Anda di halaman 1dari 12

BAB 38 STAKEHOLDER LAIN

PERINGKAT STAKEHOLDER

Awalnya, penggunaan istilah stakeholder banyak dikaitkan dengan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh perusahaan, baik secara etis maupun regulasi. Mereka dianggap sebagai
pemangku kepentingan tempat perusahaan (atau manajemen) harus memproteksinya demi
keberlanjutan usaha perusahaan itu sendiri. Stakeholder mempunyai kewajiban untuk menjaga
agar perusahaan tetap berjalan lancar dan dikelola dengan iktikad baik, penuh tanggung jawab,
dan penuh kehati-hatian. Dilihat dari sudut penyedia sumber daya langsung terhadap
perusahaan, stakeholder dapat diurutkan menjadi pemegang saham (investor), kreditur,
pemasok, karyawan, konsumen, pemerintah, lingkungan (sosial dan masyarakat), dan pesaing.

Zabihollah (2009: 9-10) memeringkat stakeholder menjadi stakeholder peringkat pertama


(first tier), stakeholder peringkat kedua (second tier), dan stakeholder peringkat ketiga (third
tier). Pemegang saham atau investor adalah stakeholder peringkat pertama (first tier). Tanpa
pemegang saham atau investor maka tidak akan ada perusahaan atau manajemen ( termasuk
direksi dan dewan komisaris). Pemegang saham menanggung resiko atas kegagalan perusahaan
melalui penyertaan modal. Imbalan yang diberikan kepada berupa dividen. Selain dividen,
pemegang saham juga menharapkan adanya keuntungan modal jika kepemilikannya dijual.

Stakeholder peringkat kedua adalah kreditur yang menyediakan pendanaan bagi perusahaan
dalam bentuk pinjaman (debt) atau utang. Pinjaman dapat berasal dari bank atau penjualan
surat utang kepada masyarakat melalui pasar modal, misalnya obligasi. Pihak yang termasuk
sebagai kreditur adalah pemasok yang syarat-syarat perdagangan nya tidak tunai. Pinjaman
juga dapat diperoleh dari pihak lain diluar yang telah disebutkan. Kreditur tidak menanggung
risiko bisnis dengan imbalan berbentuk bunga. Biasanya beberapa kreditur, seperti pemasok,
tidak diberikan bunga. Zabihollah (2009: 11) memasukkan karyawan, pemasok, konsumen,
pemerintah, dan masyarakat sebagai stakeholder peringkat ketiga.

PRINSIP TATA KELOLA

Dari sudut pandang perusahaan, prinsip tata kelola perusahaan yang dikeluarkan oleh
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) membedakan stakeholder
yang hak-haknya ditetapkan oleh undang-undang atau oleh perjanjian yang disepakati oleh
kedua belah pihak dengan stakeholder yang hak-haknya tidak terproteksi oleh undang-undang
atau perjanjian.
OECD (2004: 21) mengharuskan agar kerangka tata kelola yang diterapkan dalam
perusahaan mengakui hak-hak tersebut. Pelanggaran terhadap hak harus diberi ganti rugi yang
efektif. Jika terdapat stakeholder yang berpartisipasi dalam proses tata kelola, mereka harus
memperoleh akses terhadap informasi yang relevan, cukup, dan andal pada waktu yang tepat
dan secara regular. Prinsip OECD menyatakan bahwa tata kelola perusahaan harus mendorong
kerja sama aktif antaraa perusahaan dengan stakeholder dalam menciptakan kekayaan,
pekerjaan, dan keberlanjutan perusahaan yang sehat secara keuangan. Kerangka tata kelola
perusahaan harus dilengkapi undang-undang kepailitan dengan penegakan hukum yang efektif
mengenai hak kreditur.

Tercantumnya hak-hak stakeholder dalam undang-undang atau perjanjian merupakan alat


bagi stakeholder untuk memonitor kegiatan perusahaan. Monitoring ini, selain untuk
melindungi kepentingan stakeholder itu sendiri, juga bermanfaat bagi perusahaan agar
terhindar dari perbuatan-perbuatan yang merugikan keberlanjutannya. Secara implisit,
monitoring merupakan kewajiban bagi stakeholder.

