Anda di halaman 1dari 15

HUKUM KEKERABATAN

MAKALAH
Mata Kuliah : HUKUM ADAT
Dosen Pengampu : Wisda Amalia, S.H.I., M.H

Disusun Oleh :
1. M. Irfan Zuhri 1720110049

2. Noor Rachmatun Ni’mah 1720110057

3. Septiyan Fajar Ariyanto 1720110059

4. Selamet Noryanto 1720110063

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
TAHUN 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu wilayah yang terdiri atas bermacam-
macam suku, budaya, bahasa daerah dan adat istiadat yang berbeda dari
satu daerah dengan daerah lain. Perbedaan tersebut tidak hanya terbatas
dari segi budaya saja, akan tetapi kultur dalam segi kekerabatan yang
sudah mendarah daging sejak zaman nenek moyang di Indonesia menjadi
ciri khas yang kuat dari setiap daerah yang ada di Indonesia. Dalam
persoalan hubungan keakraban baik itu adanya faktor sedarah, pertalian
pernikahan dan sebagainya hukum kekerabatan di Indonesia sangatlah
kompleks dan mempunyai karakter dalam sistem penerapan hukum
kekerabatan itu sendiri. Hasil dari perbedaan kultur dalam hal kekerabatan
pun menimbulkan suatu akibat untuk menjalin sebuah hubungan
(kekerabatan) baik itu sama dalam segi biologis maupun hasil dari keadaan
sosial.
Hukum kekerabatan sendiri mempunyai arti, hukum adat yang
mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai
anggota dalam hubungan kekerabatan, serta kedudukan anak terhadap
orang tua atau sebaliknya dan juga masalah perwalian anak. Pembahasan
mengenai hukum kekerabatan sendiri mengundang ketegangan yang
terdapat di berbagai suku daerah bangsa Indonesia antara keluarga dan
kesatuan kerabat (suku, klan). Berhubungan dengan hal itu, maka makin
pentinglah arti keluarga, sejalan dengan makin merosotnya arti kesatuan
kerabat (suku, klan, dan sebagainya).
Adanya permasalahan diatas mengenai merosotnya arti kesatuan
kerabat serta ketegangan yang terjadi antar suku daerah akan dibahas dan
diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. Sejatinya Indonesia adalah
Negara yang kuat dengan semboyan “BHINEKA TUNGGAL IKA”
( meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua), untuk itulah dalam hukum
adat dijelaskan mengenai hukum kekerabatan yang menjadi cirri khas dari
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita mengetahui
sejauh manakah hukum adat mengatur tentang system kekerabatan dan
pembagian hukum kekerabatan yang ada di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Hukum Kekerabatan?
2. Bagaimana Sistem Hukum Kekerabatan Adat?
3. Bagaimana Kedudukan Pribadi dalam Hukum Kekerabatan Adat?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Kekerabatan Adat
Hukum Kekerabatan Adat ialah hukum adat yang mengatur tentang
bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota dalam kerabat,
kedudukan anak terhadap orang tuanya ataupun sebaliknya, serta
kedudukan anak terhadap kerabatnya ataupun sebaliknya dan masalah
perwalian anak.1 Secara sederhananya, hukum kekerabatan adat mengatur
tentang pertalian sanak saudara berdasarkan pertalian darah, pertalian
perkawinan dan pertalian adat. Pada dasarnya pengertian hukum
kekerabatan dibagi menjadi dua. Pertama, pengertian keturunan yaitu
hubungan darah antara satu orang dengan yang lainnya. Dengan adanya
keturunan ini maka seorang individu memiliki hak dan kewajiban yang
berhubungan dengan keluarga serta silsilahnya. Kedua, adalah hubungan
anak dengan orang tua.
Menurut Prof. Bushar Muhammad, SH keturunan dapat bersifat:
1. Lurus, apabila ada seseorang merupakan langsung keturunan dari yang
lain. Misalnya antara bapak dan anak, antara kakek. Bapak dan anak
disebut lurus ke bawah apabila rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak
lalu ke anak.
2. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih
terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama
(saudara sekandung), atau sekakek nenek.2

