Anda di halaman 1dari 11

2.

Pada umumnya karakter produk hukum (KPH) sangat dipengaruhi oleh Konfigurasi
Politik (KP) yang ada pada saat produk hukum tersebut dibuat, dan dalam referensi dikenal
antara lain KP demokratis yang menghasilkan KPH yang otonom/responsive dan KPH yang
otoriter yang menghasilkan KPH yang ortodok/represif.

Pertanyaan : coba saudara analisis salah satu produk hukum yang diundangkan pada
masa pemerintahan orde baru atau pasca amandemen UUD 1945 dengan menggunakan
kriteria dari KPH yang responsive dan represif sebagaimana dikemukakan oleh Nonet dan
Selznick.

Jawaban / Analisis :

Saya mencoba menjawab pertanyaan menjadi beberapa bagian, Pertama : Apakah yang
mendasari bahwa produk hukum harus di undangkan, Kedua : Analisis undang-undang
agraria (pertanahan) sesuai dengan Kriteria Produk Hukum yang responsive dan represif
sebagaimana dikemukakan Nonet dan Selznick. asumsi bahwa ”hukum adalah produk
politik”.

Yang pertama kenapa produk hukum harus di undangkan : Kebijakan pembentukan


perudang-undangan, kebijakan pembentukan hukum kita yang utama adalah lewat
perundang-undangan. Bagi Negara Indonesia yang mengikuti sistem hukum continental .
undang-undang adalah sumber utama hukum.

Yang kedua analisis undang-undang agraria (pertanahan) sesuai dengan Kriteria Produk
Hukum yang responsive dan represif sebagaimana dikemukakan Nonet dan Selznick. asumsi
bahwa ”hukum adalah produk politik”. Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter
produk hukum tertentu. Variabel ”konfigurasi politik” ditempatkan sebagai variabel bebas
(independent), dan variabel ”karakter produk hukum” sebagai variabel terpengaruh
(dependent). Variabel konfigurasi politik menunjuk pada bentuk konfigurasi sistem politik
yang demokratis dan/atau konfigurasi sistem politik yang tidak demokratis (otoriter).

Sedangkan variabel karakter produk hukum, mengacu pada konsepsi Nonet dan Selznick
yang merujuk pada produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom, dan karakter
produk hukum yang represif, ortodoks, konservatif atau menindas.1

1
Philippe Nonet & Philip Selznick ,Hukum Responsif: Pilihan Di Masa Transisi, Huma Ford
FoundationC1, 2003.
Secara operasioal, pendikotomian hipotesis tersebut dimaksudkan untuk menyatakan
bahwa ”konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan produk hukum yang
berkarakter responsif atau otonom. Sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan
menghasilkan produk hukum yang berkarakter ortodoks atau konservatif atau menindas”.

Konsep konfigurasi politik demokratis dan/atau konsep otoriter ditentukan berdasarkan


tiga indikator, yaitu sistem kepartaian dan peranan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen,
dominasi peranan eksekutif, dan kebebasan pers. Sedangkan konsep hukum responsif/otonom
diidentifikasi berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum, dan
kewenangan menafsirkan hukum. Untuk selanjutnya pengertian secara konseptual
dirumuskan sebagai berikut :

a. Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka ruang bagi


partisipasi masyarakat untuk terlibat secara maksimal dalam menentukan kebijakan negara.
Konfigurasi politik demikian menempatkan pemerintah lebih berperan sebagai organisasi
yang harus melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis.
Oleh karena itu badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional dan
lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara. Pers terlibat dalam menjalankan
fungsinya dengan bebas tanpa ancaman pembreidelan atau tindakan kriminalisasi lainnya.

b. Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi politik yang menempatkan pemerintah


pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan negara, sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan
terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan,
badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan
alat untuk justifikasi (rubber stamp) atas kehendak pemerintah, sedangkan pers tidak
memiliki kebebasan dan senantiasa berada di bawah kontrol pemerintah dalam bayang-
banyang pembreidelan.

