Anda di halaman 1dari 7

PERTEMUAN 11

FAKTOR - FAKTOR PENDORONG TUMBUHNYA BIDANG - BIDANG

HUKUM PERSELISIHAN

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Dalam bab ini akan dijelaskan faktor-faktor pendorong tumbuhnya bidang-bidang hukum
perselisihan, sehingga mahasiswa mampu:

1. Menjelaskan lebih lanjut secara teknis terkait dengan Hukum Antar Tata Hukum.
2. Menjelaskan contoh-contoh kasus intern Hukum Antar Tata Hukum.

B. URAIAN MATERI
Ada pandangan yang beranggapan bahwa hukum antaradat, hukum antaragama, hukum
antargolongan, dan hukum perdata internasional merupakan bidang-bidang hukum yang
dilahirkan oleh faktor primordialisme, yaitu faktor adat, agama, golongan penduduk, dan
kewarganegaraan atau kebangsaan. Sedangkan hukum antardaerah, hukum antarwaktu, dan
hukum antarwewenang terbentuk karena adanya faktor-faktor yang bersifat publik, yaitu unsur
administrasi pemerintahan. Di bawah ini disinggung secara singkat sub-subbidang hukum
perselisihan yang berkembang di Indonesia.
a. Hukum antaradat

Hukum antaradat adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum
manakah yang berlaku dalam hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara, yang
didalamnya memperlihatkan titik taut dengan kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan
adat istiadatnya. Keadaan ini menimbulkan persoalan tentang kewenangan peradilan adat,
mengenai hukum substantif adat yang harus diberlakukan untuk menyelesaikan perkara, serta
tidak mustahil, membawa persoalan tentang sejauh mana keabsahan dari suatu putusan
lingkungan hukum adat tertentu dapat diakui sah pula di dalam lingkungan hukum adat lain.

1
Contoh: seorang laki-laki dari Minangkabau menikah dengan perempuan Tapanuli. Sang suami
tunduk pada hukum perkawinan adat Minangkabau yang bersifat matrilineal sementara sang istri
tunduk pada hukum perkawinan adat Batak yang bersifat patrilineal. Hukum antaradat berfungsi
untuk menentukan apakah hukum perkawinan adat Minangkabau atau hukum perkawinan adat
Batak yang berfungsi untuk mengatur perkawinan mereka, atau setidak-tidaknya menetapkan
hukum adat mana yang harus digunakan untuk menentukan keabsahan perkawinan tersebut, atau
langkah-langkah keadatan apa yang harus dilakukan untuk mengabsahkan perkawinan semacam
itu.

b. Hukum antargolongan

Hukum antargolongan adalah “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan
hukum manakah yang berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara di wilayah penguasa
kolonial Hindia Belanda, yang menunjukkan adanya titik-titik pertautan dengan sistem atau
kaidah hukum yang bersumber pada sistem hukum yang berbeda sebagai akibat dari adanya
perbedaan lingkungan golongan penduduk para pihak.”

Sudargo Gautama mengartikan hukum antargolongan sebagai:

“Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah
yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-
peristiwa antara warga (-warga) negara dalam satu negara, satu tempat, dan satu waktu
tertentu, memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah
hukum yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan-kuasa-pribadi dan soal-soal (naar
personele en zakelijke werking verschillende rechtsstelsels en rechtsnormen).”

Melihatnya sifatnya yang khas, hukum antargolongan sering diartikan sebagai hukum perdata
internasional dalam hubungan yang melibatkan negara-negara yang tidak sederajat (misalnya,
antara negara penjajah dan terjajah). Karena ke khasan itu maka bidang hukum ini oleh seorang
penulis Belanda, yaitu Andre de la Porte disebut sebagai quasi-private internasional law
(hukum perdata kuasi internasional). Contoh peristiwa hukum antargolongan adalah bila dalam
masa Hindia Belanda seorang wanita Belanda akan menikah dengan seorang laki-laki
bumiputera yang masing-masing oleh hukum kolonial ditundukkan pada sistem hukum yang
berlainan. Keadaan inilah yang akan melahirkan pperistiwa hukum antargolongan.

2
Peristiwa hukum antargolongan berakar dari pembagian golongan penduduk yang diciptakan
oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, khususnya melalui penetapan Pasal 131 jo. 163
Indische Staatsregeling van Wetgeving. Pasal 131 IS menetapkan bahwa penduduk Hindia
Belanda dibagi menjadi tiga golongan, meliputi:

1. Golongan Eropa: mencakup orang-orang Belanda dan orang Eropa selain Belanda, serta
bagi mereka yang disamakan dengan golongan Eropa (dalam hal ini adalah yang sistem
hukumnya menerapkan asas monogami, misalnya orang Jepang).
2. Golongan bumiputera, yaitu penduduk Hindia Belanda (Indonesia) asli.
3. Golongan Timur Asing (TA) dan yang disamakan dengan mereka, yang bukan golongan
Eropa dan bukan golongan bumiputera. Golongan ini dibagi menjadi golongan TA Asia
Timur, TA Asia Tengah, TA Asia Selatan.

