Anda di halaman 1dari 19

RUANG LINGKUP HUKUM ACARA PERDATA

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Hukum Acara Perdata
Dosen Pengampu : Mochammad Junaidi Abdillah, M.H

Disusun Oleh :

1. Quthrotun Nada 1720110045


2. Aulia Mala Tsurraya 1720110046
3. Maulin Niamsyah 1720110047

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL SYAHSIYYAH
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah merupakan sunnatullah, manusia diciptakan oleh tuhan untuk hidup
bersama dengan manusia lainya serta bersama mahluk dan lingkungan sekitarnya
untuk bermasyarakat dan menjaga hak dan kewajibanya atas diri dan sesama.
Dalam hidup bermasyarakat ini mereka saling menjalin hubungan yang sifat dan
jumlahnya tidak terhinga.
Dalam hidup, masing-masing orang kadang memiliki kepentingan yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Adakalanya kepentingan mereka
saling bertentangan, yang kadang menimbulkan sengketa, untuk menghindarkan
gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan
membuat ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap angota
masyarakat. Sehingga kepentingan angota masyarakat lainya akan terjaga dan
terlindungi, apabila kaidah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan
akan diberikan sanksi atau hukuman. Yang dimaksud dengan kepentingan disini
adalah hak-hak dan kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materiil
atau lazim disebut sebagai hukum acara perdata.
Hukum acara perdata adalah sekumpulan peraturan yang membuat
bagaimana caranya orang bertindak di depan pengadilan, bagaimana caranya pihak
yang terserang kepentinganya mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak
sekaligus memutus perkara dengan adil, bagaimana melaksanakan keputusan
hakim yang kesemuanya bertujuan agar hak dan kewajiban yang telah diatur dalam
hukum perdata materiil itu dapat berjalan dengan semestinya, sehingga terwujud
tegaknya hukum dan keadilan.
Dengan demikian kedudukan hukum acara perdata amat penting, karena
adanya hukum acara perdata, masyarakat merasa adanya kepastian hukum bahwa
setiap orang berhak mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya dan
setiap orang yang melakukan pelangaran terhadap hukum perdata yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain dapat dituntut melalui pengadilan. Selain
itu hukum acara perdata juga berfungsi untuk menegakan, mempertahankan dan
menjamin ditaatinya ketentuan hukum materiil dalam praktik melalui perantaraan
peradilan. Dengan hukum acara perdata diharapkan akan tercipta ketertiban dan
kepastian hukum dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian dan Sejarah Hukum Acara Perdata?
2. Apa saja Sumber Hukum Acara Perdata?
3. Apa saja Asas-Asas dalam Hukum Acara Perdata?
4. Bagaimana Susunan Badan Peradilan di Indonesia?
5. Apa Saja Tugas Hakim dalam Acara?
6. Bagaimanakah Sifat Acara di Muka Sidang Pengadilan?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Sejarah Hukum Acara Perdata


a. Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum Perdata mengatur hak dan kewajiban orang-orang yang
mengadakan hubungan hukum. Peraturan hukum perdata meliputi peraturan
tertulis berupa perundang-undangan, misalnya : BW, WvK, Undang-Undang
Perkawinan, dan peraturan tidak tertulis berupa hukum adat dan kebiasaan
yang hidup dalam masyarakat. Semua peraturan hukum yang memuat hak dan
kewajiban disebut hukum Materiial (substantive law). Hukum materiil yang
mengatur tentang hubungan hukum antara pribadi yang satu dengan pribadi
yang lain di sebut Hukum Perdata materiial (substantive civil law), atau yang
lazim disebut Hukum Perdata Saja.
Untuk mempertahankan hak dan memenuhi kewajiban seperti yang
telah diatur dalam hukum perdata orang tidak boleh bertindak semaunya saja,
tidak boleh menghakimi sendiri(arbitrary action), melainkan harus
berdasarkan Peraturan Hukum yang telah ditetapkan atau diatur dalam
Undang-Undang. Apalagi bila pihak yang bersangkutan tidak dapat
menyelesaikan sendiri tuntutannya secara damai dan minta bantuan
penyelesaian kepada hakim. Cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan
(hakim) diatur dalam Hukum Acara Perdata (Civil Procedural).1
Atau dapat disimpulkan Hukum Perdata adalah rangkaian-rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus
bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata.
Kata “acara” di sini berarti proses penyelesaian perkara melalui
pengadilan(hakim) dengan tujuan untuk memulihkan hak seseorang yang
terganggu atau dirugikan oleh pihak lain, mengembalikan keadaan seperti
semula sebelum terjadi gangguan atau kerugian, agar peraturan hukum perdata
dipatuhi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dengan melalui pengadilan

