Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN ALIRAN-ALIRAN DALAM USHUL FIQH

A. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh


1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan
a. Ushul Fiqh Masa Rasulullah saw.
Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan umat Islam
semakin luas dan banyak orang yang bukan arab memeluk agama Islam. Karena itu banyak
menimbulkan kesamaran dalam memahami nash, sehingga dirasa perlu menetapkan
kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul
fiqh, yang menjadi penuntun dalam memahami nash.[1]
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih dahulu dibandingkan ushul fiqh
sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana
ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan
pertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh.
Alasannya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh merupakan
bangunan yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah tentu ushul fiqh ada
mendahului fiqh.[2] Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum
secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya
dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat al-Qur’an atau mencari
jawaban dari Rasulullah saw., maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan
hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari al-
Qur’an atau bertanya kepada Rasulullah saw. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum
bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk
dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu
ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah
saw. sendiri. Rasulullah saw. dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang
tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk
sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari.
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian,
kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya
lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka
menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan
yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian
tersebut. Kepada yang tidak mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi
sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya,
Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika
menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda
dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada
yang tidak. Akhirnya, Rasulullah saw. membenarkan hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
b. Ushul Fiqh Masa Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan
Rasulullah saw. kepada masa Rasulullah saw. tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika
Rasulullah saw. masih hidup, sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam
pemecahan hukum, yaitu al-Qur’an, sunnah, dan ra’yu (nalar).
Meninggalnya Rasulullah saw. memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya
kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan
mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan
di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibn Mas’ud,
Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai
pada masa Rasulullah saw. sendiri.[3]
Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para
sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang
mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap
dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.[4]
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, para sahabat
telah mempraktikkan ijma’, qiyas, dan istishlah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu
masalah tidak ditemukan secara tertulus dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.[5] Pertama,
khalifah biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang
persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang
hukum. Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain
sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat,
yang di kemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal
dan pengikutnya sebagai ijma’ yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan
maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas
dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah
saw. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum
yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal
sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah
dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat
dalam pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu
majlis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan di waktu
paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan
sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh al-
Qur’an dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus
pemahaman ayat iddah dalam QS. al-Baqarah 228:
‫س ِهنَّ ث َ ََلثَةَ قُ ُروء‬
ِ ُ‫صنَ بِأ َ ْنف‬
ْ َّ‫َوا ْل ُم َطلَّقَاتُ يَتَ َرب‬
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru'.”
Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haid. Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Utsman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam
ayat di atas dengan pengertian haid, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibn Umar
mengartikannya dengan suci.[6] Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan
lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., ushul fiqh pada era sahabat
masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan
dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu
belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi.
Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab
permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas kepada
pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada
perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[7]
c. Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar
kepada sahabat. Pada masa tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas
disebabkan bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru yang
muncul. Banyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk
berfatwa dan berijtihad, antara lain Sa’id ibn al-Musayyab di Madinah dan Alqamah ibn al-
Qays serta Ibrahim al-Nakha’i di Irak.[8]
Metode istinbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istinbathsahabat. Hanya
saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
1) Pemalsuan hadits
2) Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Irak (ahl al-ra’yi)
dan kelompok Madinah (ahl al-hadits).
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas disertai dengan
perbedaan kelompok ahli hukum (fuqaha) berdasarkan wilayah geografis.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in
juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu
mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah
memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah,
fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi
sahabat.[9]
Masa tabi’in banyak yang melakukan istinbath dengan berbagai sudut pandang dan
akhirnya juga mempengarhi konsekuensi hukum dari suatu masalah. Contohnya; ulama fiqh
Irak lebih dikenal dengan penggunaan ar ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi mereka
mencari illatnya, sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang
dihadapi dengan kasus yang sudah ada nashnya. Adapun para ulama Madinah banyak
menggunakan hadits-hadits Rasulullah SAW, karena mereka dengan mudah melacak
sunnah Rasulullah di daerah tersebut. Disinilah awal perbedaan dalam mengistinbathkan
hukum dikalangan ulama fiqh. Akibatnya, muncul tiga kelompok ulama’, yaitu Madrasah al-
Iraq, Madrasah Al-Kufah, Madrasah Al- Madinah.[10]Pada perkembangan
selanjutnya madrasah al-iraq dan madrasah al-kufah dikenal dengan sebutan madrasah al-
ra’yi, sedangkan madrasah al-Madinah dikenal dengan sebutan madrasah al- hadits.
