Anda di halaman 1dari 21

NAMA : TARIDA SONDANG P.

SIAGIAN
NIM : 2019010462040
MATA KULIAH : Hukum Agraria
DOSEN : Dr. Ahmad Yani, SH., MH.
Dr. Furcony Putri Syakura, SH., MH., M.Kn.
HARI/TANGGAL : Sabtu, 30 Januari 2021
PUKUL : 08.00-09.40 WIB

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan cessie dan subrogasi dalam Hak
Tanggungan beserta pasal yang mengatur hal tersebut. ?
Jawaban:
a. Cessie
Cessie merupakan pengalihan hak atas kebendaan bergerak tak
berwujud (intangible goods) yang biasanya berupa piutang atas nama
kepada pihak ketiga, dimana seseorang menjual hak tagihnya kepada orang
lain. Berikut ini pengertian cessie menurut beberapa versi:
- Cessie menurut KUHPerdata
KUHPerdata tidak mengenal istilah cessie, tetapi dalam Pasal 613
ayat [1] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)
disebutkan bahwa “penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan
kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah
akta otentik atau akta di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas
kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Dari hal tersebut dapat
dipelajari bahwa yang diatur dalam Pasal 613 ayat [1] adalah penyerahan
tagihan atas nama dan benda-benda tak bertubuh lainnya.

- Cessie menurut Black’s Law Dictionary (9th edition)

Cessie yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai cession memiliki tiga
arti:

I. The act of relinquishing property rights;

1
II. The relinquishing or transfer of land from one state to another, esp.
When a state defeated in war gives up the land, as part of the price
of peace.
III. The land so relinquished or transferred.

Dengan demikian, cessie dalam definisi ini memiliki hubungan antara


penyerahan hak-hak properti yang disempitkan dalam bidang pertanahan.

- Cessie menurut Prof. Subekti

Cessie adalah pemindahan hak piutang, yang sebetulnya merupakan


penggantian orang berpiutang lama, yang dalam hal ini dinamakan
cedent, dengan seseorang berpiutang baru, yang dalam hubungan ini
dinamakan cessionaris. Pemindahan itu harus dilakukan dengan suatu
akta otentik atau di bawah tangan, jadi tak boleh dengan lisan atau
dengan penyerahan piutangnya saja. Agar pemindahan berlaku terhadap
si berutang, akta cessie tersebut harus diberitahukan padanya secara
resmi (betekend). Hak piutang dianggap telah berpindah pada waktu akta
cessie itu dibuat, jadi tidak pada waktu akta itu diberitahukan pada si
berutang (sumber: Laporan Penelitian Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum dalam buku Penjelasan Hukum Tentang Cessie, Rachmad
Setiawan dan J. Satrio).

Secara singkat, cessie merupakan penggantian orang yang berpiutang


lama dengan seseorang berpiutang baru. Sebagai contoh, misalnya A
berpiutang kepada B, tetapi A menyerahkan piutangnya itu kepada C,
maka C-lah yang berhak atas piutang yang ada pada B. Simak juga
contohnya dalam artikel Cessie.

b. Subrogasi
Subrogasi terjadi karena pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga
kepada kreditur (si berpiutang) baik secara langsung maupun secara tidak
langsung yaitu melalui debitur (si berutang) yang meminjam uang dari pihak
ketiga. Pihak ketiga ini menggantikan kedudukan kreditur lama, sebagai
kreditur yang baru terhadap debitur.

2
Subrogasi ini diatur dalam Pasal 1400 KUHPerdata. Disebutkan
dalam pasal tersebut subrogasi adalah penggantian hak-hak oleh seorang
pihak ketiga yang membayar kepada kreditur. Subrogasi dapat terjadi baik
melalui perjanjian maupun karena ditentukan oleh undang-undang.
Subrogasi harus dinyatakan secara tegas karena subrogasi berbeda dengan
pembebasan utang. Tujuan pihak ketiga melakukan pembayaran kepada
kreditur adalah untuk menggantikan kedudukan kreditur lama, bukan
membebaskan debitur dari kewajiban membayar utang kepada kreditur.
Pihak ketiga sebagai kreditur baru berhak melakukan penagihan utang
terhadap debitur dan jika debitur wanprestasi, maka kreditur baru
mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas benda-benda debitur yang
dibebani dengan jaminan seperti gadai, hipotek, dan hak tanggungan.
Mengenai subrogasi yang terjadi karena perjanjian diatur dalam Pasal
1401 KUHPerdata dan subrogasi yang terjadi karena undang-undang diatur
dalam Pasal 1402 KUHPerdata. Subrogasi menurut undang-undang artinya
subrogasi terjadi tanpa perlu persetujuan antara pihak ketiga dengan kreditur
lama, maupun antara pihak ketiga dengan debitur.