1
AbdulKadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000),
hal. 14.
orang mendapat kepastian tentang haknya yang harus dihormati setiap orang,
misalnya hak sebagai ahli waris, hak sebagai pemilik barang, hak sebagai
penghuni rumah yang sah dan sebagainya,
HukumAcara Perdata dapat disebut juga Hukum Perdata Formal
(Formal Civil Law) karena mengatur tentang proses penyelesaian perkara
melalui pengadilan secara formal. Hukum Acara Perdata mempertahankan
berlakunya Hukum Perdata, agar hak dan kewajiban pihak-pihak diperoleh
dan dipenuhi sebagaimana mestinya.

b. Sejarah Singkat Hukum Acara Perdata di Indonesia


Pada mulanya pemerintah Hindia Belanda tidak mempunyai peraturan
khusus tentang Hukum Acara yang diperuntukkan kepada rakyat Bumi Putra
yang berperkara di Pengadilan, tetapi karena kebutuhan yang sangat mendesak
pemerintah Hindia Belanda mempergunakan Soh, 1119 No. 20 dengan sedikit
penambahan dan perubahan yang ti ak begitu berarti. Sementara itu. Mr. H. L.
Wichers yang menjabat Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda
(Hooggerechtshof) yang berkeduclukan & Batavia (sekarang Jakarta)
melarang dalam praktek pengadilan mempergunakan Hukum Acara Perdata
yang dipergunakan golongan Eropa kepada rakyat Bumi Putra tanpa dilandasi
dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan hal tersebut terjadi
kekosongan hukum acara dalam praktek peradilan untuk golongan Bumi
Putra. sehingga pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat hukum
acara khusus yang diberlakukan untuk golongan Bumi Putra agar
dipergunakan oleh hakim dalam melaksanakan tugas-tugas yang di bebankan
kepadanya,2
Dengan beslit Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen No. 3 tahun
1846 tanggal 5 Desember 1846, Mr. H.L. Wichers clitunjuk dan ditugaskan
untuk menyusun sebuah reglemen tentang administrasi. polisi, acara perdata
dan acara pidana bagi golongan pribumi atau Bumi Putra yang waktu itu
terhadap mereka berlaku Stb.1819 No. 20 yang memuat 7 (tujuh) pasal yang
berhubungan dengan Hukum Acara Perdata. Tugas tersebut dilaksanakan
dengan baik oleh Mr. H.L Wichers dalam tempo 8 (delapan) bulan lamanya.

2
Ibid., hal. 7.
Pada tanggal 6 Agustus 1847 rancangan itu disampaikan kepada Gubernur
Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk dibahas lebih lanjut dengan pakar
hukum yang bertugas di Mahkamah Agung Hindia Belanda pada waktu itu.
Dalam sidang pembahasan di Mahkamah Agung Hindia Belanda tersebut,
berkembang pikiran bahwa rancangan yang disusun oleh Mr. H.L. Wichers
itu terlalu sederhana, mereka menghendaki agar dalam rancangan
tersebut supaya ditambah dengan lembaga penggabungan jaminan, interventie
dan reques civil sebagaimana yang terdapat pada Rv. yang diperuntukkan pada
golongan Eropa. (Supomo :1963:5.
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen tidak setuju atas
penambahan sebagaimana tersebut di atas, terutama hat yang tersebut dalam
pasal 432 ayat (2). Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen hanya
memperbolehkan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan untuk golongan
Eropa di pergunakan oleh Pengadilan Gubernemen yang ada di Jakarta,
Semarang dan Surabaya saja dalam mengadili orang-orang Bumi Putra,
selebihnya dilarang dipergunakan untuk golongan Bumi Putra. Sikap
Gubernur Jenderal ini didukung penuh oleh Mr. H.L. Wichers, beliau
mengemukakan bahwa kalau dalam rancangan yang dibuat itu ditambah
sebagaimana yang tersebut dalam Rv, sebaiknya Rv saja yang diberlakukan
seluruhnya untuk golongan Bumi Putra itu. Kalau konse-D rancangan itu
ditambah lagi dengan ha-hat yang dianggap tidak begitu penting,
dikhawatirkan konsep rancangan itu bukan akan bertambah jelas tetapi
malah akan menjadi kabur dan tidak terang lagi rancangannya.3
Setelah menerima masukan-masukan dari berbagai pihak,
terutama atas saran dari Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen, ketentuan
yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2) dirubah, kemudian ditambah suatu
ketentuan penutup yang bersifat umum yang mengatur berbagai aturan
termuat dalam pasal 393 ayat (1) dan (2) sebagaimana tersebut dalam HIR
sekarang ini. Pasal ini merupakan pasal yang sangat penting karena dalam
pasal tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa HIR diberlakukan untuk
golongan Bumi Putra, tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dapat

