Anda di halaman 1dari 23

PERADILAN PADA MASA JAHILIYAH

Oleh : Zakiyatul Himmiliyah

PENDAHULUAN

Manusia hidup di dunia saling berdampingan dan saling

membutuhkan antara satu dengan lainnya. Dalam ketergantungan

dengan orang lain kadang dapat menimbulkan kesalahpahaman yang

dapat mengakibatkan perpecahan, perkelahian, bahkan saling

membunuh. Untuk menyelesaikan suatu masalah atau suatu

persengketaan diperlukan adanya peradilan .

Sebenarnya peradilan sejak lama sudah dikenal, bahkan sejak

zaman nabi Adam peradilan telah ada namun tidak seperti peradilan

zaman sekarang yang sudah memiliki aturan dan undang‐undang yang

baik. Mengapa peradilan harus ada? Ini adalah pertanyaan yang

mendasar. Karena peradilan merupakan suatu kebutuhan hidup

masyarakat, dan untuk menyelesaikan segala sengketa yang terjadi

diantara manusia.

Peradilan adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa

yang di dalamnya terkandung seluruh amal ma'ruf nahi mungkar. Yaitu

menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi

orang yang zalim dari berbuat aniaya serta mewujudkan perbaikan

umum. Dengan peradilan jiwa, harta dan kehormatan terlindungi.

Apabila peradilan tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka

masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang kacau balau.

Cara peradilan dalam suatu pemerintahan berbeda‐beda sesuai

dengan zaman, kurun waktu dan pengetahuan yang dimiliki. Begitu juga

zaman Jahiliyah peradilan telah ada namun sangat sederhana.


Bagaimana sebenarnya peradilan pada zaman Jahiliyah atau sebelum

Islam datang? Bagaimana bentuk dan caranya? Bagamana pula hukum

yang diputuskan ? Untuk mengetahui lebih lanjut maka akan dipaparkan

dalam pembahasan.

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Dasar Hukum, dan Rukun Peradilan

Peradilan dalam bahasa Arab disebut qadha. Qadha menurut

bahasa memiliki beberapa arti, antara lain :

1. Al faraagh artinya putus atau menyelesaikan. Seperti firman Allah

( ...٣٧ : ‫ (االءحزب‬....‫ضى َز ْي ٌد ِم ْنهَا َوطَ ًرازَ َّوجْ نَا َكهَا‬


َ َ‫فَلَ َّما ق‬

Maka, manakala Zaid telah menyelesaikan hajatnya dari Zainab,

kami Kawinkan dia padamu.[1]

2. Qadha artinya menunaikan, seperti firman Allah :

َ ْ‫ت الصَّلوةُ فَا ْنتَ ِشرُوا فِى األر‬


( ۱۱ : ‫(الجمعة‬.....‫ض‬ ِ ُ‫فَإ َذا ق‬
ِ َ ‫ضي‬

Artinya : Apabila sembahyang telah ditunaikan, maka bertebaranlah

kamu keseluruh pelosok bumi.[2]

3. Al‐Hukmu artinya mencegah, menghalang‐halangi. Dari kata inilah

maka qadhi‐qadhi disebut sebagai hakim, karena mencegah terjadinya

kezaliman orang yang mau berbuat zalim.

4. Arti lain dari kata qadha adalah memutuskan hukum atau membuat

suatu ketetapan.

Jadi sebenarnya qadha menurut bahasa artinya orang yang

memutuskan perkara dan menetapkannya.[3]

Sedangkan menurut istilah peradilan atau qadha memiliki

beberapa makna, antara lain :

۱. ُ‫ألوالَيَةُ ْال َم ْعرُوْ فَ ْة‬ َ َ‫ألق‬


ِ : ‫ضا ُء‬
Lembaga peradilan (kekuasaan yang mengadili dan memutuskan perkara)

ْ ِ ‫ضا ُء ه َُو ْالفَصْ ُل فِى ال ُْخصُو َما‬


ِ ‫ْمسًا لِلتَّدَا ِعى َوقَطعًا لِلنِّ َز‬vََْ ‫ت ح‬
۲. ‫اع‬ َ َ‫ألق‬

ِ ‫َام ال ِّشرْ ِعيَّ ِة ْال ُمتَلَقَّا ِة ِمنَ ْال ِكتَا‬


‫ب َوال ُّسنَّ ِة‬ vِ ‫ ال َءحْ ك‬䘯ِ੔

Peradilan adalah menyelesaikan perkara pertengkaran untuk

melenyapkan gugat menggugat dan untuk memotong pertengkaran

dengan hukum‐hukum syara' yang dipetik dari Al‐Qur'an dan Sunnah.

Menurut 'Ukbary dalam kulliatnya yang di maksud dengan

peradilan adalah :

َ ‫ضا ُء قَوْ ٌل ُم ْل ِز ٌم‬


‫ص َد َر ع َْن ِذى ِوالَيَ ِة عَا َّمة‬ َ َ‫ْالق‬

Qadha ialah peraturan yang merupakan ketetapan yang harus diikuti,

yang terbit dari penguasa, mempunyai kekuasaan yang umum.[4]

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan adalah

lembaga yang mempunyai kekuasaan yang umum, mengadili dan

memutuskan perkara antara dua orang atau lebih dengan berlandaskan

Al‐Qur'an dan Hadits.

