Anda di halaman 1dari 12

NAMA : RIFKA WARDANIA

NIM : D1A019497
KELAS : i1 ILMU HUKUM

SOAL

1. Jelaskan alasan mengapa Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 dihapus dari KUHD !
2. Jelaskan perbedaan antara Badan Usaha yang berbadan hukum dan Badan Usaha
yang tidak berbadan hukum dan Jelaskan pula masing-masing contohnya !
3. Jelaskan Keperantaraan dalam dunia bisnis !
4. Jelaskan arti pentingnya Pengangkutan dan Hukum Pengangkutan di Indonesia!
5. Jelaskan arti penting Kontrak Bisnis dan Jelaskan pula keabsahan dalam Kontrak
Bisnis !
JAWABAN
1. Pembentuk Undang-Undang telah mengadakan perubahan dalam hukum dagang
dengan dikeluarkannya S. 1938-276 yang mulai berlaku tanggal 17 Juli 1938.
Perubahan ini memuat 2 hal, yaitu:
a. Penghapusan pasal 2 sampai dengan pasal 5 pada bab 1, Buku 1 KUHD: Pasal-
pasal tersebut mengenai pengertian pedagang dan pengertian perbuatan
perniagaan. Jadi mulai tanggal 17 Juli 1938 itu pengertian pedagang sebagai yang
ditentukan dalam pasal-pasal 2 sampai dengan 5 (lama) KUHD dihapus dan
diganti dengan pengertian perusahaan.
b. Memasukkan istilah “perusahaan” dalam hukum dagang, diantara mana yang
tercantum dalam pasal 6, 16, 36 dan lain-lain.
Pasal 2-5 dengan stb.276 tahun 1938.
Pasal 2 berbunyi: “ pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan
perniagaan sebagai pekerjaannya sehari-hari”.
Dicabut karena kalimatnya tidak tepat, kegiatan pedagang bukan hanya dalam
perniagaan saja.
Pasal 3 berbunyi: “perbuatan perniagaan pada umumnya adalah perbuatan
pembelian barang untuk dijual kembali”.
Dicabut karena pedagang bukan hanya melakukan kegiatan membeli kemudian
dijual kembali melainkan ada saja yang langsung menciptakan suatu barang.
Pasal 4 berbunyi: “perbuatan perniagaan yaitu perbuatan-perbuatan mengenai:
1. Perusahaan komisi
2. Perniagaan wesel dan surat-surat berharga
3. Pedagang, banker, kasir, makelar, dan yang sejenis
4. Pembangunan, perbaikan dan perlengkapan kapal untuk berlayar di laut.
5. Ekspedisi dan pengangkutan barang-barang
6. Jual beli perlengkapan dan keperluan kapal
7. Masalah carter mencarter kapal
8. Mempekerjakan nakhoda dan awak kapal
9. Makelar laut dan pembantu-pembantu pengusaha
10. Perusahaan asuransi
Dicabut karena bertentangan dengan pasal 3 diatas.
Pasal 5 berbunyi: “perbuatan-perbuatan yang timbul dari kewajiban-kewajiban
menjalankan kapal untuk melayari laut, kewajiban-kewajiban mengenai tubrukan
kapal, menolong dan menyimpan barang-barang di laut yang berasal dari kapal
karam/terdampar. Begitu pula penemuan-penemuan barang di laut semuanya
termasuk dalam golongan perbuatan perniagaan.
Dicabut karena terlalu luas cakupan pengertian perniagaan.
Dalam pasal 6,16,36, kata pedagang diganti dengan perusahaan.

