1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cet. II, Sumur Bandung, Bandung, 1983,
hal. 7.
yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka
sendiri, maupun dengan pihak ketiga.2
Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian
seseorang terhadap harta kekayaan yang berwujud : perpindahan kekayaan si
pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam
hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga.3
Menurut Hilman Hadikusuma :
Di dalam KUH Perdata (BW) tidak ada pasal tertentu yang memberikan
pengertian tentang hukum waris. Kita hanya dapat memahami sebagaimana
dikatakan dalam pasal 830 KUH Perdata bahwa „Pewarisan hanya berlangsung
KUHPerdata, ialah tanpa adanya orang yang mati dan meninggalkan harta
kekayaan maka tidak ada masalah pewarisan.[4]
Supaya terdapat pewarisan harus dipenuhi beberapa syarat yakni:
1. Harus ada orang yang meninggal dunia untuk menjadi pewaris. Pengertian
meninggal dunia, pertama-tama tentulah apa yang dinamakan kematian alami
(natuurlijke dood).
2. Harus ada orang yang mewaris (ahli waris) Ahli waris itu harus sudah ada pada
saat kematian pewaris (pasal 836) dengan mengindahkan ketentuan pasal 2 bahwa
anak yang masih dalam kandunganpun dianggap sudah lahir. Anak yang masih
dalam kandungan sudah berhak mewaris asal saja tidak ternyata di kemudian hari
bahwa anak itu lahir dalam keadaan mati. Dalam rangka syarat-syarat pewarisan
ini perlu diperhatikan pasal 831 yang menentukan bahwa jika beberapa orang di
mana yang seorang adalah (calon) ahli waris dari yang lainnya, meninggal dunia
karena kecelakaan yang sama atau pada hari yang sama tanpa dapat diketahui
siapakah di antara mereka yang terlebih dahulu meninggal dunia, maka mereka
2 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, 1997,
hal. 7.
3
dianggap meninggal dunia pada saat yang sama dan karena itu tidak terjadi
pewarisan dari yang seseorang kepada yang lainnya itu.
3. Orang yang seharusnya mewaris itu bukanlah orang yang tidak pantas
untuk mewaris (onwaardig om te erven).
Dalam hukum waris dikenal dua jenis ahli waris yaitu:
1) Ahli waris menurut undang-undang, disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli
waris ab intestato. Yang termasuk dalam golongan ini ialah :
a) Suami atau isteri (duda/janda) dari si pewaris (si mati).
b) Keluarga-sedarah yang sah (wettige bloedverwanten) dari si pewaris.
c) Keluarga-sedarah alami (natuurlijke bloedverwanten) dari si pewaris.
2) Ahli waris menurut surat wasiat (ahli waris testamentair). Yang termasuk dalam
golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat dengan surat wasiat
untuk menjadi ahli warisnya.
Yang diangkat menjadi ahli waris testamentair boleh saja keluarga sedarah,
keluarga semenda, sahabat karib bahkan badan hukumpun boleh diangkat menjadi
ahli waris. Keluarga semenda (aanverwanten) dari si pewaris tidak mewaris
berdasarkan undang-undang. Mereka hanya berhak mewaris jika pewaris
menunjuk/mengangkatnya sebagai ahli waris dengan surat wasiat.
Pasal 1121 KUH Perdata berbunyi : “Para keluarga sedarah dalam garis
ke atas diperbolehkan, dalam suatu wasiat atau dalam suatu akta notaris,
membuat suatu pembagian dan pemisahan harta-benda mereka di antara para
keturunannya atau di antara mereka ini dan suami atau isteri mereka yang hidup
terlama.”
Pasal 1122 KUH Perdata berbunyi : “Jika tidak semua benda yang
ditinggalkan oleh keluarga sedarah dalam garis ke atas di kala meninggalnya,
termasuk di dalam pembagian tersebut, maka benda-benda yang tidak telah
terbagi itu harus dibagi menurut undang-undang.”
Pasal 119 KUH Perdata berbunyi :
(1) Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama
menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan lain
dalam perjanjian perkawinan.
(2) Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau diubah
dengan suatu persetujuan antara suami-istri.
Pasal 124 KUH Perdata berbunyi :
(1) Hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu.
(2) Ia boleh menjualnya, memindah tangankannya dan membebaninya tanpa bantuan
istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 140
(3) Ia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang
sama-sama masih hidup, baik barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau
suatu bagian atau jumlah tertentu dari barang bergerak, apabila bukan kepada
anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk memberi suatu kedudukan.
(4) Bahkan ia tidak boleh menetapkan ketentuan dengan cara hibah mengenai suatu
barang yang khusus, apabila ia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil
dari barang itu.
