Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS YURISPRUDENSI PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

(Studi kasus putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor 266K/AG/2010)


Oleh: M. Yasir Nasution

A. Pendahuluan
Pernikahan dalam pandangan islam merupakan hal yang
sakral. Pernikahan dibangun dengan dasar yang mulia. Ada sebuah
cita-cita indah bersama dari kedua belah pihak yang akan diwujudkan
untuk masa depan. Jadi pada dasarnya suatu perkawinan itu
hendaknya berlangsung seumur hidup, 1 artinya seorang muslim dapat
membangun rumah tangganya agar diusahakan untuk tidak berakhir
dengan perceraian. Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 19:












19. Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan
keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak. 2
Memang perkawinan akan menjadi mimpi indah nan
menenangkan jiwa, jika masing-masing pasangan menjunjung
toleransi, memahami watak pasangan dan berusaha menerima apa

1 Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:


perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang suami-istri d tujuan un membentuk
keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Defenisi ini menginginkan pernikahan itu berlangsung untuk selamanya.
2 Departemen Agama R.I., Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: Jumanatul
Ali, 2004) h. 81.
adanya watak tersebut,3 serta didasari dengan kasih sayang yang
murni sehingga hal tersebut dapat berpengaruh bagi perkembangan
anak dan kehidupan selanjuntya. 4 Sebagaimana dalam al-Quran
surat al-Ruum ayat 21:







21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. 5
Islam menganjurkan rumah tangga itu langgeng dengan
kehidupan yang sakinah (tenang). Namun kenyataannya kehidupan
rumah tangga tidak senantiasa sesuai dengan apa yang diinginkan
oleh masing-masing pihak (suami atau istri). Oleh karena itu islam
memberikan jalan keluar ketika tali pernikahan mulai menunjukkan
keretakan, manakala ikatan cinta kasih sebagai pondasi penting
dalam perkawinan itu sudah terurai dan tidak bisa dipertahankan lagi,
maka perceraian adalah jalan yang kerap diambil suami atau istri
untuk menyelesaikan permasalahannya.
Jika perceraian itu terjadi maka akibat hukumnya antara lain
adalah adanya akibat hukum terhadap harta yang diperoleh oleh
suami atau istri baik secara bersama-sama, maupun secara sendiri-
sendiri selama perkawinan (harta bersama). Tak jarang permasalahan
ini menjadi semakin rumit karena dibumbui dengan pengetahuan fiqh
yang fundamentalis dari orang-orang yang mengkalim dirinya
mengerti agama, sehingga pengetahuan mereka tersebut berbenturan
dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

3 Ahmad Bahjat, Hakikat Cinta Menuju Rumah Tangga Ideal, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001), h. 15.
4 Hasan Basri, Keluarga Sakinah, Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995), h. 87.
5 Departemen Agma R.I, Ibid. h. 407.

2
Disisi lain ada juga yang mempertanyakan keadilan hukum
positif tersebut karena dianggap kurang memenuhi rasa keadilan jika
harus diberlakukan seperti yang telah dimuat dalam hukum positif.
Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentng perkawinan pasal
dan Kompilasi hukum islam Tahun 1991 disimpulkan bahwa suami
atau istri berhak mendapat setengah dari harta yang di peroleh
selama masa perkawinan tanpa mengecualikan siapa yang
mengusahakan harta tersebut sehingga menjadi aset dari kedua belah
pihak.
Rasa keadilan yang pada kasus-kasus tertentu tidak
terakomodir dalam aturan perundang-undangan di atas telah
menimbulkan banyak kasus yang sampai ke pengadilan agama,
dimana para pihak ada yang keberatan jika pembagian harta yang
diperoleh selama perkawinan mereka dibagi sama besar antara
mantan suami dan mantan istri. Salah satu kasus yang menarik untuk
diteliti adalah kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Bantul dengan
register nomor: 229/Pdt.G/2009/PA.Btl. dan dalam perkara banding
nomor: 34/Pdt.G/2009/PTA.Yk. serta kasasi nomor: 266K/AG/2010.
Kasus ini adalah kumulasi gugatan perceraian, hak asuh anak,
gugatan nafkah, dan gugatan harta bersama.
Penulis akan meneliti kasus ini dari segi pertimbangan hakim
mengambil keputusan menyimpangi apa yang telah diatur dalam
peraturan erundang-undangan yang mengatur bahagian suami-istri
dari harta bersama. Penelitian ini dimulai dengan pendahuluan, duduk
perkara, analisis perundang-undangan, dan analisis putusan, serta
penutup.
B. Duduk Perkara6
Ny. Tri Hastuti Nur Rochimah S.Sos., M.Si. binti Sapari
Hadiwijono, Amd.Pd. (selanjutnya disebut Penggugat) menikah
dengan Drs. Sutrisno Baskoro bin Wiryo Pawiro Sunartun, pada
tanggal 8 April 1995.