Dihapusnya Pasal 2 s/d Pasal 5 KUHD mengganti istilah “Pedagang” dan


“Perbuatan Perdagangan” dengan istilah “ Perusahaan” dan “Perbuatan
Perusahaan”.
Namun pengertian “ Perusahaan” dan “Perbuatan Perusahaan” tidak diatur dan
dijelaskan lebih lanjut dalam KUHD. Meskipun tidak diatur secara lebih lanjut
dalam KUHD dan dirumuskan secara othentik, namun dalam memori penjelasan
(Memorie Van Toelicting) pemerintah di parlemen dalam pembicaraan tentang
usul perubahan.
Perusahaan itu sendiri merupakan keseluruhan perbuatan, yang dilakukan
secara tidak terputus-putus dengan terang-terangan dalam kedudukan tertentu
untuk mencari laba.
2. Perbedaan kedua badan usaha in dapat ditinjau dari beberapa aspek. Beberapa
aspek tersebut terdiri dari prosedur pendiriannya, pemisahan harta kekayaan dan
pertanggung jawaban. Disamping itu, perbedaan keduanya juga dapat di lihat dari
hak dan kewajiban.

Badan Usaha Yang Berbadan Hukum :

- Subjek hukumnya adalah badan usaha itu sendiri ,karena ia telah menjadi
badann hukum yang juga termasuk subyek hukum di samping manusia.
- Harta kekayaan perusahaan terpisah dari harta kekayaan pribadi para
pengurus/anggotanya.Akibatnya kalau perusahaannya pailit, yang terkena sita
hanyalah harta perusahaan saja (harta pribadi pengurus /anggotanya tetap
bebas dari sitaan)
- Kewenangan menuntut dan dituntut, pada perusahaan berbadan hukum, yang
bertindak sebagai subjek hukum adalahperkumpulannya artinya pihak ketiga
dapat menuntut perkumpulannya namun pihak ketiga tidak bisa menuntut
masing-masing orangnya.
- Harta kekayaan dalam perusahaan yang berbadan hukum adalah terpisah,
artinya dipisahkan dari kekayaan anggotanya. Sehingga bila terjadi
kerugian/penuntutan yang berujung pembayaran ganti rugi/pelunasan utang
hanya sebatas pada kekayaan perusahaan
- Badan usaha yang termasuk badan hukum yaitu Perseroan Terbatas, Perusahaan
Negara, Perusahaan Daerah, Koperasi, Perum, Perjan, Persero dan Yayasan.
a. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum
yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-
Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. (Pasal 1 ayat (1) UU No 40 Thn
2007)
b. Koperasi merupakan suatu badan usaha berbentuk badan hukum yang
anggotanya terdiri dari orang perorangan atau kelompok yang kegitannya
didasarkan atas prinsip ekonomi kerakyatan berdasarkan atas asas
kekeluargaan untuk mencapai tujuan kemakmuran anggota.
Prinsip dari koperasi adalah sifat sukarela dan terbuka bagi para anggota,
sifat demokratis kekeluargaan dalam pengelolaannya, sistem pembagan hasil
proporsional/sebanding sesuai dengan jasa para anggota, menutamakan
kesejahtaraan anggota dan kemadirian.

Badan usaha Yang Bukan Badan Hukum :

- Subjek hukumnya adalah orang-orang yang menjadi pengurusnya, jadi bukan


badan hukum itu sendiri karena ia bukanlah hukum sehingga tidak dapat menjadi
subjek hukum.
- Harta perusahan bersatu dengan harta pribadi para pengurus/anggotanya.
Akibatnya kalau perusahaannya pailit, maka harta pengurus/anggotanya ikut
tersita juga.
- Kewenangan menuntut dan dituntut, pada perusahaan bukan badan hukum,
yang bertindak sebagai subjek hukum adalah orang-orangnya dan bukan
perkumpulannya sehingga yang dituntut adalah orang-orangnya oleh pihak
ketiga
- Harta kekayaan dalam perusahaan yang tidak berbadan hukum adalah dicampur,
artinya bila terjadi kerugian/penuntutan yang berujung pembayaran ganti rugi
/pelunasan utang maka harta kekayaan pribadi dapat menjadi jaminannya.
Dengan kata lain, pertanggung jawabannya pribadi untuk keseluruhan
- Badan usaha yang bukan badan hukum adalah Firma, CV
a. Firma, (Parthership) suatu usaha bersama antara dua orang atau lebih
dimaksudkan untuk menjalankan suatu usaha dibawah suatu nama bersama
b. Persekutuan Komanditer (CV), adalah persekutuan yang didirikan oleh
minimal dua orang yang mempercayakan uang atau barang kepada seorang
atau beberapa orang yang menjalankan perusahaan