B. Sistem Hukum Kekerabatan Adat

1
Hilman Hidayat, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1992, hlm.
201.
2
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat , Jakarta: Pradnya Paramita, 2006, hlm. 4.
Sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat Indonesia
didasari oleh faktor genealogis, yakni suatu kesatuan hukum yang mana
para anggotanya terikat sabagai suatu kestauan karena persekutuan hukum
dimana mereka merasa berasal dari nenek moyang yang sama. Sistem
kekerabatan dipengaruhi oleh garis keturunan yang
menurunkan atau diikuti oleh kesatuan hukum adat tersebut.3 Sistem
kekerabatan yang ada di masyarakat Indonesia dibagi menjadi:
1. Sistem Kekerabatan Unilateral
Sistem Kekrabatan Unilateral merupakan system kekerabatan
yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari satu
pihak sajayakni ayah atau ibu. Sistem kekerabatan ini dapat dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Sistem Kekerabatan Matrilineal, ialah sistem kekerabatan yang
anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak ibu
saja Mereka menganggap bahwa kekerabtan dari pihak ibu lebih
kuat dan lebih penting dari hubungan kekerabatan dari pihak ayah..
Misalnya: di daerah Minangkabau, Kerinci, Semendo (Sumatera
Selatan), Lampung, Paminggir.
b. Sistem Kekerabatan Patrilineal, ialah sistem kekerabatan yang
anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak
laki-laki/ ayah saja , terus menerus ke atas karea adanya
kepercayaan bahwa mereka berasal dari seorang ayah asal yang
hubungannya jauh lebih erat serta menganggap bahwa kekerabatan
dari pihak ayah lebih penting dari kekerabatan pihak ibu.
Misalnya, di daerah Sumatera Utara, Gayo, Tapanuli, Nias, Pulau
Seram, Bali, Lombok, Pulau Baru.
2. Sistem kekerabatan masyarakat bilateral/parental

3
Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001,
hlm. 144.
Sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis
keturunan baik melalui garis keturunan ayah maupun ibu.4
C. Kedudukan Pribadi dalam Hukum Kekerabatan Adat
Pada hakekatnya setiap manusia mempunyai nilai yang sama
tentang nilai hidup, kemerdekaan, kesejahteraan, kehormatan dan
kebendaan. Hanya saja kehidupan masyarakat, adat budaya, serta pengaruh
agama yang dianut membuat penilaian terhadap manusia menjadi tidak
sama. Misalnya: Menurut adat budaya Minangkabau dibedakan antara
beberapa tingkat kemenakan, yaitu kemenakan batali darah, kemenakan
batali adat, kemenakan batali budi dan kemenakan di bawah lutut. Menurut
adat budaya masyarakat Lampung dibedakan antara warga
kepunyimbangan bumi(marga), kepunyimbangan ratu (tiyuh),
kepunyimbangan suku dan beduwa (keturunan rendah). Dalam agama
Hindhu ada pembedaan golongan dalam masyarakata atau biasa disebut
dengan kasta, yaitu kasta Brahma (keturunan pendeta), kasta Ksatria
(keturunan bangsawan), kasta weisha (keturunan pedaganag), dan kasta
Sudra (keturunan rakyat jelata). Dengan adanya pembedaan pribadi
seseorang dalam kehidupan masyarakat maka berbeda pula hak dan
kewajibannya serta kewenangannya dalam kemasyarakatan hukum
adatnya.
D. Hukum Kekerabatan Adat Berdasarkan Pertalian Darah
Berdasarkan pertailan darah, hukum kekerabatan adat dibagi
menjadi tiga, yaitu:
1. Kedudukan Anak
Pertalian sanak berdasarkan pertalian darah maka yang
dibicarakan adalah kedudukan anak kandung. Menurut Undang-
Undang Nomer 1 Tahun 1974 ( UU Perkawinan ) Tentang Kedudukan
Anak, hak dan kewajibannya terhadap orang tua dikatakan dalam Pasal
42 – 43 bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak yang dilahirkan diluar
4
Ibid., hlm. 145-146.
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Menurut hukum adat anak kandung yang sah adalah anak yang
dilahirkan dari perkawinan ayah dan ibunya yang sah, walaupun
mungkin terjadinya perkawinan itu setelah ibunya hamil lebih dulu
sebelum perkawinan. Di daerah Lampung perkawinan semacam itu
disebut kappang tubas(perkawinan itu merupakan perkawinan darurat
untuk menutup malu), di daerah Jawa dikenal dengan istilah nikah
tambelan, di daerah Bugis disebut patongkok siri (perkawinan yang
dilakukan bukan dengan pria yang member benih). Pada kalangan umat
Kristen/Katolik anak yang lahir diluar perkawinan tidak menjadi
masalah, untuk itu dalam agama mereka anak yang sudah ada
sebelumnya itu dapat diakui dan disahkan pada saat berlangsungnya
pernikahan. Dikalangan Umat Islam tidak ada lembaga untuk mengatur
pengesahan anak yang lahir sebelum terjadinya perkawinan yang sah.
Di daerah Minahasa anak yang lahir diluar perkawinan karena
hubungan suami istri yang belum sah, dapat diakui oleh ayah
biologisnya dengan memberi lilikur (tanda pengakuan) dimana
kedudukan anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya.5
Kewajiban anak menurut UU Perkawinan terhadap orang tua
bahwa anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak
mereka yang baik (Pasal 46 ayat 1) dan apabila anak sudah dewasa
maka anak wajib memelihara menurut kemampuannya. Orang tua dan
keluarga dalam garis lurus keatas bila mereka memerlukan bantuan
(Pasal 46 ayat 2). Hal ini selaras dengan kehidupan keluarga dalam
masyarakat yang bersifat parental atau keluarga atau rumah tangga
yang modern. Menurut hukum adat dimana susunan kekerabatan yang