Selain itu peradilan memiliki dasar hukum diperintahkannya yang

bersumberkan dari firman Allah surat Shod: 26 yaitu :

#${F‘öÚÇ ûÎ’ zy=΋ÿxpZ _yèy=ùYo»7y )ÎR¯$ ƒt» ‰ y#r㼊ß

( ۲۶ : ‫ ) ص‬Ÿ /Î$$:øtp,dÈ #$9Z¨$¨Ä /tü÷ût ùs$$n÷läL

Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di

muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan

adil .

Firman Allah surat An‐Nisa' ayat 49 :

( ۶۹ ‫َواَ ِن احْ ُك ْم ب ْيَنَهُ ْم بِ َما اَ ْن َز َل هلل (النساء‬

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut

apa yang diturunkan Allah.


Dari kedua dalil di atas jelaslah bahwa sebenarnya peradilan

merupakan kebutuhan yang telah ditetapkan dasar hukumnya melalui Al‐

Qur'an.

Dalam peradilan terdapat rukun‐rukun yang harus ditetapkan,

Menurut sebagian ahli fiqih rukun qadha dibagi menjadi lima bagian,

yaitu :

1. Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk

menyelesaikan dakwaan‐dakwaan, karena penguasa tidak

mampu melaksanakan sendiri semua tugas itu.

2. Hukum, yaitu suatu keputusan produk qadhi, untuk

menyelesaikan perselisihan dan memutuskan

persengketaan.

3. Al mahkum bih, yaitu hak. Kalau pada qadha ilzam, yaitu

penetapan qadhi atas tergugat, dengan memenuhi

penggugat apa yang menjadi haknya, sedang qadha'ut tarqi

(penolakan) penggugat yang berupa penolakan atas

gugatannya.

4. Al mahkum 'alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan

atasnya.

5. Al mahkum lah, yaitu penggugat suatu hak, yang

merupakan hak manusia semata‐mata.[5]

B. Peradilan Pertama di Dunia

Sebenarnya peradilan telah terjadi sejak adanya manusia di

dunia ini. Pada masa Nabi Adam pernah terjadi pertikaian antara kedua

anaknya yang bernama Khabil dan Kabil sementara Nabi Adam yang

penjadi hakim dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Hanya saja


bentuk peradilan pada masa itu belum dapat dikatakan peradilan,

karena manusia pada saat itu masih sangat sedikit sekali. Kemudian

pada masa itu belum dikenal yang namanya hakim dan tugas‐tugasnya

serta perundang‐undangannya.

Selanjutnya hakim pertama sekali yang disebut dalam sejarah

kemanusiaan adalah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Pada masa mereka

dijelaskan bahwa seorang hakim (qadha) harus mendengarkan pendapat

dari kedua belah pihak sebelum memutuskan perkara dan harus

memisahkan para saksi untuk mendengarkan pendapat meraka. Nabi

Daud dan Nabi Sulaiman masing‐masing diuji oleh Allah sebagai bukti

bahwa seorang qahdi tidak sembarang dipilih. [6].

Sebelum Allah memilih Daud menjadi hakim, Ia menguji dengan

menurunkan dua malaikat yang menyerupai manusia. Keduanya saling

berselisih dan meminta keadilan kepada Nabi Daud. Salah satunya

berkata saudara saya ini memiliki 99 ekor kambing betina dan saya

mempunyai seekor saja. Tapi ketamakannya menjadikan ia terkalahkan

oleh hawa nafsunya, lalu ia meminta satu‐satunya kambing yang saya

miliki. Tapi saya menolak permintaannya, dan saya jelaskan penolakan

penyerahan kambing yang saya miliki kepadanya. Saya jelaskan

kepadanya perbedaan antara kekayaan ia dan kemiskinan yang menimpa

saya. Namun rekayasanya lebih besar sehingga ia mengalahkan saya

dengan kehebatan debatnya sehingga menjadikan saya harus menerima

alasannya. Sungguh ia orang yang paling lancar bicaranya, paling kuat

debatnya dan paling kaya penjelasannya.

Nabi Daud melihat bahwa alasan yang dimiliki orang kedua akan

berdampak pada kezhaliman, maka Nabi Daud segera menetapkan


putusan dengan mengatakan "Sesungguhnya ia telah berbuat zhalim

kepadamu dengan meminta kanbingmu itu untuk ditambahkan kepada

kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan orang‐orang yang berserikat

itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada yang lainnya, kecuali orang

yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan amat sedikitlah mereka

ini.

