SIAGIAN
NIM : 2019010462040
MATA KULIAH : Hukum Agraria
DOSEN : Dr. Ahmad Yani, SH., MH.
Dr. Furcony Putri Syakura, SH., MH., M.Kn.
HARI/TANGGAL : Sabtu, 30 Januari 2021
PUKUL : 08.00-09.40 WIB
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan cessie dan subrogasi dalam Hak
Tanggungan beserta pasal yang mengatur hal tersebut. ?
Jawaban:
a. Cessie
Cessie merupakan pengalihan hak atas kebendaan bergerak tak
berwujud (intangible goods) yang biasanya berupa piutang atas nama
kepada pihak ketiga, dimana seseorang menjual hak tagihnya kepada orang
lain. Berikut ini pengertian cessie menurut beberapa versi:
- Cessie menurut KUHPerdata
KUHPerdata tidak mengenal istilah cessie, tetapi dalam Pasal 613
ayat [1] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)
disebutkan bahwa “penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan
kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah
akta otentik atau akta di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas
kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Dari hal tersebut dapat
dipelajari bahwa yang diatur dalam Pasal 613 ayat [1] adalah penyerahan
tagihan atas nama dan benda-benda tak bertubuh lainnya.
Cessie yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai cession memiliki tiga
arti:
1
II. The relinquishing or transfer of land from one state to another, esp.
When a state defeated in war gives up the land, as part of the price
of peace.
III. The land so relinquished or transferred.
b. Subrogasi
Subrogasi terjadi karena pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga
kepada kreditur (si berpiutang) baik secara langsung maupun secara tidak
langsung yaitu melalui debitur (si berutang) yang meminjam uang dari pihak
ketiga. Pihak ketiga ini menggantikan kedudukan kreditur lama, sebagai
kreditur yang baru terhadap debitur.
2
Subrogasi ini diatur dalam Pasal 1400 KUHPerdata. Disebutkan
dalam pasal tersebut subrogasi adalah penggantian hak-hak oleh seorang
pihak ketiga yang membayar kepada kreditur. Subrogasi dapat terjadi baik
melalui perjanjian maupun karena ditentukan oleh undang-undang.
Subrogasi harus dinyatakan secara tegas karena subrogasi berbeda dengan
pembebasan utang. Tujuan pihak ketiga melakukan pembayaran kepada
kreditur adalah untuk menggantikan kedudukan kreditur lama, bukan
membebaskan debitur dari kewajiban membayar utang kepada kreditur.
Pihak ketiga sebagai kreditur baru berhak melakukan penagihan utang
terhadap debitur dan jika debitur wanprestasi, maka kreditur baru
mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas benda-benda debitur yang
dibebani dengan jaminan seperti gadai, hipotek, dan hak tanggungan.
Mengenai subrogasi yang terjadi karena perjanjian diatur dalam Pasal
1401 KUHPerdata dan subrogasi yang terjadi karena undang-undang diatur
dalam Pasal 1402 KUHPerdata. Subrogasi menurut undang-undang artinya
subrogasi terjadi tanpa perlu persetujuan antara pihak ketiga dengan kreditur
lama, maupun antara pihak ketiga dengan debitur.
3
kepada orang lain.
4
Hak Tanggungan tidaklah selalu dalam jumlah yang tertentu dan tetap, tetapi
bisa pula jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian. Adapun utang yang
dimaksud tersebut dapat berupa:
Utang yang telah ada adalah utang yang benar-benar sudah direalisir dan
karenanya yang jumlah uang utangnya sudah diserahkan kepada debitur atau
dengan perkataan lain, di sini benar-benar sudah terutang sejumlah uang
tertentu baik itu berupa utang murni ataupun utang dengan ketentuan waktu.
