Makalah
Disusun Oleh :
PEMBAHASAN
1
AbdulKadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000),
hal. 14.
orang mendapat kepastian tentang haknya yang harus dihormati setiap orang,
misalnya hak sebagai ahli waris, hak sebagai pemilik barang, hak sebagai
penghuni rumah yang sah dan sebagainya,
HukumAcara Perdata dapat disebut juga Hukum Perdata Formal
(Formal Civil Law) karena mengatur tentang proses penyelesaian perkara
melalui pengadilan secara formal. Hukum Acara Perdata mempertahankan
berlakunya Hukum Perdata, agar hak dan kewajiban pihak-pihak diperoleh
dan dipenuhi sebagaimana mestinya.
2
Ibid., hal. 7.
Pada tanggal 6 Agustus 1847 rancangan itu disampaikan kepada Gubernur
Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk dibahas lebih lanjut dengan pakar
hukum yang bertugas di Mahkamah Agung Hindia Belanda pada waktu itu.
Dalam sidang pembahasan di Mahkamah Agung Hindia Belanda tersebut,
berkembang pikiran bahwa rancangan yang disusun oleh Mr. H.L. Wichers
itu terlalu sederhana, mereka menghendaki agar dalam rancangan
tersebut supaya ditambah dengan lembaga penggabungan jaminan, interventie
dan reques civil sebagaimana yang terdapat pada Rv. yang diperuntukkan pada
golongan Eropa. (Supomo :1963:5.
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen tidak setuju atas
penambahan sebagaimana tersebut di atas, terutama hat yang tersebut dalam
pasal 432 ayat (2). Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen hanya
memperbolehkan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan untuk golongan
Eropa di pergunakan oleh Pengadilan Gubernemen yang ada di Jakarta,
Semarang dan Surabaya saja dalam mengadili orang-orang Bumi Putra,
selebihnya dilarang dipergunakan untuk golongan Bumi Putra. Sikap
Gubernur Jenderal ini didukung penuh oleh Mr. H.L. Wichers, beliau
mengemukakan bahwa kalau dalam rancangan yang dibuat itu ditambah
sebagaimana yang tersebut dalam Rv, sebaiknya Rv saja yang diberlakukan
seluruhnya untuk golongan Bumi Putra itu. Kalau konse-D rancangan itu
ditambah lagi dengan ha-hat yang dianggap tidak begitu penting,
dikhawatirkan konsep rancangan itu bukan akan bertambah jelas tetapi
malah akan menjadi kabur dan tidak terang lagi rancangannya.3
Setelah menerima masukan-masukan dari berbagai pihak,
terutama atas saran dari Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen, ketentuan
yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2) dirubah, kemudian ditambah suatu
ketentuan penutup yang bersifat umum yang mengatur berbagai aturan
termuat dalam pasal 393 ayat (1) dan (2) sebagaimana tersebut dalam HIR
sekarang ini. Pasal ini merupakan pasal yang sangat penting karena dalam
pasal tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa HIR diberlakukan untuk
golongan Bumi Putra, tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dapat
3
Ibid., hal. 8.
dipergunakan ketentuan lain dalam perkara perdata meskipun sedikit mirip
dengan ketentuan yang tersebut dalam Rv.
Setelah melalui perubahan dan penambahan sebagaimana tersebut di
atas, akhirnya Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen pada tanggal 5
April 1848 menerima rancangan Mr. H.L. Wichers ini dengan menerbitkan Stb.
1848 No. 16 dan dinyatakan berlaku secara resmi pada tanggal 1 Mei 1848
dengan sebutan "Reglement Op de Uitoefening Van de Polite, de Vreemde
Osterlingen op Java en Madura" disingkat dengan "Inlandsch Reglement" (IR).
Ketentuan ini akhirnya disahkan dan dikuatkan oleh pemerintah Belanda
dengan firman raja tanggal 29 September 1849, No. 93 Stb. 1849 No. 63.