6 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

3
Setelah menikah Penggugat dengan Tergugat tinggal bersama
di rumah orang tua Tergugat selama satu tahun, kemudian tahun 1996
Penggugat dengan Tergugat pindah ke rumah orang tua Penggugat
supaya pengasuhan anak Penggugat dengan Tergugat bisa dibantu
orang tua Penggugat ketika Penggugat dengan Tergugat masih
bekerja.
Dari perkawinan Penggugat dengan Tergugat telah memiliki
dua orang anak satu laki-laki berumur 13 tahun, dan satu lagi
perempuan berumur 10 tahun.
Pada tahun 1998 (memasuki usia perkawinan yang ke 13
tahun) percekcokan sering terjadi meskipun sebelumnya juga sudah
sering terjadi yang diakibatkan Tergugat bersifat egois, semaunya
sendiri dan pemalas (apabila diingatkan Penggugat, Tergugat menjadi
marah dan terjadilah percekcokan), namun tahun di akhir 1998
Penggugat dapat tugas belajar di Jakarta (Universitas Indonesia)
percekcokan hebat menjadi sering terjadi. Tergugat sering marah
tanpa diketahui penyebabnya, dan dalam kondisi seperti ini anak-anak
Penggugat dengan Tergugat menjadi sasaran kemarahan Tergugat.
Pekerjaan Penggugat sebagai dosen dan mempunyai
pekerjaan sambilan sebagai konsulta peneliti di Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengharuskan Penggugat untuk
pergi ke luar kota dan sebelum berangkat biasanya Penggugat selalu
meminta pertimbangan Tergugat. Penggugat bekerja untuk mencukupi
kebutuhan keluarga. Meski Tergugat sebenarnya juga bekerja di salah
satu kantor LSM di Kota Solo, namun Penggugat tidak pernah
mengetahui penghasilan Tergugat dan digunakan untuk apa.
Pada bulan juli 2007, para pihak pindah ke Sleman, sejak itu
Penggugat dengan Tergugat tinggal di Sleman sampai pada tanggal 6
November 2007 terjadi pertngkaran hebat dimana Tergugat berusaha
memukul Penggugat dengan menggunakan linggis dan saat itu
Tergugat juga mengusir Penggugat, anak Penggugat dengan Tergugat
dan juga pembantu rumah tangga. Demi keamanan Penggugat dan

4
anak Penggugat dengan Tergugat akhirnya memutuskan
meninggalkan rumah pada tanggal 9 November 2007 ke Bantul. Sejak
saat itu antara Penggugat dengan Tergugat telah pisah rumah sampai
gugatan ini diajukan di Pengadilan Agama Bantul.
Selama perkawinan Penggugat dengan Tergugat, para pihak
telah memiliki harta bersama baik yang berupa benda tetap maupun
benda bergerak yaitu:
1. Dua persil tanah pertanian, SHM atas nama Penggugat.
2. Satu persil tanah pertapakan rumah, SHM atas nama
Penggugat.
3. Tanah dan rumah di atasnya, SHM, atas nama Penggugat.
4. Sebuah mobil Kijang atas nama Penggugat.
5. Sebuah sepeda motor (Legenda) atas nama Penggugat.
6. Sebuah sepeda motor (supra fit) atas nama Tergugat.
7. Perabotan rumah.
Sejak Penggugat keluar dari rumah kediaman bersama,
Tergugat telah menguasai secara sepihak harta bersama Penggugat
dengan Tergugat, demikian juga hasil dari tanah pertanian Penggugat
dengan Tergugat.
Padamulanya Penggugat masih bersbar, namun karena tidak
ada niat baik dari Tergugat untuk kembali membina rumah tangga
yang baik, maka Penggugat mengambil langkah untuk mengajukan
perceraian ke Pengadilan Agama Bantul sebagai jalan keluar dari
permasalahan yang Penggugat dengan Tergugat hadapi.
Dalam tuntutannya di Pengadilan Agama Bantul Penggugat
menuntut:
1. Menceraikan Penggugat dari Tergugat dengan cerai talak
satu khuli.
2. Nafkah masa lampau selama 132 bulan (sejak tahun 1997)
Tergugat tidak pernah memberi nafkah (biaya hidup,
pendidikan, kesehatan, dan transportasi) kepada Penggugat
dan anak-anak Penggugat dengan Tergugat. Setiap
bulannya Penggugat meminta sebesar Rp2.000.000,00 (dua
juta rupiah) sehingga total selama 132 bulan sebesar