Pada utang murni hanya disebutkan besarnya utang dan kalau ada perjanjian
juga bunganya dan yang segera matang untuk ditagih. Dalam praktik sering
bertemu dengan perjanjian utang piutang (kredit) dengan ketentuan waktu, dalam
mana disebutkan juga untuk berapa lama utang (kredit) itu diberikan, dengan
konsekuensinya sesuai dengan asas Pasal 1349 KUHPerdata, yang menetapkan
bahwa dalam perjanjian utang piutang, ketentuan waktu harus ditafsirkan untuk
keuntungan debitur, kecuali ditentukan lain, kreditor tidak bisa menagih kembali
utang tersebut sebelum waktu yang ditentukan, sedang debitur bisa sewaktu-
waktu melunasinya dan biasanya dalam perjanjian utang piutang (kredit)
memang ditetapkan adanya kesempatan debitur untuk mempercepat pelunasan,
baik dengan disertai denda atau tidak.
5
3. Asas apa saja yang terdapat dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.
Jelaskan beserta dasar hukumnya.
Jawaban:
Asas-Asas dalam Hak Tanggungan :
1. Asas sistem tertutup (gesloten system) artinya selain dari hak jaminan
kebendaan yang diatur UUHT, Undang-Undang Rumah Susun (UURS)
Nomor 16 Tahun 1985, Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman
(UUPP) Nomor 4 Tahun 1992 dan Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF)
Nomor 42 Tahun 1999, tidak dapat diadakan hak jaminan kebendaan lain
berdasarkan kesepakatan antara para pihak. Hak kebendaan ini
bersifat absolut (mutlak), karena itu bersifat limitatif (terbatas).
2. Asas Droit de Preference (didahulukan/diutamakan) arinya kreditur
pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak yang didahulukan/diutamakan
untuk dipenuhi piutangnya. Jika debitur pemberi Hak Tanggungan
Wanprestasi (ingkar janji) dalam melunasi utang-utangnya kepada kreditur,
maka objek Hak tanggungan milik debitur dijual secara lelang,dan hasil
penjualan tersebut dibayarkan untuk pelunasan utang kepada kreditur
pemegang Hak Tanggungan. Jika masih ada sisa dari hasil penjualan objek
Hak Tanggungan tersebut dibayarkan kepada kreditur lainnya secara pari
passu (konkuren), dan jika sisanya masih ada dan utang debitur semuanya
sudah lunas, maka sisa hasil penjualan objek Hak Tanggungan tersebut
dikembalikan kepada debitur. (Baca lebih lanjut penjelasan umum angka
3 juncto angka 4, Pasal 5 UUHT). (Baca juga Pasal 6 dan penjelasan Pasal
6 juncto penjelasan umum angka 4 UUHT). Asas ini dilaksanakan dengan
memperhatikan dan mendahulukan piutang negara.
3. Asas Droit de Suite yaitu Hak Tanggungan memiliki sifat yang sama dengan
Hak Kebendaan yaitu Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya di tangan
siapapun objek Hak Tanggungan itu berada. Dengan demikian apabila objek
Hak Tanggungan sudah beralih kepemilikan , misalnya sudah dijual kepada
pihak ketiga, kreditur tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi
terhadap objek Hak Tanggungan jika debitur wanprestasi (ingkar janji). (Baca
Pasal 7 juncto Penjelasan Umum angka 3 huruf b UUHT).
6
4. Asas Spesialitas yang artinya pertelaan mengenai objek Hak Tanggungan
yang terwujud dalam uraian mengenai objek Hak Tanggungan yang
dituangkan dalam sertifikat, atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-
kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas
dan luas tanahnya. Syarat ini merupakan syarat esensial bagi eksistensi
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). (Baca Penjelasan Umum angka 3
huruf c UUHT dan baca pula Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT dan
penjelasannya).
5. Asas Publisitas artinya adalah pendaftaran dan pencatatan dari pembebanan
objek Hak Tanggungan sehingga terbuka dan dapat dibaca dan diketahui
umum. Pendaftaran dan pencatatan tersebut dilakukan pada buku tanah
atau buku tanah Hak Tanggungan dan dilakukan oleh pejabat terkait dan
berwenang untuk itu di Kantor pertanahan di wilayah mana tanah tersebut
berada. (Baca Penjelasan umum angka 3c UUHT dan Pasal 13 ayat 1
UUHT. Baca juga Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah dan Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun
1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan).