Perbedaan singkat Cessie dan Subrogasi adalah sebagai berikut:

Perbedaan Cessie Subrogasi

Definisi Cara pengalihan Penggantian hak-hak


piutang-piutang atas oleh seorang pihak
nama dan barang- ketiga yang membayar
barang lain yang tidak kepada Kreditur
bertubuh dilakukan
dengan cara membuat
akta otentik atau di
bawah tangan yang
melimpahkan hak-hak
atas barang-barang itu

3
kepada orang lain.

Sumber Hukum Buku II KUHPerdata Buku III KUHPerdata


Pasal 613 sampai Pasal 1400 sampai
dengan Pasal 624 dengan Pasal 1403

Unsur-Unsur 1. Harus 1. Harus ada lebih


menggunakan akta dari 1 kreditur dan 1
otentik maupun orang debitur yang
akta di bawah sama.
tangan.
2. Adanya
2. Terjadi pelimpahan
pembayaran oleh
hak-hak atas
kreditur baru kepada
barang-barang
kreditur lama.
tersebut kepada
orang lain.

2. Jelaskan Analisa dari Pasal 3 Undang-Undang Hak Tanggungan?


Jawaban:
Pasal 3 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, berbunyi sebagai
berikut:
(1) Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa
utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu
atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan
diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau
perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang
bersangkutan.
(2) Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu
hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari
beberapa hubungan hukum.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Hak


Tanggungan, dapat di analisa bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan

4
Hak Tanggungan tidaklah selalu dalam jumlah yang tertentu dan tetap, tetapi
bisa pula jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian. Adapun utang yang
dimaksud tersebut dapat berupa:

a. utang yang telah sudah ada, dengan jumlah tertentu;


b. utang yang belum ada, tetapi telah (sudah) diperjanjikan, dengan jumlah
tertentu, seperti utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh
kreditor untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan bank garansi;
c. jumlahnya tertentu secara tetap atau ditentukan kemudian pada saat
permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan, seperti utang bunga atas
pinjaman pokok dan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat
ditentukan kemudian;
d. berdasarkan cara perhitungan yang telah ditentukan dalam:
1. perjanjian utang-piutang;
2. perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang
bersangkutan, berupa perjanjian pinjam-meminjam maupun perjanjian
lain.

Utang yang telah ada adalah utang yang benar-benar sudah direalisir dan
karenanya yang jumlah uang utangnya sudah diserahkan kepada debitur atau
dengan perkataan lain, di sini benar-benar sudah terutang sejumlah uang
tertentu baik itu berupa utang murni ataupun utang dengan ketentuan waktu.
Pada utang murni hanya disebutkan besarnya utang dan kalau ada perjanjian
juga bunganya dan yang segera matang untuk ditagih. Dalam praktik sering
bertemu dengan perjanjian utang piutang (kredit) dengan ketentuan waktu, dalam
mana disebutkan juga untuk berapa lama utang (kredit) itu diberikan, dengan
konsekuensinya sesuai dengan asas Pasal 1349 KUHPerdata, yang menetapkan
bahwa dalam perjanjian utang piutang, ketentuan waktu harus ditafsirkan untuk
keuntungan debitur, kecuali ditentukan lain, kreditor tidak bisa menagih kembali
utang tersebut sebelum waktu yang ditentukan, sedang debitur bisa sewaktu-
waktu melunasinya dan biasanya dalam perjanjian utang piutang (kredit)
memang ditetapkan adanya kesempatan debitur untuk mempercepat pelunasan,
baik dengan disertai denda atau tidak.

5
3. Asas apa saja yang terdapat dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.
Jelaskan beserta dasar hukumnya.
Jawaban:
Asas-Asas dalam Hak Tanggungan :
1. Asas sistem tertutup (gesloten system) artinya selain dari hak jaminan
kebendaan yang diatur UUHT, Undang-Undang Rumah Susun (UURS)
Nomor 16 Tahun 1985, Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman
(UUPP) Nomor 4 Tahun 1992 dan Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF)
Nomor 42 Tahun 1999, tidak dapat diadakan hak jaminan kebendaan lain
berdasarkan kesepakatan antara para pihak. Hak kebendaan ini
bersifat absolut (mutlak), karena itu bersifat limitatif (terbatas).
2. Asas Droit de Preference (didahulukan/diutamakan) arinya kreditur
pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak yang didahulukan/diutamakan
untuk dipenuhi piutangnya. Jika debitur pemberi Hak Tanggungan
Wanprestasi (ingkar janji) dalam melunasi utang-utangnya kepada kreditur, 
maka objek Hak tanggungan milik debitur dijual secara lelang,dan hasil
penjualan tersebut dibayarkan untuk pelunasan utang kepada kreditur
pemegang Hak Tanggungan. Jika masih ada sisa dari hasil penjualan  objek
Hak Tanggungan tersebut dibayarkan kepada kreditur lainnya secara pari
passu (konkuren), dan jika sisanya masih ada dan utang debitur semuanya
sudah lunas, maka sisa hasil penjualan objek Hak Tanggungan tersebut
dikembalikan kepada debitur. (Baca lebih lanjut penjelasan umum angka
3 juncto angka 4, Pasal 5 UUHT). (Baca juga Pasal 6 dan penjelasan Pasal
6 juncto penjelasan umum angka 4 UUHT). Asas ini dilaksanakan dengan
memperhatikan dan mendahulukan piutang negara.
3. Asas Droit de Suite yaitu Hak Tanggungan memiliki sifat yang sama dengan
Hak Kebendaan yaitu Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya di tangan
siapapun objek Hak Tanggungan itu berada. Dengan demikian apabila objek
Hak Tanggungan sudah beralih kepemilikan , misalnya sudah dijual kepada
pihak ketiga, kreditur tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi
terhadap objek Hak Tanggungan jika debitur wanprestasi (ingkar janji). (Baca
Pasal 7 juncto Penjelasan Umum angka 3 huruf b UUHT).