3
Ibid., hal. 8.
dipergunakan ketentuan lain dalam perkara perdata meskipun sedikit mirip
dengan ketentuan yang tersebut dalam Rv.
Setelah melalui perubahan dan penambahan sebagaimana tersebut di
atas, akhirnya Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen pada tanggal 5
April 1848 menerima rancangan Mr. H.L. Wichers ini dengan menerbitkan Stb.
1848 No. 16 dan dinyatakan berlaku secara resmi pada tanggal 1 Mei 1848
dengan sebutan "Reglement Op de Uitoefening Van de Polite, de Vreemde
Osterlingen op Java en Madura" disingkat dengan "Inlandsch Reglement" (IR).
Ketentuan ini akhirnya disahkan dan dikuatkan oleh pemerintah Belanda
dengan firman raja tanggal 29 September 1849, No. 93 Stb. 1849 No. 63.
Reglement ini selain diperuntukkan golongan Bumi Putra (pribumi),
juga diperuntukkan bagi golongan Timur Asing di Jawa dan Madura karena
dianggap bahwa orang-orang Timur Asing itu kecerdasannya
disamakan dengan Bumi Putra.
Dalam perkembangan lebih lanjut Inlandsch Reglement (IR) ini
beberapa kali terjadi perubahan. Perubahan penama dilaksanakan pada
tahun 1926 yang merubah dan menambah beberapa ketentuan :) baru
dalam IR tersebut yang kemudian dirumuskan dengan Stb. 1926 No. 559 jo.
496. Perubahan kedua dilaksanakan pada tahun 1941. Perubahan ini sangat
mendasar sehubungan di bentuknya Lembaga Penuntut Umum yang
anggota-anggotanya tidak lagi di bawah Pamong Praja, melainkan
langsung di bawah Kejaksaan tinggi dan Jaksa Agung yang berdiri
sendiri yang tidak terpecah -pecah (Ondeelbaar) dan togas lembaga
tersebut menyangkut soal-soal pidana sehingga perlu diatur juga tentang
acara pidananya- Oleh karena adanya perubahan yang sangat mendasar ini.
yang dalam bahasa Belandanya disebut "Herzien", maka sebutan yang semuia
'Wandsch reglement" diganti namanya menjadi 'Het HeTziene
Inlandsch Reglement" disingkat HIR. Setelah Indonesia Merdeka. HIR
disebut juga RIB. singkatan dari Reglement Indonesia yang di:perbaharui.
Pengundangan secara keseluruhan HIR ini dilakukan dengan Stb. 1941
No. 44.4