c. Produk hukum responsif atau otonom adalah karakter produk hukum yang
mencerminkan pemenuhan atas aspirasi masyarakat, baik individu maupun berbagai
kelompok sosial, sehingga secara relatif lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam
masyarakat. Proses normatifikasinya mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi
masyarakat. Lembaga peradilan dan peraturan hukum berfungsi sebagai instrumen pelaksana
bagi kehendak masyarakat, sedangkan rumusannya biasanya cukup diperinci sehingga tidak
terlalu terbuka untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan berdasarkan kehendak dan visi
penguasa/pemerintah secara sewenang-wenang.

d. Produk hukum konservatif atau ortodoks adalah karakter produk hukum yang
mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan negara yang sangat dominan, sehingga
dalam proses pembuatannya tidak akomodatif terhadap partisipasi dan aspiasi masyarakat
secara sungguh-sungguh. Prosedur pembuatan yang dilakukan biasanya hanya bersifat
formalitas. Di dalam produk hukum yang demikian, biasanya hukum berjalan dengan sifat
positivis instrumentalis atau sekedar menjadi alat justifikasi bagi pelaksanaan ideologi dan
program pemerintah. Rumusan materi hukumnya biasanya bersifat pokok-pokok saja
sehingga dapat penguasa negara dapat menginterpretasikan menurut visi dan kehendaknya
sendiri dengan berbagai peraturan pelaksanaan.

Nonet dan Selznick kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu
sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu
sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum
tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan semata. Pendekatan ilmu sosia
memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual,
sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang melingkupinya. Sebelum melangkah ke
pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari
hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum
represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan
melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai
respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).

Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif
bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda, tetapi dalam beberapa hal juga
merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib
politik masyarakat. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai
model perkembangan (developmental model). Untuk menjelaskan perkembangan evolutif
tersebut, menurut pandangan penulis tahapan ini dapat disandarkan pada momentum-
momentum sosial politik yang penting dalam perjalanan sejarah suatu negara, yang
membingkai secara kontekstual terhadap muncul dan berlakunya suatu peraturan hukum
dalam masyarakat.
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya
tahapan III (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan
stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan
menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya resiko
kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih
maju. Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di
luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan
melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai
tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini,
mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai
interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.

Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo,
sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu
pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam
sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom sebagaimana diungkapkan
Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi
hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori
hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara
mencapai tujuan.2

Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain.
Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus
diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang
terlibat dalam proses penegakan hukum untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan
hukum murni yang kaku dan analitis.

Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif,


yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi
individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari
keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak
dari penguasa untuk sekedar melegitimasikan kekuasaannya.

Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum, Telaah dalam


Perkembangan Hukum Agraria (pertanahan).
2
Ibid, hal. 72.
Undang – undang UU No 5 Tahun 1960 Tentang ketentuan pokok Agraria. Muncul
pada zaman orde baru , Untuk mencapai tujuan negara dan cita-cita rakyat Indonesia yaitu
suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, maka keberadaan hukum agraria nasional sangat diperlukan, untuk dapat menjamin
kepastian hukum hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum agraria yang berlaku
sebelum tahun 1960, ternyata tidak dapat menjamin kepastian hukum hak atas tanah bagi
rakyat Indonesia dan juga belum dapat menunjang pembangunan, hal tersebut dikerenakan
banyaknya hukum yang mengatur masalah pertanahan seperti hukum perdata, hukum adat,
hukum islam dan diatur berdasarkan kepentingan dan kondisi pada saat tertentu, hal tersebut
menimbulkan hukum agraria mempunyai sifat dualisme yaitu berlakunya hukum adat dan
peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, sehingga menimbulkan
berbagai masalah antar golongan serta tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa.

