Anda di halaman 1dari 14

Analisis Putusan Yurisprudensi

Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setiap orang yang meninggal dunia, maka yang menjadi masalah adalah
tentang harta peninggalan yang ditinggalkannya. Pada umumnya dalam
pembagian harta peninggalan itu dapat diselesaikan secara musyawarah, namun
apabila timbul sengketa antara ahli waris yang satu dengan ahli waris lainnya,
maka pembagian harta peninggalan itu baru dapat diselesaikan melalui
pengadilan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro :
Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka dengan sendirinya
timbul pertanyaan, apakah yang akan terjadi dengan perhubungan-
perhubungan hokum yang mungkin sekali sangat erat sifatnya pada waktu
si manusia itu masih hidup. Tidak cukup dikatakan, bahwa perhubungan-
perhubungan hukum itu juga lenyap seketika itu, oleh karena biasanya
pihak yang ditinggalkan oleh pihak yang meninggal itu, tidak merupakan
seorang manusia saja atau sebuah barang saja, dan juga oleh karena
hidupnya seorang manusia yang meninggal dunia itu, berpengaruh
langsung pada kepentingan-kepentingan beraneka warna dari berbagai
orang lain dari masyarakat, dan kepentingan-kepentingan ini, selama hidup
orang itu, membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian oleh orang itu,
kalau tidak dikehendaki kegoncangan dalam masyarakat. Maka dari itu, di
tiap-tiap masyarakat dibutuhkan suatu peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara kepentingan-kepentingan dalam masyarakat sendiri
selamat, selaku tujuan dari segala hokum.1
Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang
mengatur perpindahan kekayaan seorang yang meninggal dunia kepada satu atau
beberapa orang lain.
Menurut A. Pitlo :
“Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana,
berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang
kebendaan, diatur yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang

1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cet. II, Sumur Bandung, Bandung, 1983,
hal. 7.
yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka
sendiri, maupun dengan pihak ketiga.2
Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian
seseorang terhadap harta kekayaan yang berwujud : perpindahan kekayaan si
pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam
hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga.3
Menurut Hilman Hadikusuma :
Di dalam KUH Perdata (BW) tidak ada pasal tertentu yang memberikan
pengertian tentang hukum waris. Kita hanya dapat memahami sebagaimana
dikatakan dalam pasal 830 KUH Perdata bahwa „Pewarisan hanya berlangsung

karena kematian‟. Dengan demikian pengertian hukum waris barat menurut

KUHPerdata, ialah tanpa adanya orang yang mati dan meninggalkan harta
kekayaan maka tidak ada masalah pewarisan.[4]
Supaya terdapat pewarisan harus dipenuhi beberapa syarat yakni:
1. Harus ada orang yang meninggal dunia untuk menjadi pewaris. Pengertian
meninggal dunia, pertama-tama tentulah apa yang dinamakan kematian alami
(natuurlijke dood).
2. Harus ada orang yang mewaris (ahli waris) Ahli waris itu harus sudah ada pada
saat kematian pewaris (pasal 836) dengan mengindahkan ketentuan pasal 2 bahwa
anak yang masih dalam kandunganpun dianggap sudah lahir. Anak yang masih
dalam kandungan sudah berhak mewaris asal saja tidak ternyata di kemudian hari
bahwa anak itu lahir dalam keadaan mati. Dalam rangka syarat-syarat pewarisan
ini perlu diperhatikan pasal 831 yang menentukan bahwa jika beberapa orang di
mana yang seorang adalah (calon) ahli waris dari yang lainnya, meninggal dunia
karena kecelakaan yang sama atau pada hari yang sama tanpa dapat diketahui
siapakah di antara mereka yang terlebih dahulu meninggal dunia, maka mereka

2 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, 1997,
hal. 7.