6
4. Asas Spesialitas yang artinya pertelaan mengenai objek Hak Tanggungan
yang terwujud dalam uraian mengenai objek Hak Tanggungan yang
dituangkan dalam sertifikat, atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-
kurangnya memuat uraian  mengenai kepemilikan, letak, batas-batas
dan luas tanahnya. Syarat ini merupakan syarat esensial bagi eksistensi
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). (Baca Penjelasan Umum angka 3
huruf c UUHT dan baca pula Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT dan
penjelasannya).
5. Asas Publisitas artinya adalah pendaftaran dan pencatatan dari pembebanan
objek Hak Tanggungan sehingga terbuka dan dapat dibaca dan diketahui
umum. Pendaftaran dan pencatatan tersebut dilakukan pada buku tanah
atau buku tanah Hak Tanggungan dan dilakukan oleh pejabat terkait dan
berwenang untuk itu di Kantor pertanahan di wilayah mana tanah tersebut
berada. (Baca Penjelasan umum angka 3c UUHT dan Pasal 13 ayat 1
UUHT. Baca juga Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah dan Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun
1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan).
6. Asas mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusi yang artinya adalah
bahwa pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan bagi pemegang Hak
Tanggungan harus memiliki kepastian hukum dan mudah untuk dieksekusi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan
adanya irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA" pada sertifikat Hak Tanggungan. 
7. Asas Accessoir yang artinya adalah Hak Tanggungan adalah perjanjian
tambahan (ikutan) yang mengikuti perjanjian pokoknya (perjanjian utang-
piutang), dan tidak merupakan perjanjian/hak yang berdiri sendiri
(zelfstandigrecht)Adanya dan hapusnya perjanjian ikutan
(accessorium tergantung dari perjanjian pokok. (Baca Pasal 10 ayat (1) dan
Penjelasan Umum angka 8 UUHT). Didalam KUH Perdata asas ini diatur
dalam Pasal 1133, 1134 alinea kedua dan Pasal 1198 KUH Perdata.
8. Asas Pemisahan horisontal yang artinya Hak atas tanah terpisah dari benda-
benda yang melekat di atasnya. UUHT menganut asas pemisahan
horisontal. Tetapi pemberlakuannya tidak secara otomatis. Harus terlebih
dahulu diperjanjikan antara para pihak di dalam APHT. Penerapan asas
7
ini dalam UUHT merupakan terobosan dari asas perlekatan vertikal yang
dianut oleh KUH Perdata. (Baca Penjelasan Umum angka 6 UUHT).
9. Asas perlekatan (Accessie) yang artinya benda-benda yang melekat sebagai
kesatuan dengan tanah, karena hukum mengikuti hukum benda pokok.
Meskipun UUHT tidak menganut asas perlekatan vertikal sebagaimana KUH
Perdata, namun apabila para pihak sepakat menghendakinya, maka asas
perlekatan vertikal dapat pula digunakan dalam UUHT dengan catatan harus
dituangkan secara tegas di dalam APHT.
10. Asas Iktikad Baik yang artinya iktikad baik yang bersifat objektif yaitu iktikad
baik yang sesuai kepatutan yang berlaku di dalam masyarakat pada
umumnya. 

4. Sebutkan dan jelaskan tiga sifat dasar dari setiap bidang tanah ditinjau dari
sosiologis hukum dan antropologis hukum?
Jawaban:

5. Jelaskan yang dimaksud dengan pendaftaran tanah dan system pendaftaran


tanah di Indonesia berdasarkan dasar hukumnya ?
Jawaban:
a. Pengertian pendaftaran tanah menurut Pasal 1 angka 1 PP No.24 Tahun
1997 yakni : “Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah
ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya.”
b. Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu negara tergantung pada
asas hukum yang dianut negara tersebut dalam mengalihkan hak atas
tanahnya. Terdapat 2 macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asas
nemo plus yuris. Sekalipun sesuatu negara menganut salah satu asas
hukum/sistem pendaftaran tanah, tetapi yang secara murni berpegang pada
salah satu asas hukum/sistem pendaftaran tanah tersebut sama-sama
8
mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga setiap negara mencari jalan
keluar sendiri-sendiri.
Asas itikad baik berbunyi: orang yang memperoleh sesuatu hak
dengan itikad baik, akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut
hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik. Guna
melindungi orang yang beritikad baik inilah maka perlu daftar umum yang
mempunyai kekuatan bukti. Sistem pendaftarannya disebut sistem positif.
Lain halnya dengan asas nemo plus yuris yang berbunyi : orang tak dapat
mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Ini berarti bahwa
pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Asas ini bertujuan
melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Berdasarkan asas ini,
pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat menuntut kembali
haknya yang terdaftar atas nama siapa pun. Oleh karena itu, daftar
umumnya tidak mempunyai kekuatan bukti. Sistem pendaftaran tanahnya
disebut sistem negatif.
Dalam sistem positif, di mana daftar umumnya mempunyai kekuatan
bukti, maka orang yang terdaftar adalah pemegang hak yang sah menurut
hukum. Kelebihan yang ada pada sistem positif ini adalah adanya kepastian
dari pemegang hak, oleh karena itu ada dorongan bagi setiap orang untuk
mendaftarkan haknya.
Kekurangannya adalah pendaftaran yang dilakukan tidak lancar dan
dapat saja terjadi bahwa pendaftaran atas nama orang yang tidak berhak
dapat menghapuskan hak orang lain yang berhak. Lain halnya dengan
sistem negatif, daftar umumnya tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga
terdaftarnya seseorang dalam Daftar Umum tidak merupakan bukti bahwa
orang tersebut yang berhak atas hak yang telah didaftarkan. Jadi, orang
yang terdaftarkan tersebut akan menanggung akibatnya bila hak yang
diperolehnya berasal dari orang yang tidak berhak, sehingga orang lalu
enggan untuk mendaftarkan haknya. Inilah kekurangan dari sistem negatif.
Adapun kelebihannya, pendaftaran yang dilakukan lancar/cepat dan
pemegang yang sebenarnya tidak dirugikan sekalipun orang yang terdaftar
bukan orang yang berhak.

9
Pendaftaran di Indonesia dikatakan mempergunakan Sistem Torrens,
hanya tidak jelas dari negara mana kita meniru sistem tersebut, demikian
juga di India, Malaysia, dan Singapura, dipergunakan Sistem Torrens ini.
Ada beberapa keuntungan dari Sistem Torrens, antara lain sebagai berikut :

1. Menetapkan biaya-biaya yang tak diduga sebelumnya.

2. Meniadakan pemeriksaaan yang berulang-ulang.

3. Meniadakan kebanyakan rekaman data pertanahan.

4. Secara tegas menyatakan dasar hukumnya.

5.Melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak tercantum/tersebut


dalam sertipikat.

6. Meniadakan pemalsuan.

7.Tetap melihara sistem tersebut, karena pemeliharaan sistem tersebut


dibebankan kepada mereka yang memperoleh manfaat dari sistem
tersebut.

8. Meniadakan alas hak pajak.

9. Dijamin oleh negara tanpa batas.

Pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun


1997 menggunakan sistem Publikasi Negatif. Dalam sistem ini negara hanya
secara pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta
pendaftaran. Oleh karena itu, sewaktu-waktu dapat digugat oleh yang
merasa lebih berhak atas tanah itu. Pihak yang memperoleh tanah dari
orang yang sudah terdaftar tidak dijamin. Walaupun dia memperoleh tanah
itu dengan itikad baik. Hal ini berarti, dalam sistem publikasi negatif
keterangan-keterangan yang tercantum didalamnya mempunyai kekuatan
hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar selama dan
sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya.

10
Selain di Indonesia, sistem negatif juga berlaku di negara Belanda,
Prancis, dan Filipina. Secara umum, sistem pendaftaran tanah yang negatif
mempunyai karakteristik yakni sebagai berikut :

a) Pemindahan sesuatu hak mempunyai kekuatan hukum, akta pemindahan


hak harus dibukukan dalam daftar-daftar umum.
b) Hal-hal yang tidak diumumkan tidak diakui.
c) Dengan publikasi tidak berarti bahwa hak itu sudah beralih, dan yang
mendapatkan hak sesuai akta belum berarti telah menjadi pemilik yang
sebenarnya.
d) Tidak seorang pun dapat mengalihkan sesuatu hak lebih dari yang
dimiliki, sehingga seseorang yang bukan pemilik tidak dapat menjadikan
orang lain karena perbuatannya menjadi pemilik.
e) Pemegang hak tidak kehilangan hak tanpa perbuatannya sendiri.
f) Pendaftaran hak atas tanah tidak merupakan jaminan pada nama yang
terdaftar dalam buku tanah. Dengan kata lain, buku tanah bisa saja
berubah sepanjang dapat membuktikan bahwa dialah pemilik tanah yang
sesungguhnya melalui putusan pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap.