d. Ushul Fiqh Masa Imam-imam Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i
Imam Abu Hanifah an-Nu’man, pendiri madzhab Hanafi menjelaskan dasar-dasar istinbath-
nya yaitu, berpegang kepada Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang
pada Sunnah Rasulullah. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang kepada pendapat
yang disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah satu
dari pendapat-pendapat itu dan tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi pendapat
sahabat. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak
melakukan qiyas dan istihsan.
Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, dalam berijtihad mempunyai
metode yang cukup jelas, seperti tergambar dalam sikapnya dalam mempertahankan
praktik penduduk Madinah sebagai sumber hukum.[11]
Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah.
Ketika ada hadits Rasulullah saw. diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau
beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli
Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan
orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan
petunjuk dari Rasulullah saw. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali
sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah saw., yang selama sepuluh tahun
hidup di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir,
yang isinya mengajak Imam Laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan
tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits,
meskipun hadits itu ahad.
Orang Irak, khususnya Imam Abu Hanifah mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas,
meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam.
Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain dan dipandang
sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Irak juga dikritik karena
mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Irak mempergunakan
petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat
dari Rasulullah saw., tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
2. Pembukuan Ushul Fiqh
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i
(150 H-204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi, dan membukukan Ushul
Fiqh. Imam Syafi’i banyak mengetahui tentang metodologi istinbath para imam mujtahid
sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbath para sahabat,
serta mengetahui di mana kelemahan dan keunggulannya.
Imam Syafi’i menyusun sebuah buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian dikenal
dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Dikenal demikian karena buku itu
pada mulanya merupakan lembaran-lembaran surat yang dikirimkan kepada Abdurrahman
al-Mahdi (w. 198 H), seorang pembesar dan ahli hadits ketika itu. Munculnya buku al-
Risalah merupakan fase awal dari perkembangan ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu.
Kandungan kitab al-risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i menjadi bahan
pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk
mensyarh (menjelaskan) secara luas apa yang dikemukakan oleh imam Syafi’i dalam
kitabnya itu, tanpa mengubah atau mengurangi dari isi kitabnya itu. Juga ada yang
melakukan pembahasan bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i, dengan
mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori imam Syafi’i dan terkadang
mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan imam Syafi’i. Misalnya, ulama Ushul
fiqh dari kalangan Hanafi yang mengakui teori-teori Imam Syafi’i akan tetapi mereka
menambahkan metode atau teori lainnya yaitu istihsan dan ‘urf dalam mengistinbathkan
hukum. Disamping itu, ulama ushul fiqh malikiyyah juga melakukan hal yang sama,
yaitu; Ijma’ Ahlul Madinah (kesepakatan penduduk madinah).[12]
B. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidakberhenti,
melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh
yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi
dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fuqaha(Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran
tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa
dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan
Syafi’iyyah. Aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini
menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan
madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan
adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat
dijadikan kaidah.
Dalam aliran ini, mereka mempelajari ilmu ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu yang
terlepas dari pengaruh madzhab atau furu’, faktornya karena[13]:
a. Imam Syafi’i sendiri yang menetapkan bahwa dasar-dasar tasyri’ itu memang terlepas
dari pengaruh furu’.
b. Mereka berkeinginan untuk mewujudkan pembentukan kaidah-kaidah atas dasar-
dasar yang kuat, tanpa terikat dengan furu’ atau madzhab.
c. Mereka membuat penguat kaidah-kaidah yang telah dibuatnya dengan menggunakan
berbagai macam dalil, tanpa menghiraukan apakah kaidah tersebut memperkuat madzhab
atau melemahkannya.
Aliran Mutakakallimin lebih berorienntasi kepada hal-hal berikut, yakni;[14]
a. Analisis kasus-kasus
b. Formulasi kaidah-kaidah hukum (al-qawa’id)
c. Aplikasi qiyas yang disertai penalaran rasio sejauh mungkin
d. Mengkonstruksi isu-isu fundamental teori hukum tanpa terikat dengan fakta hukum
yang kasuistis dan pikiran hukum madzhab fiqh yang ada.
Semua pemikiran mereka, dapat dilihat dari hasil karya mereka, dalam bentuk tiga kitab,
yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Arkan al-Tsalatsah yaitu sebagai berikut:
a. Kitab al-Mu’tamad, karya Abu Husain Muhammad ibn ‘Ali al-Bashriy (w. 412 H).
b. Kitab al-Burhan, karya al-Imam al-Haramain (w. 474 H).
c. Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, karya al-Ghazali (w. 500 H).
d. Al Mahsul karya fakhr al-Din Muhammad bin Umar al- Razi al-Syafi’i (w. 606 H). Kitab
ini diringkas oleh dua orang dengan judul;
1) Al-Hasil oleh Taj al-Din Muhammad bin Hasan al-Armawi (w. 656 H).
2) Al- Tahsil oleh Mahmud bin Abu Bakar Al-Armawi (w. 672 H).[15]
2. Aliran Fuqaha
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab
Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh
contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada
pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta
melengkapinya dengan contoh-contoh.[16]
Di antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini antara lain: kitab al-Ushul (Imam Abu
Hasan al-Karakhiy), kitab al-Ushul (Abu Bakar al-Jashash), Ushul al-Syarakhsi (Imam al-
Syarakhsi), Ta’shish an-Nadzar (Imam Abu Zaid al-Dabusi), dan al-Kasyaf al-Asrar (Imam
al-Bazdawi).
3. Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh
aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah
dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum
yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi
sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah.
Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-Jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-
Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya
al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula
kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari
Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib,
dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah
al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii
dan Jami’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang
memasukkan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul
fiqh. Aliran Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang
secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-
Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu,
aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara
panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi
dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.