3
dianggap meninggal dunia pada saat yang sama dan karena itu tidak terjadi
pewarisan dari yang seseorang kepada yang lainnya itu.
3. Orang yang seharusnya mewaris itu bukanlah orang yang tidak pantas
untuk mewaris (onwaardig om te erven).
Dalam hukum waris dikenal dua jenis ahli waris yaitu:
1) Ahli waris menurut undang-undang, disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli
waris ab intestato. Yang termasuk dalam golongan ini ialah :
a) Suami atau isteri (duda/janda) dari si pewaris (si mati).
b) Keluarga-sedarah yang sah (wettige bloedverwanten) dari si pewaris.
c) Keluarga-sedarah alami (natuurlijke bloedverwanten) dari si pewaris.
2) Ahli waris menurut surat wasiat (ahli waris testamentair). Yang termasuk dalam
golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat dengan surat wasiat
untuk menjadi ahli warisnya.
Yang diangkat menjadi ahli waris testamentair boleh saja keluarga sedarah,
keluarga semenda, sahabat karib bahkan badan hukumpun boleh diangkat menjadi
ahli waris. Keluarga semenda (aanverwanten) dari si pewaris tidak mewaris
berdasarkan undang-undang. Mereka hanya berhak mewaris jika pewaris
menunjuk/mengangkatnya sebagai ahli waris dengan surat wasiat.
Pasal 1121 KUH Perdata berbunyi : “Para keluarga sedarah dalam garis
ke atas diperbolehkan, dalam suatu wasiat atau dalam suatu akta notaris,
membuat suatu pembagian dan pemisahan harta-benda mereka di antara para
keturunannya atau di antara mereka ini dan suami atau isteri mereka yang hidup
terlama.”
Pasal 1122 KUH Perdata berbunyi : “Jika tidak semua benda yang
ditinggalkan oleh keluarga sedarah dalam garis ke atas di kala meninggalnya,
termasuk di dalam pembagian tersebut, maka benda-benda yang tidak telah
terbagi itu harus dibagi menurut undang-undang.”
Pasal 119 KUH Perdata berbunyi :
(1) Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama
menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan lain
dalam perjanjian perkawinan.
(2) Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau diubah
dengan suatu persetujuan antara suami-istri.
Pasal 124 KUH Perdata berbunyi :
(1) Hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu.
(2) Ia boleh menjualnya, memindah tangankannya dan membebaninya tanpa bantuan
istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 140
(3) Ia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang
sama-sama masih hidup, baik barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau
suatu bagian atau jumlah tertentu dari barang bergerak, apabila bukan kepada
anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk memberi suatu kedudukan.
(4) Bahkan ia tidak boleh menetapkan ketentuan dengan cara hibah mengenai suatu
barang yang khusus, apabila ia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil
dari barang itu.
Pada Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995 Peneliti
merasa tertarik untuk menganalisis kasus pada putusan tersebut karena dalam
kasus tersebut harta warisan yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga
yang menjadi hak alm. Ngatminah dan alm. Kastanjam yang sudah meninggal dan
tidak mempunyai keturunan akan tetapi warisannya dinikmati oleh pihak lain
karna mengaku sebagai ahli waris alm. Ngatminah tetapi alm. Kastanjam
meninggalkan Saudara.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
analisis ini adalah :
1. Apa Hak Penerima waris jika dalam pewarisannya terjadi sengketa ?
2. Bagaimana Pembagian Harta Gono-gini Pada Putusan Yurisprudensi Mahkamah
Agung No. 410 K/Pdt/1995 ?

C. Tujuan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka tujuan Analisis ini adalah :
1. Untuk mengetahui Apa Hak Penerima waris jika dalam pewarisannya terjadi
sengketa?
2. Untuk mengetahui Bagaimana Pembagian Harta Gono-gini Pada Putusan
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995 ?
BAB II
Tinjauan Teoritis
Tentang Harta Gono-gini/ Harta Bersama