3. Keperantaraan Bisnis
A. Keperantaraan
Keperataraan berasal dari Bahasa Indonesia kata perantara, perantara adalah
orang yang mewakilkan orang lain dalam suatu hal. Perantara adalah orang yang
memegang kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum berdasarkan kuasa atau
di bawah pengawasan orang yang memberikan kuasa. Perantara diartikan sebagai
pelaku pasar dan dapat juga diartikan sebagai bangunan fisik pasar sebagai
penghubung antara pihak yang mengalami surplus barang dan jasa dengan pihak
yang mengalami kekurangan barang dan jasa.
Bisnis yang merupakan proses memproduksi, mendistribusikan, adanya
transaksi jual beli dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan (profit).
Memasarkan dan menjual produk yang diproduksi baik berupa barang setengah jadi,
barang jadi atau jasa kepada konsumen, sebagai pelaku bisnis atau produsen
memiliki 2 (dua) pilihan dalam menjual produk yang diproduksinya.
Produsen atau pelaku bisnis dapat menjual dan memasarkan secara langsung
(direct) kepada konsumen. Selain itu, pelaku bisnis juga dapat menjual dan
memasarkan produknya secara tidak langsung (indirect) dengan cara menunjuk agen
atau distributor sebagai perantara.
Dalam hukum kontrak atau hukum bisnis, kedua pilihan tersebut dikenal
dengan perjanjian keagenan (agency agreement) dan perjanjian distributor
(distributor agreement).

B. Perjanjian Keagenan
a. Definisi keagenan
Keagenan berasal dari kata agen, bahasa Inggris agent. Dalam istilah,
agen adalah seorang yang diberikan kewenangan oleh prinsipal (principal)
untuk mewakili dirinya untuk melakukan suatu perbuatan hukum atau
hubungan hukum dengan pihak ketiga.
Dari hubungan dan perbuatan hukum antara prinsipal dengan agen ini
berdasarkan pada perjanjian keagenan. Kemudian, keagenan merupakan
perjanjian antara seorang perantara dan prinsipal (principal). Dalam hal ini
perantara mengikatkan diri kepada prinsipal untuk melakukan suatu
perbuatan hukum untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal (principal) adalah
orang yang memberikan tugas kuasa untuk melakukan suatu perbuatan
hukum dengan orang lain untuk kepentingannya.
Keagenan diartikan sebagai orang kedua yang ditunjuk orang pertama
sebagai pemegang kuasa untuk melakukan hubungan hukum atau perbuatan
hukum kepada orang ketiga. Terjadinya perjanjian antara orang kedua
dengan orang pertama yang disebut sebagai perjanjian keagenan.
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang terjadi antara satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang lainnya atau lebih dimana
keduanya saling mengikatnkan dirinya.
Agreement atau persetujuan dapat dipahami sebagai suatu perjumpaan
nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan
maksud, agreement  merupakan esensi kontrak. Dalam hal ini ada
isyarat offer dan acceptance, dimana dari 2 (dua) kata ini sama artinya
dengan istilah ijab dan qabul.