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengakomodasi hak-hak para
stakeholder kedalam undang-undang yang ditetapkan. Akomodasi tersebut dapat diikhtisarkan
sebagai berikut:

No Stakeholder Undang-Undang
1 Pemegang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
saham/ Investor Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
2 Kreditur Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
3 Konsumen Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK)
4 Karyawan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1990 tentang Batas Usia Minimum
untuk Bekerja
Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Tenaga Kerja Wanita
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
5 Pemasok Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
6 Pesaing Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha
7 Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
(Aktivis, Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kelompok Sosial, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
dan Masyarakat) (terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial)
8 Pemerintah Undang-Undang tentang Perpajakan
Pemerintah tidak memerlukan pengaturan undang-undang karena dialah yang membuat
undang-undang. Undang-undang yang mengatur pemerintah berkaitan dengan ketatanegaraan,
bukan bisnis. Disediakannya undang-undang untuk memproteksi kepentingan stakeholder
menunjukkan bahwa negara telah berperan dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi prinsip-
prinsip dasar hubungan etis yang harus terbangun antara perusahaan dan para stakeholder.
Bahkan, tidak hanya hubungan etis, undang-undang juga akan mencegah terjadinya
penyalahgunaan wewenang dengan memastikan perilaku yang boleh dan tidak boleh. Perilaku
yang termasuk dalam unsur tata kelola perusahaan (corporate governance) yang baik adalah
kepatuhan terhadap undang-undang. Jika undang-undang tentang proteksi terhadap
stakeholder telah tersedia, berarti sebagian dari aturan tentang etika dan tata kelola telah
terakomodasi didalamnya.

Kreditur

Berdasarkan sumbernya, pendanaan perusahaan biasanya dapat diklasifikasikan menjadi


dua, yaitu pemegang saham dan kreditur. Pemegang saham menyediakan modal (equity),
sedangkan kreditur memberikan pinjaman (debt). Komposisi pendanaan dapat memengaruhi
nilai dan struktur tata kelola perusahaan. Perusahaan yang lebih banyak didanai oleh pinjaman
biasanya lebih berorientasi untuk meminimalkan risiko dibandingkan memaksimalkan
kekayaan.

Kewajiban pembayaran kembali pokok utangdan bunganya saat jatuh tempo akan dapat
dipenuhi jika perusahaan berjalan dengan baik. Dalam hubungan keagenan, institusi yang
bergerak dalam penyaluran dana akan dianggap sebagai lembaga perantara (intermediaries)
antara pihak yang menyediakan dana (prinsipiel) dan pihak yang membutuhkan dana (agen).
Institusi sebagai lembaga perantara adalah Bank.

Untuk memastikan bahwa perusahaan sebagai peminjam (debitur) dapat memenuhi


kewajibannya, lembaga perantara diberi hak untuk melakukan pengawasan (monitoring)
terhadap jalannya perusahaan. Hak-hak tersebut dilaksanakan melalui syarat-syarat yang
tercantum dalam perjanjian kredit sebagai negative covenant. Contoh dari negative covenant
adalah pembatasan terhadap rasio-rasio keuangan tertentu, pembatasan pembagian dividen,
larangan menggadaikan aset, dan lain sebagainya. Dalam keadaan tertentu, pengawasan juga
dapat dilakukan secara langsung terhadap jalannya perusahaan dari waktu ke waktu.

Sebagai lembaga perantara, Bank sebetulnya bertindak sebagai agen sekaligus prinsipiel.
Dalamhal pengerahan dana, bank bertindak sebagai agen bagi nasabah (masyarakat) yang
merupakan prinsipielnya. Saat menyalurkan dana, bank bertindak sebagai prinsipiel, sedangkan
debitur adalah agennya. Jika bank merupakan pemasok dana dengan proporsi yang besar, ia
dapat memengaruhi tata kelola yang harus diterapkan dalam perusahaan. Ia dapat menunjuk
akuntan publik (atau paling tidak menyetujui penunjukannya) untuk mengaudit laporan
keuangan perusahaan. Bank dapat perusahaan appraisal untuk menilai aset perusahaan. Bank
dapat mengharuskan adanya personal guarantee dari pemegang saham pengendali atau
pembatasan-pembatasan lain terhadap kewenangan publik, dewan komisaris, dan direksi.
Dalam hal-hal tertentu, bank dapat memengaruhi system pengendalian internal perusahaan.