A. Pengertian Harta Gono-Gini


Istilah “gono-gini” merupakan sebuah istilah hukum yang popular di
masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:330), istilah yang
digunakan adalah “gono-gini”,yang secara hukum artinya, ”Harta yang berhasil
dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan
istri’.
Dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, pengertian harta gono-gini
yaitu ‘Harta perolehan selama bersuami istri’.
Sebenarnya, istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal
dalam peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalam UU No 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer),
maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah harta bersama. Hanya, istilah
gono-gini lebih popular dibandingkan dengan istilah yang resmi digunakan dalam
bahasa hukum konvensional.
Sedangkan menurut Drs. Fachtur Rahman (Ilmu Mawaris :42), memberikan
definisi bahwa harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami istri yang
diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan dimana keduanya bekerja
untuk kepentingan hidup berumahtangga.
Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal istilah-istilah lain
yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (di Jawa). Hanya, diistilahkan
secara beragam dalam hukum adapt yang berlaku di masing-masing daerah.
Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan dengan haeruta sihareukat; di
Minangkabau masih dinamakan harta suarang; di Sunda digunakan istilah guna-
kaya; di Bali disebut dengan druwe gabro; dan di Kalimantan digunakan
istilah barang perpantangan.[5]
Dengan berjalannya waktu,rupanya istilah “gono-gini” lebih populer dan
dikenal masyarakat,baik digunakan secara akademis,yuridis,maupun dalam
perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya.

B. Dasar Hukum Harta Gono-Gini


Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan
antara suami dan istri (harta gono-gini) .Konsep harta gono-gini pada awalnya
berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini
kemudian didukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di Negara
kita. Percampuran harta kekayaan (harta gono-gini) berlaku jika pasangan tersebut
tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan. Dasar hukum tentang
harta gono-gini dapat ditelusuri melalui Undang-Undang ,hukum islam, hukum
adat dan peraturan lain,seperti berikut:[6]
1. UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah
“harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta
kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai
harta gono-gini.
2. KUHPerdata pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat dilangsungkan perkawinan
,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami
istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam
perjanjian perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan berlangsung,tidak
boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
3. KHI pasal 85,disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan
itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami
istri”.Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam
perkawinan (gono-gini).
4. KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada
percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan.”

C. Pembagian Harta Bersama


Dalam Pasal 37 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dan pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa apabila
perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing-
masing suami istri mendapatkan separoh dari harta bersama yang diperoleh
selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut sejalan dengan yurisprudensi
Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang
mengandung abstraksi hokum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing-
masing pihak (suami dan istri) mendapatkan setengah bagian dari harta bersama
mereka.
Apabila pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono-gini
atau harta bersamanya dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian, maka
pembagiannya bisa ditentukan berdasarkan kesepakatanatau kerelaan antara kedua
belah pihak. Cara ini adalah sah, dan cara terbaik untuk penyelesaian.
Dengan demikian, pembagian harta gono-gini dapat ditempuh melalui
putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian melalui
musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar
ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan dan tanpa adanya
unsure keterpaksaan

BAB III
Hasil analisis Dan Pembahasan
A. Warisan yang berasal dari Harta Gono-gini menurut Yurisprudensi Mahkamah
Agung No. 410K/Pdt/1995.
Bahwa pernah Hidup suami istri Kastanjam dan Ngatminah yang
keduanya telah meninggal dunia, dimana dalam perkawinan tersebut tidak
dikaruniai anak dan tidak mengangkat anak, lalu alm. Ngatminah tidak
mempunyai saudara, sedangkan alm. Kastanjam mempunyai saudara kandung
yang bernama Waturi dan Karbunga.
Bahwa selain meninggalkan saudara kandung juga mereka meninggalkan
harta kekayaan berupa:
 Tanah pekarangan dan bangunan rumah dalam Buku C Desa No. 656, persil No.
3d.1, yang letak, luasnya serta batas-batasnya seperti tersebut dalam gugatan.
 Tanah tegalan dengan persil No. 17b, d.III yang letak, luas serta batas-batasnya
seperti tersebut dalam gugatan
 Bahwa tanah tegalan kecil dari tanah tegalan ada yang dijual Nuryani kepada
tergugat asli III.
 Bahwa karena alm. Kastanjam tidak mempunyai anak, maka sewajarnya tanah
sengketa diserahkan kepada para penggugat asli sebagai ahli warisnya
 Bahwa tanah tegalan sejak meninggalnya Ngatminah dinikmati para Tergugat
asli, maka sudah sewajarnya tergugat asli dibebani ganti rugi sejak tahun 1986
sampai tanah sengketa diserahkan kepada para penggugat asli
 Bahwa mohon kepada Pengadilan Negeri untuk melakukan sita jaminnan
tgerhadap barang sengketa
 Bahwa mohon agar putusan ini dapat dijalankanlebih dahulu walaupun ada
verzet, banding atau kasasi.