Untuk mewujudkan hukum agraria nasional yang dapat menjamin kepastian hukum
hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia dan juga mampu mewujudkan bumi, air, ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai sumber kesejahteraan
lahir dan batin, adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa, maka
Pemerintah pada tanggal 24 September 1960 menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria.

Undang-Undang Pokok Agraria tersebut sebagai pelaksanaan pasal 33 ayat (3)


Undang-Undang Dasar 1945, memberikan wewenang kepada Negara sebagai organisasi
kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk :3

- Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaannya;

- Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air
dan ruang angkasa;

- Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-


perbuatan hukum yang menguasai bumi, air dan ruang angkasa.

A. SEBELUM PROKLAMASI KEMERDEKAAN (1945)

Menurut hemat pemikiran saya pada masa tersebut masih sangat Represif ( pelayan
kekuasaan ) didasarkan pada :
3
Udin, Buku panduan ujian pokok Agraria, 2015, Kementrian ATR/BPN, hal 577.
Pada masa penjajahan Belanda, terdapat dualisme hukum yang berlaku di Indonesia yaitu
berlakunya hukum agraria barat di satu pihak dan hukum agraria menurut hukum adat di
pihak lain. Hukum agraria barat berlaku bagi warga negara Belanda dan orang-orang asing
lainnya yang tunduk pada hukum barat, termasuk bagi mereka yang dipersamakan dengan
orang-orang Barat seperti Jepang. Sedangkan hukum agraria menurut hukum adat berlaku
bagi warga negara asli (pribumi). Hukum barat dikodifikasikan dalam Burgerlijk Wetboek
(B.W) sedangkan hukum adat merupakan hukum rakyat asli yang tidak tertulis.

1. Peraturan-peraturan Agraria yang Berlaku di Daerah Pemerintahan Langsung


Agrarische Wet merupakan dasar bagi hukum agraria pemerintah Belanda yang dibuat di
negri Belanda pada tahun 1870 (Stb.tahun 1870 no.55). Agrarische Wet lahir atas desakan
modal besar swasta pada waktu dijalankan stelsel tanam paksa pada pertengahan abad 19.

TujuanAgrarischeWetadalah:4
- membuka kemungkinan kepada pemodal besar asing untuk berkembang di Indonesia
- membuka kemungkinan bagi pegusaha untuk menyewa tanah dari rakyat.terutama
untuk tebu dan tembakau melindungi hak-hak rakyat Indonesia asli, karena tanpa
perlindungan itu dikhawatirkan rakyat akan menghilangkan tanahnya sama sekali yang dapat

Menimbulkan akibat berbahaya bagi pemerintah. Sedangkan prinsip yang diemban dalam
Agrrische Wet antara lain :

- Memberi kesempatan pihak swasta agar mendapatkan tanah luas dengan sewa murah
Hak pakai (menyewa tanah)

- Pemerintah boleh mengambil tanah rakyat untuk kepentingan umum


- Golongan bumi putera diberi kesempatan mengkonvensi HAT untuk menjadi
egendom.

Agrarische Besluit Pelaksanaan daripada ketentuan-ketentuan Agrarische Wet ini


diatur dalam berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu yang terpenting ialah
Koningklijke Besluit yang terkenal dengan nama Agrarische Besluit dan dimuat dalam Stb
no.118. Di dalam Agrarische Besluit pasal 1 termuat pernyataan penting yang terkenal
dengan sebutan “Domein Verkaling“, yang berisi ketentuan bahwa semua tanah yang tidak
dapat dibuktikan eigendomnya maka tanah tersebut domeinnya, adalah domein negara.
Disamping domein verkaling yang bersifat umum di dalam perundang undangan agraria
4
Ibid, hal, 589.
Barat masih terdapat lagi pernyataan domein yang khusus berlaku bagi daerah-daerah
tertentu yang disebut Speciale Domein VerkalingDalam tahun 1918 dikeluarkan ordonansi
yang mula-mula diberi nama Grondhur Reglementvoor de Residentie Soerakarta en
Yogyakarta yang diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1918 No. 20 dan pada tahu 1928
diubah namanya menjadi Vorstenlands Grondhur Reglement (V.G.R). Dengan peraturan ini
pengusaha asing dapat memperoleh hak atas tanah dengan cara Konversi. Maksudnya ialah
pergantian/perubahan hak atas tanah,yaitu memperkenankan kepada pengusaha asing untuk
memakai dan mengusahakan tanah tertentu melalui Beschikking dari Raja.5