Lalu orang yang kedua memandang kepada Nabi Daud dan

berkata,"ini keputusan yang zhalim, engkau tidak adil, bagaimana

engkau memutuskan persengketaan dengan hanya mendengar

satu pihak saja?" Kemudian Nabi Daud mengetahui bahwa Allah

sedang mengujinya. Maka ia minta ampun, bersungkur sujud dan

bertaubat. Kemudian ia merenung, merasa takut, dan gelisah

sehingga ia mengetahui kelengahan yang diperbuatnya, karena ia

hanya mendengar dari sepihak, Mengapa ia tergesa dalam

memberi keputusan? Kemudian ia bertanya siapa kedua orang

tadi? Kemudia ia tau bahwa keduanya malaikat yang diutus Allah

untuk menguji Nabi Daud. Lalu Nabi Daud bertaubat dan Allah

mengampuninya. Kemudian turunlah wahyu yang berbunyi "Hai

Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah di muka

bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia

dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia

akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.. Itulah peristiwanya

yang kemudian dijelaskan Allah dalam surat shat :17‐26

Sementara Nabi Sulaiman menyelesaikan perkara tanaman.

Awalnya perkara ini disampaikan pada Nabi Daud tentang dua

orang yang bersengketa.Orang pertama berkata wahai Nabi "


seseungguhnya saya memiliki tanaman yang sedang berbuah dan

telah dekat masa petiknya. Namun kambing‐kambing orang ini

memakan dan merusak tanaman saya tanpa dicegahnya. Maka

saya minta keadilan". Orang kedua berkata, "ya benar sya tak

memiliki sanggahan. Nabi Daud memutuskan agar pemilik

tanaman mengambil kambing sebagai ganti kerugian yang

dideritanya, dan balasan kecerobohan pemilik kambing.

Namun Sulaiman berkata dan memberi sanggahan atas

ayahnya dan ia memutuskan Engkau serahkan kambing kepada

pemilik ladang, sehingga ia dan keluarganya dapat memanfaatkan

susu kambing, bulu dan anaknya selama beberapa tahun.

Sedangkan pemilik kambing mengurus ladang dan mengembalikan

tanamannya dari baru. Hingga ketika tanaman kembali seperti

semula, kambing itupun dikembalikan kepada pemiliknya .

Dengan demikian tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang

diuntungkan. Kisahnya diterangkan dalam al‐Qur'an surat al‐

Anbiya' ayat 78‐79.

C. Peradilan Bagi Bangsa Romawi, Persi dan Mesir Kuno

Di atas telah dikatakan bahwa sejarah peradilan telah ada sejak

adanya manusia. Begitu juga pada bangsa‐bangsa yang telah berkembang

dimasa yang lalu, seperti peradilan bagi bangsa Romawi, Persi dan

bangsa Mesir kuno. Bangsa ini telah memiliki lembaga peradilan yang

terorganisir dengan memiliki undang‐undang atau peraturan‐peraturan

yang dilaksanakan oleh para qadhi. Bagi bangsa Israel dan bangsa Arab

sebelum Islam berpendapat, bahwa alat‐alat bukti dalam peradilan

adalah saksi, sumpah atau keadaan tertangkap basah. Bangsa Barat juga
menjelaskan bahwa peradilan di Barat telah mempunyai tekhnik

mengambil keputusan dan alat‐alat pembuktian.[7] Ini menunjukkan

bahwa sebenarnya peradilan pada masa ini telah ada walaupun masih

sederhana.

Hal yang menjadi perhatian bagi bangsa‐bangsa pada masa itu

dalam peradilan adalah tentang qadhi. Bagi mereka seorang qadhi harus

mempunyai kemampuan dan baik akhlaknya. Maka tidak akan diangkat

seseorang menjadi qadhi apabila ia tidak mempunyai kemampuan di

bidang ini. Selain itu diperhatikan pula tentang kecerdasannya,

kecerdikannya, keluasan ilmunya, ketenangan hatinya, kebersihan

jiwanya dan keluhuran budinya.

Selain itu seorang qadhi harus diliputi situasi yang dapat

menjamin kebebasan dirinya dalam melaksanakan tugasnya yang suci.

Semakin tinggi kemajuan bangsa, maka semakin besar pula jaminanjaminan

tersebut dapat diperoleh oleh para qadhi. Maka sangat jelas

bahwa sejak dulu qadhi memiliki peran yang sangat penting dalam

memutuskan suatu perkara.

D. Kondisi Bangsa Arab Sebelum Islam

Sebelum membahas lebih jauh tentang peradilan di zaman

Jahiliyah maka sebelumnya akan dibahas kondisi bangsa Arab karena

bangsa Jahiliyah termasuk bagian dari bangsa Arab.

Secara geografis, Negara Arab digambarkan seperti empat

persegi panjang yang berakhir di Asia Selatan. Negara Arab dikelilingi

berbagai negara; sebelah utara oleh Syria, sebelah timur oleh Nejd,

sebelah barat oleh Yaman, dan sebelah selatan oleh Laut Erit.[8] Karena

letak geografisnya sangat strategis maka kehidupan perekonomian


mereka berjalan dengan lancar, dimana bangsa Arab dikenal sebagai

pedagang yang berpengalaman di wilayah sekitarnya, terutama bagi

orang Arab yang hidup di kota. Sedang di bagian pertanian bangsa Arab

dikenal dalam pertanian dan peternakan, terutama bagi orang‐orang

desa. Selain itu kehidupan mereka sering berpindah‐pindah dari satu

tempat ketempat lain. Karena sebagian besar wilayah Arab dikelilingi

oleh gurun pasir yang sangat luas, maka sangat mempengaruhi dalam

cara hidup dan cara berfikir bagi orang‐orang yang tinggal di tempat itu.