4
Ibid., hal. 10.
Pada zaman penjajahan Jepang. Berdasarkan undang-undang Nomor
1 Tahun 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon mulai tanggal 7
Maret 1942 di Jawa dan Madura memberlakukan ketentuan yang
mengatakanbahwa semua Badan pemerintah dan kekuasannva
Hukum dan Undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat
sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah
militer. Atas dasar Undang-undang ini HIR. Bg. masih tetap berlaku.
Kemudian pada bulan April 1942 pemerintah Bal at ent ara Dai Ni ppon
m engel uarkan p era t uran Ba ru t ent an g susunan dan kekuasaan
Pengadilan yaitu yang membentuk suatu Pengadilan untuk
tingkat pertama yang Hooin. dan Kootoo Hoon untuk
pemeriksaan tingkat tingkat banding. Kedua macam Peradilan tersebut di
peruntukan kepada semua golongan penduduk tanpa membeda-bedakan
orang, kecuali bagi orang-orang Jepang yang diadili dengan Pengadilan
sendiri. Dengan di hapusnya Raad Van Justitie dan Residentie Gerech, dengan
sendirinya Hukum Acara yang termuat dalam B.R%-. juga tidak berlaku
lagi kecuati untuk rnengisi kekosongan hukum sepanjang diperlukan
sedangkan dalam HIR dan R. Bg. juga tidak diatur. (Wirjono Projodikoro :
1-962; 25)5
Ketika Indonesia merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945
kondisi ya n g b e r l a k u p a d a z a m a n p e n j a j a h a n J e p a n g t e t a p
b e r l a k u berdasarkan Aturan Peralihan pasal II dan IV Undang-Undang
Dasar 1945 dan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10
Oktober 1945. Dengan demikian HIR, dan R.Bg. masih tetap berlaku
sebagai Hukum Acara di lingkungan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung RI. Kemudian dengan pasal 5 Undang -Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara
untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, kekuasaan dan acara
Pengadilan-Pengadilan sipil yang diberlakukan pada tanggal 14
Januari 1951 Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1951 ditentukan
bahwa HIR dan R.Bg. sebagai aturan yang harus dipedomani dalam

5
Ibid., hal. 11.
pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung RI.

2. Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata


Adapun sumber- sumber Hukum Acara Perdata di Indonesia yang berlaku sampai saat
ini :
a) HIR, (Het Herziene Indonesisch Reglement) Reglement tentang melakukan
pekerjaan kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan hukum untuk
bangsa Bumiputera dan bangsa timur di Tanah Jawa dan1941 nomor 44
Madura, yang merupakan pembaruan dari Reglement Bumiputera/ Reglement
Indonesia(RIB) dengan Staatsblad (Bab IX, 7 Bagian)
b) RBg (Reglement tot regeling van het rechtswezen in de gewesten buiten java
en madura)reglement tentang hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah
luar Jawa dan Madura dengan S. 1927 Nomor 227.
c) RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) disebut juga Hukum
Acara Perdata untuk Gol. Eropa, namun menurut Prof. Soepomo, sudah tidak
berlaku sejak Raad van Justitie dan Residentiegerecht dihapus.
d) RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie in Het Beleid der Justitie in
Indonesie) reglement tentang organisasi kehakiman dengan Staatsblad 1847
Nomor 23.
e) Ordonasi dengan Staatsblad 1867 Nomor 29, tanggal 14 Maret 1867 tentang
Kekuatan Bukti, Surat-Surat di Bawah Tangan yang di Perbuat oleh Bangsa
Bumi Putera atau oleh yang disamakan dengan Dia.
f) BW (Burgerlijk wetboek/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ Kitab
Undang-Undang Hukum Sipil) yang dikodifikasi pada tanggal 1 Mei 1848
pada zaman Pemerintahan Belanda di Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa
Indonesia yang berlaku bagi mereka yang termasuk golongan Eropa, golongan
Tiong Hoa dengan beberapa pengecualiannya dan golongan Timur Asing.6
g) Kitang Undang-Undang Hukum Dagang ( Wetboek van Koophandel)
h) Undang-undang yang belum dikodifikasi ( UU No. 20 Tahun 1947, tentang
acara banding, UU No. 14 Tahun 1970 Jo UU No. 35 Tahun 1999 Jo UU No.
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.dll

6
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 11-13
i) Yurisprudensi
j) Perjanjian Internasional
k) Doktrin7

3. Asas-Asas dalam Hukum Acara Perdata


Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan ada beberapa hal yang menjadi
dasar dalam mengajukan gugatan. Adapun asas-asas dalam hukum acara perdata
adalah sebagai berikut:
a) Hakim Bersifat Menunggu
Asas ini menentukan bahwa dalam pelaksanaannya, inisiaif untuk
mengajukan tuntutan hak keperdataan diserahkan sepenuhnya kepada yang
berkepentingan. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, sepenuhnya
diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, utuk itu, berlaku adagium
“judex ne procedat ex offcio”, apabila tidak ada gugatan, maka disitulah tidak
ada hakim. Jadi yang mengajukan tuntutan hak ialah pihak yang
berkepentingan, sedang jhakim bersifart menunggu datangnya tuntutan yang
akan diajukan kepadanya, akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya,
hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kuang jelas.
b) Hakim Bersifat Pasif
Hakim dalam memeriksa perkara bersifat pasif dalam arti bahwa ruang
lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk
diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yng beperkara dan bukan
oleh hakim, hakim tidak dapat memperluas ataupun mengurangi pokok
sengketa yang diajukan oleh pihak yang beperkara.
Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah
diajukan di muka pengadilan, sedangkan hakim tidak dapat menghalang-
halanginya. Pengakhiran sengketa dapat berupa perdamaian atau pencabutan
guatan.
Lebih lanjut atas perkara yang diajukan di hadapannya, hakim wajib
mengadili ( memeriksa dan memberikan pertimbangan) seluruh gugatan dan