5
Hilman Hidayat, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1992, hlm.
202-203.
patrilinial dan matrilineal yang masih kuat disebut orang tua yang
bukan hanya garis lurus ke atas saja melainkan juga garis ke samping
seperti: para paman, saudara ibu, saudara ayah, serta juga buyut,
canggah, dan Poyang.
Menurut UU Perkawinan anak yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum menikah maka masih dalam kekuasaan orang tuanya,
sedangkan yang tidak berada pada kekuasaan orang tua berada dibawah
kekuasaan wali. Dalam hukum adat lembaga perwalian itu pada
dasarnya tidak ada dan semua anak yang masih dibawah umur dan
belum pernah menikah masih tetap berada pada kekuasaan orang
tuanya dan kerabat menurut struktur kemasyarakatan adatnya masing-
masing.
2. Kedudukan Orang Tua
Menurut UU Perkawinan Pasal 45 (ayat 1-2) dikatakan bahwa
kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri.
Kewajiban memlihara dan mendidik anak tetap terus berjalan meskipun
perkawinan antara kedua orang tuanya putus. Pada masyarakat
patrilinial kewajiban memelihara dan mendidik anak dibebankan
tanggung jawabnya kepada kerabat pihak ayah dan dalam masyarakat
matrilineal kewajiban dibebankan tanggung jawabnya kepada kerabat
pihak ibu/wanita.
Begitu pula dalam hal orang tua mewakili anak mengenai
segala perbuatan hukum di dalam maupun di luar Pengadilan Pasal 42
ayat (2) menurut hukum adat disesuaiakan dengan susunan
kekerabatannya. Sedangkan klausa yang menyatakan bahwa orang tua
tidak boleh memindahkan hak ataupun menggadaikan barang-barang
tetap yang dimiliki anaknya yang masih dibawah umur 18 tahun atau
belum menikah, kecuali jika kepentingan anaknya menghendakinya
(Pasal 48), hal ini tidak dikenal dalam hukum adat. Demikian pula hal
itu berlaku bahwa salah seorang dari mereka(orang tua) dapat dicabut
kekuasaannya terhadap seorang anak atau pada waktu tertentu atas
permintaan orang tua, keluarga, ataupun pejabat yang berwenang sesuia
keputusan Pengadilan meskipun mlalaikan kewajiban terhadap
anaknya, ataupun berkelakuan buruk, hal ini pula tidak dikenal dalam
hukum adat.
Pada persekutuan kekerabatan adat tanggung jawab kehidupan
keluarga ditanggung bersama, segala seuatu diselesaikan melalui
musyawarah mufakat antar kerabat.
3. Kedudukan Anak dan Kerabat
Hubungan antara anak dengan kerabat tidak diatur dalam UU
Perkawinan, tetapi hubungan ini disesuaikan dengan hukum adat yang
berlaku dalam lingkungan masyarakat adat masing-masing.
Dalam lingkungan masyarakat adat patrilinial anak tidak hanya
wajib hormat kepada ayah dan ibunya saja, tetapi juga hormat kepada
para paman, saudara lelaki ayah. Diantara semua paman atau saudara
tersebut yang ikut bertanggung jawab penuh, dan memperhatikan,
mengurusan serta memelihara kemenakan(keponakan) adalah dari
pihak kerabat saudara lelaki ayah, sedangkan yang lainnya hanya
bersifat membantu.
Sedangkan di lingkungan masyarakat adat matrilineal yang
terutama wajib dihormati adalah semua mamak saudara lelaki ibu,
terutama yang berkedudukan mamak kepala waris.
Dalam hal ini bukan berarti anak tidak hormat kepada bako-
baki (kerabat ayah), namun kelompok kerabat ini bukan penanggung
jawab penuha ats kepengurusan, pemeliharaan dan pendidikan anak
kemenakan oleh karena itu tanggung jawab terletak pada pada ibu dan
mamak. Di lingkungan masyarakat parental, dimana peranan orang tua
sudah bertanggung jawab penuh atas pemeliharaan dan pendidikan
anak, maka semua anak wajib menghormati ayah dan ibunya,
sedangkan penghormatan terhadap paman, bibi atau kerabat ayah dan
ibunya sebatas sewajarnya (longgar). Pada kennyataanya anak akan
menghormati kerabat ayah dan ibunya bilamana yang paling sering
memberikan bantuan kepadanya, hal ini dikarenakan keluarga parental
kebanyakan sudah hidup mandiri berdiri di atas keluarganya saja.6
E. Hukum Kekerabatan Adat Berdasarkan Pertalian Perkawinan
Perkawinan menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban suami istri
sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan (Pasal 30-34). Dalam hukum
positif tidak mengatur mengenai hubungn hukum kekerabatan yang timbul
dari perkawinan, hubungan menantu dengan mertua, hubungan per-iparan
dan besanan antara kerabat yang satu dengan yang lain. Untuk itu dalam
hukum kekerabatan adat diatur mengenai hubungan kekerabatan tersebut.
Diantara hubungan kekerabatan yang timbul dari pertalian
perkawinan, ialah:
1. Kedudukan suami istri
Berdasarkan UU Perkawinan (Pasal 30-31) yang
mengemukakan mengenai kedudukan suami istri serta hak dan
kewajibannya, hendaknya istilah “rumah tangga” bukan hanya sebatas
membentuk keluarga secara batiniah saja, tetapi juga terkait karena
adanya ikatan perkawinan yang terdiri atas dua keluarga besar.
Sehingga dengan adanya kekerabatan atas dasar pertalian perkawinan
ini juga berkaitan pada rasa saling mencintai dan menghormati setiap
anggota keluarga dan bagaimana mengimbangi antara hak dan
kewajiban baik antara suami istri dengan anggota kerabat yang lain atas
dua keluarga besar tersebut.Di era modern ini hubungan
kekerabatanpun sudah dipengaruhi oleh bentuk perkawinan yang
mereka lakukan dan lingkungan sekitar mereka. Jadi, tidak semua
kekerabatan ini masih ada dan berjalan.7
Bentuk-bentuk perkawinan diantaranya:
a. Perkawinan Bebas