Hidup mereka penuh dengan kekerasan dan kezhaliman karena ditempa

oleh alam yang sangat gersang.

Walaupun demikian, dapat digambarkan secara singkat tatanan

kehidupan bangsa Arab pra Islam adalah sebagai berikut :

1. Menganut faham kesukuan (qabilah)

2. Memiliki tata sosial politik yang tertutup dengan partisipasi

warga yang terbatas, faktor keturunan lebih penting

daripada kemampuan.

3. mengenal hirarki sosial yang kuat.

4. Kedudukan perempuan cenderung direndahkan.[9]

Namun kondisi sosial bangsa Arab pada masa itu tidak

menyenangkan dan menganut hukum rimba.[10] Kenyamanan hidup

tidak ada, sehingga sering pula dikatakan masa itu adalah masa

kegelapan. Dimana kezaliman, perpecahan suku, penindasan, hidup

berpoya‐poya dalam gemerlap dunia bagi orang kaya dan hidup

menderita bagi orang miskin, kebodohan dan buta huruf dimana‐mana

serta segudang permasalahan lainnya.

Dalam bidang hukum bangsa Arab pra Islam menjadikan adat


sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. Dalam perkawinan saja ada

beberapa macam bentuk seperti : Istibdha, poliandri, maqthu', badal

dan shighar.[11] Meskipun demikian masih ada sebagian kecil bangsa

Arab yang mempertahankan aqidahnya dengan mengikuti ajaran

Ibrahim. Mereka disebut al‐hunafa. Diantara mereka adalah 'Umar ibn

Nufail dan Zuhair ibn Abi Salma.[12] Dalam bidang muamalah kebiasaan

mereka adalah dibolehkannya transaksi mubadalah ( barter), jual beli,

kerja sama pertanian (muzaro'ah) dan riba.[13]

E. Sejarah Peradilan Zaman Jahiliyah

Kata jahiliyah berasal dari bahasa Arab "jahila" yang berarti

kebodohan. Menurut istilah berarti penyembahan berhala (wasaniyah) di

Semenanjung Arabia pra Islam. Istilah jahiliyah menggambarkan masa

kebodohan atau masa kegelapan ketika itu bangsa Arab tidak memiliki

aturan hukum, nabi dan kitab suci. Harga diri wanita disia‐siakan,

bahkan wanita dianggap seperti layaknya binatang. Hak waris dan hak

kepemilikan bagi wanita ditiadakan. Bahkan bersama‐sama dengan harta

wanita ikut dibagikan pada ahli waris seolah‐olah wanita adalah benda

yang sangat hina.

Masa Jahiliyah memiliki qurun waktu yang panjang yang dibagi

menjadi tiga priode.[14]

Bagi masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah pra Islam dapat

dikatakan belum memiliki bentuk maupun system peradilan yang mapan.

Mereka juga tidak mempunyai sulthah tasyri'iyah (badan legislatif) yang

menyusun dan membuat undang‐undang atau hukum tertentu

semacamnya yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan

berbagai persoalan dan persengketaan yang sering terjadi di antara


mereka. Karena pada saat itu di jazirah Arab sama sekali tidak terdapat

satu kesatuan sosiologis (bangsa) maupun kesatuan politik (negara)

secara nyata. Namun mereka telah memiliki gadhi untuk menyelesaikan

sengketa di antara mereka.

Mereka pada umumnya berpegang pada tradisi (kebiasaan) dan

adat istiadat yang berlaku di masing‐masing kabilah (suku) untuk menjadi

pedoman utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Kepalakepala

kabilah memutuskan hukum antara anggota kabilah. Adat‐adat

kebiasaan itu diambil dari pengalaman atau dari kepercayaan atau dari

bangsa‐bangsa yang berdiam di sekitar mereka, seperti bangsa Romawi,

Persia, atau dari orang‐orang yang berdiam bersama‐sama di daerah

tersebut yaitu orang‐orang Yahudi dan Nasrani.

Hukum balas dendam (al‐akhdzu bi al‐tsa'ri) yang biasa dilakukan

oleh suku‐suku Arab pra Islam dan menjadi jalan keluar dari kasus‐kasus

pidana, terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada

kenyataannya justru sering kali menyebabkan semakin runcingnya

sebuah persoalan dan berkepanjangannya suatu kasus. Hal ini diperkuat

dengan adanya realita bahwa pada masa itu masing‐masing suku

memiliki kecenderungan fanatisme dan solidaritas internal yang sangat

kuat terhadap anggota‐anggota suku, terutama jika datang dari

kalangan bangsawan mereka. [15]

Dalam peradilan Jahiliyah istilah yang mereka pakai dalam

menyebut qadha adalah hukumah, sedangkan qadhi mereka sebut

hakam.[16] Setiap kabilah memiliki hakam sendiri dan hukuman (badan

peradilan) bagi mereka tidak ada yang berdiri sendiri kecuali bagi suku

Quraisy.
Dalam menyelenggarakan peradilan tempat‐tempat yang dipakai

untuk memutuskan perkara, sidang‐sidangnya dapat dilakukan dimana

saja. Seperti dilakukan di bawah pepohonan atau kemah‐kemah yang

didirikan.[17] Peradilan juga pernah dilakukan di pasar kota tempat

pengadilan bagi hakim pasar. Amir ibn Zharib duduk untuk memutuskan

hokum di depan rumahnya.[18] Sampai akhirnya mereka membangun

rumah‐rumah atau bangunan‐bangunan yang khusus untuk pengadilan.

