PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Permasalahan pembagian warisan akan dialami setiap orang, baik suka maupun
tidak. Pembagian warisan ini tidak jarang membawa dampak negatif apabila
penyelesaiannya tidak adil. Yakni, terjadi konflik berkepanjangan di antara anggota
keluarga. Dalam konteks meminimalisasi konflik dan menjaga keutuhan dan kedamaian
keluarga inilah, hukum waris Islam ditetapkan Secara mendetail.
Dalam mempelajari secara mendetail, maka perlu disusun secara sistematis dan
menyeluruh. Namun pada bahasan kali ini penulis hanya memberi gambaran secara
umum mengenai pengertian hukum kewarisan Islam dan Sejarah serta dasar hukumnya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat ditarik kesimpulan dalam beberapa
rumusan masalah, yakni:
1. Apakah yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan Islam?
2. Bagaimanakah Sejarah Kewarisan dalam Islam?
3. Apakah Dasar Hukum Kewarisan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam
Secara bahasa, kata waratsa asal kata kewarisan digunakan dalam Al-Quran.
Dalam Al-Quran dan dirinci dalam Sunnah Rasulullah Saw,. hukum kewarisan Islam
ditetapkan. Secara bahasa, kata waratsa memiliki beberapa arti; pertama, mengganti (QS
Al-Naml [27] ayat 16), artinya Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Daud,
serta mewarisi ilmu pengetahuannya. Kedua, memberi (QS Al-Zumar [39] ayat 74), dan
ketiga, mewarisi (QS Maryam [19] ayat 6).1
Secara terminologis, hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)2 pewaris,3 menentukan
siapa yang berhak menjadi ahli waris4 dan beberapa bagian masing-masing.5
Ilmu waris disebut juga ilmu faraidh diambil dari kata mafrudha yang terdapat
dalam QS An-Nisa [4] ayat 7:
Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
Mufradha pada ayat di atas diartikan bagian yang telah ditetapkan (bagian yang
telah dipastikan kadarnya).
Dari definisi di atas, maka secara singkat ilmu faraidh atau ilmu waris ialah ilmu
yang mengatur peralihan harta orang yang telah meninggal kepada orang yang masih
1 Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. 1, Edisi Revisi (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), hlm. 281.
2 Tirkah (harta peninggalan pewaris) yaitu harta yang ditinggalkan pewaris baik
berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Lihat Pasal 171
huruf d Kompilasi Hukum Islam.
3 Pewaris (al-muwarris) adalah orang yang pada saat meninggalnya atau
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan Agama, meninggalkan ahli
waris dan harta peninggalan. Lihat Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam.
4 Ahli waris (al-waris) adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Lihat Pasal 171 huruf c
Kompilasi Hukum Islam.
5 Lihat Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam.
hidup berdasarkan ketentuan syariat Islam (Al-Quran, As-Sunah, ijmaulama, dan ijtihad
ulama). 6
B. Sejarah Hukum Kewarisan7
Sedangkan sejarah kewarisan Islam di Indonesia terbagi menjadi beberapa periode,
yaitu:
1. Pada Masa sebelum Pemerintahan Kolonial Belanda
Menyangkut sejarah hukum Islam di Indonesia tentunya berkaitan erat dengan
masuknya agama Islam di Nusantara. Mengenai masuknya Islam di Nusantara
penulis condong kepada pendapat ahli sejarah yang mengatakan masuknya Islam di
Nusantara telah disimpulkan dalam Seminar yang diselenggarakan di Medan tahun
1963, bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 atau 8 Masehi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agama Islam telah lebih dahulu
berkembang
dan
dilaksanakan
di
nusantara
ketimbang
kolonial
Belanda
Islam, lebih lanjut hasil pekerjaan Freijer ini disempurnakan pula oleh para
penghulu dan ulama Islam pada saat itu. Kemudian, kitab hukum tersebut diterima
oleh VOC dan lebih lanjut dipergunakan oleh lembaga-lembaga peradilan untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di kalangan umat Islam. Kondisi ini
berlangsung selama lebih kurang dua abad, dan selanjutnya secara perlahan-lahan
dan sistematis dicoba untuk menghapusnya.
Selain itu, Pemerintah Belanda juga berusaha untuk menyebarkan agama kristen
ke tanah Jawa, sehingga mempererat hubungan agama mereka dengan agama
pemerintahannya. Namun, usaha tersebut tidak berhasil. Kemudian Mr. Scholten van
Oud Haarlem menulis sebuah nota kepada Pemerintah Belanda untuk menghindari
konflik dari orang Bumiputera dan agama islam, maka harus diusahakan sebisanya
agar mereka tetap dapat tinggal dalam lingkungan (hukum) serta adat istiadat
mereka. Yang akhirnya Pasal 75 R.R (Regeering Reglement) 9, dan S. 1855: 210
disahkan oleh Pemerintah Belanda untuk mengatur peradilan di Indonesia.
