Anda di halaman 1dari 9

Pengantar Ilmu Hukum dan Sistem

Hukum Indonesia
Penemuan Hukum

UNIKOM BANDUNG
2016

Penemuan Hukum

Pembentukan Hukum Oleh Hakim


Hakim merupakan faktor pembentukan hukum
Keputusan hakim bukan peraturan umum
Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)
Penafsiran tata-bahasa
Penafsiran sahih (autentik)
Penafsiran historis
Penafsiran sistematis
Penafsiran nasional
Penafsiran teleologis
Penafsiran ekstensif
Penafsiran restriktif
Penafsiran analogis
Penafsiran a contrario
Pengisian Kekosongan Hukum
Hakim memenuhi kekosongan hukum
Konstruksi hukum

Pembentukan Hukum Oleh Hakim


Hakim merupakan faktor pembentukan hukum
Dalam summber-sumber hukum telah dijelaskan bahwa
keputusan hakim juga diakui sebagai sumber hukum formal.
Dengan demikian oleh peraturan perundang-undangan telah
diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor
pembentuk undang-undang.
Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum
dalam hal peraturan-perundangan tidak menyebutkan suatu
ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi.
Dengan perkataan lain dapatlah dikatakan, bahwa hakim
harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang
konkrit, oleh karena peraturan-peraturan tidak dapat
mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam
masyarakat.
Oleh karena hakim turut serta melakukan mana yang

Keputusan hakim bukan peraturan umum


Akan tetapi walaupun hakim ilut menentukan hukum,
menciptakan peraturan-perundangan, namun
kedudukan hakum bukanlah sebagai pemegang
kekuasaan legislatif (badan pembentuk perundangundangan), karena Keputusan Hakim tidak
mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti
peraturan umum. Keputusan hakim hanya berlaku
terhadap pihak-pihak yang bersangkutan.
Hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan
berlaku sebagai peraturan umum. Apabila suatu
undang-undang isinya tidak jelas, maka hakim
berkewajiban untuk menafsirkannya sehingga dapat
diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan
sesuai dengan maksud huku, yaitu mencapai
kepastian hukum.
Namun demikian, menafsirkan atau menambah isi dan
pengertian peraturan-perundangan tidak dapat

Penafsiran Hukum (Interpretasi


Hukum)

Dengan adanya kodifikasi, hukum itu lalu menjadi beku,


statis sukar berubah. Adapun yang selalu melaksanakan
kodifikasi hukum ialah hakim, karena dialah yang
berkewajiban menegakan hukum di tengah-tengah
masyarakat. Walau kodifikasi hukum telah diatur selengkaplengkapnya, namun tetap juga kurang sempurna dan masih
terdapat benyak kekurangan-kekurangannya, hingga
menyulitkan dalam pelaksanaannya. Hal itu disebabkan
karena pada waktu kodifikasi dibuat, ada hal-hal atau bendabenda yang belum ada yang belum dikenal, misalnya listrik.
Aliran listrik sekarang telah dianggap juga benda, sehingga
barang siapa dengan sengaja menyambung aliran listrik
tanpa izin yang berwajib, termasuk perbuatan yang
melanggar hukum, yaitu tindakan pidana pencurian. Oleh
karena hukum bersifat dinamis, maka hakim sebagai
penegak hukum hanya memandang kodifikasi sebagai suatu

Dengan demikian maka terdapat keluwesan hukum sehingga


kodifikasi berjiwa hidup yang dapat mengikuti perkembangan
zaman. Ternyatalah untuk memberi putusan seadil-adilnya seorang
hakim harus mengingat pula adat-kebiasaan, jurisprudensi, ilmu
pengetahuan dan akhirnya pendapat hakim sendiri ikut
menentukan, dan untuk itu perlu diadakan penafsiran hukum. Ada
beberapa macam penafsiran, antara lain :
Penafsiran tata-bahasa (gramatikal), yaitu penafsiran yang
didasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan
berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam
hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang
dipakai oleh undang-undang; yang dianut ialah semata-mata
arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan,
yaitu arti dalam pemakaian sehari-hari.
Penafsiran sahih (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti
terhadap arti kata-kata itu itu sebagaimana yang diberikan oleh
pembentuk undang-undang.
Penafsiran historis, yaitu :
Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan
sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya
hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-

Penafsiran sistematis (dogmatis), penafsiran memiliki susunan yang


berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik undang-undang
itu maupun dengan undang-undang yang lain.
Penafsiran nasional, ialah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan
sistem hukum yang berlaku.
Penafsiran teleologis (sosiologis), yaitu penafsiran dengan mengingat
maksud dan tujuan undang-undang ini. Ini penting disebabkan
kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi
undang-undang tetap saja sama.
Penafsiran ekstensif, memberi penafsiran dengan memperluas katakata dalam peraturan itu.
Penafsiran restriktif, ialah penafsiran dengan membatasi
(mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu. Misalnya kerugian
yang tak berwujud seperti sakit.
Penafsiran analogis, memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum
dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan
asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak
dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan
tersebut, misalnya menyambung aliran listrik dianggap dengan
mengambil aliran listrik.
Penafsiran a contrario (menurut peringkaran), ialah suatu cara
menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan
pengertian antar soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu

Pengisian Kekosongan Hukum


Penyusunan suatu undang-undang menurut kenyataannya
memerlukan waktu yang lama sekali, sehingga pada waktu undangundang itu dinyatakan berlaku hal-hal atau keadaan yang hendak
diatur oleh undang-undang itu sudah berubah. Terbentuknya suatu
peraturan-perundangan senantiasa terbelakang dibanding dengan
kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat.
Berhubung dengan itulah, maka hakim sering harus memperbaiki
undang-undang itu, agar sesuai dengan kenyataan-kenyataan hidup
dalam masyarakat. Dapatlah dikatakan, bahwa hukum positif,
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara
dalam suatu waktu teretntu adalah merupakan suatu sistem yang
formal, yang sulit untuk mengubah atau mencabutnya walaupun
sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang
harus diatur oleh peraturan-perundangan tersebut.

Hakim memenuhi kekosongan hukum


Dalam hubungan ini apabila hakim menambah peraturanperundangan, maka hal ini berarti bahwa hakim memenuhi
ruangan kosong dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang
berlaku. Adapun pendapat bahwa dalam sistem formal dari hukum
adalah ruang kosong (ada kekosongan) yang dapat diisi oleh
hakim, belumlah lama dianut orang. Seperti diketahui abad ke-19,
para sarjana hukum berpendapat, bahwa hukum itu merupakan
suatu kesatuan lengkap yang tertutup, diluar undang-undang
tidak ada hukum dan hakim tidak boleh menjalankan keadaan
hukum yang tidak disebutkan dalam peraturan-perundangan.
Namun kemudian, paham tentang kesatuan yang bulat dan
lengkap daripada hukum itu, tidak dapat diterima oleh para
sarjana hukum. Prof. Mr. Paul Scholten mengatakan, bahwa hukum
itu merupakan suatu sistem yang terbuka. Pendapat ini lahir dari
kenyataan, bahwa dengan pesatnya kemajuan dan perkembangan
masyarakat, menyebabkan hukum menjadi dinamis, terus
menerus mengikuti proses perkembangan masyarakat.
Berhubungan dengan hal itulah telah menimbulkan konsekwensi,
bahwa hakim dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan
yang ada dalam sistem hukum, asalkan penambahan itu tidaklah
membawa perubahan prinsipil pada sistem hukum yang berlaku.
Konstruksi hukum

Anda mungkin juga menyukai