Di antara bangunan‐bangunan pengadilan yang termasyhur ialah

Darun Nadwah yang berda di Mekah, dan bangunan itulah yang pertama

kali didirikan di sana. Bangunan ini dibangun oleh Qushay bin Ka'ab dan

pintunya dihadapkan mengarah ke Ka'bah. Pada permulaan Islam

bangunan itu menjadi tempat tinggalnya para Khalifah dan amir‐amir di

waktu musim haji. Pada pertengahan abad ke III Hijriyah setelah

bangunan itu roboh dan goyang, maka Khalifah Mu'tadlid al‐Abbasy (281

H) memerintahkan agar bangunan tersebut dihancurkan sama sekali dan

memasukkannya ke dalam batas Al‐Masjidil Haram.[19]

F. Macam‐macam Peradilan di Masa Jahiliyah

Penyelenggaraan peradilan pada zaman Jahiliyah ada beberapa

macam bentuk, antara lain :

1. Badan Hukum (Lembaga Kehakiman)

Badan hukum ini dipegang oleh Banu Saham, yaitu satu golongan

di antara golongan‐golongan quraisy. Bila ada persengketaan pada orangorang

Quraisy mereka datang ke Mekah mengadukan perkaranya kepada

Banu Saham. Di antara orang‐orang yang memegang peradilan di masa

Jahiliyah ialah : Hasyim bin 'Abdu Manaf, Abu Lahab dan Aktsam ibn

Shaifi.
2. Badan Ihtikan dan Qur'ah (Paranormal dan Undian)

Dalam suatu kondisi kaum Jahiliyah terbiasa menyelesaikan kasus

ataupun masalah mereka dengan mendatangi paranormal (Ihtikan), para

dukun (Kahin) dan tukang ramal ('arraf) yang diyakini masyarakat Arab

waktu itu memiliki kelebihan pengetahuan prihal rahasia‐rahasia gaib

baik melalui ketajaman firasat atau melalui hubungan dan kongsi

dengan para jin. Paranormal dianggap mempunyai hubungan dengan

makhluk halus dan mengetahui sesuatu rahasia dengan perantaraan

firasat‐firasat atau karinah‐karinah dari suara dan gerak gerik orang

yang berbicara. Selain itu mereka juga memutuskan perkara dengan

qur'ah atau undian.

Diantara dukun yang terkenal saat itu adalah Rabi' ibn Rabi'ah

ibn al‐Dzi'ib atau yang lebih dikenal sebagai Satih al‐Kahin. Satih al‐Kahin

pernah menjadi arbitrator antara `Abd al‐Muţallib ibn Hāshim yang

memiliki kedudukan sangat terpandang saat itu, dengan sekolompok

orang dari suku Qays `Aylān mengenai persengketaan mereka terhadap

sebuah sumber air di wilayah Ţāif.[20]

3. Dewan Mazhalim

Dewan mazalim adalah para arbitrator yang dikenal bijak dalam

menyelesaikan persengketaan. Dewan ini ditiru bangsa Arab dari bangsa

Persia. Di antara tokoh sejarah Arab pra Islam yang dikenal sebagai

arbitrator dalam dewan mazhalim adalah : 'Abdul Muthalib, Zuhayr ibn

Abu Salma, Aktsam ibn Sayfi, Hajib ibn Zirarah, Qus ibn Sa'idah al‐Iyadi,

'Amir ibn al‐Dharib al‐'Udwain serta Ummayah ibn Abu Salt. Dari

kalangan perempuan terdapat juga nama 'Amrah binti Zurayb. Bahkan

Nabi Muhammad SAW sendiri sebelum masa kerasulannya pada zaman


Jahiliyah pernah diminta untuk menjadi arbitrator oleh kaum quraisy

ketika berselisih dalam menentukan siapa yang lebih berhak dalam

meletakkan hajar aswad pada saat penyelesaian akhir pembangunan

Ka'bah.

Akan tetapi keberadaan dan keputusan para arbitrator

masyarakat Arab pra Islam ini bersifat subjektif. Keputusannya pun

tidak sepenuhnya mengikat karena mereka sendiri tidak mempunyai

peraturan untuk mengeksekusi keputusan‐keputusan mereka. Orang yang

bersengketa tidak diharuskan untuk datang kepada para arbitrator

ketika menemui perselisihan, dan tidak pula harus tunduk menerima

keputusan mereka.