Perjanjian keagenan tersebut dapat terjadi apabila terdapat:


1. Kewenangan
Wewenang atau kuasa yang diberikan prinsipal (principal) kepada
perantara yang dapat dilakukan secara lisan, tertulis, dan diam-diam.
Namun secara lazim keagenan itu terjadi apabila prinsipal menunjuk
secara tegas (eksplisit) seorang agen untuk mewakili prinsipal.
Agen secara khusus ditunjuk oleh prinsipal untuk melakukan tugas
tertentu atau untuk melakukan beberapa perbuatan secara umum.
Penunjukkan oleh prinsipal kepada agen secara tidak langsung
membentuk hubungan hukum sehingga antara prinsipal dengan agen
terdapat perjanjian yang harus dilakukan.
Penunjukkan secara tegas di atas dapat dilakukan dengan lisan
dan tertulis. Kemudian apabila penunjukkan tersebut dilakukaa secara
diam-diam maka bisa terjadi dengan:
- Sesuai dengan  kebiasaan yang berlaku menurut tempat, waktu, atau
bidang usaha tertentu,
- Dalam rangka melaksanakan tugas sebagai perantara.
2. Pengesahan
Pengesahan adalah persetujuan (approval) atas perjanjian
dilakukan seseorang perantara atau seorang yang mengaku bertindak
sebagai perantara dengan pihak ketiga tanpa izin (kewenangan0 dari
pihak prinsipal. Secara hukum, bagi prinsipal tidak ada kewajiban hukum
untuk terikat pada perjanjian yang dibuat tanpa kewenangan tersebut,
namun ia dapat terikat atau bertanggungjawab atas perjanjian tersebut
melalui proses pengesahan (ratification).
Perjanjian keperantaraan itu dapat memuat ketentuan mengenai
kewajiban perantara untuk meminta pengesahan prinsipal atas setiap
perikatan yang dibuatnya. Adanya kewajiban perantara untuk meminta
pengesahan itu kepada prinsipal itu tidak wajib diberitahukan kepada
pihak ketiga.
3. Ketentuan Undang-Undang
Dalam hukum common law system keperantaraan  didasarkan pada
perjanjian atau kesepakatan para pihak, namun dalam keadaan tertentu,
undang-undang dapat mewajibkan adanya keperantaraan. Keperantaraan
seperti ini biasa dikenal dengan agency necessity atau agency by
necessity.

