Anda di halaman 1dari 18

TUGAS UTS TEOSOFI

Oleh : Nelly Safitri Anwari (14630038)


Kelas : Kimia B
Dosen : Dr. H. Ahmad Barizi, MA
Soal :
1. Ada dua aliran kalam yang paling mengemuka di dunia islam, yaitu
Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Jelaskan sejarah perkembangan, ajaran-ajaran,
dan tokoh-tokoh kedua aliran kalam tersebut! Sebutkan pula kelebihan dan
kelemahan dari ajaran kedua aliran itu! Dan uraikan pula relevansi dan
signifikansi ajaran kedua aliran itu dalam perkembangan pemikiran islam
dewasa ini, terutama dalam konteks keindonesiaan!
2. Melihat Tuhan (ru’yah aw ma’rifah I-Allah) adalah tema kalam yang tidak
pernah selesai di ujung perdebatan. Apa yang saudara ketahui mengenai
konsep dualitas ilahi? Apa pula yang dimaksud dengan konsep jawhar dan
‘ardh, mumkin dan wajib, dalam konteks tema Melihat Tuhan uraikan
jawaban saudara dengan mengacu kepada pendapat para ulama kalam
mengenai perdebatan-perdebatan akan tema itu!
3. Akal dan wahyu adalah dua jalan/sumber bagi adanya pengetahuan manusia.
Persoalnnya : bagaimana posisi kedua jalan/sumber itu dalam konteks
perdebatan-perdebatan kalam? Mana yang harus didahulukan, bila terdapat
pertentangan antara pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan
pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu? Apa “makna” dari ketika
pengetahuan yang diperoleh melalui akal dikedepankan dari wahyu, dan
begitu sebaliknya? Jelaskan jawaban saudara secara elaborative terhadap
posisi akal dan wahyu dalam studi kalam! Berikan pula contoh-contoh yang
bisa meneguhkan jawaban-jawaban saudara!
Jawaban
 Mu’tazilah
-Perkembangan : Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang
memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan
dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in. Aliran
m’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokkan
sebagai kaum rasionalis islam, disamping maturidiyah samarkand. Aliran ini muncul
sekitar abad pertama hijriyah, di kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra
ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam. disamping itu, aneka kebudayaan asing dan
macam-macam agama bertemu dikota ini. dengan demikian luas dan banyaknya
penganut islam, semakin banyak pula musuh-musuh yang ingin menghancurkannya,
baik dari internal umat islam secara politis maupun dari eksternal umat islam secara
dogmatis.

Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2
Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin
Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzali. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan
meninggal pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh
‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya
bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat
Allah.

Aliran mu’tazilah ini timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-
131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil
termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-
Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya
kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-
kabair). mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah
menyatakan mukmin. ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju
dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini).
setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan sang
guru dan membentuk pengajian baru. atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna”
(Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada
mereka.

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis,
istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik
murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti
bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-
lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis,
golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik
tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh
dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan
teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya
peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan
golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat
dosa besar
-Ajaran-ajaran : Terdapat lima ajaran dalam aliran mu’tazilah yaitu : Al-tahuhid (
keesaan Allah), Al-Adl (keadilan Allah), Al-Wa’dwa’id ( janji dan ancaman), Al-
Manzilah bain al- manzilatain, dan Amar Makhruf dan Mahi Mungkar. Adapun
secara rinci kelima ajaran ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Al-tauhid ( pengesaan tuhan) merupakan perinsip utama dan inti


sari ajaran mu’tazilah. Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik
dari prinsip-prinsip Al-Tahuhid, lahir beberapa pendapat mu’tazilah diantaranya :
Manafikan sifat-sifat Allah, mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat pada Allah,
Al-Quran adalah mahkluk, karena itu al-quran diciptakan dan tidak qadim. Tuhan
tidak dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat kelak. Tuhan tidak sama dengan
mahkluk (tajassum).
2. Al-Adl ( Keadilan Tuhan) : Mu’tazilah sangat menekankan bahwa tuhan
itu adil dan tidak berlaku lazim pada umat manusia.

3. Al-Wa’d Wa Al-Wa’id ( Janji Baik Dan Ancaman) : Yaitu janji Allah


yang akan diberikan pahala kepada orang yang bebuat baik dan menyiksa orang yang
berbuat jasa.

4. Al_Manzilah Bain Al- Manzilatain : Seorang muslim yang melakukan


dosa besar dan tidak sempat bertobat kepada Allah SWT tidaklah mukmin, tetapi
tidak pula kafir.