Penentuan golongan penduduk tersebut dilakukan dengan menggunakan asas genealogis atau
asas originis sebagai pedoman. Artinya, seseorang akan dikategorikan sebagai bagian dari
golongan penduduk tertentu dengan memperhatikan asal-usul atau keturunan dari orang tersebut.
Pengelompokan ini sesungguhnya berkaitan dengan fungsi ekonomis dari masing-masing
kelompok penduduk dalam konteks kepentingan ekonomis pemerintah kolonial, di mana
golongan penduduk Eropa berperan untuk mengubah bahan baku menjadi barang jadi (yang
memiliki nilai tambah dan diproses melalui industri untuk memenuhi kebutuhan bangsa Belanda
di Eropa); golongan penduduk bumiputera berperan untuk menghasilkan bahan mentah
(sehingga sebagian besar dari mereka adalah masyarakat agraris); sedangkan golongan Timur
Asing adalah golongan perantara, yang didominasi oleh para pedagang, yang berfungsi untuk
menyalurkan bahan mentah yang diperoleh dari golongan bumiputera untuk dijual kepada
golongan Eropa yang akan mengekspornya ke Eropa.

Selanjutnya, pertanyaan yang muncul adalah bagaimanakah pemerintah Hindia Belanda


mengatur hukum yang berlaku terhadap masyarakat yang plural tersebut, apakah melalui
unifikasi hukum ataukah melalui hukum yang heterogen juga. Dalam masyarakat yang homogen,
sangatlah jelas bahwa penerapan satu hukum untuk semua masyarakat tidak akan mendatangkan
masalah. Namun, bagi masyarakat plural (dalam hal ini terbagi menjadi tiga golongan penduduk
sementara di dalam kelompok bumiputera dan Timur Asing, di dalam kelompok itu sendiri juga
masih terdiri atas banyak subkelompok yang berbeda), dibutuhkan hukum yang bersifat plural

3
agar tidak mempersulit masyarakat mengatur masalah-masalah yang tidak netral (misalnya,
dalam hukum keluarga). Sebagai konsekuensi dari pluralisme di Hindia Belanda ini,
pemberlakuan hukum di Hindia Belanda pada waktu itu kemudian diatur di dalam Pasal 163
Indishe Staatsregeling sebagai berikut:

1. Golongan Eropa tunduk pada hukum perdata Barat (KUHPerdata dan KUHDagang).
2. Golongan Timur Asing tunduk pada hukum adat masing-masing walaupun sejak
tahun 1925, melalui Stb. 1924 No. 556, golongan Timur Asing Cina ditundukkan
pada hukum perdata Barat (kecuali tentang kongsi dan adopsi); sedangkan bagi
golongan Timur Asing Asia Selatan melalui Stb. 1924 No. 557 juga ditundukkan
pada hukum perdata Barat ( kecuali tentang hukum keluarga).
3. Sedangkan golongan bumiputera akan tunduk pada hukum adat masing-masing. Di
dalam penerapan hukum adat ini, hukum Islam juga sering diterapkan bagi golongan
bumiputera Muslim.

1. Hukum Antaragama
a. Hukum antaragama adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang
menunjukkan hukum manakah yang berlaku, dalam hubungan hukum antara warga
negara, yang memperlihatkan titik taut dengan kaidah hukum yang berbeda karena
adanya perbedaan lingkungan keagamaan para pihak.
b. Pada masa Hindia Belanda, hukum antaragama (HAA) sering bersentuhan dengan
hukum antargolongan. Salah satu contoh terpenting adalah dalam GHR (Gemende
Huwelijken Regeling) yang mengatur juga tentang perkawinan beda agama.
c. Cukup ironis bahwa perkawinan beda agama (interreligious marriages) justru tidak
diakomodisasi di dalam UU 1/1974 tentang Perkawinan karena di dalam UU tersebut
dengan tegas disebutkan bahwa suatu perkawinan hanya akan dianggap sah apabila
telah sah berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Mengingat hampir
sebagian besar agama yang diakui di Indonesia mengharuskan dilakukannya
perkawinan dengan orang yang seagama, maka perkawinan antaragama saat ini
menjadi sulit dilaksanakan.
d. Setelah tahun 1986, melalui kasus Andi Vonny (Putusan Registrasi No.
1400K/Pdt/1986), perkawinan antaragama akhirnya dapat dilaksanakan dengan

4
mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memerintahkan kantor
catatan sipil mencatat perkawinan yang berbeda agama ( dalam kasus ini adalah
antara wanita Islam dan laki-laki Kristen).

2. Hukum Antarwaktu

Hukum antarwaktu adalah “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan
hukum manakah yang berlaku, bila hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara
memperlihatkan titik taut dengan dua peraturan yang mengatur tentang hal yang sama, di mana
peraturan yang lama digantikan oleh peraturan yang baru.”