b. Keagenan dalam transaksi komersil


Dalam praktik perdagangan sekarang ini, keagenan sering terdapat pada
perusahaan barang dan jasa, seperti perusahaan manufaktur, perusahaan
biro perjalanan, perusahaan asuransi yang memerlukan agen untuk
membantu menjual dan memasarkan barang atau jasa kepada konsumen.
Agen seperti ini adalah agen resmi (authorized agents) dalam arti bahwa
agen bertindak atas dasar kewenangan yang secara eksplisit atau tegas
diberikan oleh prinsipal. Agen dalam konteks ini biasa dikenal sebagai agen
perumahan (real state agents), agen asuransi (insurance agents), dan agen
perjalanan (travel agents).
Prinsipal mendelegasikan kewenangannya kepada agen dalam membuat
kontrak dengan pihak ketiga. Prinsipal terikat atas segala kontrak yang dibuat
oleh agen dengan pihak ketiga. Agen tidak memiliki tanggung jawab atau
kewajiban berdasarkan kontrak dengan pihak ketiga. Sedangkan, agen yang
bergerak pada perusahaan manafaktur (manufacture) dimana prinsipal
memiliki produk berupa barang atau jasa. Prinsipal memberikan kewenangan
kepada agen untuk memasarkan dan menjual produk tersebut kepada
konsumen. Ketika pemasaran dan penjual produk tersebut kepada konsumen
agen bertindak atas nama pihak prinsipal dan selanjutnya agen berhak
mendapatkan komisi dari penjualan produk tersebut.
c. Penandatanganan
Ada beberapa macam penandatangan yang menjadikan perantara
memiliki wewenang atas nama prinsipal dalam melakukan perbuatan hukum
atau hubungan hukum kepada pihak ketiga, meliputi:
1. Perantara menandatangani dengan membubuhkan namanya sendiri,
2. Apabila perseorangan (person) menandatangani “per precurationem”
3. Prinsipal memberi kuasa kepada perantara untuk menandatangani
dengan menggunakan namanya (nama si prinsipal)
4. Tidak ada pihak yang memegang hak kepemilikan (proprietary right) atas
nama kecuali jika nama itu diatur dengan peraturan nama dagang (trade
mark).
d. Surat Kuasa Penuh
Pihak perantara diwajibkan memiliki surat kuasa penuh (power of
attorney) apabila akan membuat transaksi berakta. Dalam kasus ini,
penerima kuasa (attorney) atau perantara sendiri harus ditunjuk dengan akta
dan transaksi yang berakta selau memperoleh perlakuan istimewa dari
hukum.
e. Kewajiban Perantara
Dalam hal ini perantara memiliki kewajiban terdahap prinsipal dalam
menjalankan wewenang yang telah diperintahkan secara lisan, tertulis, atau
diam-diam, sebagai berikut:
1. Perantara wajib menaati intruksi yang diberikan oleh prinsipal meskipun
perantara berpendapat intruksi itu keliru,
2. Perantara tidak boleh membiarkan kepentingan pribadinya berbenturan
dengan kepentingan prinsipal,
3. Perantaratidak boleh mengambil keuntungan rahasia atau memutuskan
dari pihak ketiga,
4. Dan apabila perantara menerima komisi rahasia atau suap, konsensi-
konsensi yang menyusul kemudian dapat digugatkan kepadanya.
f. Hak Perantara
Selain kewajiban yang harus dipatuhi di atas perantara berhak meminta
haknya kepada prinsipal jika itu diperlukan, sebagai berikut:
1. Hak penggantian pembayaran (reimbursement),
2. Set off (kemudahan untuk memilih alternatif yang diberikan penggugat
kepada tergugat),
3. Hak untuk menahan barang,
4. Dan mengajukan proses hukum untuk mendapat komisi atau upah yang
telah disepakati.
g. Tanggung Jawab Prinsipal
Dilihat dari sudut pandang prinsipal, biasanya prinsipal hanya
bertanggung jawab apabila prinsipal telah menguasakan perantara untuk
mengakadkan kontraknya, hubungan keperantaraan daat timbul lewat cara
lain, seperti:
1. Prinsipal memperluas kekuasaan yang telah diberikannya kepada
perantara,
2. Apabila perantara melampaui batas kekuasaannya, tetapi prinsipal tetap
memutuskan untuk menyetujui kontrak yang sudah dibuatkan oleh
perantara. Hal ini disebut rafication (pengesahan)
3. Perantara adalah perusahaan pengangkut (carrier) dan sedang
mengangkut barang-barang yang mudah rusak (perishable goods) milik
prinsipal.
h. Hak-Hak Prinsipal
Hak prinsipal yang timbul dari kewajiban perantara yang dijalankannya
sesuai dengan intruksi prinsipal atau tidak. Apabila perantara melanggar
kewajiban yang ada maka hak prinsipal akan timbul dikarenakan kesalahan
dari pihak perantara. Sehingga, prinsipal berhak untuk menuntut ganti rugi
kepada perantara sesuai dengan risiko kerugian yang ditimbul dari
pelanggaran kewajiban perantara.

C. Perjanjian Distributor
a. Pengertian Distributor
Distributor adalah seorang pedagang yang membeli barang dari pabrikan
atau manufacturer sebagai prinsipal atau produsen untuk dijual kembali atas
namanya sendiri kepada konsumen. Terdapat transaksi jual beli atau
perjanjian jual beli antara prinsipal dengan distributor ketika prinsipal telah
menunjukkan distributor. Setelah distributor mendapatkan barang tersebut
dari prinsipal, distributor wajib memasarkan dan menjualnya kepada
konsumen wilayah pemasaran dan penjualan yang ditentukan (wilayah
kedistribusian).

b. Hubungan prinsipal dengan distributor


Terdapat perjanjian jual beli antara prinsipal selaku penjual dengan
distributor selaku pembeli yang membeli produk pada prinsipal. Namun
sebelum itu, ada perjanjian pengangkatan atau penunjukkan oleh prinsipal
kepada distributor selaku pembeli untuk menjual dan memasarkan kembali
kepada konsumen atas nama distributor sendiri.
Distributor memiliki wewenang penuh terhadap produk yang dibelinya
dari prinsipal dikarenakan distributor setelah membeli produk dari prinsipal
menanggung segala risiko yang ada ketika menjualnya kepada konsumen.
Risiko yang ditanggung distributor berupa biaya perawatan barang, biaya
transportasi, dan jaminan terhadap barang yang dijualnya tanpa dapat
meminta pertanggung jawaban kepada prinsipal.