7
Log.Cit.
dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atu
menggabulkan daripada yang dituntut.
Jadi pengertian pasif disini hanyalah berarti bahwa hakim tidak
menentukan luas daripada pokok sengketa.8

c) Sifat Terbukanya Persidangan


Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk
umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan
pemeriksaan di persidangan. Tujuannya tidak lain untuk memberi
perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan dengan
mempertanggungjawaban pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta
putusan yang adil kepada masyarakat.
Kecuali apabila fitentukan lain oleh undang-undang berdasarkan alasan
yang patut diuat dala berita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka
persidangan dilakukan dengan pintu tertutup, misalnya dala perkara perceraian
atau perkara perzinaan.

d) Mendengar Kedua Belah Pihak (Audi et alteram partem)


Kedua belah pihak yang berperkara di dalam hukum acara perdata
harus diperlakukan sama, tidak memihak. Bahwa pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Demikian pula kedua belah
pihak penggugat masing-asing di beri kesempatan untuk mengemukakan
pendapatnya. Kedua belah pihak harus didengar, hal ini berarti hakim tidak
boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja. Asas ini mengundang
pula arti bahwa kedua belah pihak sama-sama berhak untuk mengajukan alat
bukti di muka sidang.
e) Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
semua putusan pengadilan harus memuat alasan putusan yang dijadikan dasar
untuk mengadili. Alasan itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban
hakuim daripada putusan terhadap masyarakat, sehingga oleh karenanya
mempunyai nilai objektif.
Sehingga Mahkamah Agung dalam putusannya pernah menyatakan:

8
Bambang Sugeng A.S dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi
(Jakarta: Kencana, 2012). Hal. 3-5
“Bahwa Putusan yang Tidak Lengkap atau Kurang Cukup Dipertimbangkan
Merupakan Alasan untuk Kasasi dan Harus Dibatalkan.”
Kadang-kadang untuk mempertanggungjawabkan putusan sering juga dicari
dukungan yurisprudensi dan ilmun pengetahuan.
f) Beracara Dikenai Biaya
Untuk berperkara perdata pada asasnya dikenakan biaya. Biaya ini
meliputi:
a) Biaya kepaniteraan;
b) Biaya panggilan;
c) Biaya materi.

Bahkan kalau para pihak minta bantuan seorang advokat, maka harus pula
dikeluarkan biaya. Bagai mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya
perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan
mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan
mengajukan surat kererangan tidak mapu yang dibuat oleh camat, yang
membawahkan daerah tempat yang berkepentingan bertepat tinggal.

g) Tidak ada Keharusan Mewakilkan


HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang
lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap
para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi, para pihak dapat
dibantu atau diwakili oleh kuasannya kalau dikehendakinya. Dengan
demikian, hakim wajib tetap memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya,
meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa.
Seorang kuasa itu harus seorang advokat, yang mempunyai surat izin
praktik dan bergelar sarjana hukum, terkecuali perkara yang dikuasakan
kepada seseorang yang mempunyai hubungan kekeluargaan (sedarah atau
karena perkawinan) atau mempunyai hubungan kerja.9

h) Asas Putusan Harus di Laksanakan Setelah 14 Hari lewat


Maksudnya setiap keputusan pengadilan hanya dapat dilaksanakan
setelah renggang waktu 14 hari, telah lewat dan telah mempunyai kekuatan

9
Ibid., Hal. 6
hukum yang tetap atau tidak ada upaya hukum lain dari pihak yang
dikalahkan, kecuali dalam putusan “ProvisionilI dan putusan uit voerbaar bij
voorroad ”.