Kebaikan dari sistem negatif adalah:

a) adanya perlindungan pada pemegang hak yang sebenarnya;


b) adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum sertipikatnya diterbitkan.

Dalam sistem pendaftaran negatif, bagi pejabat pendaftaran tanah


tidak ada keharusan untuk memeriksa atas nama siapa pendaftaran haknya.
Pejabat pendaftaran tanah mendaftarkan hak-hak dalam daftar-daftar umum
atas nama pemohonnya tanpa mengadakan pemeriksaan terlebih dahulu
terhadap pemohonnya, sehingga pekerjaan pendaftaran peralihan hak dalam
sistem negatif dapat dilakukan secara cepat dan lancar, sebagai akibat tidak
diadakannya pemeriksaan oleh pejabat pendaftaran tanah. Adapun
kelemahan dalam sistem negatif adalah tidak terjaminnya kebenaran dari isi
daftar-daftar umum yang disediakan dalam rangka pendaftaran tanah. Orang
yang akan membeli sesuatu hak atas tanah dari orang yang terdaftar dalam
daftar-daftar umum sebagai pemegang hak harus menangkal sendiri

11
risikonya jika yang terdaftar itu ternyata bukan pemegang hak yang
sebenarnya.

Jadi, ciri pokok sistem negatif adalah bahwa pendaftaran tidak


menjamin bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat
dibantah walaupun ia beritikad baik. Haknya tidak dapat dibantah jika nama
yang terdaftar adalah pemilik yang berhak (de eigenlijke ei genaar). Hak dari
nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dan pembeli hak-hak sebelumnya,
perolehan hak tersebut merupakan satu mata rantai.

Walaupun pendaftaran tanah menganut sistem publikasi, petugas


pendaftaran tanah dalam melakukan tugasnya harus melakukan penelitian,
pemeriksaan, dan monitoring mengenai batas tanah, letak tanah, luas tanah,
status tanah, keadaan tanah apakah dalam keadaan sengketa atau tidak dan
sebagainya. Di samping itu, petugas pendaftaran tanah juga diharuskan
untuk mengumumkan dalam waktu yang ditentukan menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 untuk memberi kesempatan pada semua
pihak yang merasa keberatan.

Di dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, terdapat perbedaan


mana dan hakikat antara pendaftaran peralihan hak dan pendaftaran hak.
Kedua sistem pendaftaran tanah mempunyai interprestasi yang berbeda. Di
dalam sistem positif jaminan yang diberikan adalah kepada pemegang hak
baru terdaftar yang merupakan pemegang hak yang dilindungi oleh hukum,
sedangkan di dalam sistem negatif adalah sebaliknya, kecuali hanya sahnya
peralihan hak. Jadi, di dalam sistem pendaftaran yang positif hak itu berarti
pendaftaran hak, sedangkan di dalam sistem pendaftaran yang negatif
berarti pendaftaran peralihan hak.

6. Berkaitan dengan pelaksanaan pengurusan sertifikat tanah, apakah masih


ditemukan adanya penyimpangan di lapangan seperti masih adanya pungli,
pelayanan yang lama dan rumitnya birokrasi yang tidak sesuai Maklumat
Pelayanan. Menurut pendapat Saudara, inovasi apa yang harus dilakukan oleh
Pemerintah untuk memangkas birokrasi yang rumit bahkan masyarakat dapat
yakin kalau pengurusan sertifikat tanahnya bisa cepat, tanpa biaya atau tidak

12
adanya pungli dan pelayanan yang sudah memenuhi kriteria standart WBK
(Wilayah Bebas Korupsi) bahkan WBBM (Wilayah Bersih Bebas Melayani)?
Jawaban:
Terkait dengan kondisi Pemerintah seperti ini, maka birokrasi Indonesia
memiliki peluang untuk mampu mendongkrak kinerja pemerintah dengan
memanfaatkan teknologi yang semakin berkembang. Teknologi informasi bisa
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya menyerap informasi dari pelanggan
(masyarakat) secara cepat dan murah. Pengetahuan yang tepat terhadap
harapan dan kebutuhan pelanggan pada dasarnya diharapkan dapat
memberikan implikasi kemauan meningkatkan kompetensi, kemampuan untuk
menggali potensi dan cara baru guna meningkatkan daya saing, atau
melakukan aliansi strategis seiring dengan tuntutan perkembangan teknologi
yang semakin cepat.
Birokrasi sebagai mesin dari pemerintah, pada dasarnya memproduksi
barang baik dalam bentuk benda maupun jasa untuk kepentingan seluruh warga
tanpa kecuali. Namun birokrasi yang monopoli memproduksi barang untuk
kebutuhan dan kepentingan public, kecenderungan mengalami kesulitan pada
proses produk dan layanan sampai kepada masyarakat. Apabila
ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus, maka pelayanan yang
berpihak pada golongan tertentu saja akan memunculkan potensi kecemburuan,
mempertajam jurang yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, dan
disintegritas dalam kehidupan berbangsa.
Kecenderungan birokrasi “yang berpihak” kepada salah satu sekmen
pelanggan, misalnya pada golongan yang memiliki uang atau yang mampu
membeyar berpotensi untuk merusak citra birokrasi secara institusional dan bisa
berimplikasi luas terhadap keutuhan bangsa. Selain itu akan semakin
meruncingkan secara fisiologis perbedayaan orang kaya dan orang miskin. Di
samping harapan birokrasi secara institusi yang netral sesuai amanah Undang-
Undang No. 43 Tahun 1999, relative belum dilaksanakan secara utuh. Itu dapat
dilihat bagaimana oknum tertentu untuk mendapatkan suatu jabatan tertentu. Di
samping itu, aparat birokrasi masih melakukan aktifitas ekonomi baik pada
waktu jam kerja maupun sesudah jam kerja, yang tujuannya untuk memenuhi
kebutuhan hidup diri dan keluarganya.