5. Amar Makruf dan Nahi Mungkar : Prinsip ini lebih banyak berakaitan
dengan masalah hokum atau fiqih. Bahwa amar amkruf dan Nahi Mungkar harus
ditegakkan dan di laksanakan.

-Tokoh-tokoh aliran ma’tazilah :

a. Wasil bin Atha.

Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Muktazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain
al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua
tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran
itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-
manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.

b. Abu Huzail al-Allaf.

Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran
tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.

c. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya
ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui
akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-
ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).

d. An-Nazzam

An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan.


Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini
berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Ia juga mengeluarkan pendapat
mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada
kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya

e. Al- jahiz

Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai
paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah
disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan
manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, melainkan ada
pengaruh hukum alam.

f. Mu’ammar bin Abbad

Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah


aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini
sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan
benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada
benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam.

g. Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut
pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf.

h. Abu Musa al-Mudrar

Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah


yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang
lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai
kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat
dilihat dengan mata kepala.

 Asy’ariyah
-Perkembangan : Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ari
meninggalkan Mu’tazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-
Asy’ariah, berikut ini dipaparkan :

Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah,


akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang bisaa disebut, yang berasal
dari al-Subki dan Ibn Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi;
dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli
Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah.
Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab keluarnya al-Asy’ari dari
Mu’tazilah ialah kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy,
tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di
akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh
sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana kalau
anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku; sekiranya Engkau
memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang
mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika
terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi
kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa
mukallaf”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau
mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil,
maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga
kepentinganku?”. Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.
Menurut suatu riwayat, ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengangkat diri
dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari, di mana ia kemudian ia pergi ke
masjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mula-mula
memeluk paham aliran Mu’tazilah, antara lain. Al-Qur’an itu makhluk, Tuhan tidak
dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-
pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut : “Saya tidak lagi
mengikuti paham-paham tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan
dan kelemahan-kelemahannya”

-Ajaran-ajaran Asy’ariyah

a. Zat dan Sifat Tuhan.

Menurut al-Asy’ari, Zat Tuhan tidak bisa disamakan dengan zat (esensi)
makhluk. Maka apabila dalam al-Qur’an disebutkan kata-kata wajh (muka), yad
(tangan), dan ‘ain (mata) yang dinisbatkan kepada Tuhan.

b. Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia

Menurut al-Asy’ari, Kekuasaan Tuhan (predestination) adalah mutlak. Dia


Mutlak Berkehendak dan Berbuat. Maka tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada
manusia dengan kekuatannya sendiri, melainkan dengan Kehendak-Nya dan
Kekuasaan Mutlak-Nya. Sedangkan bersamaan dengan wujud perbuatan itu, manusia
memiliki andil yang disebut Kasb (usaha).

c. Kalam Tuhan.

Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang Kalam Tuhan ini dibedakannya menjadi


dua, yakni adanya Kalam Nafsi dan kalam Lafzi Kalam Nafsi adalah kalam dalam
artian abstrak, ada pada Zat (Diri) Tuhan. Sedangkan kalam Lafzii adalah kalam
dalam artian sebenarnya (hakiki). Ia dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh
makhluk-Nya, yakni berupa al-Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari.

d. Tentang Ru’yah kepada Tuhan.

Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang ru’yah kepada Tuhan (melihat Tuhan di


Akhirat) adalah hal yang mungkin terjadi.

e. Tentang Pelaku Dosa Besar.

Tentang pelaku dosa besar, pemikiran al-Asy’ari terlihat jelas penolakannya


terhadap pemikiran kalam Mu’tazilah yang menyatakan bahwa seorang mukmin yang
berdosa besar dan mati sebelum bertobat nasuha ia kekal di neraka. Menurut al-
Asy’ari, pendapat Mu’tazilah yang demikian itu jelas-jelas bertentangan dengan al-
Sunnah serta hak pengampunan Tuhan.

-Tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah :

a. Abu al-Hasan al-Asy’ari


Adapun masa hidupnya, al-Asy’ari terlahir pada tahun 260 H (873 M) dan
wafat pada tahun 524 H (935 M). Berarti dia hidup di dunia selama 64 tahun
Qomariyah/Hijriyah atau selama 62 tahun Syamsiyah/Masehi.

b. Al-Baqillani
Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayib, diduga kelahiran kota Basrah,
tempat kelahiran gurunya, yaitu Al-Asy’ari. ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan
banyak jasanya dalam pembelaan agama.

c. Juwaini
Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian
setelah besar pergi kekota Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. kegiatan
ilmiahnya meliputi ushul fiqh dan teologi islam

d. Al-Ghazaly
Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, gelar Hujjatul
Islam, lahir tahun 450 H, di Tus kota kecil di Churassan (Iran). Al-Ghazali adalah ahli
pikir islam yang memiliki puluhan karya seperti Teologi islam, Hukum islam, dan
lainnya.

 Kelebihan Dan Kelemahan dari kedua aliran


Prinsip-prinsip yang digunakan oleh kedua aliran ini mempunyai kelebihan
dan kekurangan masing-masing. Di satu sisi, aliran mu’tazilah yang mengajak
manusia untuk hidup optimis dengan berbagai potensi yang dimiliki dalam mencapai
sesuatu yang diinginkan, sedangkan di pihak lain, aliran asy’ariyah yang mengajak
orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap gerak dan nafas
kita sehingga dalam setiap melakukan sesuatu yang diinginkan harus mengikutkan
atau mengingat Tuhan sebagai penentu semua takdir makhluk hidup di alam semesta
ini. Namun kekurangan dari keduanya yaitu pada aliran mu’tazilah terlalu
mengedepankan hasil pemikiran dari akal sehingga mengesampingkan posisi tuhan
sebagai penentu nasib makhluk hidup, dan aliran asy’ariyah yang menganggap bahwa
semua yang terjadi dalam hidup ini merupakan ketentuan dari tuhan dan tidak ada
peran manusia sendiri. Jadi keduanya jika digabungkan akan menghasilkan
pemikiranyang jauh lebih baik yaitu dalam hidup ini sudah ada ketetapan dari tuhan
namun ada ketetapan-ketetapan yang dapat diubah oleh usaha manusia untuk
mendapatkan hasil yang diiginkan atau dicita-citakan.
 Relevansi Dan Signifikansi terhadap masa dewasa ini
Relevansi dan signifikansi dari kedua aliran ini pada masa sekarang dapat
dikatakan sudah sangat sedikit karena ajaran-ajarannya yang tidak terlalu sesuai
dengan keadaan-keadaan yang sedang terjadi. Namun suatu pemikiran yang telah
mendarah daging dalam masyarakat sulit untuk hilang seketika. Pada masa dewasa ini
mungkin yang lebih banyak muncul yaitu pemikiran yang berada di tengah-tengah
kedua aliran tersebut, yang dimana dalam hidup ini tuhan berperan wajib dan segala
ketetapannya adalah pasti. Namun, terdapat ketetapan-ketetapan yang dapat diubah
jika manusia ingin mengubahnya dengan ushanya sendiri. Sehingga manusia dapat
berusaha untuk mendapatkan yang diinginkan dan tuhan yang menentukan hasil
usaha tersebut.

2). Konsep dualitas meniscayakan adanya dua-dua yang serba


berpasangan dalam kehidupan baik itu yang bersifat lahiriah seperti adanya
siang - malam,terang - gelap,kehidupan kematian,tua - muda,lelaki
wanita,kaya-miskin, dlsb.atau yang bersifat abstrak seperti adanya benar-
salah,baik-buruk,sebab-akibat,bijak-picik,sempurna-tak sempurna,bahagia-
derita,cinta-benci, dlsb.walaupun diantara kedua wilayah yang telah jelas
identitasnya itu terdapat wilayah ‘antara’ yang belum jelas identitasnya dalam
konsep dualitas-atau yang masih rancu-samar tetapi kehidupan tidaklah
berpijak diatas konsep yang samar-rancu melainkan diatas konsep dualitas
yang jelas identitasnya sejelas identitas lelaki-wanita, sehingga karena adanya
konsep dualitas yang jelas itulah maka diatasnya bisa berdiri konsep agama -
konsep ilmu pengetahuan-konsep kebenaran yang semua itu tentu memerlukan
dualitas benar-salah, baik-buruk yang jelas,tidak samar atau rancu.