Reglement ini selain diperuntukkan golongan Bumi Putra (pribumi),
juga diperuntukkan bagi golongan Timur Asing di Jawa dan Madura karena
dianggap bahwa orang-orang Timur Asing itu kecerdasannya
disamakan dengan Bumi Putra.
Dalam perkembangan lebih lanjut Inlandsch Reglement (IR) ini
beberapa kali terjadi perubahan. Perubahan penama dilaksanakan pada
tahun 1926 yang merubah dan menambah beberapa ketentuan :) baru
dalam IR tersebut yang kemudian dirumuskan dengan Stb. 1926 No. 559 jo.
496. Perubahan kedua dilaksanakan pada tahun 1941. Perubahan ini sangat
mendasar sehubungan di bentuknya Lembaga Penuntut Umum yang
anggota-anggotanya tidak lagi di bawah Pamong Praja, melainkan
langsung di bawah Kejaksaan tinggi dan Jaksa Agung yang berdiri
sendiri yang tidak terpecah -pecah (Ondeelbaar) dan togas lembaga
tersebut menyangkut soal-soal pidana sehingga perlu diatur juga tentang
acara pidananya- Oleh karena adanya perubahan yang sangat mendasar ini.
yang dalam bahasa Belandanya disebut "Herzien", maka sebutan yang semuia
'Wandsch reglement" diganti namanya menjadi 'Het HeTziene
Inlandsch Reglement" disingkat HIR. Setelah Indonesia Merdeka. HIR
disebut juga RIB. singkatan dari Reglement Indonesia yang di:perbaharui.
Pengundangan secara keseluruhan HIR ini dilakukan dengan Stb. 1941
No. 44.4
4
Ibid., hal. 10.
Pada zaman penjajahan Jepang. Berdasarkan undang-undang Nomor
1 Tahun 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon mulai tanggal 7
Maret 1942 di Jawa dan Madura memberlakukan ketentuan yang
mengatakanbahwa semua Badan pemerintah dan kekuasannva
Hukum dan Undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat
sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah
militer. Atas dasar Undang-undang ini HIR. Bg. masih tetap berlaku.
Kemudian pada bulan April 1942 pemerintah Bal at ent ara Dai Ni ppon
m engel uarkan p era t uran Ba ru t ent an g susunan dan kekuasaan
Pengadilan yaitu yang membentuk suatu Pengadilan untuk
tingkat pertama yang Hooin. dan Kootoo Hoon untuk
pemeriksaan tingkat tingkat banding. Kedua macam Peradilan tersebut di
peruntukan kepada semua golongan penduduk tanpa membeda-bedakan
orang, kecuali bagi orang-orang Jepang yang diadili dengan Pengadilan
sendiri. Dengan di hapusnya Raad Van Justitie dan Residentie Gerech, dengan
sendirinya Hukum Acara yang termuat dalam B.R%-. juga tidak berlaku
lagi kecuati untuk rnengisi kekosongan hukum sepanjang diperlukan
sedangkan dalam HIR dan R. Bg. juga tidak diatur. (Wirjono Projodikoro :
1-962; 25)5
Ketika Indonesia merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945
kondisi ya n g b e r l a k u p a d a z a m a n p e n j a j a h a n J e p a n g t e t a p
b e r l a k u berdasarkan Aturan Peralihan pasal II dan IV Undang-Undang
Dasar 1945 dan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10
Oktober 1945. Dengan demikian HIR, dan R.Bg. masih tetap berlaku
sebagai Hukum Acara di lingkungan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung RI. Kemudian dengan pasal 5 Undang -Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara
untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, kekuasaan dan acara
Pengadilan-Pengadilan sipil yang diberlakukan pada tanggal 14
Januari 1951 Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1951 ditentukan
bahwa HIR dan R.Bg. sebagai aturan yang harus dipedomani dalam
5
Ibid., hal. 11.
pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung RI.
6
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 11-13
i) Yurisprudensi
j) Perjanjian Internasional
k) Doktrin7
7
Log.Cit.
dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atu
menggabulkan daripada yang dituntut.