Suatu hari timbul sebuah persengketaan antara 'Ash ibn Wail

dengan seorang lelaki dari penduduk Zahid, suatu daerah di tanah

Yaman. Pada suatu hari 'Ash membeli suatu benda dengan cara kredit,

kemudian ia menunda‐nunda pembayarannya. Orang Zahid jadi tidak

sabar, maka diapun meneriakkan dengan suara nyaring bahwa 'Ash telah

menganiayanya. Hal itu dilakukan di dekat Ka'bah di hadapan tokohtokoh

Quraisy. Namun para tokoh Quraisy tidak ada yang menolongnya.

Karena alasan tersebut di atas, arbitrasi yang dilakukan pada

masa itu tidak bisa disebut sebagai proses hukum yang tertata rapi

dalam mengatasi persengketaan yang terjadi. Akhirnya kaum Quraisy

memiliki ide untuk membentuk sebuah mekanisme penyelesaian masalah

yang disebut dengan hilf al‐fudhul. Kesepakatan ini dibuat di rumh

'Abdullah ibn Jad'an.Mereka bersumpah untuk menolong orang‐orang

teraniaya. Kesepakatan ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah

perlakuan tidak adil dan tindak aniaya kepada siapapun baik orang
merdeka maupun hamba sahaya, warga setempat maupun orang asing

serta melindungi hak‐hak yang terampas. [21]Saat usia Rasulullah 35

tahun dan sebelum kerasulannya, Nabi Muhammad ikut hadir di rumah

'Abdullah ibn Jad'an ketika kesepakatan hilf al‐fudhul tersebut dibentuk.

Sebelum dibentuknya kesepakatan hilf al‐fudhul ini sebenarnya

telah ada upaya upaya lain yang dilakukan oleh masyarakat Arab

Jahiliyah di Mekah, khususnya untuk menciptakan sebuah mekanisme

penyelesaian persengketaan dan perlindungan terhadap hak‐hak warga

yang teraniaya dengan lebih terukur dan teratur. Dalam upaya ini suku

Quraisy pernah memilih beberapa tokoh mereka sebagai hakim

(arbitrator), misalnya dengan menunjuk beberapa tokoh Bani Sahm

untuk menyelesaikan permasalahan internal suku Quraisy atau

menugaskan tokoh‐tokoh dari Bani 'Adiy dalam perselisihan yang

melibatkan Quraisy dengan suku‐suku di luar mereka.

Dari penjelasan di atas sebenarnya peradilan zaman Jahiliyah

telah ada walaupun masih bersifat kesukuan artinya peraturan itu hanya

berlaku bagi suku itu sendiri. Sementara bagi suku yang lain tidak.

Akhirnya nyatalah bahwasanya peradilan di zaman Jahiliyah masih

minim karena belum memiliki system peradilan yang mapan.

Analisa Pembahasan

Sebuah peradilan tidak terlepas dari ruang lingkup yang ada di

dalamnya yaitu adanya hakim, hukum, masalah, orang yang menggugat,

orang yang digugat. Kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tak

terpisahkan. Selanjutnya berkembang dengan harus adanya saksi dalam

suatu permasalahan atau perkara.

Sementara pada masa jahiliyah seorang hakim diangkat dari


orang pilihan diantara mereka yang ditentukan oleh kekuasaan, bahkan

pemilihan hakim adalah atas kesepakatan dua orang yang bersengketa

dengan memilih siapa yang dijadikan hakim. Selain itu mereka bisa

menjadikan seorang hakim dari para kahin ataupun peramal. Melihat hal

ini, jelas bahwa peradilan di masa Jahiliyah masih bersifat kesukuan dan

sangat sederhana sekali.

Namun pada akhir‐akhir datangnya Islam yang dapat dijadikan

hakim adalah orang‐orang yang dianggap memiliki kecerdasan dan

kepribadian yang dianggap mereka baik. Pada masa Jahiliyah Rasullah,

Abu Bakar, dan Umar bin Khattab pernah menjadi hakim. [22]

Posisi seorang hakim dipandang sebagai orang yang memiliki

keistimewaan, jika ia seorang tokoh atau kepala suku, maka

kepemimpinannya karena ia memiliki sifat‐sifat yang istimewa. Jika dia

dukun dia merupakan tokoh agama yang tak diragukan. Jadi hakim harus

memiliki sifat yang luhur dan bermoral serta jiwanya

Hal yang serupa juga dilaksanakan pada masa sekarang, dimana

seorang hakim yang diangkat harus memiliki pengetahuan, kecerdasan

serta kepribadian yang luhur, selain itu harus lulus tes yang ditentukan

oleh undang‐undang kehakiman.

Adapun sumber‐sumber hukum pada masa Jahiliyah tidak

memiliki undang‐undang yang dibukukan, hukum yang tertulis. Tetapi

mereka merujuk pada tradisi, pengalaman dan firasat mereka dalam

segala perkara. Adapun hukum yang mereka buat adalah hukum alami

yang dikeluarkan hakim sesuai tradisi setempat. Seperti hukum potong

tangan bagi pencuri, tidak menjadi hukum umum yang berlaku bagi

semua suku. Keputusan hukum tergantung dari tiap‐tiap tradisi suku,


bukan Al‐Qur'an.