Kepailitan

Perlindungan hukum utama bagi direktur (tidak hanya bank) untuk menagih pinjaman
(kredit) yang diberikan adalah melalui tuntutan kepailitan. Melalui Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang
Kepailitan), negara menyediakan sarana hukum bagi kreditur untuk mengajukan permohonan
pailit kepada debitur yang tidak membayar lunas utangnya saat jatuh tempo.

Kepailitan merupakan lembaga hukum yang berfungsi sebagai realisasi dari tanggung jawab
debitur terhadap krediturnya atas perikatan-perikatan yang dilakukan (Suryana, 2007: 7).
Dalam tanggung jawab debitur terhadap kreditur, terkandung asas jaminan utang dan asas
paripasu. Asas paripasu artinya membagi secara proporsional harta kekayaan debitur kepada
kreditur konkuren berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing. Kreditur
konkuren adalah kreditur yang tidak memegang jaminan harta atas pinjaman yang diberikan.
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh curator dibawah pengawasan hakim pengawas.

Hukum kepailitan digunakan sebagai collective proceeding dalam rangka mengatur collective
action sehingga masalah yang muncul karena kepentingan masing-masing kreditur dapat
dihindari. Pemecahan masalah tidak harus berupa pemberesan (menjual semua harta kekayaan
dan membagikan hasilnya kepada debitur). Secara sederhana, proses kepailitan dapat
diikhtisarkan sebagai berikut:

1. Pengajuan permohonan pailit

Salah satu dari perbaikan dalam Undang-Undang Kepailitan adalah disederhanakannya


proses pengajuan permohonan pailit oleh kreditur. Setiap kreditur mempunyai hak untuk
mengajukan hak untuk mengajukan pailit kepada debitur kecuali untuk debitur-debitur
tertentu yang pengajuan permohonan pailitnya harus dilakukan oleh instansi tertentu (Pasal
2 Undang-Undang Kepailitan). Syarat agar dapat dimohonkan pailit adalah jika debitur
tersebut memiliki dua kreditur atau lebih da nada utang terhadap kreditur tersebut.
Pemohonan pailit juga dapat diajukan oleh debitur terhadap dirinya sendiri.

2. Putusan pailit
Permohonan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dan didaftarkan pada
pengadilan niaga setempat. Putusan atas permohonan pailit harus diucapkan paling lambat
60 hari setelah tanggal permohonan pailit didaftarkan. Jika terdapat upaya kasasi, baik oleh
debitur maupun kreditur, putusan kasasi juga harus diberikan oleh Mahkamah Agung paling
lambat 60 hari sejak tanggal permohonan kasasi. Dalam putusan pernyataan pailit, harus
diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan (Pasal 15
Undang-Undang Kepailitan). Kurator diusulkan oleh pihak yang mengajukan permohonan
pailit. Kurator yang diangkat harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan
dengaan debitur dan kreditur.

3. Pengurusan

Selama dinyatakan pailit, perusahaan diurus oleh kurator untuk dilakukan pemberesan
harta pailit. Pengurusan dan pemberesan harta pailit diawasi oleh Hakim Pengawas. Orga
perusahaan (RUPS, dewan komisaris, dan direksi) tidak berfungsi selama masa kepailitan.
Kurator dan Hakim Pengawas ditunjuk oleh pengadian saat putusan pailit.

Secara umum, tugas kurator dapat diikhtisarkan sebagai berikut:

1. Melakukan pengurusan terhadap harta pailit.

2. Menangani proses kepailitan seperti yang telah diuraikan di atas, terutama yang berkaitan
dengan pemberitahuan, penyelenggaraan rapat kreditur, pencocokan utang-piutang, dan
pemberesan harta pailit.

Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan, berikut ini yang termasuk sebagai tugas


kepengurusan yang utama:

1. Mengamankan harta pailit (Pasal 98).

2. Melanjutkan usaha debitur atas persetujuan kreditur atau hakim pengawas (Pasal 104).

3. Melakukan pencatatan terhadap harta pailit (Pasal 100).

4. Mengalihkan harta pailit atas persetujuan hakim pengawas (Pasal 107).

5. Melakukan peminjaman dari pihak ketiga (Pasal 69).

6. Mengadakan perdamaian guna mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau
mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 109).

7. Kurator wajib melaporkan keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya kepada hakim
pengawas setiap tiga bulan (Pasal 74).
Pemberitahuan

Kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 surat
kabar harian yang ditetapkan hakim tentang ikhtisar putusan pernyataan pailit. Pegumuman
dilakukan selambat-lambatnya 5 hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh
Kurator dan Hakim Pengawas (Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan). Kurator juga harus
memberitahukan penyelenggaraan rapat kreditur yang pertama selambat-lambatnya 5 hari
setelah putusan pernyataan pailit diterima oleh kurator dan Hakim Pengawas. Pemberitahuan
dengan surat tercatat, kurir, dan dengan iklan paling sedikit 2 surat kabar harian (Pasal 86 ayat
(3) Undang-Undang Kepailitan). Rapat kreditur pertama wajib dilakukan paling lambat 30 hari
setelah tanggal putusan pailit diucapkan (Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan).

Rapat Kreditur

Proses penyelesaian utang piutang melalui kepailitan dilakukan secara kolektif menggunakan
instrumen yang disebut sebagai rapat kreditur. Kurator bertugas memberitahukan dan
menyelenggarakan rapat kreditur yang dipimpin oleh hakim pengawas. Selain rapat kreditur
yang pertama, rapat kreditur harus diadakan pada saat-saat berikut ini:

1. Pencocokan utang piutang (Pasal 120).

2. Debitur mengajukan rencana perdamaian (Pasal 145 dan 147).

3. Terdapat usul untuk melanjutkan usaha perusahaan (Pasal 179).

4. Menentukan pemberesan harta pailit (Pasal 187 (1)).

Pengambilan keputusan dalam rapat kreditur dilakukan dengan pemungutan suara


berdasarkan asas suara terbanyak. Kurator wajib hadir dalam rapat kreditur. Selain rapat-rapat
seperti yang ditetapkan tersebut, hakim pengawas dapat mengadakan rapat kreditur jika
dianggap perlu atau atas permintaan panitia kreditur atau paling sedikit 5 kreditur yang
mewakili 1/5 bagian dari semua piutang yang diakui atau diterima dengan syarat.

Pencocokan Utang-Piutang

Secara harfiah, pencocokan utang (dari sudut debitur) dan piutang (dari sudut kreditur)
dimaksudkan untuk menagih, mencocokkan, dan mengesahkan tagihan-tagihan yang masuk
kepada kurator (Sinaga, 2012: 119). Dalam Undang-Undang Kepailitan, kreditur diwajibkan
untuk mengajukan tagihan kepada kurator dalam batas waktu tertentu (Undang-Undang
Kepailitan Pasal 113). Pengajuan tagihan bermakna kreditur menagih piutangnya. Pencocokan
berarti memverifikasi tagihan-tagihan yang masuk dari kreditur tersebut dengan catatan
(akuntansi) yang terdapat pada debitur pailit.
Pengesahan dilakukan setelah pencocokan dilakukan oleh kurator dan dianggap bahwa
tagihan-tagihan yang diajukan telah memenuhi syarat untuk diakui. Pencocokan utang-piutang
dilakukan dalam rapat kreditur yang dipimpin oleh hakim pengawas dan yang harus dihadiri
oleh kurator, debitur, dan kreditur. Semua kreditur wajib menyerahkan piutangnya masing-
masing kepada kurator. Intinya, penyerahan tersebut merupakan bentuk pengikatan secara
resmi. Tidak ada bentuk khusus yang diharuskan dalam penyerahan piutang ini. Untuk
selanjutnya, bentuk penyerahan piutang itu disebut sebagai laporan piutang.

