Hakim merupakan faktor pembentukan hukum Keputusan hakim bukan peraturan umum Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum) Penafsiran tata-bahasa Penafsiran sahih (autentik) Penafsiran historis Penafsiran sistematis Penafsiran nasional Penafsiran teleologis Penafsiran ekstensif Penafsiran restriktif Penafsiran analogis Penafsiran a contrario Pengisian Kekosongan Hukum Hakim memenuhi kekosongan hukum Konstruksi hukum
Pembentukan Hukum Oleh Hakim
Hakim merupakan faktor pembentukan hukum Dalam summber-sumber hukum telah dijelaskan bahwa keputusan hakim juga diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian oleh peraturan perundang-undangan telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentuk undang-undang. Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan-perundangan tidak menyebutkan suatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Dengan perkataan lain dapatlah dikatakan, bahwa hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturan-peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena hakim turut serta melakukan mana yang
Keputusan hakim bukan peraturan umum
Akan tetapi walaupun hakim ilut menentukan hukum, menciptakan peraturan-perundangan, namun kedudukan hakum bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif (badan pembentuk perundangundangan), karena Keputusan Hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum. Apabila suatu undang-undang isinya tidak jelas, maka hakim berkewajiban untuk menafsirkannya sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud huku, yaitu mencapai kepastian hukum. Namun demikian, menafsirkan atau menambah isi dan pengertian peraturan-perundangan tidak dapat
Penafsiran Hukum (Interpretasi
Hukum)
Dengan adanya kodifikasi, hukum itu lalu menjadi beku,
statis sukar berubah. Adapun yang selalu melaksanakan kodifikasi hukum ialah hakim, karena dialah yang berkewajiban menegakan hukum di tengah-tengah masyarakat. Walau kodifikasi hukum telah diatur selengkaplengkapnya, namun tetap juga kurang sempurna dan masih terdapat benyak kekurangan-kekurangannya, hingga menyulitkan dalam pelaksanaannya. Hal itu disebabkan karena pada waktu kodifikasi dibuat, ada hal-hal atau bendabenda yang belum ada yang belum dikenal, misalnya listrik. Aliran listrik sekarang telah dianggap juga benda, sehingga barang siapa dengan sengaja menyambung aliran listrik tanpa izin yang berwajib, termasuk perbuatan yang melanggar hukum, yaitu tindakan pidana pencurian. Oleh karena hukum bersifat dinamis, maka hakim sebagai penegak hukum hanya memandang kodifikasi sebagai suatu
Dengan demikian maka terdapat keluwesan hukum sehingga
kodifikasi berjiwa hidup yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Ternyatalah untuk memberi putusan seadil-adilnya seorang hakim harus mengingat pula adat-kebiasaan, jurisprudensi, ilmu pengetahuan dan akhirnya pendapat hakim sendiri ikut menentukan, dan untuk itu perlu diadakan penafsiran hukum. Ada beberapa macam penafsiran, antara lain : Penafsiran tata-bahasa (gramatikal), yaitu penafsiran yang didasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang; yang dianut ialah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan, yaitu arti dalam pemakaian sehari-hari. Penafsiran sahih (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang. Penafsiran historis, yaitu : Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-
Penafsiran sistematis (dogmatis), penafsiran memiliki susunan yang
berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain. Penafsiran nasional, ialah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku. Penafsiran teleologis (sosiologis), yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang ini. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi undang-undang tetap saja sama. Penafsiran ekstensif, memberi penafsiran dengan memperluas katakata dalam peraturan itu. Penafsiran restriktif, ialah penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu. Misalnya kerugian yang tak berwujud seperti sakit. Penafsiran analogis, memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya menyambung aliran listrik dianggap dengan mengambil aliran listrik. Penafsiran a contrario (menurut peringkaran), ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antar soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu
Pengisian Kekosongan Hukum
Penyusunan suatu undang-undang menurut kenyataannya memerlukan waktu yang lama sekali, sehingga pada waktu undangundang itu dinyatakan berlaku hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh undang-undang itu sudah berubah. Terbentuknya suatu peraturan-perundangan senantiasa terbelakang dibanding dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat. Berhubung dengan itulah, maka hakim sering harus memperbaiki undang-undang itu, agar sesuai dengan kenyataan-kenyataan hidup dalam masyarakat. Dapatlah dikatakan, bahwa hukum positif, peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara dalam suatu waktu teretntu adalah merupakan suatu sistem yang formal, yang sulit untuk mengubah atau mencabutnya walaupun sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus diatur oleh peraturan-perundangan tersebut.
Hakim memenuhi kekosongan hukum
Dalam hubungan ini apabila hakim menambah peraturanperundangan, maka hal ini berarti bahwa hakim memenuhi ruangan kosong dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku. Adapun pendapat bahwa dalam sistem formal dari hukum adalah ruang kosong (ada kekosongan) yang dapat diisi oleh hakim, belumlah lama dianut orang. Seperti diketahui abad ke-19, para sarjana hukum berpendapat, bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan lengkap yang tertutup, diluar undang-undang tidak ada hukum dan hakim tidak boleh menjalankan keadaan hukum yang tidak disebutkan dalam peraturan-perundangan. Namun kemudian, paham tentang kesatuan yang bulat dan lengkap daripada hukum itu, tidak dapat diterima oleh para sarjana hukum. Prof. Mr. Paul Scholten mengatakan, bahwa hukum itu merupakan suatu sistem yang terbuka. Pendapat ini lahir dari kenyataan, bahwa dengan pesatnya kemajuan dan perkembangan masyarakat, menyebabkan hukum menjadi dinamis, terus menerus mengikuti proses perkembangan masyarakat. Berhubungan dengan hal itulah telah menimbulkan konsekwensi, bahwa hakim dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan yang ada dalam sistem hukum, asalkan penambahan itu tidaklah membawa perubahan prinsipil pada sistem hukum yang berlaku. Konstruksi hukum