Keputusan Mahkamah Agung


Melihat pertimbangan Pengadilan Negeri, Putusan Pengadilan Negeri,
Pertimbangan Pengadilan Tinggi, Putusan Pengadilan Tinggi dan Kasasi,
Mahkamah agung mempertimbangkan :
 Bahwa keberatan penggugat dapat dibenarkan karena Judex Facti telah salah
menerapkan Hukum Dengan Pertimbangan:
 Bahwa sesuai dengan B.A.P setempat tanggal 13 Maret 1993, Pn telah
mengadakan pemeriksaan setempat yang hasilnya batas tanah sengketa tersebut
sesuai dengan batas tanah yang ada pada gugatan para pemohon Kasasi/
penggugat asal, oleh sebab itu obyek gugatan sudah jelas, dengan demikian
terbukti bahwa obyek sengketa merupakan peninggalan alm Kastanjam, sehingga
Para pemohon Kasasi/ penggugat asal sebagai ahli waris alm. Kastanjam berhak
atas objek sengketa, dengan demikian pertimbangan hokum dan putusan
Pengadilan Negeri sudah tepat dan benar.

Dengan demikian Mahkamah Agung memutus:


 Mengabulkan permohonan Kasasi dari para Pemohon Kasasi tersebut
 Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 31 maret 1994 No.
685/Pdt/ 1993/PT. Sby;
Mengadili sendiri:
Dalam Konpensi:
Dalam Eksepsi:
 Menolak eksepsi Tergugat I
Dalam pokok perkara:
 Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian
 Menyatakan bahwa para penggugat adalah ahli waris yang sah dari alm.
Kastanjam
 Menyetakan bahwa tanah pekarangan rumahnya dalam buku C desa No. 656,
persil No. 3d.1, luas 0,009 Ha atas nama Kastanjam adalah harta peninggalan
kastanjam yang merupakan hak para penggugat
 Memerintahkan kepada siapa saja yang menguasai tanah dan rumah tersebut
diatas baik langsung maupun tidak langsung, untuk menyerahkan kepada para
penggugat dalam keadaan kosong dan bilamana perlu dengan bantuan alat Negara.
Pembagian waris berkenaan dengan harta gono-gini menurut Putusan
tersebut adalah warisan yang berasal dari harta gono-gini haruslah dibagi secara
adil kepada semua ahli warinya, dimana pada kasus tersebut pewaris yang tidak
mempunyai anak sebagai pewaris di golongan pertama, sementara sipewaris
hanya meninggalkan saudara kandung maka secara langsung warisan tersebut
menjadi hak saudara kandung tersebut karena merupakan ahli waris pada
golongan kedua. Sesuai dengan Pasal 856 KUHPerdata yang isinya, “Apabila
simeninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri,
sedangkan baik bapak maupun ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka seluruh
warisan adalah hak sekalian saudara laki-laki dan perempuan dari si meninggal”.
Jadi sudah jelas bahwa memang seharusnya pada kasus tersebut Waturi dan
Karbungalah yang berhak atas pewarisan dari alm. Kastanjam sebagai ahli
warisnya”.[7]