Penyerahan tagihan dilakukan dalam batas waktu yang ditetapkan oleh hakim pengawas
(Pasal 113 Undang-Undang Kepailitan). Piutang yang dimasukkan pada kurator setelah lewat
waktu yang telah ditetapkan, asal dimasukkan paling lambat 2 hari sebelum rapat pencocokan
utang-piutang, wajib dicocokkan. Pencocokan harus didasarkan pada permintaan dan tidak ada
keberatan dari kurator dan salah satu kreditur (pasal 113 Undang-Undang Kepailitan). Saat
menerima tagihan dari pada kreditur, kurator terlebih dahulu harus
memverifikasi/mengklasifikasikannya menjadi tagihan (utang) hyang diakui sementara dan
utang yang dibantah. Daftar piutang ini akan dibicarakan dalam rapat pencocokan piutang
dengan kreditur. Utang yang dibantah dibuat daftar tersendiri. Tagihan yang diakui sementara
adalah tagihan berdasarkan penelitian kurator telah cocok dengan catatan debitur.

Utang-piutang yang telah diperoleh kesepakatan antara kurator dan kreditur dipindahkan
dari daftar piutang yang diakui sementara ke daftar piutang yang diakui. Kreditur dapat
membantah daftar utang yang dibuat kurator. Jika perselisihan tentang status dan jumlah utang
tidak dapat diselesaikan oleh hakim pengawas, perselisihan tersebut akan dibawa ke
pengadilan (Undang-Undang Kepailitan Pasal 127). Verifikasi dan pencocokan utang-piutang,
selain menghasilkan kelompok tagihan yang diakui dan dibantah, juga dimaksudkan untuk
mengklasifikasikan status kreditur-kreditur yang bersangkutan menjadi kreditur istimewa,
kreditur separatis, dan kreditur konkuren.

Kreditur preferen atau kreditur istimewa adalah kreditur yang didahulukan pembayarannya
atas semua harta pailit berdasarkan sifat piutang nya. Kreditur separatis adalah kreditur
pemegang gadai, hipotek, jaminan fidusia, hak tanggungan, hak agunan atas kebendaan
lainnya. Kreditur konkuren adalah semua kreditur atau penagih berdasarkan piutang yang tidak
mempunyai ikatan tertentu.

Verifikasi utang kepada kreditur mencakup jumlah, sifat, dan statusnya. Cara penilaian utang
ditentukan dalam Pasal 137 Undang-Undang Kepailitan. Kata piutang dalam undang-undang ini
mengacu pada pandangan dari sisi kreditur. Dari sudut debitur disebut sebagai utang. Piutang
dari kreditur yang saat penagihannya belum jelas atau yang memberikan hak untuk
memperoleh pembayaran secara berkala wajib dicocokkan nilainya pada tanggal putusan
pernyataan pailit. Piutang yang dapat ditagih dalam waktu 1 tahun setelah tanggal putusan
pailit wajib diperlakukan sebagai piutang yang dapat ditagih pada tanggal putusan pailit.
Piutang yang dapat ditagih setelah lewat 1 tahun setelah putusan pailit dicocokkan sebesar nilai
yang berlaku untuk 1 tahun setelah tanggal putusan pailit. Walaupun putusan pailit telah
ditetapkan oleh hakim pengadilan niaga, tetapi upaya perdamaian masih bisa dilakukan.
Rencana perdamaian dibicarakan dalam rapat kreditur. Jika rencana perdamaian disetujui,
berarti rencana perdamaian tersebut diterima dan berubah menjadi perdamaian. Jika
perdamaian tidak disetujui dalam rapat kreditur atau majelis hakim menolak pengesahan
perdamaian, harta debitur pailit berada dalam keadaan insolvensi dan proses kepailitan
dilanjutkan.

Pengadilan wajib menolak pengesahan perdamaian jika kondisinya sebagai berikut:

1. Harta debitur jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian.

2. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin.