Pada Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995 Peneliti
merasa tertarik untuk menganalisis kasus pada putusan tersebut karena dalam
kasus tersebut harta warisan yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga
yang menjadi hak alm. Ngatminah dan alm. Kastanjam yang sudah meninggal dan
tidak mempunyai keturunan akan tetapi warisannya dinikmati oleh pihak lain
karna mengaku sebagai ahli waris alm. Ngatminah tetapi alm. Kastanjam
meninggalkan Saudara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
analisis ini adalah :
1. Apa Hak Penerima waris jika dalam pewarisannya terjadi sengketa ?
2. Bagaimana Pembagian Harta Gono-gini Pada Putusan Yurisprudensi Mahkamah
Agung No. 410 K/Pdt/1995 ?
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka tujuan Analisis ini adalah :
1. Untuk mengetahui Apa Hak Penerima waris jika dalam pewarisannya terjadi
sengketa?
2. Untuk mengetahui Bagaimana Pembagian Harta Gono-gini Pada Putusan
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995 ?
BAB II
Tinjauan Teoritis
Tentang Harta Gono-gini/ Harta Bersama
BAB III
Hasil analisis Dan Pembahasan
A. Warisan yang berasal dari Harta Gono-gini menurut Yurisprudensi Mahkamah
Agung No. 410K/Pdt/1995.
Bahwa pernah Hidup suami istri Kastanjam dan Ngatminah yang
keduanya telah meninggal dunia, dimana dalam perkawinan tersebut tidak
dikaruniai anak dan tidak mengangkat anak, lalu alm. Ngatminah tidak
mempunyai saudara, sedangkan alm. Kastanjam mempunyai saudara kandung
yang bernama Waturi dan Karbunga.
Bahwa selain meninggalkan saudara kandung juga mereka meninggalkan
harta kekayaan berupa:
Tanah pekarangan dan bangunan rumah dalam Buku C Desa No. 656, persil No.
3d.1, yang letak, luasnya serta batas-batasnya seperti tersebut dalam gugatan.
Tanah tegalan dengan persil No. 17b, d.III yang letak, luas serta batas-batasnya
seperti tersebut dalam gugatan
Bahwa tanah tegalan kecil dari tanah tegalan ada yang dijual Nuryani kepada
tergugat asli III.
Bahwa karena alm. Kastanjam tidak mempunyai anak, maka sewajarnya tanah
sengketa diserahkan kepada para penggugat asli sebagai ahli warisnya
Bahwa tanah tegalan sejak meninggalnya Ngatminah dinikmati para Tergugat
asli, maka sudah sewajarnya tergugat asli dibebani ganti rugi sejak tahun 1986
sampai tanah sengketa diserahkan kepada para penggugat asli
Bahwa mohon kepada Pengadilan Negeri untuk melakukan sita jaminnan
tgerhadap barang sengketa
Bahwa mohon agar putusan ini dapat dijalankanlebih dahulu walaupun ada
verzet, banding atau kasasi.
BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
Setelah penulis membahas dan menganalisis permasalahan dalam kasus
tentang Warisan yang berasal dari harta Gono-gini pada putusan Mahkamah
Agung No. 410 K/Pdt/1995, maka penulis membuat kesimpulan sebagi berikut :
1. Pasal 834 KUHPerdata, “Tiap-tiap waris berhak memajukan gugatan guna
memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka, yang baik atas dasar hak
yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hakpun menguasai seluruh atau sebagaian
harta peninggalan, sepertipun terhadap mereka, yang secara licik telah
menghentikan penguasaannya. Ia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh
warisan, jika ia adalah waris astu-satunya, atau hanya untuk sebagian, jika ada
beberapa waris lainnya. Gugatan demikian adalah untuk menuntut, supaya
diserahkan kepadanya, segala apa yang dengan dasar hak apapun juga terkandung
dalam warisan beserta segala hasil, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan
termaktub dalam bab ketiga buku ini terhadap gugatan akan pengembalian barang
milik”.
2. Pasal 856 KUHPerdata yang isinya, “Apabila simeninggal dunia dengan tidak
meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan baik bapak maupun
ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka seluruh warisan adalah hak sekalian
saudara laki-laki dan perempuan dari si meninggal”. Jadi sudah jelas bahwa
memang seharusnya pada kasus tersebut Waturi dan Karbungalah yang berhak
atas pewarisan dari alm. Kastanjam sebagai ahli warisnya.
[1]
[2] [3] J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992, hal. 8.
[4] Hilman Hadikusuma,Op. Cit., hal. 5.
[5] Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, Bulan bintang, Jakarta, 1965
hal 18
[6] Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
Citra Umbara, bandung, 2010
[7] Pasal 856 KUHPerdata.
[8] Pasal 834 KUHPerdata