Dalam diskursus filsafat, paham dualisme dianggap suatu varian dari paham
idealisme. Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan adanya dua substansi
yang mendasari dunia. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga,
dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Dalam
sejarahnya, kendati bentuk dari paham dualisme ini, dalam konteks kefilsafatan, telah
ada sejak zaman Plato (427-347 SM), namun istilah dualisme sendiri baru secara
umum digunakan sejak Thomas Hyde memperkenalkan istilah ini pada sekitar tahun
1700 untuk menunjuk kepada konflik antara baik dan jahat, yakni antara Omzard dan
Ahriman, dalam Zoroastrianisme, doktrin masyarakat Iran kuno yang secara penuh
terbentuk pada abad ke-7 SM.

Dualisme, pada umumnya, berbeda dengan monisme, mempertahankan


perbedaan-perbedaan mendasar yang ada dalam realitas; antara eksistensi yang
kontingen dan eksistensi yang absolut (misal: antara dunia dan Allah), antara yang
mengetahui dan yang ada dalam bidang kontingen, antara materi dan roh (atau antara
materi dan kehidupan yang terikat pada materi), antara substansi dan aksiden, dan
lain sebagainya.

Dari sekilas uraian di atas maka, secara definitif, dualisme dapat dipahami
sebagai pandangan filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang
terpisah, tidak dapat direduksi dan unik. Contoh: adikodrati/kodrati, Allah/alam
semesta, roh/materi, jiwa/badan, dunia yang kelihatan/dunia yang tidak kelihatan,
dunia inderawi/dunia intelektual, realitas aktual/realitas kemungkinan, dunia
noumenal/dunia fenomenal, kekuatan kebaikan/kekuatan kejahatan, dan lain
sebagainya. Dalam pandangan para penganut paham dualisme, alam semesta dapat
dijelaskan dengan kedua bidang (dunia) itu.

-Jawhar dan ‘ardh

-Antrhopomorphisme (tajsim)

1. Menurut Mu’tazilah
Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang jasmani, karena Tuhan bersifat
immateri. Tuhan tidak mungkin mempunyai badan materi, oleh karena itu tidak
mempunyai sifat sifat jasmani. Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi interpretasi lain (ta’wil).
Dengan demikian kata al-arsy, tahta kerajaan diberi interpretasi kekuasaan, al-‘ain,
mata, diberi interpretasi pengetahuan, begitupun sifat-sifat yang lain.

2. Menurut Ahluss Sunnah


Kaum Asy’ariyah sama dengan Mu’tazilah, mereka tidak menerima
Antrhopomorphisme dalam arti, bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang
sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Namun bagi mereka, sebagaimana dalam
Al-Qur’an Tuhan tetap mempunyai mata, muka, tangan, dan sebagainya, tetapi semua
itu tidak sama dengan apa yang ada pada manusia. Tentu itu timbul pertanyaan, jika
tidak sam dengan yang ada pada manusia, maka bagaimana sifat tangan, mata, muka
dan sebagainya itu? Jawab Al-asy’ari : “Tuhan mempunyai mata dan tangan, yang tak
dapat diberikan gambaran atau definisi”.
Sedangkan kaum Maturidiyah dalam hal ini tidak sepaham dengan
Asy’ariyah. Menurut Maturidiyah golongan Bukhara, tangan Tuhan adalah sifat
bukan anggota badan Tuhan, yaitu sifat sama dengan sifat-sifat lain seperti
pengetahuan, daya dan kekuasaan.
Lain halnya dengan pendapat Maturidiyah Samarkand. Tangan, muka, mata,
dan kaki diartikan sebagai kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak mempunyai badan,
sungguhpun tidak sama dengan jasmani manusia, karena badan tersusun dari
substansi (jawhar dan ‘ard). Manusia butuh pada anggota badan, karena tanpa
anggota badan manusia menjadi lemah; adapun tuhan, tanpa anggota badan, Ia tetap
Maha Kuasa.
-Melihat Tuhan
Perbedaan antara aliran kalam temtang sifat-sifat Allah tidak terbatas pda
persoalan apakah Allah memiliki sifat atau tidak, tetapi juga pada persoalan-persoalan
cabang sifat-sifat Allah, seperti antropomorphisme melihat Tuhan, dan esensi Al-
Qur’an.