5
Rp264.000.000,00 (dua ratus enam puluh empat juta
rupiah).
3. Nafkah dua orang anak sampai dewasa dan mandiri (biaya
hidup, pendidikan formal, pendidikan non formal, kesehatan,
transportasi) sebesar Rp5.500.000,00 (lima juta lima ratus
ribu rupiah) setiap bulan.
4. Hak asuh atas dua orang anak Penggugat dengan Tergugat.
5. Harta bersama seluruhnya diserahkan untuk jaminan
kehidupan anak-anak.
Terhadap tuntutan Penggugat tersebut di atas, Pengadilan
Agama Bantul telah menjatuhkan putusan dengan mengabulkan
gugatan Penggugat sebahagian dan menolak selebihnya.
Gugatan Penggugat yang dapat dikabulkan oleh Pengadilan
Agama Bantul adalah sebagai berikut:
1. Menjatuhkan talak satu bain sughra dari Tergugat kepada
Penggugat.
2. Mentapkan satu orang anak Penggugat dengan Tergugat
yang masih di bawah 12 tahun berada dalam pengasuhan
Penggugat.
3. Menghukum Tergugat untuk memberi nafkah anak yang
berada dalam pengasuhan Penggugat sebesar
Rp2.750.000,00 (dua juta tujuh ratus lima pulu ribu rupiah)
setiap bulan dan diserahkan kepada Penggugat.
4. Mentapkan selurh harta yang masuk dalam gugatan
Penggugat sebagai harta bersama antara Penggugat
dengan Tergugat.
5. Menetapkan bagian dari harta bersama tersebut
merupakan bagian Penggugat dan bagian merupakan
bagiannya Tergugat.
Atas putusan Pengadilan Agama Bantul tersebut Tergugat
mengajukan keberatan dengan menempuh upaya hukum (banding) ke
Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta dengan register perkara
banding nomor 34/Pdt.G/2009/PTA.Yk. tanggal 19 November 2009.
Dalam putusannya Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta membatlkan
putusan Pengadilan Agama Bantul dan selanjutnya mengadili sendiri:

6
1. Mengabulkan gugtan Penggugat / Terbanding untuk
sebagian.
2. Menetapkan jatuh talak satu bain sughra dari Tergugat
kepada Penggugat.
3. Menetapkan Penggugat / Terbanding sebagai pemegang
hak hadhonah atas seorang anak yang berada dalam
pengasuhan Penggugat.
4. Menghukum Tergugat / Pembanding untuk membayar
kepada Penggugat / Terbanding nafkah untuk seorang anak
berupa uang tunai sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima
puluh ribu rupia) setiap bulannya.
5. Menetapkan harta yang dimuat dalam tuntutan Penggugat /
Terbanding sebagai harta bersama antara Penggugat /
Terbanding dengan Tergugat / Pembanding.
6. Menetapkan Penggugat / Terbanding berhak memiliki
(tiga perempat) bagian dari harta bersama dan Tergugat /
Pembnding berhak memiliki (seperempat) bagian dari
harta bersama.
Setelah menerima putusan banding tersebut, Tergugat /
Pembanding tidak juga merasa puas dengan putusan Pengadilan
Tinggi Agama Yogyakarta, selanjutnya Tergugat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung R.I. tanggal 10 Maret 2010.
Dalam memori kasasinya Tergugat / Pemohon Kasasi
menyatakan:
1. Bahwa Tergugat / Pemohon kasasi masih mencintai
Penggugat / Termohon Kasasi dalam pertimbangan apapun
dan dalam kondisi apapun.
2. Bahwa seperti asasnya harta gono-gini dalam pernikahan
adalah harta bersama dan masing-masing pihak mendapat
bagian separo atau dibagi dua secara riel.
Atas permohonan kasasi ini, Mahkamah Agung telah
mengambil sikap dan pendapat dalam putusannya yang menolak
permohonan kasasi Pemohon Kasasi dan menguatkan putusan
Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta.