6. Asas mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusi yang artinya adalah
bahwa pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan bagi pemegang Hak
Tanggungan harus memiliki kepastian hukum dan mudah untuk dieksekusi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan
adanya irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA" pada sertifikat Hak Tanggungan.
7. Asas Accessoir yang artinya adalah Hak Tanggungan adalah perjanjian
tambahan (ikutan) yang mengikuti perjanjian pokoknya (perjanjian utang-
piutang), dan tidak merupakan perjanjian/hak yang berdiri sendiri
(zelfstandigrecht)Adanya dan hapusnya perjanjian ikutan
(accessorium tergantung dari perjanjian pokok. (Baca Pasal 10 ayat (1) dan
Penjelasan Umum angka 8 UUHT). Didalam KUH Perdata asas ini diatur
dalam Pasal 1133, 1134 alinea kedua dan Pasal 1198 KUH Perdata.
8. Asas Pemisahan horisontal yang artinya Hak atas tanah terpisah dari benda-
benda yang melekat di atasnya. UUHT menganut asas pemisahan
horisontal. Tetapi pemberlakuannya tidak secara otomatis. Harus terlebih
dahulu diperjanjikan antara para pihak di dalam APHT. Penerapan asas
7
ini dalam UUHT merupakan terobosan dari asas perlekatan vertikal yang
dianut oleh KUH Perdata. (Baca Penjelasan Umum angka 6 UUHT).
9. Asas perlekatan (Accessie) yang artinya benda-benda yang melekat sebagai
kesatuan dengan tanah, karena hukum mengikuti hukum benda pokok.
Meskipun UUHT tidak menganut asas perlekatan vertikal sebagaimana KUH
Perdata, namun apabila para pihak sepakat menghendakinya, maka asas
perlekatan vertikal dapat pula digunakan dalam UUHT dengan catatan harus
dituangkan secara tegas di dalam APHT.
10. Asas Iktikad Baik yang artinya iktikad baik yang bersifat objektif yaitu iktikad
baik yang sesuai kepatutan yang berlaku di dalam masyarakat pada
umumnya.
4. Sebutkan dan jelaskan tiga sifat dasar dari setiap bidang tanah ditinjau dari
sosiologis hukum dan antropologis hukum?
Jawaban:
9
Pendaftaran di Indonesia dikatakan mempergunakan Sistem Torrens,
hanya tidak jelas dari negara mana kita meniru sistem tersebut, demikian
juga di India, Malaysia, dan Singapura, dipergunakan Sistem Torrens ini.
Ada beberapa keuntungan dari Sistem Torrens, antara lain sebagai berikut :
6. Meniadakan pemalsuan.
10
Selain di Indonesia, sistem negatif juga berlaku di negara Belanda,
Prancis, dan Filipina. Secara umum, sistem pendaftaran tanah yang negatif
mempunyai karakteristik yakni sebagai berikut :
11
risikonya jika yang terdaftar itu ternyata bukan pemegang hak yang
sebenarnya.
12
adanya pungli dan pelayanan yang sudah memenuhi kriteria standart WBK
(Wilayah Bebas Korupsi) bahkan WBBM (Wilayah Bersih Bebas Melayani)?
Jawaban:
Terkait dengan kondisi Pemerintah seperti ini, maka birokrasi Indonesia
memiliki peluang untuk mampu mendongkrak kinerja pemerintah dengan
memanfaatkan teknologi yang semakin berkembang. Teknologi informasi bisa
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya menyerap informasi dari pelanggan
(masyarakat) secara cepat dan murah. Pengetahuan yang tepat terhadap
harapan dan kebutuhan pelanggan pada dasarnya diharapkan dapat
memberikan implikasi kemauan meningkatkan kompetensi, kemampuan untuk
menggali potensi dan cara baru guna meningkatkan daya saing, atau
melakukan aliansi strategis seiring dengan tuntutan perkembangan teknologi
yang semakin cepat.