B. Hak Ahli Waris terhadap Sengketa Pewarisan


Dari ringkasan kasus, penulis tidak menemukan pertentangan terhadap
putusan dari Mahkamah Agung karena sudah sesuai dengan kaidah hokum yang
berlaku, dimana dalam putusannya telah mengabulkan gugatan penggugat sebagai
ahli waris yang haknya sudah diambil oleh pihak yang tidak memiliki hak waris.
Sesuai dengan Pasal 834 KUHPerdata, “Tiap-tiap waris berhak memajukan
gugatan guna memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka, yang baik
atas dasar hak yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hakpun menguasai seluruh
atau sebagaian harta peninggalan, sepertipun terhadap mereka, yang secara licik
telah menghentikan penguasaannya. Ia boleh mengajukan gugatan itu untuk
seluruh warisan, jika ia adalah waris astu-satunya, atau hanya untuk sebagian, jika
ada beberapa waris lainnya. Gugatan demikian adalah untuk menuntut, supaya
diserahkan kepadanya, segala apa yang dengan dasar hak apapun juga terkandung
dalam warisan beserta segala hasil, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan
termaktub dalam bab ketiga buku ini terhadap gugatan akan pengembalian barang
milik”.[8]
Pasal 834 KUHPerdata mengatur bahwa ahli waris berhak mengajukan
gugatan untuk memperoleh warisannya terhadap semua orang yang memegang
besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa hak,
demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya
(besit = penguasaan). Ketentuan ini juga terkait dengan Pasal 874KUHPerdata
yang menegaskan bahwa segala harta peninggalan seseorang yang meninggal
dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh
mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah
Selain itu dalam putusannya Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995
tersebut menyatakan bahwa tanah pekarangan rumahnya dalam buku C desa No.
656, persil No. 3d.1, luas 0,009 Ha atas nama Kastanjam adalah harta peninggalan
kastanjam yang merupakan hak para penggugat. Penggugat disini sebagai ahli
waris yang Sesuai dengan Pasal 856 KUHPerdata karena simeninggal dunia
dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan baik
bapak maupun ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka seluruh warisan adalah
hak si penggugat karena merupakan saudara laki-laki dan perempuan dari si
meninggal.

BAB IV
Penutup

A. Kesimpulan
Setelah penulis membahas dan menganalisis permasalahan dalam kasus
tentang Warisan yang berasal dari harta Gono-gini pada putusan Mahkamah
Agung No. 410 K/Pdt/1995, maka penulis membuat kesimpulan sebagi berikut :
1. Pasal 834 KUHPerdata, “Tiap-tiap waris berhak memajukan gugatan guna
memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka, yang baik atas dasar hak
yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hakpun menguasai seluruh atau sebagaian
harta peninggalan, sepertipun terhadap mereka, yang secara licik telah
menghentikan penguasaannya. Ia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh
warisan, jika ia adalah waris astu-satunya, atau hanya untuk sebagian, jika ada
beberapa waris lainnya. Gugatan demikian adalah untuk menuntut, supaya
diserahkan kepadanya, segala apa yang dengan dasar hak apapun juga terkandung
dalam warisan beserta segala hasil, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan
termaktub dalam bab ketiga buku ini terhadap gugatan akan pengembalian barang
milik”.
2. Pasal 856 KUHPerdata yang isinya, “Apabila simeninggal dunia dengan tidak
meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan baik bapak maupun
ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka seluruh warisan adalah hak sekalian
saudara laki-laki dan perempuan dari si meninggal”. Jadi sudah jelas bahwa
memang seharusnya pada kasus tersebut Waturi dan Karbungalah yang berhak
atas pewarisan dari alm. Kastanjam sebagai ahli warisnya.

[1]
[2] [3] J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992, hal. 8.
[4] Hilman Hadikusuma,Op. Cit., hal. 5.
[5] Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, Bulan bintang, Jakarta, 1965
hal 18
[6] Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
Citra Umbara, bandung, 2010
[7] Pasal 856 KUHPerdata.
[8] Pasal 834 KUHPerdata

Anda mungkin juga menyukai