Dalam hal ini represif yang di tujukan oleh pemerintah belanda selaku pemegang
kekuasaan, dan tanah di indonesia sebagai objek , ingin dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
keuntungan belanda, dan bangsa asing. Di buktikan dengan asar domein dimana setiap tanah
yang tidak hak kepemilikan maka otomatis menjadi tanah belanda , kemudian adanya
pemanfaatan tanah untuk kepentingan swasta dan pemodal , berlaku nya agrarische wet tanpa
ada unsur penawaran musyawarah dengan masyarakat. Sekaligus dengan tidak diakuinya
tanah adat menjadi pada masa tersebut merupakan Konfigurasi Politik antara penjajah
dengan pemodal asing sehingga menghasilkan karakter produk hukum yang bersifat
Represive.

B. SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN (17 AGUSTUS 1945) SAMPAI


24 SEPTEMBER 1960

Pada masa ini masuk ke masa konfigurasi politik demokrasi terpimpin yang
menghasilkan karakter produk hukum Responsif.

Pada tahun 1948, usaha-usaha yang konkret menyusun dasar-dasar Hukum Agraria
yang akan menggantikan Hukum Agraria warisan dari pemerintah kolonial, diwujudkan
dalam bentuk Panitia Agraria. Panitia Agraria Yogyakarta

Panitia ini dibentuk karena adanya Penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 21
Mei 1948 No. 16. Panitia Agraria Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo.
Tugas dari panitia ini yaitu untuk memberi pertimbangan kepada pemerintah mengenai soal-
soal hukum tanah pada umumnya; merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik
agraria Negara Republik Indonesia; merancang perubahan, pergantian, pencabutan peraturan-

5
Ibid, hal. 592.
peraturan lama, baik dari sudut legislative maupun sudut praktik dan menyelidiki soal-soal
lain yang berhubungan dengan hukum tanah.

Beberapa usulan asas-asas yang merupakan Hukum Agraria 6, antara lain :


1) Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat.

2) Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat yaitu hak
milik yang dapat dibebani hak tanggungan.

3) Diadakan penyelidikan dalam peraturan-peraturan Negara lain.

4) Perlu diadakan penetapan luas minimum tanah untuk menghindarkan pauperisme diantara
petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang layak.

5) Perlunya penetapan luas maksimum

6) Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah yang diusulkan oleh Sarimin
Reksodiharjo.

7) Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting.
Panitia Agraria Jakarta Panitia ini dibentuk dengan pertimbangan, Panitia Agraria Yogyakarta
tidak sesuai lagi dengan keadaan Negara. Maka tanggal 19 Maret 1951 melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 36/1951 Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan
dibentuk panitia baru yang berkedudukan di Jakarta, panitia ini masih diketuai oeh Sarimin
Reksodiharjo. Pada dasarnya tugas panitia ini hamper sama dengan Panitia Agraria
Yogyakarta.Kesimpulan panitia mengenai soal tanah untuk pertanian kecil (rakyat), yaitu :

8) Mengadakan batas minimum.

9) Ditentukan pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga.

10) Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk warga Indonesia.

11) Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum : hak milik, hak usaha, hak
sewa dan hak pakai.

12) Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang sesuai dengan
pokok-pokok dasar Negara.