Birokrasi sebagai mesin dari pemerintah, pada dasarnya memproduksi
barang baik dalam bentuk benda maupun jasa untuk kepentingan seluruh warga
tanpa kecuali. Namun birokrasi yang monopoli memproduksi barang untuk
kebutuhan dan kepentingan public, kecenderungan mengalami kesulitan pada
proses produk dan layanan sampai kepada masyarakat. Apabila
ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus, maka pelayanan yang
berpihak pada golongan tertentu saja akan memunculkan potensi kecemburuan,
mempertajam jurang yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, dan
disintegritas dalam kehidupan berbangsa.
Kecenderungan birokrasi “yang berpihak” kepada salah satu sekmen
pelanggan, misalnya pada golongan yang memiliki uang atau yang mampu
membeyar berpotensi untuk merusak citra birokrasi secara institusional dan bisa
berimplikasi luas terhadap keutuhan bangsa. Selain itu akan semakin
meruncingkan secara fisiologis perbedayaan orang kaya dan orang miskin. Di
samping harapan birokrasi secara institusi yang netral sesuai amanah Undang-
Undang No. 43 Tahun 1999, relative belum dilaksanakan secara utuh. Itu dapat
dilihat bagaimana oknum tertentu untuk mendapatkan suatu jabatan tertentu. Di
samping itu, aparat birokrasi masih melakukan aktifitas ekonomi baik pada
waktu jam kerja maupun sesudah jam kerja, yang tujuannya untuk memenuhi
kebutuhan hidup diri dan keluarganya.
13
Hal lain yang perlu dicermati dalam prilaku birokrasi kita adalah netralitas
terhadap pemimpin terpilih. Terdapat kecenderungan bahwa birokrasi umumnya
cenderung melakukan afiliasi politik terhadap pemerintah yang berkuasa. Gejala
ini berdampak negative terhadap sportifitas pelayanan kepada seluruh lapisan
masyarakat. Oleh karena itu, salah satu pertimbangan penting yaitu perlunya
memperkuat netralitas birokrasi adalah untuk menjaga kemampuan melayani
pelanggan internal (pemerintah) maupun eksternal (masyarakat luas) tanpa
diskriminatif. Karena apabila tidak demikian maka sesungguhnya reformasi
politik yangn sedang dijalankan akan menemui batu sandungan ketika birokrasi
belum mampu menempatkan dirinya dalam koridor netralitas. Pada saatnya
lemahnya kemampuan untuk bersikap netral akan menyebabkan terjadinya
staknasi reformasi.
Lebih dari Itu, pemerintah harus mengupayakan fungsi pelayanan public
yang optimal. Pengelolaan pelayanan public cenderung lebih bersifat direktif
yang hanya memperhatikan/mengutamakan kepentingan
pimpinan/organisasinya saja, harus diubah. Pelayanan public harus dikelolah
dengan paradikma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri
kepada kepentingan masyarakatnya, pengelolaan pelayanan harus mampu
bersikap menjadi pelayan yang sadar buntuk melayani dan bukan dilayani.
Dalam konteks desentralisasi, pelayanan public seharusnya menjadi lebih
responsive terhadap kepentingan public, dimana paradigma pelayanan public
beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih
memberikan focus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan.
Untuk menuju pada terwujudnya birokrasi yang berwawasan atau
berorientasi pada pelayanan public, beberapa criteria harus dipenuhi seperti
berikut ini:
1. Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan
yang mengfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan
pelayanan kepada masyarakat.
2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga
masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas
pelayanan yang telah dibangun bersama.
3. Menerapkan system kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan public
tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.
14
4. Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi
pada hasil (outcome) sesuai dengan masukan yang digunakan.
5. Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
6. Pada hal tertuntu pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat
dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan.
7. Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan
8. Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.