13
Hal lain yang perlu dicermati dalam prilaku birokrasi kita adalah netralitas
terhadap pemimpin terpilih. Terdapat kecenderungan bahwa birokrasi umumnya
cenderung melakukan afiliasi politik terhadap pemerintah yang berkuasa. Gejala
ini berdampak negative terhadap sportifitas pelayanan kepada seluruh lapisan
masyarakat. Oleh karena itu, salah satu pertimbangan penting yaitu perlunya
memperkuat netralitas birokrasi adalah untuk menjaga kemampuan melayani
pelanggan internal (pemerintah) maupun eksternal (masyarakat luas) tanpa
diskriminatif. Karena apabila tidak demikian maka sesungguhnya reformasi
politik yangn sedang dijalankan akan menemui batu sandungan ketika birokrasi
belum mampu menempatkan dirinya dalam koridor netralitas. Pada saatnya
lemahnya kemampuan untuk bersikap netral akan menyebabkan terjadinya
staknasi reformasi.
Lebih dari Itu, pemerintah harus mengupayakan fungsi pelayanan public
yang optimal. Pengelolaan pelayanan public cenderung lebih bersifat direktif
yang hanya memperhatikan/mengutamakan kepentingan
pimpinan/organisasinya saja, harus diubah. Pelayanan public harus dikelolah
dengan paradikma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri
kepada kepentingan masyarakatnya, pengelolaan pelayanan harus mampu
bersikap menjadi pelayan yang sadar buntuk melayani dan bukan dilayani.
Dalam konteks desentralisasi, pelayanan public seharusnya menjadi lebih
responsive terhadap kepentingan public, dimana paradigma pelayanan public
beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih
memberikan focus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan.
Untuk menuju pada terwujudnya birokrasi yang berwawasan atau
berorientasi pada pelayanan public, beberapa criteria harus dipenuhi seperti
berikut ini:
1. Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan
yang mengfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan
pelayanan kepada masyarakat.
2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga
masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas
pelayanan yang telah dibangun bersama.
3. Menerapkan system kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan public
tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.
14
4. Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi
pada hasil (outcome) sesuai dengan masukan yang digunakan.
5. Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
6. Pada hal tertuntu pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat
dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan.
7. Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan
8. Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.
9. Menerapkan system pasar dalam memberikan pelayanan.

Selain itu, pelayanan public juga harus

(1) memiliki dasar hokum yang jelas dalam penyelenggaraannya,


(2) memiliki stakeholder yang luas,
(3) memiliki tujuan social,
(4) dituntut untuk akuntabel kepada public, dan
(5) memiliki indicator performance

7. Jelaskan pendapat Saudara mengenai urgensi Pembaharuan Agraria melalui


Kebijakan Omnibus Law yang telah dituangkan melalui Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?
Jawaban:
Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas setidaknya penulis menemukan 5
(lima) masalah pokok RUU Cipta Kerja terkait agraria yang akan bahayakan
petani dan masyarakat adat, menghambat realisasi reforma agraria dan
memperparah konflik agraria structural di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai
dan dikritisi bersama, yaitu:
a. RUU Cipta Kerja memasukan substansi kontroversial RUU Pertanahan
b. RUU Cipta Kerja akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan
konflik agraria di Indonesia.
c. RUU Cipta Kerja mempermudah perampasan, penggusuran, dan pelepasan
hak atas tanah atas nama pengadaan lahan untuk kepentingan infrastruktur
dan bisnis.
d. RUU Cipta Kerja Mempercepat Alih Fungsi Tanah Pertanian di Indonesia.
e. RUU Cipta Kerja Memperkuat Potensi Kriminalisasi dan Diskriminasi Hak
Terhadap Petani dan Masyarakat Adat.