Implikasinya adalah terbentuknya beberapa lembaga-lembaga peradilan di Indonesia.
Seperti Lembaga peradilan Pemerintah, Adat, Desa, dan Agama.
3. Pada Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, semua peraturan perundang-undangan yang ada
masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum
Pemerintahan Dai Nippon.
Pada masa ini lembaga Pengadilan Agama tetap dipertahankan, akan tetapi
sebagaimana diungkapkan oleh Muchtar Zarkhasyih sebagaimana dikutip oleh M.
Idris Ramulyo namanya diubah menjadi Scorioo Hooin dan Mahkamah Agama
Islam Tinggi namanya diubah menjadi Kaikoo Kootoo. Perubahan ini didasarkan
kepada Pasal 3 aturan peralihan bala tentara Jepang (Osamu Seizu) pada tanggal 7
Maret 1942.
4. Pada Masa Kemerdekaan Sampai Saat Ini
9 Yakni suatu peraturan yang menjadi dasar bagi pemerintah Belanda untuk
menjalankan kekuasaannya di Indonesia.
10 Yakni instruksi kepada pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang
agama. Lembaga-lembaga kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan
dengan kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
tersebut
terjadi
pada
tanggal
29
Desember
1989, yaitu
Indonesia
sering
ditemukan
uraian
yang
Islam
mutlak
merupakan
kewenangan
Peradilan Agama
untuk
12 Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Nomor 7 Tahun 1989 berisi Pengadilan Agama
bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaraperkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragam Islam di bidang: (a)
Perkawinan; (b) Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam; (c) Wakaf dan shadaqah.
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara maruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
Artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian
berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu
termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al
Anfal :75).
Artinya: Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin
dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu
mereka. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu
sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah
daripada
orang-orang
mukmin
dan
orang-orang
muhajirin,
kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada saudarasaudaramu (seagama). Demikianlah telah tertulis dalam kitab
(Allah). (QS. Al Ahzab :6).
c. Aturan Pembagian Harta Warisan
Perlu diketahui bahwa dari sekian banyak permasalahan
hukum yang diuraikan di dalam Al Quran hanya permasalahan
atau aturan pembagian harta warisanlah yang paling tuntas
diuraikan, untuk itu dapat diperhatikan surat An Nisa [4] ayat 7,
sebagai berikut :
alih harta Aus tersebut, dan pada waktu itu turunlah ayat
tersebut.13
2. Hadis Nabi Muhammad yang berkaitan dengan waris
Hadis-hadis yang diutarakan dalam pembahasan ini hanyalah
sebatas
hadis-hadis
yang
dapat
dihimpun
oleh
penulis
dan
)
(
)
(
Orang Muslim tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir
tidak mewarisi harta orang Muslim, (HR.Bukhari-Muslim).
c. Dari Abdullah bin Umar, bahwa Raulullah Saw, bersabda : Tidak
bisa mewarisi yang berlainan agama. (HR.Ahmad, al-Arbaah
dan Tirmidzi).14
3. Dasar hukum waris berdasarkan Al Ijma (Kesepakatan Ulama)
Ijma yaitu kesepakatan kaum Muslimin menerima ketentuan
hukum warisan yang terdapat di dalam Al Quran dan As Sunah,
sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya
13 Lubis, Suhrawardi K. Komis Simajuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014), cet. 3, hlm: 23.
14 .Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta: 2014, hlm:14.
mewujudkan
keadilan
dalam
masyarakat.
Karena
ketentuan
menolaknya.
Para
ulama
mendefinisikan
ijma
adalah
pembagian
warisan
terjadi
kekurangan
harta,
maka
terjadi
kelebihan
harta,
maka
ditempuh
dengan
cara
BAB III
15 Fiqh Mawaris
16 Ibid.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian ilmu faraidh atau ilmu waris ialah ilmu yang mengatur peralihan harta
orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berdasarkan ketentuan
syariat Islam (Al-Quran, As-Sunah, ijmaulama, dan ijtihad ulama).
Sejarah Hukum Waris di Indonesia terbagi menjadi beberapa periode,
1. Pada Masa sebelum Pemerintahan Kolonial Belanda
2. Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
3. Pada Masa Pendudukan Jepang
4. Pada Masa Pasca Kemerdekaan dan Sampai Saat Ini.
Dasar Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, yaitu Al Quran, As Sunah, Ijma
(Kesepakatan Ulama), dan Ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
Rofik, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia. 2013. Jakarta: Rajawali Pers.
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. 2014. Jakarta: Rajawali Pers.
Lubis, Suhrawardi K., Komis Simanjuntak, 2014. Jakarta: Sinar Grafika.