DI INDONESIA
Pada tahun 1963, Dr. Sahardjo (Menteri Kehakiman RI), dalam pidato pengukuhan gelar
Honoris Causa di Universitas Indonesia, membuat suatu sejarah baru dalam sistem
kelembagaan Pemasyarakatan Indonesia. Ia mengemukakan bahwa Narapidana itu adalah
orang yang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat, yang dalam
keberadaannya perlu mendapat pembinaan. Selanjutnya dikatakan tobat tidak dapat
dicapai dengan hukuman dan penyiksaan, tetapi dengan bimbingan agar kelak berbahagia
di dunia dan akhirat. (Barda Nawawi Arief, 1998: 68)
Konsepsi pemasyarakatan tersebut, secara legitimasi baru terjadi 30 tahun kemudian,
setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
sebagai payung hukum pelaksanaan pidana Lembaga Pemasyarakatan (LP) sebagai suatu
sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan yang baik harus dinilai dari 3 (tiga)
kriteria utama. Pertama, sistem itu haruslah efisien, tidak memboroskan anggaran negara.
Kedua, sistem tersebut mesti menimbulkan efek jera, mencgah pengulangan tindak
kejahatan. Dan ketiga, sistem demikian haruslah mampu menyadarkan Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) akan kejahatan dan dosanya, untuk kembali berintegrasi dan
produktif di masyarakat.
Namun, pada implementasinya dengan melihat kondisi pemasyarakatan saat ini, semangat
dan nilai yang diamanatkan oleh Undang Undang pemasyarakatan tersebut sebagai
sarana untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial, cenderung jalan ditempat jika tidak mau
dikatakan gagal.
A. ISU KEBIJAKAN
Kegagalan peran dan fungsi managerial lembaga pemasyarakatan ini dapat dilihat dari
beberapa isu publik yang terjadi dan menjadi fenomena di masyarakat:
1) Kerusuhan
Berdasarkan beberapa berita kerusuhan di Indonesia dalam kurun waktu 2012 sampai
sekarang, tercatat sudah terjadi 6 kerusuhan LP di Indonesia, antara lain
1. Kerusuhan di LP Kerobokan, Denpasar Bali
2. Kerusuhan di LP Banda Aceh, Aceh
3. Kerusuhan di LP Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi
4. Kerusuhan di LP Tanjung Gusta, Medan, Sumut
5. Kerusuhan di LP Tulungagung, Jatim
6. Kerusuhan di LP Labuhan Ruku, Batubara, Sumut (Sumber : detik.com)
50%. Hal ini menunjukkan pertumbuhan jumlah WBP tidak diiringi dengan
pertumbuhan kapasitas lembaga pemasyarakatan.
Selain itu, dilihat dari sebaran kelebihan kapasitas LP menurut provinsi
menunjukkan bahwa 77 % ( 24 provinsi) mengalami kelebihan kapasitas.
Grafik Perbandingan Jumlah WBP dengan Kapasitas Rutan dan Peta Sebaran Kelebihan Kapasitas LP
di Indonesia
Elements
Decision Maker
Alternative
Utilities
Outcomes
Probabilities
Ill Structured
Many
Unlimited
Conflict
Unknown
Incalculable
Keterangan
Pemerintah, DPR
Jenis dan pola pelaksanaan privatisasi
Banyaknya tujuan
Belum dilaksanakan
Tidak dapat diprediksi kesalahan
Ditinjau dari sisi decision maker, masalah ini akan diawali dari kajian kelayakan tentang
privatisasi LP oleh pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen
Pemasyarakatan) yang akan menunjukkan kelebihan dan kekurangan privatisasi LP
dibandingkan dengan pemenjaraan yang terjadi saat ini. Kajian dari KemenkumHAM akan
dilanjutkan ke DPR untuk diputuskan. DPR bersama pemerintah merupakan pengambil
keputusan untuk menetapkan apakah privatisasi LP ini dapat dilaksanakan di Indonesia.
Banyaknya pihak terkait dan panjangnya proses penetapan kebijakan baik di lingkup
pemerintah maupun di DPR memperlihatkan bahwa pengambil kebijakan untuk hal ini
sangat banyak.