15
Berdasarkan 5 pokok masalah di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Konstitusi, UUPA 1960 dan TAP MPR
IX/2001. RUU focus pada kemudahan bagi perusahaan dan investor skala besar
di seluruh sektor agraria (pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan,
pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil, properti dan infrastruktur),
sehingga abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat atas
sumber-sumber agraria yang telah dijamin Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

Lebih lanjut, RUU ini akan melahirkan kontradiksi baru dengan prinsip-prinsip
mendasar dari Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). Sebab, sebagai terjemahan langsung dari
Pasal 33 Ayat (3), UUPA mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah
dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah
kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik
secara perorangan maupun secara gotong royong. Sementara semangat
“Omnibus Law” yang terpusat semata pada kepentingan investasi skala besar
dapat menyingkirkan hak-hak atas tanah petani, masyarakat adat dan
masyarakat miskin dari wilayah hidup mereka.

Jangan sampai RUU Cipta Kerja justru menghilangkan mata pencaharian


petani, masyarakat adat dan budaya agraris Indonesia. Pembangunan nasional
penting diperkuat secara gotong-royong dengan cara memajukan sentra-sentra
perekonomian dan investasi berbasiskan kerakyatan demi kemakmuran
bersama.

Jadi sebelum konsep omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-


undangan diterapkan, pemerintah dan DPR perlu mengkaji lebih jauh terlebih
dahulu terkait peraturan apa saja yang akan direvisi. Kemudian, dalam proses
legislasi, DPR dan pemerintah harus membahasnya secara terbuka dan
membuka ruang partisipasi publik yang seluasluasnya, apalagi regulasi yang
menjadi fokus utama adalah sektor ekonomi dan investasi, sektor yang paling
banyak bersinggungan dengan masyarakat.

8. Jelaskan yang dimaksud dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) , apa
tujuannya, bagaimana PPJB memberi perlindungan terhadap pembeli serta
bagaimana pendapat Saudara pengaturan PPJB dalam UUPA ?

16
Jawaban:
- Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah suatu perjanjian yang dibuat
oleh calon penjual dan calon pembeli suatu tanah/bangunan sebagai
pengikatan awal sebelum para pihak membuat Akta Jual Beli (“AJB”) di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Berdasarkan Pasal 1870 KUH yang berbunyi “Suatu akta otentik
memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-
orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang
apa yang dimuat didalamnya.”
- Tujuannya dapat dijadikan bukti dalam suatu perkara perdata, yang dicari
adalah kebenaran formil, yaitu kebenaran yang didasarkan sebatas pada
bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Oleh karena itu,
umumnya suatu bukti tertulis berupa surat atau dokumen memang sengaja
dibuat oleh para pihak untuk kepentingan pembuktian nanti, apabila sampai
ada sengketa.
- Dalam pembuktian suatu perkara perdata, Pasal 1866 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Pasal 164 Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui (RIB/HIR) telah mengatur jenis alat-alat bukti dalam hukum
acara perdata, yaitu:
a. Bukti Surat;
b. Bukti Saksi;
c. Persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dihadapan notaris


merupakan akta otentik (vide: Pasal 1868 KUH Perdata). Dalam kaitannya
dengan akta otentik tersebut, Pasal 1870 KUH Perdata telah memberikan
penegasan bahwa akta yang dibuat dihadapan notaris memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna. Adapun, kutipannya sebagai berikut,

Pasal 1870 KUH Perdata (Terjemahan R. Subekti)

17
“Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.”

Bahwa, PPJB adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon penjual
dan calon pembeli suatu tanah/bangunan sebagai pengikatan awal sebelum
para pihak membuat Akta Jual Beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT). Biasanya PPJB akan dibuat para pihak karena adanya syarat-
syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh
Para Pihak sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT. Dengan demikian
PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan
hak atas tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli.

Hal mana ada pihak yang menggunakan PPJB tersebut sebagai bukti
dalam gugatannya setelah 10 (sepuluh) tahun PPJB tersebut dibuat. Hal
tersebut bisa saja dilakukan oleh pihak tersebut apabila memang ada hal
yang dipersengketakan oleh para pihak dalam suatu perjanjian atau dengan
pihak-pihak lain yang mendapat hak dari PPJB tersebut.

Dengan demikian, apabila ada pihak-pihak lain di luar pihak-pihak


dalam PPJB, yang digugat dalam perkara tersebut, pihak yang menggugat
harus dapat membuktikan adanya hubungan hukum antara penggugat
dengan pihak-pihak di luar PPJB tersebut. Hal ini sejalan dengan
Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung melalui Putusan MA No. 4
K/Rup/1958 tertanggal 13 Desember 1958, yang memiliki kaidah hukum
sebagai berikut:

“Untuk dapat menuntut seseorang di depan pengadilan adalah syarat mutlak


bahwa harus ada perselisihan hukum antara kedua belah pihak yang
berperkara.”