7
C. Analisis Perundang-undangan

1. Pengertian Harta Bersama


Istilah harta bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, sudah dikenal masyarakat Indonesia dengan
beberapa istilah. Dalam masyarakat aceh misalnya, dipergunakan
istilah harta seharkat. Dalam masyarakat suku Melayu dikenal
dengan sebutan harta syarikat. Masyarakat Jawa memberi istilah
harta gono-gini.7 Masih banyak lagi istilah-istilah dari masing-
masing suku dan adat yang berada di Indonesia jika hendak
ditelusuri lagi semuanya.
Sedangkan yang dimaksud harta bersama adalah harta
kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar harta bawaan
(sebelum nikah), hadiah atau warisan.8 Pengertian ini sesuai
dengan pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut 9:
1. harta yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta
bersama.
2. harta bawaan masing-masing suami-istri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan 10 adalah
di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain.
Konsep harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islm secara
rinci dalam Bab XIII mulai dari pasal 85 sampai pasal 97. Dalam
Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu hukum terapan di
lingkungan Peradilan Agama, harta bersama tersebut dengan
istilah harta kekayaan dala perkawinan. Hal ini disebutkan harta
dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri
atau bersama selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan

7 Faturrahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Maarif, 1981) Cet. Ke-2, h. 40.


8 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1995) h. 200.
9 Undang-Undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta:
Armas Duta Jaya, 1990), h. 276.
10 Harta yang diperoleh dengan cara hibah dan warisan disebut dengan harta
pribadi yang sepenuhnya di bawah penguasaan masing-masing.

8
selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar
atas nama siapapun dan dari jerih payah atau penghasilan
siapapun.11
Dari Kompilasi Hukum Islam dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya keberadaan harta bersama tidak menutup
kemungkinan adanya harta masing-masing. bahkan lebih tegas
dinyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta
yang diakibatkan karena adanya perkawinan dan ketentuan
mengenai harta bersama ditentukan berdasarkan perjanjian.
Apabila terjadi perselishan, maka diselesaikan di pengadilan.
Dalam perkembangan selanjutnya, harta bersama didefenisikan
lebih luas. Suami yang melakukan usaha di luar rumah untuk
mencari nafkah dan istri yang berada di rumah juga dikategorikan
bekerja, sehingga di antara keduanya terdapat kesamaan dan
kesetaraan.12
Sementara menurut hukum adat, seperti yang dikemukakan
R. Vandijk, harta bersama adalah segala milik yang diperoleh
selama perkawinan adalah harta pencaharian bersama dengan
sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang lazim disebut
harta syarikat.13 Pengertian yang dikemukakan di atas, hampir
sama dengan pengertian yang diberikan B. Ter Haar, yang
mengatakan bahwa dalam arti umu harta bersama adalah barang-
barang yang diperoleh suami-istri selama perkawinan. 14
Istilah harta bersama juga telah dikenal dalam berbagai
yurisprudensi tanpa mempersoalkan lingkungan adat dan stelsel
kekeluargaan. Misalnya, putusan Pengadilan Tinggi Agama
tanggal 20 Desember 1971 nomor 389/1971 yang telah dikuatkan

11 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika


Presindo, 2004), h. 113.
12 http://vanylucas92.blogspot.co.id.2013/02/masalah-harta-bersama-dalam-
proses.html. Diupload pada hari Minggu tanggal 20 Desember 2015 pukul 17.24.
13 R. Vandijk, Pengantar Hukum Adat, (bandung: Vorrknik van Hoeve, t.th.), h.
39.
14 B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Negara Pradnya
Pramita, 1960), h. 193.

