk. Maka apabila dalam al-Qur’an disebutkan kata-kata wajh (muka), yad
(tangan), dan ‘ain (mata) yang dinisbatkan kepada Tuhan.
c. Kalam Tuhan.
b. Al-Baqillani
Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayib, diduga kelahiran kota Basrah,
tempat kelahiran gurunya, yaitu Al-Asy’ari. ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan
banyak jasanya dalam pembelaan agama.
c. Juwaini
Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian
setelah besar pergi kekota Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. kegiatan
ilmiahnya meliputi ushul fiqh dan teologi islam
d. Al-Ghazaly
Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, gelar Hujjatul
Islam, lahir tahun 450 H, di Tus kota kecil di Churassan (Iran). Al-Ghazali adalah ahli
pikir islam yang memiliki puluhan karya seperti Teologi islam, Hukum islam, dan
lainnya.
Dalam diskursus filsafat, paham dualisme dianggap suatu varian dari paham
idealisme. Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan adanya dua substansi
yang mendasari dunia. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga,
dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Dalam
sejarahnya, kendati bentuk dari paham dualisme ini, dalam konteks kefilsafatan, telah
ada sejak zaman Plato (427-347 SM), namun istilah dualisme sendiri baru secara
umum digunakan sejak Thomas Hyde memperkenalkan istilah ini pada sekitar tahun
1700 untuk menunjuk kepada konflik antara baik dan jahat, yakni antara Omzard dan
Ahriman, dalam Zoroastrianisme, doktrin masyarakat Iran kuno yang secara penuh
terbentuk pada abad ke-7 SM.
Dari sekilas uraian di atas maka, secara definitif, dualisme dapat dipahami
sebagai pandangan filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang
terpisah, tidak dapat direduksi dan unik. Contoh: adikodrati/kodrati, Allah/alam
semesta, roh/materi, jiwa/badan, dunia yang kelihatan/dunia yang tidak kelihatan,
dunia inderawi/dunia intelektual, realitas aktual/realitas kemungkinan, dunia
noumenal/dunia fenomenal, kekuatan kebaikan/kekuatan kejahatan, dan lain
sebagainya. Dalam pandangan para penganut paham dualisme, alam semesta dapat
dijelaskan dengan kedua bidang (dunia) itu.
-Antrhopomorphisme (tajsim)
1. Menurut Mu’tazilah
Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang jasmani, karena Tuhan bersifat
immateri. Tuhan tidak mungkin mempunyai badan materi, oleh karena itu tidak
mempunyai sifat sifat jasmani. Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi interpretasi lain (ta’wil).
Dengan demikian kata al-arsy, tahta kerajaan diberi interpretasi kekuasaan, al-‘ain,
mata, diberi interpretasi pengetahuan, begitupun sifat-sifat yang lain.
Bagi kaum Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu
mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui yang baik dan
yang buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya turunnya wahyu.
Dengan demikian sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-
kewajibannya kepada tuhan, sekiranya syariatnya tidak ada Al-Ghozali berkata
manusia tidak aka ada kewajiban mengenal tuhan dan tidak akan berkewajiban
berterima kasih kepadanya atas nikmat-nikmat yang diturunkannya. Demikian juga
masalah baik dan buruk kewajiban berbuat baik dan mnghindari perbuatan buruk,
diketahui dari perintah dan larangan-larangan tuhan. Al-Baghdadi berkata semuanya
itu hanya bisa diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu tak ada
kewajiban dan larangan terhadap manusia.
Jelas bahwa dalam aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak
sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada manusia akan
bebas berbuat apa saja, yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan
berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat, dan demikianlah
pendapat kaum Asy’ariyah. Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah
memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena
itu pengiriman para rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan
dan bukan hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan olh Imam Al-
Ghozali di dalam al-syahrastani.Tegasnya manusia dalam pandangan aliran
Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan dalam aliran Asy’ariyah manusia
lemah dan jauh dari merdeka.
Selain sebagai sumber ilmu dan pemikiran bagi akal, akal dan wahyu tidak
selamanya sejalan karena keduanya terkadang saling bertentangan. Contoh, jika
dalam wahyu yang terdapat dalam Al-Quran memilih seorang pemimpin haruslah
pemimpin yang seorang muslim, namun tidak selamanya juga yang pantas menjadi
pemimpin adalah seorang muslim. Berdasarkan pikiran, dalam memilih seorang
pemimpin harus pemimpin yang adil, tegas, jujur dan amanah dan terkadang kriteria
itu tidak terdapat dalam diri seorang muslim. Dari masalah tersebut maka antara
wahyu dana akal akan saling bertentangan dalam memilih seorang pemimpin.
Dan mana yang harus didahulukan tergantung aliran apa yang diikuti oleh
masing-masing individu. Namun lebih baik jika terdapat pertentangan antara akal dan
wahyu dalam pengambilan keputusan, tidak harus mana yang didahulukan namun
disesuaikan dengan kondisi dan hal apa yang di hadapi. Jika seperti contoh masalah
di atas, menurut penulis jika memang dari seorang muslim yang mencalonkan diri
sebagai seorang pemimpin namun tidak memenuhi kriteria seorang pemimpin yang
baik, maka tidak masalah untuk memilih seorang pemimpin non muslim sampai
menunggu saatnya seorang muslim yang pantas menjadi seorang pemimpin seperti
apa yang di kriteriakan oleh islam.
1.