Jadi pengertian pasif disini hanyalah berarti bahwa hakim tidak
menentukan luas daripada pokok sengketa.8
8
Bambang Sugeng A.S dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi
(Jakarta: Kencana, 2012). Hal. 3-5
“Bahwa Putusan yang Tidak Lengkap atau Kurang Cukup Dipertimbangkan
Merupakan Alasan untuk Kasasi dan Harus Dibatalkan.”
Kadang-kadang untuk mempertanggungjawabkan putusan sering juga dicari
dukungan yurisprudensi dan ilmun pengetahuan.
f) Beracara Dikenai Biaya
Untuk berperkara perdata pada asasnya dikenakan biaya. Biaya ini
meliputi:
a) Biaya kepaniteraan;
b) Biaya panggilan;
c) Biaya materi.
Bahkan kalau para pihak minta bantuan seorang advokat, maka harus pula
dikeluarkan biaya. Bagai mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya
perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan
mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan
mengajukan surat kererangan tidak mapu yang dibuat oleh camat, yang
membawahkan daerah tempat yang berkepentingan bertepat tinggal.
9
Ibid., Hal. 6
hukum yang tetap atau tidak ada upaya hukum lain dari pihak yang
dikalahkan, kecuali dalam putusan “ProvisionilI dan putusan uit voerbaar bij
voorroad ”.
Kewenangan Pengadilan:
10
Tempat Kedudukan Pengadilan:
Tempat kedudukan Pengadilan Negeri pada prinsipnya berada di tiap
Kabupaten, namun di luar Pulau Jawa masih terdapat banyak Pengadilan Negeri
yang wilayah hukumnya meliputi lebih dari satu Kabupaten.
Kedudukan Pengadilan Negeri ada sebuah Kejaksaan Negeri dan disamping
tiap Pengadilan Tinggi ada Kejaksaan Tinggi. Khusus di Ibukota Jakarta ada 5
instansi Pengadilan Negeri yakni di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta
Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara demikan pula dengan Kejaksaannya
Negerinya.
11
5. Tugas Hakim dalam Acara
Menurut sistem HIR dan RBg hakim mempunyai peran aktif
memimpin dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim berwenang
untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan gugatan kepada
pengadilan (Pasal 119 HIR, 143 RBg) dengan maksud agar perkara yang
diajukan itu menjadi jelas persoalannya dan memudahkan hakim untuk
mencatat segala apa yang dikemukakan oleh pencari keadilan apabila yang
bersangkutan itu tidak dapat menulis ( Pasal 120 HIR, 144 RBg).
Namun, kewenangan hakim membantu pihak pencari keadilan tidaklah
berarti bahwa hakim itu memihak atau berat sebelah, melainkan hakim hanya
mengajukan jalan yang patut ditempuh menurut Undang-Undang, sehingga
orang yang buta hukum dan tidak bisa menulis tidak dirugikan atau tidak
menjadi korban perkosaan hak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Undang-undang memperkenankan hakim memberikan petunjuk kepada
pencari keadilan karena pada dasarnya perkara belum resmi dibawa kemuka
pengadilan. Hakim tidak boleh memihak bilamana perkara itu telah resmi
dibawa ke muka sidang dan mulai diperiksa. Dalam pemeriksaan tersebut
hakim harus bersikap bebas dan tidak memihak. Dalam sidang pemeriksaan
perkara hakim akan mendengar keterangan kedua belah pihak dengan
pembuktiannya masing-masing sampai hakim dapat menemukan kebenaran
yang sesungguhnya.12
Biasanya sebelum gugatan diserahkan ke pengadilan, penggungat telah
menyusun dan merumuskannya secara rapi dalam bentuk tertulis dan
memenuhi syarat, baik dia bertanya kepada ahli hukum atau biro penasihat
hukum untuk mendapatkan nasihat hukum bahkan mewakilkan kepada
pengacara atau penasihat hukum. Namun demikian, hakim masih perlu
membantu para pencari keadilan dengan berusaha mengatasi segala hambatan
agar dapat tercapai peradilan yang sederhana, cepat, dan murah. (Pasal 5 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1974.