6
Ibid, hal. 623.
Panitia Soewahjo, Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 55/1955 pada tanggal
29 Maret 1955 dibentuklah Kementrian Agraria yang tugasnya mempersiapkan pembentukan
perundang-undangan agrarian nasional. Pada masa jabatan Menteri Agraria Goenawan
melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 14 Januari 1956 No. 1/1956. Panitia
Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuk panitia baru yang diketuai Soewahjo Soemodilogo.
Tugas utamanya mempersiapkan rencana undang-undang Pokok Agraria yang nasional,
sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun.

Tahun 1957 panitia telah berhasil menyusun naskah Rancangan Undang-Undang Pokok
Agraria, pokok-pokoknya adalah :

13) Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat yang harus ditundukkan pada
kepentingan umum (Negara).

14) Asas domein diganti dengan hak kekuasaan Negara.

15) Dulisme hukum agraria dihapuskan.

16) Hak-hak atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi sosial, ada hak
usaha, hak bangunan dan hak pakai.

17) Hak milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang warganegara Indonesia.

18) Perlunya diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh
menjadi milik seseorang atau badan hukum.

19) Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya.

20) Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.


Rancangan Soenarjo Dengan adanya perubahan mengenai sistematika dan rumusan beberapa
pasal. Rancangan panitia Soewahjo tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo.
Rancangan Soenarjo telah dibicarakan dalam sidang pleno DPR pada tingkat Pemandangan
Umum babak pertama.

Untuk melanjutkan pembahasannya DPR membentuk suatu panitia ad-hoc. Sejak itu
pembicaraan RUU UUPA dalam sidang pleno menjadi tertunda dan ditarik kembali oleh
kabinet.Rancangan Sadjarwo Dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap diajukanlah
Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo.
Rancangan tersebut disetujui oleh Kabinet Inti dan Kabinet Pleno dan diajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Rancangan Sadjarwo secara
tegas menggunakan Hukum Adat sebagai dasarnya, berbeda dengan rancangan Soenarjo yang
tidaktegas konsepsi yang melandasinya. Pengesahan dan pengundangan
Setelah selesai dilakukannya pembahasan dan pemeriksaan pendahuluan, pada tanggal 14
September 1960 dengan suara bulat DPR-GR menerima baik Rancangan UUPA yang
diajukan oleh Sadjarwo. Pada tanggal 24 September 1960 Rancangan Undang-Undang yang
telah disetujui DPR-GR tersebut disyahkan oleh Presiden Soekarno menjadi Undang-Undang
No. 5 tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian disingkat dengan
nama Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Sebagai cikal bakal dari UUPA pada masa tersebut syarat-syarat karakter produk
hukum responsive menurut Nonet dan Selznick sudah terpenuhi antara lain :
1. Tertib kelembagaan , langgeng & stabil : mulai dari panitia yogyakarta , panitia jakarta,
panitia suwahyo , kemudian di tindak lanjuti oleh DPR-GR hingga terbentuk Rancangan
UUPA.

2. Orientasi hasil , dari masa tersebut terhapusnya asas domein , dan diakui nya hak ulayat
merupakan sesuatu yang sangat memberi kemajuan , dimana hak ulayat yang tidak tertulis
menjadi diakui. Kemudian muncul asas-asas yang di jadikan landasan UUPA

3. Negosiasikan , tanpa ada pemaksaan kepentingan negara indonesia atas kebutuhan tanah
dapat di wujudkan tanpa harus memaksa kepentingan masyarakat.

4. Kemauan masyarakat, harapan atas kepemilikan hak atas tanah menjadi pemicu
masyarakat dalam orde tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Philippe Nonet & Philip Selznick ,Hukum Responsif: Pilihan Di Masa Transisi, Huma Ford
FoundationC1, 2003.

Udin, Buku panduan ujian pokok Agraria, 2015, Kementrian ATR/BPN

UUD 1945

Undang-Undang nomo 5 tahun 1960

Anda mungkin juga menyukai