9
oleh putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Mei 1973 nomor 1031
K/Sip/1972. Dalam putusan tersebut Pengadilan Tinggi Agama
Medan telah membenarkan gugatan seorang istri atas harta
syarikat,15 sekalipun suami-istri berasal dari Tapanuli Selatan yang
tidak mengenal bentuk harta pencaharian bersama sesuai dengan
stelsel kekeluargaan yang bersifat patrilineal.
2. Terbentuknya Harta Bersama
Sesuai dengan pasal 35 ayat 1 UU No. 1 Tahhun 1974
bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama. Ini berarti terbentuknya harta bersama dalam
perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai
ikatan perkawinan bubar. Kalau begitu harta apa saja yang
diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah, sampai
saat perkawinan pecah baik oleh karena salah satu pihak
meninggal dunia atau oleh karena perceraian, maka seluruh harta-
harta tersebbut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta
bersama. Pengeasan yang seperti itu antara lain dapat dilihat
dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 9 November 1976
nomor 1448 K/Sip/1974. Dalam putusan ini ditegaskan Sejak
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat
terjadinya perceraian harta bersama tersebut dibagi sama rata
antara bekas suami istri.
Dengan demikian, patokan untuk menentukan apakah
sesuatu barang atau harta termasuk atau tidak ke dalam harta
bersama suami-istri, ditentukan pleh factor selama perkawinan
antara suami-istri berlangsung, dengan sendirinya harta tersebut
menjadi harta bersama. Kecuali jika harta yang diperoleh berupa
warisan atau hibah oleh salah satu pihak. Harta tersebut tidak

15 Dalam putusan tersebut Pengadilan Tinggi Agama Medan telah mengadili


dengan membagi dua antara suami-istri harta yang telah mereka cari bersama selama
masa perkawinan.

10
termasuk harta bersama, tapi jatuh menjadi harta pribadi si
penerima.
Selanjutnya berkaitan dengan kata-kata yang diperoleh
selama perkawinan, muncul permasalahan, harta yang diperoleh
oleh siapa saja yang masuk kategori harta bersama? 16 Menurut
Sayuthi Thalib dalam hal ini tidak dipersoalkan siapa yang
memperoleh harta tersebut. Oleh karena itu, baik yang diperoleh
atas usaha masing-masing secra sendiri-sendiri atau yang didapat
dari usaha bersama tetap merupakan harta bersama bagi suami-
istri.17
3. Pembagian Harta Bersama
Dalam pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing.18 Yang dimaksud hukumnya
masing-masing dalam penjelasan UU tersebut adalah hukum
agama, hukum adat, dan hukum lainnya.
Dalam kaitan ini, berdasarkan hukum agama Islam, agama
mayoritas penduduk Indonesia yang terdapat dalam Kompiasi
Hukum Islam pasal 97 ditegaskan bahwa janda atau duda cerai
hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Ketentuan mesti dibagi dua ini dalam tataran aplikasi di
Pengadilan Agama sampai saat ini juga dilaksanakan oleh para
hakim dam menyelesaiakan sengketa harta bersama. Hal ini
didasarkan pada suatu pemikiran bahwa dalam suatu perkawinan

16 Yahya Harahap merinci lebih detail lagi hal-hal yang termasuk harta bersama
antara lain: 1. Harta yang dibeli selama perkawinan. 2). Harta yang dibeli dan dibangun
sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama, 3). Harta yang dapatdibuktikan
diperoleh selama perkawinan diluar hibah dan warisan, 4). Pengahsilan harta bersama
dan harta bawaan, 5). Segala penghasilan pribadi suami-istri. Lihat: Yahya Harahap,
Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993),
cet. Ke-2, h.302.
17 Sayuthi Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986),
Cet. Ke-5, h. 92.
18 Abdul Manan, Aneka masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2006) h. 104.

11
itu baik istri maupun suami mempunyai kedudukan yang seimbang
dalam rumah tangga.19
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang berlaku di
Indonesia dalam hal terjadinya perceraian hidup, harta bersama
harus dibadi seperdua diantara suami-istri.

D. Analisis Putusan
Dari paparan umum kasus di atas, yang akan dijadikan focus
analisi adalah dibatasi pada persoalan keberatan pihak Tergugat /
Pembanding / Pemohon Kasasi atas putusan Pengadilan Agama
Bantul dan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta yang memutuskan
bahwa harta bersama dibagi dua bagian menjadi milik Penggugat /
Terbanding / Termohon Kasasi dan bagian menjadi milik Tergugat /
Pembanding / Pemohon Kasasi.
Keputusan pengadilan tersebut pada ketiga tingkat dalam hal
bagian harta bersama tidak ada perbedaan, yaitu seperti di sebutkan
di atas bagian untuk mantan istri dan bagian untuk mantan
suami. Bila dilihat dari persfektif positivisme merupakan keputusan
yang keliru, karena menurut teori ini validitas hukum ditentukan oleh
undang-undang yang ditetapkan oleh Negara. Sementara dalam
kasus ini Majelis Hakim menjatuhkan putusan yang berbeda dari apa
yang telah diatur oleh undang-undang sebagai hukum positif yang
berlaku. Padahal dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan
hukum materiil perkawinan umat Islam di Indonesia pasal 97
ditegaskan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing
berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain
perjanjian perkawinan. Sedangkan bagaimana kalau harta tersebut
merupakan hasil istri sedangkan suami hanyalah berfungsi sebagai
pendamping hidup?. Dalam kaitan ini, menurut Sayuti Thalib, tidak
dipersoalkan siapa yang memperoleh harta tersebut. Oleh karena itu,