Timbulnya perkara perdata bukan inisiatif pihak penggugat, bukan
inisiatif hakim. Sesuai dengan prinsip ini, hakim hanya mempunyai kebebasan
menilai sejauh yang dikemukakan dan dituntut oleh pihak yang berperkara.
12
AbdulKadir Muhammad, Op.Cit., hal. 19-20.
Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari tuntutan pihak-pihak. Namun
demikian, tidaklah bearti bahwa hakim hanya terpaku pada yang dikemukakan
oleh pihak-pihak, melainkan wajib menilai sampai dimana kebenaran yang
dikemukakan oleh pihak-pihak, sehingga keadilan benar-benar dapat dicapai.
Ini sesuai dengan prinsip yang dianut HIR dan RBg. Tugas hakim adalah
menemukan kebenaran yang sesungguhnya dalam perkara yang ditanganinya.
Dengan demikian, berlakunya peraturan hukum perdata dapat dipertahankan
sebagaimana mestinya.
Menurut sistem HIR dan RBg hakim adalah aktif, tidak hanya aktif
mencari kebenaran yang sesungguhnya atas perkara yang ditanganinya, tetapi
harus menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970).13
13
Ibid., hal. 21-22.
tidak benar dapat dikontrol atau setidak-tidaknya dapat dihindari. Beracara
tidak langsung artinya hakim tidak secara langsung berhadapan dengan pihak-
pihak yang berperkara, melaikan berhadapan dengan kuasa atau penasihat
hukumnya. Disini kemungkinan untuk bersilat lidah selalu ada, malahan
mungkin terjadi bahwa pembelaan yang dikemukakan itu tidak membantu
untuk menjernihkan perkara, melainkan menambah kesulitan bagi hakim
untuk menemukan kebenaran sesungguhnya. Pembelaan semacam ini sering
disebut “Pokrol bambu” (bushlawyer). Pembelaan Pokrol bambu banyak
kemungkinan terjadi bila penerima kuasa hukum bukan ahli hukum, sehingga
tidak memahami teori-teori hukum dan sistematika undang-undang serta
metode interpretasi. Padahal, tujuan perkara diwakilkan adalah untuk
membantu hakim menemukan hukum yang tepat, sehingga memudahkan
hakim mengambil putusan yang adil dan benar.14
Walaupun sistem beracara yang digunakan itu tidak langsung, bila
hakim menganggap perlu memanggil pihak-pihak ke muka sidang untuk
mendegarkan keterangan langsung dari pihak-pihak itu sendiri kendatipun
pihak-pihak diwakili oleh kuasanya. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa
hakim adalah aktif, jadi hakim dapat menentukan segala sesuatunya guna
penyelesaian perkara secara adil.
Pemeriksaan perkara dimuka sidang pengadilan dilakukan dengan
pintu terbuka untuk umum, artinya orang banyak dapat menghadiri, mengikuti
jalannya sidang, mendengar dan mengetahui apa yang dibicarakan dalam
persidangan. Apabila ada alasan penting atau karena ketentuan undang-
undang, hakim memerintahkan agar sidang dilakukan dengan pintu tertutup.
Tertutup artinya orang banyak tidak dibolehkan mendengar atau mengetahui
apa yang dibicarakan dalam persidangan. Bagi pengadilan negeri prinsip ini
mempunyai arti yang menentukan karena acara selalu berlangsung secara
lisan. Perkara seperti ini biasanya mengenai perbuatan yang bertentangan
dengan kesusilaan atau hal yang tidak patut didengar oleh umum, misalnya
gugatan perzinahan. Apabila orang banyak dapat mendengar, pihak yang
bersangkutan segan atau malu mengemukakan hal yang sebenarnya secara
terus terang. Dengan demikian, pemeriksaan perkara menjadi kurang lancar,
14
meskipun sidang dapat dilaksanakan dengan pintu tertutup, keputusan hakim
harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 17 & 18 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970).15
15