Ditinjau dari sisi policy alternative, privatisasi LP memiliki banyak alternatif solusi
permasalahan, yaitu
- Privatisasi menyeluruh yaitu seluruh tatalaksana LP dikerjakan oleh swasta dengan
kontrol dan aturan dari pemerintah. Misalnya mulai pembangunan sampai pengelolaan
WBP dikerjakan oleh swasta. Pemerintah hanya dalam hal melakukan proses seleksi
pengelola dan pengawasan yang ketat.
- Privatisasi semi parsial yaitu manajemen LP dikerjakan oleh swasta dengan kontrol dan
aturan dari pemerintah. Misalnya Gedung LP milik pemerintah tetapi manajemen LP
dikerjakan oleh swasta.
- Privatisasi parsial dimana pengerjaan bidang tertentu dilaksanakan oleh swasta.
Misalnya Gedung dan manajemen milik pemerintah tetapi WBP dipekerjakan kepada
pihak swasta dengan upah yang sesuai (kemitraan dengan swasta).
- dll.
Pada dasarnya hampir sesuatu yang tidak mungkin untuk mengidentifikasi seluruh
alternatif pemecahan masalah dan hal ini sebagian karena perolehan informasi yang sulit
untuk mencapai formulasi permasalahan yang memuaskan (William Dunn) sehingga
alternatif jenis privatisasi terbatas pada pilihan tersebut diatas.
Ditinjau dari sisi utilities, dari beberapa alternatif pilihan tersebut pastinya akan ada pro
dan kontra dari pengambil kebijakan dan perumus kebijakan karena banyaknya tujuan
yang akan dicapai sehingga konflik tidak akan dapat terhindarkan. Konsensus adalah
jarang karena pembuatan kebijakan publik cenderung menimbulkan konflik diantara para
pelaku kebijakan publik yang saling bersaing (William Dunn).
Ditinjau dari sisi outcomes, alternatif-alternatif kebijakan privatisasi LP ini tidak diketahui
hasilnya dengan jelas karena kebijakan ini belum pernah secara penuh dilaksanakan di
Indonesia. Pengalaman negara lain pada dasarnya belum tentu memiliki outcomes yang
sama karena kita memiliki sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda.
Begitu pula tinjauan dari sisi probabilitas, dikarenakan outcomes yang belum dapat
diketahui maka probabilitas kesalahannya pun tidak dapat diperkirakan sama sekali.
Dari beberapa tinjauan diatas maka dapat dirumuskan bahwa kebijakan privatisasi LP
memiliki karakter masalah yang rumit (Ill-structured problems). Kebanyakan masalah
kebijakan yang penting cenderung (Ill-structured problems), salah satu pelajaran dari ilmu
politik, administrasi publik dan disiplin lainnya adalah bahwa masalah-masalah yang well
structured dan moderately structured problems jarang dijumpai dalam lingkungan
pemerintahan yang komplek (William Dunn).
3.
Formulasi Kebijakan
1. Pelaku Kebijakan, yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil
di dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan
pemerintah.
Pelaku kebijakan dalam masalah privatisasi LP, yaitu pemerintah (Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM), anggota DPR RI, akademisi, pihak
swasta, aparatur LP, WBP dan masyarakat umum.
2. Lingkungan Kebijakan, yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian di sekeliling
isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan
kebijakan publik.
Lingkungan kebijakan dalam masalah privatisasi LP, yaitu lingkungan LP. Sebagai
contoh badan usaha di LP merupakan tempat khusus di LP untuk mempekerjakan dan
memberdayakan WBP dengan kegiatan-kegiatan yang produktif, misalnya bengkel
jahit dimana WBP diberi keterampilan untuk menjahit.
3. Kebijakan Publik.
Untuk masalah manajemen LP, maka kebijakan publik yang diambil adalah kebijakan
privatisasi LP.
Sistem Kebijakan digambarkan dalam bentuk diagram berikut ini
Ketiga elemen sistem kebijakan tersebut saling berhubungan secara timbal balik dan
simultan saling mempengaruhi. Untuk masalah manajemen LP maka kebijakan yang akan
diambil, yaitu kebijakan privatisasi LP, ditetapkan oleh dan atas rekomendasi dari pelaku
kebijakan untuk mempengaruhi lingkungan kebijakannya. Pelaku kebijakan itu sendiri
juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan kebijakannya, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Misalnya, dalam kasus manajemen LP, maka pemerintah dapat
menetapkan jumlah LP yang akan diprivatisasi, sedangkan jumlah LP yang ada dapat
menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan yang tepat.