KESIMPULAN

Ilmu ushul fiqh dilihat dari sejarah dan perkembangannya, maka dapat dibagi secara
umum menjadi dua; yakni ushul fiqh sebelum pembukuan dan pembukuan ushul fiqh. Ushul
fiqh sebelum pembukuan dimulai dari masa Rasulullah SAW dilanjutkan generasi Sahabat,
generasi Tabi’in, generasi imam mujtahid sebelum Imam Syafi’i.
Pada Masa Rasululah SAW sendiri ushul fiqh sudah terbukti dengan peristiwa yang
dialami oleh dua sahabat sedang bepergian lalu tiba waktu shalat, lalu mereka hendak
mengerjakan shalat akan tetapi tidak ada air. Keduanya lalu bertayammum dengan debu
yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat
belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu
mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak
mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu
mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah saw.
menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering
berbeda pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi,
dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus
tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk
menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas
kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai
kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in
juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu
mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah
memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah,
fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi
sahabat.
Selanjutnya, pada masa Imam Mujtahid sebelum Imam Syaf’i adalah seperti pada masa
Imam Malik dengan alirannya (malikiyyah), dan Imam Hanafi dengan alirannya (hanafiyyah).
Imam maliki mempunyai metode ijtihad yang cukup jelas, seperti mempertahankan praktih
penduduk madinah sebagai sumber hukum. Sedangkan imam hanafi menjelaskan dasar-
dasar istinbatnya yakni; berpegang kepada Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia
berpegang pada Sunnah Rasulullah. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang kepada
pendapat yang disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih
salah satu dari pendapat-pendapat itu dan tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi
pendapat sahabat. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak
melakukan qiyas dan istihsan.
Selanjutnya masa pembukuan ushul fiqh yakni pada penghujung abad kedua dan awal abad
ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) tampil berperan dalam meramu,
mensistematisasi, dan membukukan Ushul Fiqh. Imam Syafi’i banyak mengetahui tentang
metodologi istinbath para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, dan metode istinbath para sahabat, serta mengetahui di mana kelemahan dan
keunggulannya.
Aliran dalam ushul fiqh terbagi menjadi tiga, yakni; aliran mutakallimin (Syafi’iyyah), aliran
fuqaha’ (hanafiyyah), dan aliran gabungan.
Aliran Mutakallimin; aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi
oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran
ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan
madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan
adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat
dijadikan kaidah.

Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab
Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh
contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada
pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta
melengkapinya dengan contoh-contoh.
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh
aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah
dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum
yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi
sandarannya dan itu dikatakan sebagai aliran gabungan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khudlary, Muhammad, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, tt.
Alwani, Thaha Jabir, Source Methodology in Islamic Jurisprudence, Virginia: IIIT, 1994.
Anhari, Masykur, Ushul Fiqh, Surabaya: Diantama, 2008.
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Effendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 1996.
Karim, A. Syafi’i, Fiqh Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Ma’ruf Al-Dawalibi, Muhammad, Al-Madkhal ila ilm al-ushul al-Fiqh, Damaskus: Universitas
Damaskus, Cet. II, 1959.
Ma’shum Zein, Muhammad , Ilmu Ushul Fiqh, Jombang: Darul Hikmah, 2008.
Sa‘id al-Khin, Muhammad, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha,
Beirut: Muassassah al-Risalah, 1994.

[1] A. Syafi’i Karim, Fiqh Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 45-46.
[2] Muhammad Sa‘id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-
Fuqaha (Beirut: Muassassah al-Risalah, 1994) 122-123.

[3] Thaha Jabir Alwani, Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Virginia: IIIT, 1994),
19.
[4] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 21.
[5] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2005), 17.
[6] Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar, 72.
[7] Muhammad al-Khudlary, Tarikh Tasyri’ al-Islamy (Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, tt), 114.
[8] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, 17-18.
[9] Abd. Rahman Dahlan, Op.Cit, 23.
[10] Muhammad Ma’ruf Al-Dawalibi, Al-Madkhal ila ilm al-ushul al-Fiqh (Damaskus:
Universitas Damaskus, Cet. II, 1959), hal. 93.
[11] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, 18.
[12] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos, 1996), hal. 10
[13] Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 39.
[14] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), 8.
[15] Masykur Anhari, Ushul Fiqh (Surabaya: Diantama, 2008), hal. 10
[16] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, 25.
[17] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih , Cet IV (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 187.

Anda mungkin juga menyukai