3. Perdamaian dicapai karena penipuan atau persekongkolan dengan satu atau lebih pada
kreditur, atau karena pemakaian upaya yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah
debitur atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal itu.

Insolvensi adalah ketidakmampuan membayar (utang-pen) dari harta pailit karena hukum.
Insolvesi terjadi jika:

1. Setelah putusan pailit, debitur tidak mengajukan rencana perdamaian.

2. Debitur mengajukan rencana perdamaian, tetapi ditolak.

3. Perdamaian tidak disahkan oleh pengadilan.

Pemberesan

Arti pemberesan adalah menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan
dari debitur pailit dan membagikan hasilnya kepada kreditur secara proporsional atau
berimbang. Secara prinsip, penjualan harta pailit harus dilakukan dengan cara lelang. Namun
dalam keadaan tertentu, boleh dilakukan secara dibawah tangan. Penjualan dibawah tangan
harus memperoleh izin dari hakim pengawas. Pemeberesan harta pailit tidak hanya dalam
bentuk menjual. Untuk harta pailit yang berbentuk piutang, pemberesan dilakukan dengan cara
menagih.

Pembagian

Hasil penjualan atau penagihan harta pailit akan dibagikan kepada kreditur yang utangnya
telah dicocokkan. Pada dasarnya, pembagian dilakukan secara proporsional kepada kreditur
konkuren. Pembagian hasil penjualan atau penagihan harta pailit tidak harus menunggu
selesainya pemberesan. Jika hakim pengawas berpendapat diperusahaan terdapat cukup uang
tunai, kurator dapat diperintahkan untuk melakukan pembagian kepada kreditur yang
piutangnya telah dicocokkan (Pasal 188). Daftar pembagian yang dibuat kurator memuat rincian
penerimaan dan pengeluaran termasuk didalamnya upah kurator, nama kreditur, jumlah yang
dicocokkan, dan bagian yang wajib diterimakan kepada kreditur.daftar pembagian wajib
disediakan di kepaniteraan pengadilan niaga agar dapat dilihat oleh kreditur selama tenggang
waktu yang ditetapkan oleh hakim pengawas (Pasal 192 ayat (1)). Penyediaan daftar
diumumkan paling sedikit dalam 2 surat kabar harianyang ditetapkan oleh hakim pengawas
(Pasal 192 ayat (2)). Kreditur dapat mengajukan perlawanan denggan mengajukan keberatan
atas daftar pembagian ini. Keberatan diputuskan dalam sidang pengadilan dan dapat diajukan
kasasi.

Daftar pembagian akan menjadi mengikat jika kondisinya sebagai berikut:

1. Telah lampau tenggang waktu yang ditentukan oleh hakim pengawas.

2. Tidak ada yang mengajukan perlawanan atas dasra tersebut.

3. Perlawanan telah diputus dalam sidang pengadilan dan berkekuatan hkum tetap.

Pengakhiran

Keadaan pailit dapat berakhir karena kepailitan dicabut, perdamaian disahkan, atau daftar
pembagian penutup telah mengikat. Pasal 18 Undang-Unadang Kepailitan menyebutkan jika
harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan, pengadilan, atas usul hakim
pengawas dan setelah mendengar panitia kreditur sementara, apabila ada, serta setelah
memanggil dengan sah atau mendengar debitur, dapat memutuskan pencabutan putusan
pailit.

Kurator melakukan pengumuman mengenai berakhirnya kepailitan dalam 2 surat kabar


harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas. Kurator juga wajib memberikan pertanggung
jawaban mengenai pengurusan dan pemberesan yang telah dilakukannya kepada hakim
pengawas paling lama 30 hari setelah berakhirnya kepailitan. Semua bukti dan dokumen
mengenai harta pailit yang ada pada kurator wajib diserahkan kepada debitur dengan tanda
bukti penerimaan yang sah
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

Selain kepailitan, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga menyediakan sarana bagi
diketahui bahwa debitur akan mengalami kesulitan dalam melunasi utang-utangnya.
Permohonan untuk melakukan Penundaan Kewajian Pembayaran Utang (PKPU) dapat
dilakukan oleh debitur dan kreditur (Undang-Undang Kepailitan Pasal 222), kecuali untuk
debitur tertentu yang pengajuannya harus dilakukan oleh instansi tertentu (Pasal 223). PKPU
diajukan jika debitur tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar
utangnya yang memberikan kesempatan kepada debitur untuk mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawran pembayaran sebagian atau semua utang kepada kreditur.