Karakteristik hubungan antara prinsipal dengan distributor, meliputi:


- Distributor berlaku seperti seorang penjual kembali (reseller) suatu
produk dalam wilayah distribusinya. Timbul pemberian wewenang
kepada distributor oleh prinsipal yang  tidak dapat melakukan
pemasaran dan penjualan sendiri di wilayah tersebut. Wujud dari
weweng tersebut adalah prinsipal memberikan dan menjamin
distributor bahwa berhak melakukan pemasaran dan penjual produk
di wilayah tersebut. Perjanjian ini bersifat exclusive. Ada juga
perjanjian yang bersifat non-exclusive, dimana prinsipal masih
memiliki hak untuk produk di wilayah yang sama.
- Tidak bersifat sementara, tetapi dalam satu periode tertentu.
- Adanya komitmen atau loyalitas dari distributor. Loyalitas seperti
menimbulkan bahwa distributor tidak diperkenankan memasarkan
dan menjual produk yang serupa pada manufaktur yang lain selama
perjanjian distribusi antara prinsip dengan distributor masih berlaku.
c. Hubungan distributor dengan konsumen
Hubungan antara distributor dengan konsumen berlaku perjanjian jual
beli. Distributor sebagai penjual dan konsumen sebagai pembeli produk yang
dimiliki oleh prinsipal atas nama distributor. Dari transaksi jual beli tersebut
distributor memperoleh keuntungan yang didapat dari selisih antara harga
beli pada prinsipal dengan harga jual kepada konsumen.
Antara distributor dengan konsumen dalam praktiknya biasanya
konsumen yang menjadi pembeli bukanlah konsumen aktif namun konsimen
pasif dimana konsumen pasif akan menjualnya kembali kepada konsumen
aktif untuk memperoleh keuntungan dari margin.

4. Pengangkutan merupakan kegiatan transportasi dalam memindahkan barang


dan penumpang dari satu tempat ke tempat lain atau dapat dikatakan sebagai
kegiatan ekspedisi. Purwosutjipto berpendapat bahwa: “Pengangkutan adalah
perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang
dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim
mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”. Sebagai suatu kegiatan jasa
dalam memindahkan barang atau pun penumpang dari suatu tempat ke tempat lain,
pengangkutan berperan sekali dalam mewujudkan terciptanya pola distribusi
nasional yang dinamis. Praktik penyelenggaraan suatu pengangkutan harus dapat
memberikan nilai guna yang sebesar-besarnya dalam dunia perdagangan. Serta
dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara adil dan merata kepada segenap
lapisan masyarakat dan lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi
masyarakat. Pengangkutan berfungsi untuk memindahkan barang atau orang dari
suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna
dan nilai. Proses pemindahan barang tersebut dilakukan melalui darat, laut, udara
dan perairan darat atau sungai dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi
sesuai dengan kebutuhannya.
Hukum Pengangkutan di Indonesia
Hukum pengangkutan merupakan bagian dari hukum dagang yang termasuk
dalam bidang hukum perdata. Dilihat dari segi susunan hukum normatif, hukum
perdata merupakan sub sistem tata hukum nasional. Jadi hukum dagang atau
perusahaan termasuk dalam subsistem tata hukum nasional. Dengan demikian,
hukum pengangkutan adalah bagian dari subsistem hukum nasional. Pengaturan
pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-
undangan, tetapi pengaturan pengangkutan dibuat secara khusus menurut jenis-
jenis pengangkutan. Jadi, tiap-tiap jenis pengangkutan diatur di dalam peraturan
tersendiri, sedangkan jenis-jenis pengangkutan yang ada sekarang ini ada beberapa
macam, yaitu pengangkutan darat, pengangkutan laut, dan pengangkutan udara.
Ketentuan-ketentuan umum mengenai pengangkutan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang dapat ditemukan di dalam beberapa pasal, yaitu sebagai berikut:
a). Buku 1 Bab V bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 sampai dengan Pasal 98 Tentang
Pengangkutan darat Dan Pengangkutan Perairan Darat
b). Buku II Bab V Pasal 453 sampai dengan Pasal 465 tentang Pencarteran Kapal,
Buku II Bab V A Pasal 466 sampai dengan Pasal 520 tentang Pengangkutan Barang,
Dan Buku II Bab V B Pasal 521 sampai Pasal 544a tentang Pengangkutan Orang
c). Buku I Bab V Bagian II Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 mengenai Kedudukan Para
Ekspeditur sebagai Pengusaha Perantara;
d). Buku I Bab XIII Pasal 748 sampai dengan Pasal 754 mengenai Kapal-Kapal yang
melaluiperairan darat.