19 Mahkamah Agung R.I., Suara Uldilag, (Jakarta: Pokja Perdata Agama MA-RI,
2005) h. 105.

12
baik yang diperoleh atas usaha masing-masing secara sendiri-sendiri
atau yang didapat dari usaha bersama tetap merupakan harta
bersama bagi suami istri.20
Namun apa yang diputuskan Majelis tidaklah mengikuti teori
positifisme hukum sehingga Majelis telah menyimpang jauh dari apa
yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil
perkawinan di Indonesia.
Dalam kasus ini yang menjadi pertimbangan hakim sehingga
membentuk hukum sndiri dengan melawan peraturan perundang-
undangan adalah: Bahwa berdasarkan bukti dan fakta-fakta di
persidangan ternyata Tergugat sebagai suami Penggugat tidak
memberi nafkah dari hasil kerjanya kepada Penggugat (untuk nafkah
sehari-hari Penggugat, Tergugat dan juga anak-anak) dan ternate
seluruh harta bersama Penggugat dengan Tergugat diperoleh
Penggugat dari hasil kerjanya, maka demi rasa keadilan, pantaslah
Penggugat memperoleh harta bersama sebesar bagian dan
Tergugat memperoleh bagian.
Untuk mengurai putusan majelis hakim tersebut jika
dibandingkan dengan ketetapan Kompilasi Hukum Islam yang
mengamanahkan pembagian harta bersama harus dibagi secara
seimbang (dibagi dua) harus diteliti terlebih dahulu filosofi lahirnya
aturan tersebut (konsep harta bersama) sehingga kita menempatkan
hukum membagi dua sama rata antara mantan suami dan mantan istri
terhadap harta bersama.
Filososi konsep harta bersama dalam konteks ke-Indonesiaan
adalah pengakuan kesetaraan perempuan dalam keluarga. Hal ini
seperti yang selalu diperjuangkan para peminist yang berusaha untuk
melakukan dekontruksi terhadap struktur social yang patriakal. Dalam
struktur masyarakat yang masih dominan kultur patriakalnya,
perempuan dalam kehidupan perkawinan hanya diposisikan di bawah
kekuasaan laki-laki. Dalam masyarakat yang seperti ini, maka

20 Sayuti Thalib, Ibid.

13
kekayaan rumah tangga adalah milik laki-laki, dan bila terjadi
perceraian perempuan hanya diberi uang pesangon atau mutah
dalam terminology hukum islam.
Menurut hukum islam (fiqh mazhab) yang kental dengan
pengaruh budaya masyarakat timur tengah yang masih sangat
patriakal, konsep harta bersama tidak diperkenalkan. Yang ada adalah
harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap harta suami dan dikuasai penuh
olehnya. Namun suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya
untuk keperluan hidup sehari-hari. Apabila terjadi perceraian maka
wajib memberikan mutah kepada istrinya. Sementara harta masing-
masing suami-istri dalam kuasanya.
Gambaran struktur keluarga dalam fiqh, suami sebagai kepala
rumah tangga berkewajiban memberikan nafkah kepada anggota
keluarganya yaitu: istri dan anak-anaknya. Kewajiban tersebut
dikuatkan oleh dalil-dalil:
1. Al-Baqarah ayat 233:










233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara maruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya
2. Al-Thalaq ayat 7:









7. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang

14
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
3. Hadist:
! : ):
.... , , :
Dari Hakim Ibnu Muawiyah al-Qusyairy, dari ayahnya, berkata:
Aku bertanya: Wahai Rasulullah !Apakah hak istri salah seorang
diantara kami? Beliau menjawab: Engkau memberi makan jika
engkau makan, engkau memberi pakaian jika engkau
berpakaian
Dari surat al-Baqarah di atas terlihat kewajiban suami memberi
nafkah kepada istrinya berupa: makan, pakaian, dan tempat tinggal.
Demikian juga pada hadis di atas mewajibkan kepada suami untuk
menafkahi istrinya dengan makan, dan pakaian.
Sedangkan tugas istri hanya melayani suaminya dan taat
kepadanya. Tugas-tugas lain seperti mengurus rumah tangga,
mendidik anak, menyiapkan makan, bahkan menyusui anak
digambarkan bukanlah tugas istri. Di struktur ini perempuan hanya
sebagai subordinat dari kaum lelaki dalam rumah tangga, sehingga
jika terjadi perceraian mereka tidak berhak mendapat bahagian dari
harta yang dihasilkan suami.
Namun berbeda halnya dengan kondisi masyarakat Indonesia,
dimana perempuan sebagai istri diposisikan sebagai ibu rumah
tangga yang bertugas mengurus anak, menyapu dan membersihakn
rumah, menyuci pakaian, menyiapkan makanan, bahkan pada kasus-
kasus tertentu tugas ibu rumah tangga itu tidak punya ketentuan
waktu (bisa jadi 24 jam dalam sehari).
Dalam struktur ini rumah tangga musli di Indonesia seperti
manajemen sebuah perusahaan dimana suami sebagai pekerja
mencari nafkah dan istri sebagai manejer yang bertugas mengatur
dan mendistribusikan apa yang diperoleh suami agar seluruh
kebutuhan dalam perusahaan tersebut terpenuhi dan berjalan. Dalam
kasus seperti mungkin sebagai suami tidak ingin menggantikan posisi

15
istri sebagai manejer dalam rumah tangga mengingat beratnya tugas
tersebut.
Demikianlah kondisi normal sebuah keluarga muslim di
Indonesia, suami bekerja mencari nafkah dan istri berbagi tugas
mengatur rumah tangga. Suami bekerja di luar rumah dan istri bekerja
di dalam rumah. Meski hanya suami yang menghasilkan uang namun
tugas istri tidak kalah berat dibandingkan dengan suami.
Mengingat kondisi ini, lalu terusiklah perasaan ketidak-adilan
pada saat terjadi perceraian jika seorang istri hanya mendapat
mutah lalu pergi dari tempat kediaman bersama. Tidak adil rasanya
istri tidak mendapatkan bahagian apa-apa dari harta yang dihasilkan
suaminya selama menikah, padahal suaminya tidak akan akan
mampu menginvestasikan penghasilannya jika istri tidak menjalankan
tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Maka dalam kondisi normal
(suami bekerja, istri mengatur rumah tangga) lahirlah hukum Islam
Indonesia yang menetapkan harta yang diperoleh selama masa
perkawinan dari hasil bekerja menjadi harta bersama yang harus
dibagi dua antara suami dan istri meskipun hanya suami yang
berpenghasilan.
Dalam kasus yang sedang dibahas ini menyimpang dari kondisi
normal yang kita nyatakan di atas, dimana suami tidak menjalankan
tugasnya memberi nafkah kepada keluarga, sehingga istri yang
memberinya (suami) dan anak-anaknya nafkah, serta
menginvestasikan pendapatannya sebagai harta yang diperoleh
dalam masa perkawinan. Padahal meskipun istri seorang yang kaya
raya atau mempunyai penghasilan sendiri, kewajiban membei nafkah
tidak gugur dari suami. Saat suami yang seharusnya memberi nafkah
namun melalaikan tugasnya dan tidak berkontribusi dalam harta
kekayaan dalam perkawinan bahkan suami yang seharusnya
melindungi anggota keluarganya malah menyakiti anggota keluarga,
justeru menuntut dibagi harta bersama yang dihasilkan istri selama
perkawinan dengan porsi bagian yang sama besar. Halinilah yang

