Anda di halaman 1dari 3

Asas hukum perjanjian.

Selain syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dalam pelaksanaannya
perjanjian juga harus memperhatikan dan menerapkan asas-asas dalam hukum perjanjian. Di dalam
hukum perjanjian dikenal asas-asas hukum perjanjian, yaitu:

Asas Konsensualisme,

Asas Konsensualisme (concensualism) Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak.

Asas Kebebasan Berkontrak,

Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2)
mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya, serta (4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian (pacta sunt servanda),

Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda) Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta
sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh
para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer.

Asas Itikad Baik (good faith),

Asas Itikad Baik (good faith) Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu
pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua
macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak
pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak
memihak) menurut norma-norma yang objektif.

Asas Kepercayaan,

Asas Kepercayaan, yaitu bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap
prestasi yang diadakan di antara mereka di belakang hari.
Asas Personalitas,

Asas Kepribadian (personality) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada
umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk
kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya
berlaku bagi mereka yang membuatnya

Asas Persamaan Hukum,

Asas Persamaan Hukum, yaitu bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara
satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras

Asas Keseimbangan,

Asas Keseimbangan, yaitu asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

Asas Moral,

Asas Moralitas, adalah asas yang berkaitan dengan perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini
terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral), yang
bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah
satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah
didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

Asas Kepatutan,

Asas Kepatutan, yaitu asas yang tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan
ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.

Asas Kebiasaan

Asas Kebiasaan, yaitu dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

Asas Perlindungan.

Asas Perlindungan, yaitu asas yang mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus
dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena
pihak ini berada pada posisi yang lemah.
Salah satu asas dalam perjanjian yang menjadi dasar lahirnya perjanjian tersebut adalah asas
konsensualisme, yakni suatu persesuaian kehendak (berhubungan dengan lahirnya perjanjian), kontrak
atau perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat
perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau
persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah
bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak. Kata
sepakat harus dibentuk berdasarkan kehendak bebas dan dalam suasana bebas pula.

Cacat kehendak (wilsgebreken atau defect of consent) adalah kecatatan dalam pembentukan kata
sepakat dalam suatu kontrak atau perjanjian. Cacat kehendak ini adalah tidak sempurnanya kata
sepakat. Apabila kesepakatan mengandung cacat kehendak, memang tampak adanya kata sepakat,
tetapi kata sepakat itu dibentuk tidak berdasar kehendak bebas. Cacat kehendak ini terjadi pada periode
atau fase prakontrak

perjannjian seharusnya merupakan kesepakatan yang bulat dan merupakan kesepakatan yang saling
menguntungkan. Dalam praktik, seringkali kesepakatan didapat itu merupakan hasil paksaan, penipuan,
Kekhilafan, atau penyalahgunaan keadaan. Kesepakatan yang terjadi karena adanya salah satu unsur
tersebut disebut kesepakatan yang mengandung cacat kehendak

Sehubungan dengan hal itu Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan gene toesteming is van waarde,
indien dezelve door dwaling is gegeven, door geweld algeperst, of door bedrog verkregen (tiada
kesepakatan yang memiliki kekuatan jika diberikan karena keikhlafan, atau diperolehnya karena paksaan
atau penipuan). Dengan demikian cacat kehendak yang disebutkan dalam Pasal 1321 KUHPerdata
tersebut meliput: 1. Kesesatan atau kekhilafan (dwaling); 2. Paksaan (dwang atau bedreiging); 3.
Penipuan (bedrog). Cacat kehendak yang disebutkan oleh Pasal 1321 KUHPerdata tersebut dinamakan
cacat kehendak klasik. Selain cacat kehendak yang dimaksud Pasal 1321 KUHPerdata tersebut, di dalam
praktik yurisprudensi dikenal pula bentuk cacat kehendak yang keempat, yakni penyalahgunaan
keadaan (misbruik van omstandingheiden atau undue influence).

Anda mungkin juga menyukai