Salah satu contoh pentingnya Pengangkutan di Indonesia, Dalam hal pengangkutan


melalui laut digunakan sarana atau alat transportasi dengan menggunakan kapal laut
untuk menghubungkan pulau yang satu dengan pulau yang lainnya dalam
memindahkan muatan berupa barang dan maupun orang. Menurut Pasal 310 ayat
(1) KUHD kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran dilaut atau
yang diperuntukkan untuk itu. Purwosutjipto menyatakan bahwa kriteria kapal laut
itu ialah kapal yang dipergunakan untuk pelayaran di laut, dan kapal itu
diperuntukan untuk pelayaran di laut pula.

Di Indonesia, hal pengangkutan laut merupakan suatu bidang kegiatan yang sangat
vital dalam kehidupan masyarakat, karena didasari oleh berbagai faktor berikut ini:
a. Keadaan geografis Indonesia;
b. Menunjang pembangunan berbagai sektor;
c. Perkembangan ilmu dan teknologi.

Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum, setiap pelaksanaan pengangkutan


melalui laut khususnya dalam hal pengangkutan barang haruslah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut harus ditangani secara
nasional agar terwujudnya suatu sistem pola distribusi nasional yang dinamis
sehingga dapat meningkatkan daya guna dan nilai.

Pelaksanaan di sektor pengangkutan laut antara lain diarahkan untuk meningkatkan


kegiatan perdagangan antar pulau (inter insuler) serta perdagangan antar negara
(import-export).
5. Arti penting suatu kontrak paling tidak adalah dalam hal-hal:
- Untuk mengetahui perikatan apa yang dilakukan dan kapan serta di
mana kontrak tersebut dilakukan.
- Untuk mengetahui secara jelas siapa yang sating mengikatkan dirinya
tersebut dalam kontrak dimaksud.
- Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak, apa yang harus, apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak.
- Untuk mengetahui syarat-syarat berlakunya kontrak tersebut.
- Untuk mengetahui cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan per-
selisihan dan pilihan domisili hukum yang dipilih bila terjadi per-
selisihan antara para pihak.
- Untuk mengetahui kapan berakhirnya kontrak, atau hal-hal apa saja
yang mengakibatkan berakhirnya kontrak tersebut.
- Sebagai alat untuk memantau bagi para pihak, apakah pihak lawan
masing-masing telah menunaikan prestasinya atau belum, atau
bahkan malah telah melakukan suatu wanprestasi.
- Sebagai alat bukti bagi para pihak apabila terjadi perselisihan di
kemudian hari, seperti apabila terjadi wanprestasi oleh salah satu
pihak dalam kontrak dimaksud. Termasuk apabila ada pihak ketiga
yang mungkin keberatan dengan suatu kontrak dan mengharuskan
kedua belah pihak untuk membuktikan hal-hal yang berkaitan dengan
kontrak dimaksud.