4. Susunan Badan Peradilan di Indonesia


Lembaga peradilan di Indonesia diserahakan kepada Mahkamah
Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung memiliki
tugas pokok seperti menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya. Susunan lembaga peradilan di
Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Peradilan Negeri atau Pengadilan Umum ( UU No. 2 Tahun 1986)
b. Peradilan Agama ( UU No. 7 Tahun 1989)
c. Peradilan Militer ( UU No. 9 Tahun 1950)
d. Peradilan Tata Usaha Negara ( UU No. 5 Tahun 1986)

a) Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama yang


berwenang mengadili semua perkara baik perdata maupun
pidana dari segala perkara perdata dan pidana sipil untuk semua
golongan penduduk(WNI & WNA).
b) Pengadilan Agama memeriksa dan memutusakan perkara-
perkara yang timbul diantara umat islam. Yang berkaitan
dengan Nikah, rujuk, talak(perceraian), nafkah, warisan dan
lain-lain. Dalam hal yang dianggap perlu, keputusan pengadilan
agama dinyatakan berlaku oleh pengadilan negeri

1) Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama yang


berwenang mengadili semua perkara baik perdata maupun pidana
Pengadilan Tinggi atau Pengadilan tingkat banding yang juga
merupakan Pengadilan tingkat kedua. dinamakan Pengadilan
tingkat kedua karena cara pemeriksaannya sama seperti
pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Tinggi).
2) Mahkamah Agung yang merupakan Pengadilan tingkat akhir dan
bukan Pengadilan tingkat ketiga. Mahkamah Agung memeriksa
perkara-perkara yang dimintakan Kasasi, karena tidak puas dengan
dengan putusan banding dari Pengadilan Tinggi. Pada tingkat
kasasi yang diperiksa adalah penerapan hukumnya saja.10

Kewenangan Pengadilan:

Mengenai kewenangan mengadili dapat dibagi menjadi dua


dalam Kekuasaan Kehakiman, yaitu Kekuasaan Kehakiman atribusi (atributie
van rechtsmacht) dan Kekuasaan Kehakiman distribusi (distributie van
rechtsmacht), bahwa :

 Kekuasaan Kehakiman Atribusi disebut juga kewenangan mutlak atau


kompetensi absolute. Kewenangan Mutlak atau Kompetensi absolute
adalah kewenangan badan pengadilan di dalam memeriksa jenis
perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan
pengadilan lain, misalnya Pengadilan Negeri pada umumnya
berwenang memeriksa jenis perkara tertentu yang diajukan dan bukan
Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Agama biasanya kompentensi
absolute ini tergantung pada isi gugatan dan nilai daripada gugatan
(lihat Pasal 6 UU No. 29 Tahun 1947)

 Kekuasaan Kehakiman Distribusi disebut juga kewenangan nisbi atau


kompetensi relative . Kewenangan nisbi atau Kompetensi relative
adalah bahwa Pengadilan Negeri di tempat tinggal (domisili) yang
berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak. jadi gugatan harus
diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat tergugat tinggal. apabila
tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya atau tempat tinggalnya yang
nyata tidak dikenali, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri
di tempat tinggal tergugat sebenarnya dikenali, maka gugatan diajukan
kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggal tergugat sebenarnya (
Pasal 18 HIR, Pasal 141 Ayat 1 Rbg).

10
Tempat Kedudukan Pengadilan:
 Tempat kedudukan Pengadilan Negeri pada prinsipnya berada di tiap
Kabupaten, namun di luar Pulau Jawa masih terdapat banyak Pengadilan Negeri
yang wilayah hukumnya meliputi lebih dari satu Kabupaten.
 Kedudukan Pengadilan Negeri ada sebuah Kejaksaan Negeri dan disamping
tiap Pengadilan Tinggi ada Kejaksaan Tinggi. Khusus di Ibukota Jakarta ada 5
instansi Pengadilan Negeri yakni di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta
Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara demikan pula dengan Kejaksaannya
Negerinya.

