Anda di halaman 1dari 2

Mengisi Kekosongan Hukum

Mengisi kekosongan hukum erat kaitannya dengan upaya penyelesaian hokum yang terjadi di tengah
tengah masyarakat. Penyelesaian hokum itu berupa penerapan hukum dan pelaksanaan hukum
(penegakkan hukum).
Penerapan hukum tidak lain adalah penerapan peraturan hukum yang masih umum pada suatu peritiwa
yang konkret terjadi. Peristiwa konkret itu haruslah di konstruksikan terlebih dulu oleh penegak hukum
agar menjadi “peristiwa hukum” sehingga peraturan hukum itu bisa diterapkan, karena peraturan
hukum tidak dapat diterapkan pada peritiwa biasa. Jadi, tidaklah hakim yang berusaha melakukan
konstruksi yang kemudian menerapkan undang-undang itu pada peristiwa hukum disebut dengan
penerapan hukum, dan itulah sebabnya hakim disebut sebagai corong undang undang.
Sedangkan pelaksanaan hukum (penegakkan hukum) dilakukan pada saat tidak terjadi sengketa maupun
pada saat tidak terjadi sengketa atau konflik. Semua orang berkewajiban menegakkan hukum.
Penegak dan penerapan hukum khususnya di Indonesia sering kali menghadapi kendala berkaitan
dengan perkembangan masyarakat. Berbagai kasus yang telah terjadi menggambarkan sulitnya penegak
hukum atau aparat hukum mencari cara agar hukum dapat sejalan dengan norma masyarakat yang ada.
Namun, perkembangan masyarakat lebih cepat dari aturan perundang-undangan, sehingga
perkembangan dalam masyarakat tersebut menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Dalam
kehidupan bermasyarakat memang diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan
masyarakat yang harmonis dan teratur.
Kenyataan hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencangkup seluruh perkara
yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Asas legalitasi yang kerap di anggap sebagai asas yang memberikan suatu kepastian hukum
dihadapkan oleh realita bahwa rasa keadilan masyarakat tidak dapat dipenuhi oleh asas ini karena
masyarakat yang terus berkembang seiring kemajuan teknologi. Perubahan cepat yang terjadi tersebut
menjadi masalah yang berkaitan dengan hal yang tidak atau belum di atur dalam suatu peraturan
perundang-undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas sehingga ada kalanya
suatu peraturan perundang-undangan tidak jelas atau bahkan tidak lengkap yang berakibat adanya
kekosongan hukum dimasyarakat.
Secara sempit “kekosongan hukum” atau rechts vacuum dapat diartikan sebagai “suatu keadaan kosong
atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tetrtib (tertentu) dalalm
masyarakat”, sehingga kekosongan hukum dalam hukum positif lebih tepat dikatakan sebagai
“kekosongan undang-undang/peraturan perundang-undangan.”
Disampimg kekosongan hukum (limten van normen), terjadi pula kekaburan hukum atau ketidakjelasan
norma hukum (vage van normen), dan koflik norma hukum (geschild van normen).
A. Penemuan HUkum
Berdasarkan pasal 22 A.B. (Algemene Bepaligen Van Wetgeving Voor Indonesia; Stb. 1847:23)
dan pasal 14 UU No. 14 tahun 1970 (pokok pokok kekuasaan kehakiman) seorang hakim tidak
boleh menangguhkan atau menolak memeriksa perkara dengan dalih UU tidak lengkap atau
tidak jelas, maka seorang hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan
hukum diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum
lainya tehadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Atau dengan bahasa lain penemuan
hukum adalah upaya konkretisasi peraturan hukum yang bersifat umum dan abstrak
berdasarkan peristiwa nyata yang terjadi. Denga perkataan lain, hakim harus menyesuaikan UU
dengan hal-hal yang konkret, oleh karena peraturan-peraturan yang ada tidak dapat
mencangkup segala peristiwa yang timbul dalam masyarakat.
B. Kebijakakan/prakarsa dari pembenuk dari perundang-undangan
Walaupun hakim ikut menemukan hukum, menciptakan peraturan perundang-undangan,
namun kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislarif ataupun eksekutif
(sebagai badan pembentuk perundang-undangan) bagaimana DPR dan pemerintah (presiden).
Keputusan hakim tidak mempunyai kekuasaan hukum yang berlaku seperti peraturan umum.
Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Ini ditegasi dalam
pasal 21 A.B. (Algemene bepaligen van wetgeving voor Indonesia; stb. 1847: 23) yang
menyatakan bahwa “hakim tidak dapat memberikan keputusan yang akan berlaku sebagai
peraturan umum. “lebih lanjut ditegaskan lagi dalam pasal 1917 KUH perdata (B.W.) bahwa
“kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang di putuskan dalam keputusan
itu.
Oleh karenanya, dalam upaya mengatasi kekosongan hukum di masyarakat sangat diperlukan
kebijakan atau prakarsa dari badan pembentuk perundang-undangan, yang berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD yang telah diamandemen)
pasal (20) ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-
undang” dan “setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat
persetujuan bersama” Pasal 5 UUD Negara Indonesia tahun 1945 menegaskan pula bahwa
“presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR” dan “presiden
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.”
Dalam hal ini berarti prakarsa atau kebijakan (political will) dari DPR dan pemerintah (presiden)
memegang peranan yang sangat penting dalam menciptakan atau membentuk suatu undang-
undang (lebih luas peraturan perundang-undangan) baik mengatur hal-hal atau keadaaan yang
tidak diatur sebelumnya maupun perubahan atau penyempurnaan dari peraturan perundang-
undangan yang telah ada, namun sudah tudak sesuai dengan perkembangan dimasyrakat.

Anda mungkin juga menyukai