Perdamaian

Inti dari permohonan PKPU adalah pengajuan rencana perdamaian oleh debitur. Rencana
perdamaian dibahas dalam rapat kreditur untuk diputuskan apakah disetujui atau ditolak. Pada
dasarnya, rencana perdamaian berisi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada
kreditur. Tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang dapat mencakup tawaran untuk
melakukan restrukturisasi utang yang bersangkutan. Restrukturisasi utang dapat berupa
tindakan sebagai berikut:

1. Penjadwalan kembali pelunasan.

2. Penyusunan kembali persyaratan utang.

3. Pengurangan jumlah utang pokok.

4. Pengurangan atau pembebasan jumlah bunga yang bertunggak, denda dan biaya lain-lain.

5. Penurunan tingkat suku bunga.

6. Pemberian utang baru.

7. Konversi utang menjadi modal.

8. Penjualan aset yang tidak produktif.

9. Bentuk-bentuk lain.

Langkah-langkah restrukturisasi perusahaan yang dapat mengambil salah satu atau beberapa
berikut ini:

1. Perubahan strategi.

2. Perubahan visi.
3. Perubahan struktur organisasi.

4. Perubahan budaya kerja.

5. Perubahan teknologi.

6. Perubahan direksi dan komisaris.

7. Perubahan anggaran dasar.

8. Perubahan system dan prosedur.

Jangka Waktu

Rencana perdamaian dapat disampaikan pada saat atau selama periode berikut ini:

1. Saat pengajuan permohonan PKPU oleh debitur.

2. Selama periode permohonan PKPU sampai dengan diputuskannya PKPUS.

3. Selama masa PKPU Sementara (PKPUS), yaitu maksimum 45 hari.

4. Selama masa PKPU Tetap (PKPUT), yaitu maksimum 270 hari.

Keputusan

Rencana perdamaian diajukan oleh debitur untuk diputuskan oleh kreditur. Keputusan
dilakukan dalam persidangan pengadilan atau dalam rapat kreditur. Keputusan dibuat dengan
system pemungutan suara. Pengadilan wajib memberikan putusan mengenai pengesahan
perdamaian. Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian jika terjadi hal-hal
berikut:

1. Harta debitur jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian.

2. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamon.

3. Perdamaian tersebut dicapai karena penipuan atau persekongkolan dengan satu atau lebih
kreditur atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah
debitur atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini.

4. Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak
diberikan jaminan untuk pembayarannya.

Pengurusan
Selama masa PKPU, debitur (tanpa persetujuan pengurus) tidak dapat melakukan
kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya (Pasal 240 ayat (1)).
Kewajiban debitur yang dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari pengurus yang timbul
setelah PKPU, hanya dapat dibebankan kepada harta debitur sejauh hal itu menguntungkan
harta debitur (Pasal 240 ayat (2)).

Selain kewajiban yang harus dipenuhi dalam kaitannya dengan kepengurusan, debitur
memperoleh hak-hak diantaranya sebagai berikut:

1. Debitur tidak dapat dipaksa untuk membayar utangnya dan semua tindakan eksekusi yang
telah mulai dilakukan untuk memperoleh pelunasan harus ditangguhkan (Pasal 242 ayat (1)).

2. Semua sita yang telah dilakukan gugur dan jika debitur disandera, ia harus dilepaskan segera
setelah putusan PKPUT atau setelah pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum
tetap (Pasal 242 ayat (2)).

3. Pembayaran utang selama berlangsungnya PKPU tidak dilakukan, kecuali pembayaran utang
tersebut dilakukan kepada semua kreditur menurut perimbangan piutang masing-masing
(Pasal 245).

Anda mungkin juga menyukai