4. Argumentasi Kebijakan
Warrant (W):
- Perlunya peranan pihak ketiga
Because (B):
Keterbatasan anggaran pemerintah
dalam pengelolaan LP
Birokrasi dan manajemen LP yang
buruk
Keterbatasan kualitas dan kuantitas
SDM pengelola LP
Untuk memberdayakan dan
memanfaatkan idle-capacity
SDM WBP
Sejalan dengan paradigma baru
penghukuman restorative justice
system terkait dengan community
policing
untuk itu
perlu:
Rebuttal (R):
Pihak swasta enggan/tidak tertarik
menjalin kerjasama dan
kemitraan untuk memanfaatkan
potensi/kapasitas WBP
Because (B):
Pihak swasta berorientasi pada
keuntungan (profit-oriented)
Keterbatasan pendidikan dan
keterampilan WBP
Tuntutan upah minimum
Keterbatasan areal LP
Keterbatasan sarana dan prasarana
pembinaan
dalam memanfaatkan potensi dan kapasitas WBP karena orientasi swasta dalam mengejar
keuntungan, keterbatasan areal LP sebagai lahan usaha, keterbatasan sarana dan
prasarana/fasilitas pembinaan, serta tuntutan upah WBP yang seringkali tidak sesuai dengan
pendidikan dan keterampilannya.
Selain melalui explanatory argument yang merupakan hasil analisa kelompok kami, maka
kebijakan privatisasi LP perlu didukung dengan pendekatan argumentasi lainnya, yakni :
Authoritative Argument
Ide privatisasi LP menurut kami dan juga sebagaimana pendapat kriminolog UI, Iqrak
Sulihin, bermuara pada tiga tujuan yaitu :
Pertama, sebagai cara untuk memperbaiki kondisi penjara melalui self generating income.
Selama ini, keterbatasan dana menjadi alasan utama bagi buruknya kondisi penjara.
Terkait dengan kebijakan tersentralistik di bawah Dirjen Pemasyarakatan.
Kedua, sinkronisasi proses pembinaan
menyebabkan extreme idleness (keberadaan yang tidak berdaya guna). Hal ini terkait
dengan lebih banyaknya kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat di penjara. Jikapun ada
pembinaan, namun tidak efektif dengan tingkat partisipasi yang rendah. Padahal,
narapidana adalah tenaga kerja potensial yang dapat menggerakkan kegiatan ekonomi,
misalnya industri. Dengan kerjasama antara penjara dengan dunia bisnis, penjara relatif
akan mendapatkan manfaat dari keuntungan kegiatan ekonomi tersebut.
Ketiga, memungkinkan narapidana mendapatkan uang berupa tabungan karena ia akan
otomatis menjadi tenaga kerja dalam kegiatan ekonomi di penjara. Dengan format yang
tengah berjalan, keseluruhan kegiatan di penjara praktis tidak memberikan manfaat secara
materi kepada narapidana. Tujuan ketiga ini juga akan mendukung tujuan akhir dari
pembinaan di penjara, yaitu mengintegrasikan kembali narapidana dengan masyarakat.
Namun demikian, ide ini memiliki sejumlah kelemahan. Bahkan dapat berakibat fatal bila
kelemahan-kelemahan ini tidak dipertimbangkan dengan baik. Kelemahan tersebut terkait
dengan sifat dasar dari kegiatan ekonomi, yaitu pencarian keuntungan sebesar-besarnya
dengan pengeluaran yang sekecil mungkin.
Ide swastanisasi penjara memang berpotensi memberikan keuntungan materi kepada
penjara sehingga upaya perbaikan kondisi penjara lebih mungkin dilakukan. Demikian
pula halnya dengan keuntungan materi yang akan didapat oleh narapidana. Namun
didasari oleh sifat dasar kegiatan bisnis atau ekonomi, swastanisasi penjara justru
memungkinkan terjadinya eksploitasi narapidana sebagai pekerja murah.
Terlebih bila kita hubungan dengan status penjara sebagai institusi total yang cenderung
lepas dari pengawasan publik. Para pemegang kekuasaan di penjara atau level di atasnya
sangat mungkin menggunakan kekuasaannya tersebut untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya tanpa memperhatikan hak yang seharusnya didapat oleh narapidana
sebagai pekerja.
Intuitive Argument
Kementerian Hukum dan HAM mengkaji berbagai langkah pembenahan lembaga
pemasyarakatan. Salah satunya, kemungkinan lembaga pemasyarakatan dikelola pihak
swasta.