9. Menerapkan system pasar dalam memberikan pelayanan.
15
Berdasarkan 5 pokok masalah di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Konstitusi, UUPA 1960 dan TAP MPR
IX/2001. RUU focus pada kemudahan bagi perusahaan dan investor skala besar
di seluruh sektor agraria (pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan,
pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil, properti dan infrastruktur),
sehingga abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat atas
sumber-sumber agraria yang telah dijamin Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
Lebih lanjut, RUU ini akan melahirkan kontradiksi baru dengan prinsip-prinsip
mendasar dari Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). Sebab, sebagai terjemahan langsung dari
Pasal 33 Ayat (3), UUPA mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah
dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah
kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik
secara perorangan maupun secara gotong royong. Sementara semangat
“Omnibus Law” yang terpusat semata pada kepentingan investasi skala besar
dapat menyingkirkan hak-hak atas tanah petani, masyarakat adat dan
masyarakat miskin dari wilayah hidup mereka.
8. Jelaskan yang dimaksud dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) , apa
tujuannya, bagaimana PPJB memberi perlindungan terhadap pembeli serta
bagaimana pendapat Saudara pengaturan PPJB dalam UUPA ?
16
Jawaban:
- Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah suatu perjanjian yang dibuat
oleh calon penjual dan calon pembeli suatu tanah/bangunan sebagai
pengikatan awal sebelum para pihak membuat Akta Jual Beli (“AJB”) di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Berdasarkan Pasal 1870 KUH yang berbunyi “Suatu akta otentik
memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-
orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang
apa yang dimuat didalamnya.”
- Tujuannya dapat dijadikan bukti dalam suatu perkara perdata, yang dicari
adalah kebenaran formil, yaitu kebenaran yang didasarkan sebatas pada
bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Oleh karena itu,
umumnya suatu bukti tertulis berupa surat atau dokumen memang sengaja
dibuat oleh para pihak untuk kepentingan pembuktian nanti, apabila sampai
ada sengketa.
- Dalam pembuktian suatu perkara perdata, Pasal 1866 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Pasal 164 Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui (RIB/HIR) telah mengatur jenis alat-alat bukti dalam hukum
acara perdata, yaitu:
a. Bukti Surat;
b. Bukti Saksi;
c. Persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah.
17
“Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.”
Bahwa, PPJB adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon penjual
dan calon pembeli suatu tanah/bangunan sebagai pengikatan awal sebelum
para pihak membuat Akta Jual Beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT). Biasanya PPJB akan dibuat para pihak karena adanya syarat-
syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh
Para Pihak sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT. Dengan demikian
PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan
hak atas tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli.
Hal mana ada pihak yang menggunakan PPJB tersebut sebagai bukti
dalam gugatannya setelah 10 (sepuluh) tahun PPJB tersebut dibuat. Hal
tersebut bisa saja dilakukan oleh pihak tersebut apabila memang ada hal
yang dipersengketakan oleh para pihak dalam suatu perjanjian atau dengan
pihak-pihak lain yang mendapat hak dari PPJB tersebut.
18
“Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat
perorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh
tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah
mempertunjukkan suatu alas hak, lagipula tak dapatlah dimajukan
terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang
buruk.”
Jawaban:
Dalam penulisan ini, yang akan dianalisa oleh penulis adalah Pasal 61, Pasal 62
dan Pasal 63 Undang-Undang 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun,yaitu
sebagai berikut:
Pasal 61
(1) Peningkatan kualitas wajib dilakukan oleh pemilik sarusun terhadap rumah
susun yang:
a. Tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki; dan/atau
b. Dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan rumah susun
dan/atau lingkungan rumah susun.
(2) Peningkatan kualitas rumah susun selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan atau prakarsa pemilik sarusun.
Pasal 62
19
Pasal 63
Bahwa yang dimaksud dengan pemilik adalah setiap orang yang memiliki
sarusun. Dan yang dimaksud dengan Penghuni adalah orang yang menempati
sarusun, baik sebagai pemilik maupun bukan pemiliknya.
20
ketetapan dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah berwenang untuk
menetapkan Peningkatan kualitas rumah susun dalam hal:
Apabila para pemilik satuan rumah susun merasa bahwa rumah susun yang
mereka tempati sudah tidak laik fungsi dan dapat menimbulkan bahaya atau
karena alasan-alasan lain, maka para pemilik satuan rumah sususn dapat
memprakarsai Peningkatan kualitas rumah susun yang mereka tempati.
21