Aliran Mu’tazilah : mencoba menyelesaikan persoalan denganmengatakan bahwa


Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisinya tentang Tuhan bersifat negatif. Tuhan
tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat,
dan sebagainya. Ini tidak berarti Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak
berkuasa, dan sebaginya. Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkuasa, dan
sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan.
Aliran Asy’ariah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan faham
mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut Al-asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena
perbuatan-perbuatan-Nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui,
menghendaki, berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa ia mempunyai
pengetahuan, kemauan dan daya. Al-asy’ari lebih jauh berpendapat bahwa Allah
memiliki sifat-sifat dan sifat-sifat itu, seperti memiliki tangan dan kaki, tidak boleh
diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis. Selanjutnya al-asy’ari berpendapat
bahwa sifat-sifat Allah itu unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia yang tampak mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh
menyangkut realitasnya (haqiqah) – tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian
tidak berbeda dengan-Nya.
Aliran Maturidiyah Bukhara mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan,
berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat. Maturidiyah Bukhara juga
berpendapat Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang
menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi takwil.Oleh
karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai mata dan
tangan, bukanlah Tuhan mempunyai anggota badan.

-Wajib Dan Mumkin


Tuhan, menurut al Farabi baginya Allah adalah sebab pertama bagi segala
sesuatu di dunia ini (al Maujud al Awwal). Bagi al Farabi, segala sesuatu yang
bersifat ada di dunia ini hanya ada dua; Wajib al wujud (Allah) dan mumkin al wujud
(Alam Semesta).
Dan teori gerak inilah yang digunakan al Farabi untuk menjelaskan konsep
wujudnya. Bagi al-Farabi, mumkin al wujud di dalam ciptaan di dunia ini
membutuhkan adanya Wajib al wujud yang menggerakkan secara sistematis
perputaran alam semesta ini.
Ibnu Sina, perihal argumen ketuhanannya menyampaikan sebagaimana
berikut, “Sesungguhnya sebab (‘illah) atas tidak ada (‘adam)-nya sesuatu adalah
sebab ketiadaan atas ada-(wujud)-nya itu. Sedangkan sebab adanya sesuatu adalah
perihal yang mewajibkan daripadanya wujud.” Di sini Ibnu Sina mengawali
pendapatnya dengan sebuah kelaziman betapa setiap yang ada wajiblah daripadanya
sebab yang menjadikan ada itu ada.
Namun, tatkala ditemukan sebab yang membuat ada itu tidak ada, Ibnu Sina
tidak serta merta memutuskan bahwa sebab itulah yang menyebabkan tidak ada-
nya ada itu. Hal ini dikarenakan jikalau setiap ada menjadi ada dikarenakan
sebab yang menyebabkan ada itu ada dari tidak ada maka yang akan terjadi adalah
jika tidak ada sebab yang menyebabkannya ada, maka ada itu akan abadi di tidak ada.
Di sini Ibnu Sina menyatakan, bahwa ketiadaan adalah kondisi pertama yang
dimiliki sebuah ada sebelum ia berwujud nyata. Maka dipastikanlah, setiap yang ada
di dunia berasal dari ketiadaan dan adanya sebab di luar zat ada yang bertugas
‘mengeluarkan’ ada dari sebab. Gejala semacam inilah yang dinamakannya mumkin
al wujud (Alam Semesta). Namun bagaimana kita bisa menemukan asal muasal
penciptaan, jikalau teori ini digunakan, jelas bahwa tidak akan ada habisnya.
Dari sinilah kemudian Ibnu Sina menerangkan argumen tentang Wajib al
wujud (Allah) sebagai Esensi mutlak yang menjadi sebab pertama dari
segala macam pergerakan yang ada di alam. Menurut Ibnu Sina, ketika
sesuatu wujud membutuhkan sebab yang berada di luar sebab, tidak mungkin juga
bersifat mumkin al wujud sebagai zatnya. Maka analisa logis yang bisa dianalisa dan
disimpulkan di sini adalah sebuah kesadaran atas kenyataan Wajib al wujud. Dengan
itu Ibnu Sina menyetujui keberadaan alam semesta ini merupakan akibat dari
kehendak Tuhan yang menjadikan wujud-wujud alam semesta.
Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan
bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa
kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan,
ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa
Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya
Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada
di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam
itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan
sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya
sejak azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada
awalnya, kemudian baru menciptakan alam.
Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru
menciptakan alam, menurut para filsuf Muslim, menunjukkan berubahnya Tuhan.
Tuhan, menurut mereka, mustahil berubah, dan oleh sebab itu mustahil pula Tuhan
berubah dari pada awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta.
Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Alquran (QS 11: 7; QS 41: 11; dan QS
21: 30) dapat diambil simpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada,
tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia mengungkapkan hal ini dalam kitabnya Tahafut
Tahafut al-Falasifah (Kehancuran bagi Orang yang Menghancurkan Filsafat). Selain
itu, ia mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa kepada
pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau dijadikan oleh Tuhan.
3) Posisi Akal dan Wahyu Menurut beberapa Aliran :
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks,
yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumbr pengetahuan
manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada tuhan,
tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang
baik dan menghindari yang buruk.

Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat


bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut. Sementara itu
aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional,
mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan
mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.

Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional


juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal
lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta
kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia
berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran maturidiah Bukhara yang juga digolongkan
kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal
tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui
dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada
tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya
dapat diketahui dengan wahyu.

Menurut kaum mu’tazilah, wahyu mempunyai fungsi memberi penjelasan


tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Jadi,
wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai fungsi untuk informasi dan konfirmasi,
memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum
diketahui akal. Dan demikian menyempurnakan pengtahuan yang telah diperoleh
akal.

Bagi kaum Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu
mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui yang baik dan
yang buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya turunnya wahyu.
Dengan demikian sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-
kewajibannya kepada tuhan, sekiranya syariatnya tidak ada Al-Ghozali berkata
manusia tidak aka ada kewajiban mengenal tuhan dan tidak akan berkewajiban
berterima kasih kepadanya atas nikmat-nikmat yang diturunkannya. Demikian juga
masalah baik dan buruk kewajiban berbuat baik dan mnghindari perbuatan buruk,
diketahui dari perintah dan larangan-larangan tuhan. Al-Baghdadi berkata semuanya
itu hanya bisa diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu tak ada
kewajiban dan larangan terhadap manusia.

Jelas bahwa dalam aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak
sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada manusia akan
bebas berbuat apa saja, yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan
berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat, dan demikianlah
pendapat kaum Asy’ariyah. Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah
memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena
itu pengiriman para rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan
dan bukan hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan olh Imam Al-
Ghozali di dalam al-syahrastani.Tegasnya manusia dalam pandangan aliran
Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan dalam aliran Asy’ariyah manusia
lemah dan jauh dari merdeka.

-Yang didahulukan diantara kedua jenis pemikiran :

Selain sebagai sumber ilmu dan pemikiran bagi akal, akal dan wahyu tidak
selamanya sejalan karena keduanya terkadang saling bertentangan. Contoh, jika
dalam wahyu yang terdapat dalam Al-Quran memilih seorang pemimpin haruslah
pemimpin yang seorang muslim, namun tidak selamanya juga yang pantas menjadi
pemimpin adalah seorang muslim. Berdasarkan pikiran, dalam memilih seorang
pemimpin harus pemimpin yang adil, tegas, jujur dan amanah dan terkadang kriteria
itu tidak terdapat dalam diri seorang muslim. Dari masalah tersebut maka antara
wahyu dana akal akan saling bertentangan dalam memilih seorang pemimpin.

Dan mana yang harus didahulukan tergantung aliran apa yang diikuti oleh
masing-masing individu. Namun lebih baik jika terdapat pertentangan antara akal dan
wahyu dalam pengambilan keputusan, tidak harus mana yang didahulukan namun
disesuaikan dengan kondisi dan hal apa yang di hadapi. Jika seperti contoh masalah
di atas, menurut penulis jika memang dari seorang muslim yang mencalonkan diri
sebagai seorang pemimpin namun tidak memenuhi kriteria seorang pemimpin yang
baik, maka tidak masalah untuk memilih seorang pemimpin non muslim sampai
menunggu saatnya seorang muslim yang pantas menjadi seorang pemimpin seperti
apa yang di kriteriakan oleh islam.

-Makna dari ketika pengetahuan yang diperoleh melalui akal dikedepankan


dari wahyu, dan begitu sebaliknya :

Ketika pengetahuan melalui akal dikedepankan maka disini dalam melakukan


sesuatu berdasarkan pada hasil pemikiran dan setelah mendapat hasil baru kemudian
dicocokkan dengan wahyu. Namun, jika tidak terdapat dalam wahyu maka akan
dicari dari wahyu yang memiliki tafsiran seperti hasil pemikiran tersebut. Sedangkan
makna wahyu dikedepankan yaitu dalam melalukan sesuatu seagalanya berdasarkan
pada wahyu baru kemudian dicocokkan dengan akal dan harus tetap sesuai dengan
wahyu tanpa boleh menafsirkannya tidak sesuai makan dari wahyu itu sendiri.

1.

Anda mungkin juga menyukai