Selain itu, mengingat rentang waktu sejak dibuatnya PPJB tersebut


sampai dengan perkara tersebut bergulir di pengadilan belumlah melebihi
masa Daluwarsa yang ditentukan oleh hukum untuk menuntut, yaitu selama
30 (tiga puluh) tahun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1967 KUH
Perdata, yang berbunyi sebagai berikut:

18
“Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat
perorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh
tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah
mempertunjukkan suatu alas hak, lagipula tak dapatlah dimajukan
terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang
buruk.”

9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Untuk para


mahasiswa agar memberi Analisa terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2011 tentang Rumah Susun. Masing-masing mahasiswa menganalisa 3 pasal
berdasarkan nomor urut Absensi yang sudah dibuat oleh Ketua Kelas. Yaitu ?

Jawaban:

Dalam penulisan ini, yang akan dianalisa oleh penulis adalah Pasal 61, Pasal 62
dan Pasal 63 Undang-Undang 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun,yaitu
sebagai berikut:

Pasal 61

(1) Peningkatan kualitas wajib dilakukan oleh pemilik sarusun terhadap rumah
susun yang:
a. Tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki; dan/atau
b. Dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan rumah susun
dan/atau lingkungan rumah susun.
(2) Peningkatan kualitas rumah susun selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan atau prakarsa pemilik sarusun.

Pasal 62

(1) Peningkatan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilakukan


dengan pembangunan kembali rumah susun.
(2) Pembangunan kembali rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui pembongkaran, penataan, dan pembangunan.

19
Pasal 63

Peningkatan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dilakukan


dengan tetap melindungi hak kepemilikan, termasuk kepentingan pemilik atau
penghuni dengan memperhatikan faktor sosial, budaya, dan ekonomi yang
berkeadilan.

Sebagaimana Pasal 61, Pasal 62 dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 20


Tahun 2011 tentang Rumah Susun dalam Bab VIII mengenai Peningkatan
Kualitas, Penulis dapat menganalisa yaitu sebagai berikut:

Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah


Susun, maksud dari Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan
secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Bahwa yang dimaksud dengan pemilik adalah setiap orang yang memiliki
sarusun. Dan yang dimaksud dengan Penghuni adalah orang yang menempati
sarusun, baik sebagai pemilik maupun bukan pemiliknya.

Tidak selamanya sebuah bangunan rumah susun dapat berdiri kokoh.


Kualitas rumah susun akan semakin berkurang seiring dengan berjalannya
waktu. Beban yang ditanggung oleh rumah susun, pergerakan para
penghuninya, cuaca dan bencana alam dapat mempengaruhi kualitas bangunan.
Bangunan rumah susun yang kualitasnya sudah menurun dapat mempengaruhi
keamanan dan kenyamanan para penghuninya. Sehingga perlu dilakukan
peningkatan kualitas rumah susun.

Peningkatan kualitas rumah susun diatur dalam Pasal 61 hingga Pasal 69


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (namun disini
penulis hanya menganalisis mengenai Pasal 61, Pasal 62 dan Pasal 63 saja).
Peningkatan kualitas rumah susun dapat dilakukan atas Prakarsa Pemerintah
daerah maupun atas prakarsa pemilik atuan rumah susun. Peningkatan kualitas
rumah susun yang dilakukan atas prakarsa pemerintah daerah diilakukan melalui

20
ketetapan dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah berwenang untuk
menetapkan Peningkatan kualitas rumah susun dalam hal:

a. Tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki; dan/atau


b. Dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan rumah susun
dan/atau lingkungan rumah susun.

Apabila para pemilik satuan rumah susun merasa bahwa rumah susun yang
mereka tempati sudah tidak laik fungsi dan dapat menimbulkan bahaya atau
karena alasan-alasan lain, maka para pemilik satuan rumah sususn dapat
memprakarsai Peningkatan kualitas rumah susun yang mereka tempati.

Peningkatan kualitas rumah susun dapat dilakukan dengan pembangunan


kembali rumah susun, dilakukan dengan cara melalui pembongkaran, penataan
dan pembangunan rumah susun tersebut. Pada peningkatan kualitas rumah
susun milik dan rumah susun komersial, PPPSRS dapat bekerja sama dengan
pelaku pembangunan. Kerjasama tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian
tertulis yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang berdasarkan prinsip
kesetaraan. Sedangkan Peningkatan kualitas rumah susun umum dan dirumah
susun khusus dilakanakan oleh badan pelaksana.

Dalam melakukan peningkatan kualitas rumah susun dapat dilakukan


dengan tetap melindungi hak kepemilikan, termasuk kepentingan pemilik atau
penghuni dengan memperhatikan faktor-faktor social, budaya, dan ekonomi
yang berkeadilan. PPPSRS sebagai wadah yang memfasilitasi para pemilik dan
penghuni rumah susun memiliki tanggung jawab untuk melakukan penghunian
kembali pemilik lama setelah dilakukan peningkatan kualitas. Dalam penghunian
Kembali, para pemilik lama tidak dikenai bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan.

21

Anda mungkin juga menyukai