Susunan Pejabat Pada Suatu Pengadilan:


1) Di tiap pengadilan terdapat beberapa hakim. diantaranya menjabat sebagai ketua
pengadilan dan wakil ketua.
2) Para hakim bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara di persidangan.
3) Disamping itu ada panitera yang bertugas memimpin bagian administrasi atau tata
usaha dibantu oleh wakil panitera, beberapa panitera pengganti dan karyawan-
karyawan lainnya. Tugas dari pada panitera ialah menyelenggarakan administrasi
perkara serta mengikuti semua sidang serta musyawarah-musyawarah pengadilan
dengan mencatat secara teliti semua hal yang dibicarakan (Pasal 58,59 UU no. 2
Tahun 1986, Pasal 63 RO). ia harus membuat Berita Acara (proses verbal) sidang
pemeriksaan dan menandatanganinya bersama-sama dengan ketua sidang (Pasal
186 HIR, Pasal 197 Rbg). karena ia tidak mungkin mengikuti semua sidang-sidang
pemeriksaan perkara, maka di dalam praktik, tugas tersebut dilakukan oleh panitera
pengganti.
4) Di samping hakim dan panitera masih ada petugas yang dinamakan jurusita
(deurwaarder) dan jurusita pengganti (Pasal 38 UU No.21 Tahun 1986). adapun
tugas dari pada jurusita dalai melaksanakan perintah dari ketua sidang dan
menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, pemberitahuan
putusan pengadilan, panggilan-panggilan resmi para Tergugat dan Penggugat dalam
perkara perdata dan para saksi, dan juga melakukan penyitaan-penyitaan atas
perintah hakim.11

11
5. Tugas Hakim dalam Acara
Menurut sistem HIR dan RBg hakim mempunyai peran aktif
memimpin dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim berwenang
untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan gugatan kepada
pengadilan (Pasal 119 HIR, 143 RBg) dengan maksud agar perkara yang
diajukan itu menjadi jelas persoalannya dan memudahkan hakim untuk
mencatat segala apa yang dikemukakan oleh pencari keadilan apabila yang
bersangkutan itu tidak dapat menulis ( Pasal 120 HIR, 144 RBg).
Namun, kewenangan hakim membantu pihak pencari keadilan tidaklah
berarti bahwa hakim itu memihak atau berat sebelah, melainkan hakim hanya
mengajukan jalan yang patut ditempuh menurut Undang-Undang, sehingga
orang yang buta hukum dan tidak bisa menulis tidak dirugikan atau tidak
menjadi korban perkosaan hak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Undang-undang memperkenankan hakim memberikan petunjuk kepada
pencari keadilan karena pada dasarnya perkara belum resmi dibawa kemuka
pengadilan. Hakim tidak boleh memihak bilamana perkara itu telah resmi
dibawa ke muka sidang dan mulai diperiksa. Dalam pemeriksaan tersebut
hakim harus bersikap bebas dan tidak memihak. Dalam sidang pemeriksaan
perkara hakim akan mendengar keterangan kedua belah pihak dengan
pembuktiannya masing-masing sampai hakim dapat menemukan kebenaran
yang sesungguhnya.12
Biasanya sebelum gugatan diserahkan ke pengadilan, penggungat telah
menyusun dan merumuskannya secara rapi dalam bentuk tertulis dan
memenuhi syarat, baik dia bertanya kepada ahli hukum atau biro penasihat
hukum untuk mendapatkan nasihat hukum bahkan mewakilkan kepada
pengacara atau penasihat hukum. Namun demikian, hakim masih perlu
membantu para pencari keadilan dengan berusaha mengatasi segala hambatan
agar dapat tercapai peradilan yang sederhana, cepat, dan murah. (Pasal 5 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1974.
Timbulnya perkara perdata bukan inisiatif pihak penggugat, bukan
inisiatif hakim. Sesuai dengan prinsip ini, hakim hanya mempunyai kebebasan
menilai sejauh yang dikemukakan dan dituntut oleh pihak yang berperkara.

12
AbdulKadir Muhammad, Op.Cit., hal. 19-20.
Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari tuntutan pihak-pihak. Namun
demikian, tidaklah bearti bahwa hakim hanya terpaku pada yang dikemukakan
oleh pihak-pihak, melainkan wajib menilai sampai dimana kebenaran yang
dikemukakan oleh pihak-pihak, sehingga keadilan benar-benar dapat dicapai.
Ini sesuai dengan prinsip yang dianut HIR dan RBg. Tugas hakim adalah
menemukan kebenaran yang sesungguhnya dalam perkara yang ditanganinya.
Dengan demikian, berlakunya peraturan hukum perdata dapat dipertahankan
sebagaimana mestinya.
Menurut sistem HIR dan RBg hakim adalah aktif, tidak hanya aktif
mencari kebenaran yang sesungguhnya atas perkara yang ditanganinya, tetapi
harus menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970).13