6
Ibid., hlm. 205
7
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1981, hlm.91-92.
Ikatan perkawinan suami istri dalam bentuk “perkawinan
bebas” yang banyak berlaku dikalangan masyarakat parental,
contohnya : Jawa atau keluarga-keluarga modern yang individual
serat apa yang menjadi tipe ideal dari bentuk rumah tangga dan
perkawinan yang dikehendaki perundangan nasional tersebut tidak
menimbulkan banyak masalah. Membentuk kehidupan yang
mandiri antara suami dan istri .8
b. Perkawinan Jujur
Bentuk perkawinan dengan pemberian uang jujur dari pihak
kerabat pria kepada pihak kerabat wanita yang kebanyakan
dipertahankan oleh masyarakat kekerabatan patrilinial, untuk
mempertahankan garis keturunan lelaki, maka setelah perkawinan
istri melepaskan kedudukan kewargaan adatnya dari kekerabatan
bapaknya dan masuk kedalam satuan kekerabatan suaminya.
Misalnya, didaerah Batak, Lampung, Bali, NTT, Maluku, Irian Jaya
yang menggunakan pertalian perkawinan jujur.
Ikatan perkawinan jujur ini kewajiban memikul tanggung
jawab menegakkan rumah tangga adalah suami, sedangkan istri
hanya sebagai pendampingnya. Jadi, hak dan kedudukan istri tidak
seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dlam kehidupan
berumah tangga maupun dalam hubungan kekerabatan dan
masyarakat. Istri tidak bebas melakukan perbuatan hukum tanpa ijin
suami, karena suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah
pendamping suami.
c. Perkawinan Semenda
Bentuk perkawinan tanpa pembayaran uang jujur yang
kebanyakan dipertahankan oleh masyarakat kekerabatan
matrilineal, untuk mempertahankan garis keturunan wanita yang
merupakan kebalikan dari perkawinan jujur. Dimana setelah
perkawinan suami masuk ke dalam kekerabatan istri atau hanya
8
Ibid., hlm. 93.
sebagai pemberi benih keturunan yang tidak bertanggung jawab
penuh di dalam rumah tangga. Dalam hal ini hak dan kedudukan
suami berada dibawah pengaruh istri dan kerabatnya.9
F. Hukum Kekerabatan Berdasarkan Pertalian Adat
Pertalian sanak berdasarkan pertalian adat maka yang utama
dibahas adalah hubungan hukum antara anak angkat, anak tiri, anak asuh
atau anak akuan. Sebelumnya akan dijabarkan mengenai pengertian anak
angkat, anak tiri dan anak asuh.
1. Anak Angkat,
Anak Angkat ialah anak orang lain yang diangkat oleh orang
tua (angkat) dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan
tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta
kekayaan rumah tangga. Pengangkatan anak biasanya dilakukan
terhadap anak kemenekan sendiri yang diambil lebih muda (usia) serta
pengangkatan tersebut harus jelas dan terang serta disetujui oleh semua
anggota kerabat yang bersangkutan.10
Kedudukan anak angkat sama halnya dengan kedudukan anak
kandung yang akan menjadi penerus dan pewaris dari orang tua
angkatnya dan anak angkat itu tidak lagi mewarisi harta kekayaan
milik orang tua kandungnya melainkan apabila orang tua kandungnya
tidak mempunyai anak lelaki lain, sehingga anak tadi menjadi pewaris
dari kedua ayah yang bersaudara tersebut.
2. Anak Tiri
Anak Tiri ialah anak kandung yang dibawa oleh suami atau istri
dari perkawinan sebelumnya sehingga salah satu dari merek
menyebutnya anak tiri. Kedudukan anak tiri di dalam suatu keluarga
pada masyarakat adat juga terdapat perbedaan karena tergantung pada
susunan kekerabatan atau bentuk perkawinan ayah atau ibu tirinya.
Kewajiban orang tua tiri terhadap anak tiri yang diikutsetakan dalam