Jelaslah bahwa peradilan pada masa Jahiliyah masih bersifat

kesukuan dan qadhinya juga diangkat secara aturan kesukuan yang

berlaku.

KESIMPULAN

1. Peradilan atau qadha memiliki beberapa arti antara lain

alfaraagh, qadha, dan al‐hukmu. Menurut bahasa artinya

orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya,

Dasar hokum peradilan bersumber dari Al‐Qur'an as‐shod

26 dan An‐Nisa 49

2. Rukun‐rukun peradilan adalah hakim, hokum, hak, almahkum

bih, al‐mahkum 'alaihi dan al‐mahkum lah.

3. Peradilan telah ada sejak adanya manusia. Hakim yang

pertama dalam sejarah kehidupan adalah Nabi Daud dan

Nabi Sulaiman.

4. Peradilan pada zaman Jahiliyah belum memiliki system

peradilan yang mapan, belum memiliki badan legislative

yang menyusun dan membuat undang‐undang hukum,

masih bersifat kesukuan, berpegang pada tradisi atau

kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di masing‐masing

kabilah.

5. Seorang hakim yang diangkat harus memiliki keistimewaan

tertentu, baik dari segi jabatan, kecerdasan dan

kepribadian.

6. Tempat menyelenggarakan peradilan adalah dibawah

pepohonan, di kemah‐kemah atau pasar. Tempat


pengadilan yang termasyhur pada masa Jahiliyah adalah

Darun Nadwah.

7. Penyelenggaraan peradilan pada zaman Jahiliyah antara

lain adanya badan hokum (lembaga kehakiman), adanya

badan ikhtikan dan qur'ah, dewan mazhalim dan adanya

tahkim

LITERATUR

'Amru Khalid, Belajar Hidup Dari Hidup Rasulullah, Jakarta :

Maghfirah Pustaka, 2007 cet 2

Azzumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam jilid III, Jakarta : Ichtiar

Baru Van Houve, 2005

Departemen Agama, Al‐Qur'an dan Terjemahnya, Semarang :

Toha Putera, 1989

Dedi Supriadi, Sejarah Hukum Islam, Bandung : Pustaka Setia,

2007

Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung

: Remaja Rosdakarya, 2000

Khairudin bin Mahmud, Azzikri al‐A'lam, Beirut : Darul 'Ilm li al‐

Malayin, cet 15 2002, vol III

M. Salam Madkur, alih bahasa Imron A.M, Alqadha fil Islam (

Peradilan Dalam Islam), Surabaya: Bina Ilmu, 1993

Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Shalihan Zamakhsyari, Sistem

Pemerintahan , Peradilan dan Adat dalam Islam, Jakarta: Khalifa, 2004

T.M. Hasbi Ash –Shiddiqi, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta : Bulan

Bintang, 1970

T.M. Hasbi Ash‐Shiddiqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam,


Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997

[1] . Departemen Agama, Al‐Qur'an dan Terjemahnya,

(Semarang: Thoha Putra,1989),

hal 673

[2] . Ibid, hal 933

[3] . M. Salam Madkur,Alih bahasa Imron A.M, Al Qohdo fil Islam,

(Darun Nahdhah 'Arabiyyah) hal 17‐ 18

[4] . T.M. Hasbi Assiddiqi, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta :

Bulan Bintang, 1970), hal 7.

[5] . M. Salam Madkur, Op.cit, hal 29 dan 30

[6] .Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Shalihan Zamakhsyari, Sistem

Pemerintahan , Peradilan dan Adat dalam Islam,( Jakarta: Khalifa, 2004), hal

285‐291

[7] .Ibid, hal 32

[8] . Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung : Pustaka

Setia, 2007), hal 43

[9] .Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal 19

[10] . Arti hukum rimba adalah siapa yang kuat ia yang berkuasa,

yang kuat memakan yang lemah, suku‐suku saling berperang, perampok

jalanan ada dimana‐mana. Mereka merampas apa saja termasuk anakanak

ikut dirampas kemudian dijual ke pasar. Sementara wanita yang

semestinya merdeka dijadikan budak serta dirampas kebebasan dan

harga dirinya.

10/10/2016 tanjung bunga: PERADILAN PADA MASA JAHILIYAH Oleh : Zakiyatul Himmiliyah

http://medankahe.blogspot.co.id/2011/06/peradilanpadamasajahiliyaholeh.
html 14/16

Saat itu para kabilah tidak bisa hidup tanpa adanya

peperanagn dan pertentangan. Apabila tidak ada kabilah yang dijadikan

musuh, maka peperangan akan terjadi di keluarga sendiri, meski hanya

permasalahan kecil antara sepupu melawan sepupu. Akhirnya baik anak

maupun orang tua akan binasa. Lihat : 'Amru Khalid, Belajar hidup dari

hidup Rasulullah,(Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2007, cet 2), hal 46

[11] . Istibdla yaitu seorang suami meminta pada istrinya supaya

berjimak dengan lelaki yang dipandang mulia atau memiliki kelebihan

tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan. Selama istri bergaul

dengan lelaki tersebut, suami menahan diri dengan tidak berjimak

dengan istrinya sebelum terbukti istrinya hamil.