6. Sifat Hukum Acara Perdata


Acara dimuka sidang pengadilan dapat dilakukan secara lisan, dapat
pula secara tertulis. Beracara secara lisan artinya pemeriksaan perkara dalam
sidang pengadilan dilakukan dengan tanya-jawab secara lisan antara hakim
dan pihak-pihak. Pihak-pihak diberi kesempatan mengemukakan segala
keterangan yang diperlukan dalam pemeriksaan perkara mereka. Beracara
secara tertulis sejak mengajukan surat gugatannya sampai pada pemeriksaan
perkara dimuka sidang dilakukan secara tertulis. Pihak-pihak melakukan
jawab-menjawab secara tertulis. Hakim hanya memeriksa apa yang
dikemukan mereka dalam jawaban tertulisnya. Masing-masing dalam sistem
tertulis ini biasanya hakim bersifat pasif sebab segala sesuatunya sudah
disiapkan secara tertulis, biasanya dibantu atau diwakili oleh pengacara ahli
hukum.
Acara dimuka sidang pengadilan dapat secara langsung, dapat pula
secara tidak langsung. Beracara secara langsung artinya hakim langsung
berhadapan dengan pihak-pihak sendiri. Pihak-pihak disini tidak diwakili oleh
seorang kuasa atau penasihat hukum. Disini hakim dapat mengetahui benerkah
keadaan pihak-pihak yang berperkara, sehingga kemungkinan untuk berbicara

13
Ibid., hal. 21-22.
tidak benar dapat dikontrol atau setidak-tidaknya dapat dihindari. Beracara
tidak langsung artinya hakim tidak secara langsung berhadapan dengan pihak-
pihak yang berperkara, melaikan berhadapan dengan kuasa atau penasihat
hukumnya. Disini kemungkinan untuk bersilat lidah selalu ada, malahan
mungkin terjadi bahwa pembelaan yang dikemukakan itu tidak membantu
untuk menjernihkan perkara, melainkan menambah kesulitan bagi hakim
untuk menemukan kebenaran sesungguhnya. Pembelaan semacam ini sering
disebut “Pokrol bambu” (bushlawyer). Pembelaan Pokrol bambu banyak
kemungkinan terjadi bila penerima kuasa hukum bukan ahli hukum, sehingga
tidak memahami teori-teori hukum dan sistematika undang-undang serta
metode interpretasi. Padahal, tujuan perkara diwakilkan adalah untuk
membantu hakim menemukan hukum yang tepat, sehingga memudahkan
hakim mengambil putusan yang adil dan benar.14
Walaupun sistem beracara yang digunakan itu tidak langsung, bila
hakim menganggap perlu memanggil pihak-pihak ke muka sidang untuk
mendegarkan keterangan langsung dari pihak-pihak itu sendiri kendatipun
pihak-pihak diwakili oleh kuasanya. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa
hakim adalah aktif, jadi hakim dapat menentukan segala sesuatunya guna
penyelesaian perkara secara adil.
Pemeriksaan perkara dimuka sidang pengadilan dilakukan dengan
pintu terbuka untuk umum, artinya orang banyak dapat menghadiri, mengikuti
jalannya sidang, mendengar dan mengetahui apa yang dibicarakan dalam
persidangan. Apabila ada alasan penting atau karena ketentuan undang-
undang, hakim memerintahkan agar sidang dilakukan dengan pintu tertutup.
Tertutup artinya orang banyak tidak dibolehkan mendengar atau mengetahui
apa yang dibicarakan dalam persidangan. Bagi pengadilan negeri prinsip ini
mempunyai arti yang menentukan karena acara selalu berlangsung secara
lisan. Perkara seperti ini biasanya mengenai perbuatan yang bertentangan
dengan kesusilaan atau hal yang tidak patut didengar oleh umum, misalnya
gugatan perzinahan. Apabila orang banyak dapat mendengar, pihak yang
bersangkutan segan atau malu mengemukakan hal yang sebenarnya secara
terus terang. Dengan demikian, pemeriksaan perkara menjadi kurang lancar,

14
meskipun sidang dapat dilaksanakan dengan pintu tertutup, keputusan hakim
harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 17 & 18 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970).15

15

Anda mungkin juga menyukai