16
menggugah pertimbangan majelis untuk meninggalkan hukum positif
atau peraturan perundang-undangan dalam membentuk hukum dalam
putusan ini.
Tujuan hukum sebenarnya adalah menegakkan keadilan,
mentaati peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif belum
tentu menegakkan keadilan, karena dalam kasus-kasus yang tidak
normal peraturan perundang-undangan tidak dapat digeneralisir
sebagai alat atau aturan penegak keadilan.
Dalam menjatuhkan putusan hakim dapat melakukan contra
legem yakni mengambil keputusan yang bertentangan dengan pasal
undang-undang yang bersangkutan, apabila ketentuan undang-
undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum,
kepatutan, peradaban dan kemanusiaan. Contra legem adalah
melanggar aturan yang ditentukan dalam pasal undang-undang
tertentu dengan cara menyingkirkan penerapan pasal itu. Bukan
menyatakan undang-undang yang bersangkutan tidak sah, tetapi
hanya mengesampingkan penerapan pasal tertentu dari undang-
undang tersebut.
Jika ada hakim yang melakukan contra legem, harus mampu
mengemukakan dasar-dasar pertimbangan yang rasional, bahwa
pasal yang disingkirkan itu benar-benar bertentangan dengan
kepentingan umum, kepatutan, peradaban dan kemanusiaan,
sehingga kalau pasal itu diterapkan akan menimbulkan keresahan dan
ketidakpatutan atau bahkan rasa keadilan yang akan tercederai.

Menurut Penulis dalam membuat hukum dalam putusan


perkara ini, Majelis Hakim telah melakukan kontra legem meski tidak
menyatakannya dalam putusan karena putusan tersebut telah
menyingkirkan aturan perundang-undangan sebagaimana dipegang
oleh aliran positivisme yaitu dengan tidak membagi sama harta yang
diperoleh selama masa perkawinan Penggugat dengan Tergugat
mengingat persoalan ketidakpatutan dan rasa keadilan mengingat

17
Tergugat yang seharusnya mencari nafkah untuk keperluan
keluarganya justru melalaikannya dan Tergugat juga tidak mempunyai
kontribusi terhadap harta yang dimiliki Penggugat dengan Tergugat
selama menika

E. Penutup
Berdasarkan pembahasan dan hasil analisis yang telah
diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Tergugat sebagai suami telah melalaikan tugasnya sebagai kepala
rumah tangga yang bertugas memberi nafkah kepada istri dan
anak-anaknya.
2. Penggugat yang telah mengambil alih tugas Tergugat menafkahi
keluarga dengan bekerja sebagai seorang dosen.
3. Semua harta bersama adalah kontribusi Penggugat dari hasil
kerjanya.
4. Majelis Hakim telah melakukan contra legem untuk memenuhi rasa
keadilan dan kepatutan dengan memberikan bagian kepada
Penggugat sebesar bagian dari harta bersama.
5. Dalam kondisi normal dimana suami bertugas mencari nafkah dan
istri bertugas mengatur rumah tangga, maka peraturan perundang-
undangan yang menuntut pembagian harta bersama sama besar
patut diterapkan.
6. Berdasarkan pembahasan dan hasil analisis yang telah diuraikan
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
Saran Penulis kedepan harus dipertimbangkan kontribusi
masing-masing pihak dalam harta bersama, sehingga format
pembagian harta bersama kedepan adalah berdasarkan kontribusi
masing-masing pihak, sehingga seorang istri yang tidak menjalankan
tugasnya sebagai ibu rumah tangga juga patut dinyatakan kondisi
yang tidak normal sehingga dalam masalah pembagian hart bersama
tidak mesti dibagi sama antara suami dan istri sebagaimana amanah
peraturan perundang-undangan.

18
19
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Manan, Aneka masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,


(Jakarta: Prenada Media Group, 2006).

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika


Presindo, 2004).

Ahmad Bahjat, Hakikat Cinta Menuju Rumah Tangga Ideal, (Bandung:


Pustaka Hidayah, 2001).

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1995).

B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Negara


Pradnya Pramita, 1960).

Departemen Agama R.I., Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung:


Jumanatul Ali, 2004).

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Faturrahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Maarif, 1981) Cet. Ke-2.

Hasan Basri, Keluarga Sakinah, Tinjauan Psikologi dan Agama,


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).

http://vanylucas92.blogspot.co.id.2013/02/masalah-harta-bersama-dalam-
proses.html. Diupload pada hari Minggu tanggal 20
Desember 2015 pukul 17.24.

Mahkamah Agung R.I., Suara Uldilag, (Jakarta: Pokja Perdata Agama MA-
RI, 2005)

Undang-Undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta:


Armas Duta Jaya, 1990).

R. Vandijk, Pengantar Hukum Adat, (bandung: Vorrknik van Hoeve, t.th.).

Sayuthi Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986),


Cet. Ke-5.

Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,


(Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), cet. Ke-2.

20

Anda mungkin juga menyukai