"Semua pilihan sudah dikaji. Tapi jangan pernah berpikir swastanisasi itu solusi satusatunya untuk masalah pemasyarakatan," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny
Indrayana di Gedung Kementerian Hukum dan HAM Jakarta. (Sumber: republika.com
tanggal 19 Agustus 2014)
Kesimpulan
Privatisasi lembaga pemasyarakatan merupakan alternatif solusi yang paling tepat dalam
menjawab masalah manejemen lembaga pemasyarakatan yang didalamnya menyangkut
keterbatasan anggaran dan kelebihan kapasitas warga binaan pemasyarakatan (WBP).
Sebenarnya, pada saat ini implementasi privatisasi sudah dilaksanakan secara parsial, sebagai
contoh, WBP mengerjakan kerajinan rotan dan mebel di LP Surabaya dan Malang, tetapi hal
ini tidak berlanjut. Kedepan, privatisasi dimulai dengan pilot project pelaksanaan privatisasi
di beberapa LP, dan ditargetkan pelaksanaan privatisasi dapat terlaksana secara menyeluruh.
Ide swastanisasi penjara memerlukan syarat-syarat tertentu agar kemungkinan buruk tidak
terjadi. Syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain :
Pertama, penjara harus melakukan reformasi struktural. Dirjen Pemasyarakatan tidak boleh
lagi menjadi stakeholder tunggal dalam proses kebijakan pemasyarakatan. Hal ini diperlukan
untuk memberikan kemungkinan bagi pengawasan yang lebih luas dari publik. Bentuk
konkretnya dapat dilakukan dengan membentuk ombudsman penjara.
Kedua, manajemen penjara itu sendiri sebagai unit pelaksana ide-ide pemasyarakatan yang
akan disingkronkan dengan dunia bisnis tersebut. Misalnya, dalam manajemen keuangan
yang menjadi hak narapidana. Apakah tabungan narapidana yang diperolehnya dari bekerja
aman dari kejahatan-kejahatan oknum-oknum petugas. Terkait dengan hal ini, sudah menjadi
rahasia umum bahwa sejumlah petugas dan bahkan di level pimpinan di penjara sering
melakukan penyimpangan, sebut saja mafia penjara. Tentang pengelolaan keuangan milik
napi ini mungkin hanya salah satu masalah saja. Manajemen keuntungan bagi penjara sebagai
institusi juga perlu diawasi dan diperbaiki.
Ketiga, narapidana harus diposisikan sebagaimana pekerja yang memiliki hak-hak tertentu,
seperti jaminan sosial dan upah yang harus sesuai dengan standar kemanusiaan. Untuk itu,
perlu difikirkan sebuah mekanisme yang melibatkan departemen tenaga kerja untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut.
Analisis kami, tidak ada salahnya bila lembaga pemasyarakatan diswastanisasi. Namun kita
harus menjamin tidak terjadinya eksploitasi, sehingga perlu pengawasan pelaksanaannya
dengan cara membuka kekakuan struktur Ditjen Pemasyarakatan untuk memungkinkan
pengawasan.
Perlu diresapi apa yang disampaikan Hazairin dalam bukunya, Tujuh Serangkai Tentang Hukum: " hidup
dalam penjara walaupun dalam penjara yang super modern adalah hidup yang sangat menekan jiwa, pikiran,
dan hidup kepribadian".
(Rahardi Ramelan, Mantan Napi)
Referensi :
Dunn, William. 2012. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press.
Arya Brata, Roby. 2014. Memperkuat Negara dan Pemerintahan, Penerbit Papas Sinar Sinanti.
Sibatangkayu, Diapari. 2008. Privatisasi Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Alternatif Pemberdayaan
Narapidana, UI.
http://napi1708.wordpress.com/2007/05/04/swastanisasi-penjara-sebuah-alternatif-2/
Berbagai berita dari media online.
ANALISIS KEBIJAKAN
PRIVATISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
DI INDONESIA
Dosen :
Roby Arya Brata, S.H., LL.M., MPP., Ph.D.
Oleh : Kelompok III Kelas 28A Pagi
1. Tengku Muhammad Syukran
1406512575
1406512480
3. Paramita Wikansari
1406587765
4. Praharani Anjasmara R.
1406512442
5. Sukono
1406512562
1406587922