Sejalan dengan itu, Peter Mahmud Marzuki[8] menyebutkan bahwa fungsi


kontrak di dalam bisnis adalah untuk mengamankan transaksi. Tidak dapat disangkal
bahwa hubungan bisnis dimulai dari kontrak. Tanga adanya kontrak, tidak mungkin
hubungan bisnis dilakukan. Kontrak dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
Bahkan, dalam Convention on International Sale of Goods tahun 1980 kontrak secara
lisan juga diakui. Akan tetapi, mengingat bahwa fungsi kontrak adalah untuk meng-
amankan transaksi bisnis, jika kontrak secara lisan oleh para pihak dapat dipandang
aman karena integritas masing-masing pihak memang dapat dijamin, mereka tidak
perlu membuat kontrak tertulis. Hanya saja apabila ada pihak ketiga yang mungkin
keberatan dengan kontrak itu dan menantang kedua belah pihak harus
membuktikan adanya kontrak itu dengan bukti lainnya.

Selain itu, pada dasarnya kontrak juga mempunyai fungsi ekonomi. Dan
mengenai hal ini Michael J. Trebilock (1993)[9] menyebutkan bahwa sedikitnya ada 4
(empat) fungsi kontrak bila dipandang dari sudut ekonomi. Pertama, kontrak yang
memuat ganti rugi bila salah satu pihak melakukan wanprestasi atau melanggar
kontrak, akan memberikan an essential check on opportunism in nonsimulataneous
exchanges dengan menjamin pihak yang satu, dalam pelaksanaan kontrak, tidak
berhadapan dengan risiko, daripada kerja sama dari pihak lainnya. Kedua, memakai
para pihak given categories of exchange dengan seperangkat ketentuan kontrak (di
mana mereka bebas untuk menentukannya bila mereka mau), sehingga akan
mengurangi transaction costs. Ketiga, mengurangi ketidakhati-hatian para pihak
dengan memberikan tanggung jawab kepada pihak yang mengakibatkan kerugian
kepada pihak lainnya. Keempat, memformulasikan seperangkat ketentuan yang
merupakan alasan yang memaafkan dalam pelaksanaan kontrak sehingga dapat
dilaksanakannya efficient exchanges, tetapi tidak mendorong pelaksanaan inefficient
exchanges yang tidak memenuhi kriteria efisiensi pareto.

Setiap orang dalam melakukan suatu hubungan hukum pasti membuat


perjanjian. Idealnya suatu perjanjian dibuat secara tertulis.
Didalam perjanjian dikenal yang namanya asas kebebasan berkontrak yang artinya
setiap orang bebas menuangkan segala isi kontraknya asal kedua belah pihak
sepakat. Tetapi selain sepakat suatu perjanjian harus memenuhi unsur-unsur
keabsahan perjanjian yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1. Sepakat
Didalam perjanjian yang dibuat terdapat kesepakatan para pihak. Para pihak
artinya lebih dari satu pihak menyetujui segala sesuatu terkait apa yang telah
dituangkan dalam isi perjanjian yang telah dibuat.

2. Cakap Hukum

Dalam membuat kontrak atau perjanjian, cakap hukum diartikan para pihak
harus cakap hukum, yaitu sudah dewasa menurut hukum perdata maupun UU
perkawinan. Selain itu cakap hukum juga berarti para pihak tidak dibawah
pengampuan.
3. Objek tertentu

Didalam membuat kontrak atau perjanjian tentunya ada objek yang


diperjanjikan. Semisal: perjanjian sewa menyewa rumah. Maka objek yang
diperjanjikan tersebut rumah yang disewa.

4. Clausula yang halal

Didalam membuat kontrak, isi perjanjoan yang dimasukan tidak boleh


bertentangan dengan UU. Bertentangan dengan UU diartikan isi perjanjian yang
dimasukan dilarang memasukan hal-hal yang dilarang oleh UU.

Anda mungkin juga menyukai