9
Ibid., hlm.94- 95
10
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya bakti, 1995, hlm. 143.
perkawinan, baik untuk memelihara dan mendidik mereka tidaka ada
bedanya dengan anak kandung (anak sendiri). Kewajiban anak tiri
terhadap orang tua sama halnya dengan kewajiban seorang anak
kandung kepada orang tua.
Kedudukan anak tiri dalam bentuk perkawinan jujur ataupun
semenda tidak terlepas dari pengaruh kekerabatan ayah atau ibu. Bagi
ayah tiri terdapat ketentuan yang harus diperhatikan untuk tidak begitu
saja melakukan transaksi atas hak milik kepada anak tiri yang amsih
dibawah umur atau tanpa kesepakatan anggota kerabat. Dalam hal ini,
anak tiri pada dasarnya hanay bisa mewarisi dari orang tua yang
melahirkannya.
3. Anak Akuan (Asuh)
Anak Akuan ialah anak orang lain yang mengakui karena belas
kasihan dimana terkadang ada alasan untuk mengasuh anak tersebut
karena belum mempunyai keturunan. Kedudukan anak akuan ini
terhadap orang tua yang mengasuhnya bukan sebagai ahli warisnya,
oleh karena itu pada dasarnya pengakuan anak asuh tidak mengubah
hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, kecuali dialihkan dari
anak asuhan menjadi anak angkat. Adakalanya anak asuhan mendapat
bagian warisan dari orang tua asuh dikarenakan rasa kebijaksanaan
ataupun rasa kasih sayang orang tua asuh pada anak asuhnya. 11

BAB III
PENUTUP
11
Ibid., hlm. 149-151.
A. Simpulan
Hukum kekerabatan adat ialah hukum adat yang mengatur tentang
bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota dalam kerabat,
kedudukan anak terhadap orang tuanya ataupun sebaliknya, serta
kedudukan anak terhadap kerabatnya ataupun sebaliknya dan masalah
perwalian anak.
Sistem kekerabatan yang ada di masyarakat Indonesia dibagi menjadi dua:
a. Sistem kekerabatan unilateral,
b. Sistem kekerabatan masyarakat bilateral/parental
Berdasarkan pertailan darah, hukum kekerabatan adat dibagi menjadi tiga,
yaitu:
a. Kedudukan Anak
b. Kedudukan Orang Tua
c. Kedudukan Anak dan Kerabat
Pada hakekatnya setiap manusia mempunyai nilai yang sama tentang
nilai hidup, kemerdekaan, kesejahteraan, kehormatan dan kebendaan.
Hanya saja kehidupan masyarakat, adat budaya, serta pengaruh agama
yang dianut membuat penilaian terhadap manusia menjadi tidak sama.

DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya bakti,

1995.
Hidayat, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar

Maju, 1992.

Muhammad, Bushar. Pokok-pokok Hukum Adat , Jakarta: Pradnya Paramita,

2006

Poesponoto, Soebakti. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya

Paramita, 2001.

Sudiyat, Iman. Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1981.

Anda mungkin juga menyukai