Contoh :

Sejak tanggal 20 Februari 2009 telah diberlakukan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per-04/Men/II/2009 tentang Pencabutan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-27/Men/2000 tentang Program Santunan Pekerja Perusahaan
Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Seorang pekerja di bidang pengeboran
minyak terikat di dalam perjanjian kerja dengan perusahaan minyak terhitung tanggal 1 Januari
2008 hingga 31 Desember 2009. Padaa saat diundangkan Permenakertrans tersebut muncul
pertanyaan, apakah dengan dicabutnya peraturan yang mewajibkan pembayaran santunan
sebagaimana diatur di dalam Kep-27/Men/2000, perusahaan tempat pekerja tersebut bekerja
tidak berkewajiban untuk membayar santunan lagi?

Masalah ini harus diselesaikan berdasarkan pendekatan hukum antarwaktu adalah dengan
menetapkan kaidah petunjuk yang dapat ditemukan di dalam Pasal 2 Per-04/Men/II/2009 yang
isinya:

“Bagi Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang saat
diterbitkannya Peraturan Menteri ini masih melaksanakan hubungan kerja dengan
perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, dan perusahaan tetap memberikan santunan
pekerja/buruh sesuai ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-
27/Men/2000.”

5
Berarti berdasarkan kaidah tersebut jelaslah bahwa perjanjian kerja tersebut tetap tunduk pada
Kep-27/Men/2000 dan bukan pada Per-04/Men/II/2009. Inilah yang dipahami sebagai solusi
hukum antarwaktu.

3. Hukum Antardaerah

Hukum antardaerah adalah “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang berfungsi untuk
menentukan hukum manakah yang berlaku, dalam masalah hukum atau hubungan hukum yang
menyebabkan terlibatnya lebih dari satu daerah.”

Sebagai contoh, seorang penduduk Kabupaten Bandung Barat setiap hari pergi ke kota Bandung
dan mendirikan sebuah warung nasi goreng di trotoar di samping Taman Pramuka, yang terletak
di wilayah kota Bandung. Di Kota Bandung terdapat Perda No. 3 Tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan yang melarang orang untuk mendirikan
warung di atas trotoar dan wilayah hijau. Permasalahannya adalah: pedagang kaki lima itu adalah
warga Kabupaten Bandung Barat, sehingga pertanyaannya adalah: apakah warga Kabupaten
Bandung Barat itu terikat untuk tunduk pada Perda Kota Bandung.

4. Hukum Antarwewenang

Hukum antarwewenang adalah “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang berfungsi
untuk menentukan hukum manakah yang berlaku, dalam masalah hukum atau hukum yang
menyebabkan terlibatnya lebih dari satu kewenangan instansi pemerintahan atau lembaga
pemerintahan serta seluruh jajarannya, baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah.”

Contoh:

Provinsi Jawa Barat membutuhkan pasokan listrik tambahan untuk memenuhi kebutuhan listrik
di berbagai kota di provinsi tersebut. Untuk mengadakan proyek tersebut, berbagai pihak yang
terkait haruslah dilibatkan untuk membuat proyek tersebut dapat diselenggarakan, misalnya
perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri (di tingkat provinsi atau ditingkat kota atau
kabupaten?), perwakilan dari Kementerian Pekerjaan Umum (ditingkat provinsi atau di tingkat
kota atau kabupaten?), perwakilan dari pemerintahan provinsi, PT. Perusahaan Listrik Negara
(Persero), dan lain-lain. Bahkan, proyek ini bisa juga bergeser menjadi proyek nasional yang
kebetulan akan ditempatkan di Provinsi Jawa Barat jika pasokan listriknya ternyata bukan hanya

6
untuk wilayah Jawa Barat. Hukum antarwewenang akan berfungsi untuk menentukan “siapa”
instansi yang harus dilibatkan di dalam proyek tersebut, dan “apa fungsi mereka” di dalam
proyek tersebut, serta “bagaimana” proyek tersebut harus dilaksanakan sehingga dapat berjalan
dengan efektif dan efisien.

5. Hukum Perdata Internasional

Hukum perdata internasional adalah “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang
berfungsi untuk menentukan hukum manakah yang berlaku, dalam masalah hukum atau
hubungan hukum yang melibatkan lebih dari satu sistem hukum negara yang berbeda”. Bagian
dari hukum perselisihan inilah yang menjadi pusat perhatian.

C. SOAL LATIHAN/TUGAS
1. Menurut saudara apa yang menjadi faktor-faktor pendorong adanya suatu hukum
perselisihan, baik dalam HATAH intern maupun dalam HPI?
2. Bagaimana menurut pendapat saudara cara-cara penyelesaian perkara yang berkaitan
dengan HPI sudah sesuai dengan asas-asas hukum perdata internasional (HPI) yang terjadi
di Indonesia.

D. DAFTAR PUSTAKA

Bayu Seto Hardjowahono. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Edisi Kelima. Citra Aditya
Bukti, Bandung. 2013.

Anda mungkin juga menyukai