Poliaandri yaitu beberapa lelaki berjimak dengan seorang

perempuan.

Magthu' yaitu seorang laki‐laki menikahi ibu tirinya setelah

bapaknya meninggal dunia.

Badal yaitu tukar menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu

dengan tujuan untuk memuaskan seks dan terhindar dari kebosanan.

Shighar yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara

perempuannya kepada seorang laki‐laki tanpa mahar. Untuk lebih

lengkapnya lihat Jaih Mubarok hal 20‐21.

[12] . Ibid, hal 20

[13] . Ibid, hal 21

[14] . Sejarah bangsa Arab memiliki tiga priode yaitu :

1. Priode Saba dan Himyar. Priode ini terbatas pada sejarah Yaman

dan Arab Selatan dan tidak banyak diketahui kecuali melalui


beberapa tulisan kuno, di samping informasi lain yang diperoleh

dari Al‐Qur'an dan tradisi yang masih terpelihara dan berkembang

seperti sya'ir pra Islam dan literature Islam yang datang

kemudian.

2. Priode pra Islam. Priode ini disebut zaman Jahiliyah dan abad

kebodohan. Ciri‐ciri ini masih tercermin dalam lagu atau sya'ir

pra Islam. Pada saat itu tidak erdapat literature dalam bentuk

prosa kecuali sya'ir tertentu yang menggambarkan sejarah, nasab

dan ucapan selamat atas kepahlawanandan sanjungan atas

kebaikan suku bangsa Arab.

3. Priode Islam. Merupakan masa penting dalam sejarah bangsa

Arab di bawah kekuasaan Islam. Azyumardi Azra, dkk,

Ensiklopedi Islam jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve,

2005), hal 271

[15] . Sebagin ulama menyebutkan bahwa hukum yang dikeluarkan

pada masa Jahiliyah tidak sampai pada kita melainkan sedikit

diantaranya :

1. Umar bin Khattab memutuskan pada masa Jahiliyah bahwa

orang yang merdeka ditebus dengan dua hamba sahaya.

2. Ya'mar bin Auf disebut "pembatal" karena ia membatalkan

pertumpahan darah antara dua suku Arab Quraisy dan Khuza'ah.

Suku Quraisy memerangi suku Khuza'ah dan menginginkan

mengusir mereka dari Mekah, lalu kedua kelompok itu setuju

dengan putusan Ya'mar. Maka ia memutuskan di antara mereka

dengan mempersamakan darah dan suku Khuza'ah tidak diusir

dari Mekah.
3. Amir bin Jusyam mewariskan hartanya kepada anak‐anaknya,

bahwa anak laki‐laki mendapat dua bagian anak perempuan.

Padahal bangsa Arab ketika itu sepakat untuk memberikan

warisan hanya kepada anak laki‐laki, bukan bagi anak

perempuan. Sehingga keputusan Amir tersebut sesuai dengan

hukum Islam yang datang kemudian

4. Dzarib bin Haut hath‐Thayyi juga pernah memutuskan tentang

masalah orang waria pada masa Jahiliyah seperti yang

10/10/2016 tanjung bunga: PERADILAN PADA MASA JAHILIYAH Oleh : Zakiyatul Himmiliyah

http://medankahe.blogspot.co.id/2011/06/peradilanpadamasajahiliyaholeh.

html 15/16

Posting Lebih Baru Beranda Posting Lama

Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Diposkan oleh matahatiku di 19.55

ditetapkan oleh Amir bin Zharib. (lihat Samir Aliyah hal 295

‐297).

[16] . M. Salam Madkur, Op.cit, hal 33

[17] . T.M. Hasbi Ash‐Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara

Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hal 6

[18] . Samir Aliyah ,alih Bahasa Asmuni Shalihan Zamakhsyari,

Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat Dalam Islam, (Jakarta :

Khalifa, 2004), hal 295

[19] . Ibid, hal 6

[20] . Khairuddin bin Mahmud, Azzikri Al‐A’lām, (Beirut :Dār al‐‘Ilm li

al‐Malayin, Cet. 15, Mei 2002, Vol. III, hlm. 14

[21] . T.M. Hasbi Ash‐Shiddieqy Op.cit, hal 5


[22] . Disebutkan dalam sebuah riwayat, Umar bin Khattab

pernah menjadi hakim. Ia memutuskan mengenai tawanan yang terdiri

dari bangsa Arab dan bangsa lainnya sebelum kedatangan Islam. Umar

memutuskan bahwa orang yang mengetahui seseorang dari keluarganya

ditawan di salah satu suku Arab, maka tawanan yang berasal dari orang

merdeka tersebut dapat ditebus dengan dua orang hamba sahaya..

Abu Bakar pernah dipercayakan untuk memberikan keputusan

mengenai diyat dan denda yang diserahkan pada keluarga korban.

Rasulullah pernah menjadi hakim dalam masalah hajarol Aswad. (Samir

Anda mungkin juga menyukai