ETIKA PROFESI
Dr. M. S. ANABERTHA SEMBIRING, SH, MH
SESI 5
PERANAN ETIKA DALAM MASYARAKAT
Dan
MORALITAS PROFESI HUKUM
www.esaunggul.ac.id
Dalam masyarakat secara umum etika mempunyai peranan
atau fungsi yang sangat penting, yaitu:
1) Sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam
mengelola kehidupan ini tidak sampai bersifat tragis.
Rachmat, 1992:6);
2) Magnis Suseno (1991:15) menyebutkan untuk
membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam
berhadapan dengan moralitas yang membingungkan,
karena:
o Moral dalam kehidupan semakin kompleks sehingga kita
bingung harus mengikuti moralitas yang mana;
www.esaunggul.ac.id
o Modernisasi membawa perubahan sehingga
mempengaruhi kebutuhan dan nilai masyarakat
terhadap pandangan moral tradisional;
www.esaunggul.ac.id
Mendasarkan kepada Keiser dalam Suhrawardi (2012:7).
Etika dalam profesi hukum memiliki peranan:
1) Agar profesional di bidang hukum memahami profesinya
sebagai suatu pelayanan, yang berorientasi pada
kepentingan klien dan kepentingan umum,
2) Dalam memberikan pelayanan pengemban profesi
berlangsung persaingan secara sehat, dengan mutu
pelayanan yang terjamin secara profesional.
www.esaunggul.ac.id
3) Pelayanan profesional dalam mendahulukan
pelayanan mengacu kepada kepentingan atau
nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang
memotivasi perbuatan;
4) Pengemban profesi harus selalu berorientasi
pada masyarakat sebagai keseluruhan.
www.esaunggul.ac.id
Abd. Muhammad, 2006 secara etimologis kata
moral sama dengan etika;
Moral yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang
menjadi pegangan seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya;
Contoh: Advokat yang membela perkara itu tidak
bermoral, artinya artinya perbuatan advokat itu
melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang
berlaku dalam profesinya.
www.esaunggul.ac.id
Oleh karena itu, moral berfungsi untuk secara tegas
membedakan dan memisahkan antara : a) baik dan buruk,
b) benar dan salah, c) layak dan tidak layak, d) wajar dan
ganjil, e) halal dan haram, f) sah/legal dan tidak sah/illegal,
dst.
www.esaunggul.ac.id
Sumaryono (1995), mengklasifikasi moralitas
menjadi 2(dua) golongan:
www.esaunggul.ac.id
Moralitas subjektif adalah moralitas yang melihat
perbuatan sebagai dipengaruhi oleh pengetahuan dan
perhatian pelakunya , latar belakang, stabilitas emosional,
dan perlakuan personal lainnya. Moralitas ini
mempertanyakan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak
dengan suara hati nurani pelakunya.
www.esaunggul.ac.id
Merujuk pendapat Notohamidjoyo,1975: bahwa pemangku profesi
hukum harus memiliki moralitas yang meliputi:
www.esaunggul.ac.id
F. Magnis Suseno, dalam Abdk. Muhammad, 2006:63
mengemukakan:
Lima kriteria nilai moral kepribadian profesional hukum:
1. Kejujuran; (sikap terbuka dan wajar);
2. Otentik; (tidak sewenang-wenang, mendahulukan
klien, tidak tercela);
3. Bertanggung jawab; (proporsional dan tidak membeda-
bedakan pelayanan);
4. Kemandirian moral; (tidak dapat dibeli oleh pendapat
mayoritas);
5. Keberanian moral; (sesuai dengan hati nurani).
www.esaunggul.ac.id
Sedangkan menurut J.E. Sahetapy, 2009 moralitas
yang harus dimiliki dan yang paling essensial
adalah: a) kejujuran, b) kebenaran, c) serta
kepekaan untuk segala permasalahan sosial yang
ada, dimana bukan saja hukum harus diterapkan
melainkan juga keadilan harus ditegakkan.
www.esaunggul.ac.id
Ketiga pakar, Notohamidjojo, Magnis
Suseno, Sahetapy berpendapat sama
mengenai kualitas moral profesional
hukum yaitu kejujuran (honesty),
yaitu sikap terbuka dan wajar, apa
adanya, menjauhi yang tidak benar.
www.esaunggul.ac.id
Moralitas sangat penting, misalnya bagi Hakim;
Hakim dalam mewujudkan rasa keadilan ketika
undang-undang tidak jelas, atau terjadi kekosongan
perundang-undangan. Hakim sendiri bertindak
selaku pencipta hukum melalui putusan yang ia
jatuhkan, perundang-undangan dan sebagainya
hanya pedoman dan inspirasi bagi hakim untuk
membentuk hukumnya sendiri, sehingga faktor
subjektivitas hakim sangat menentukan.
www.esaunggul.ac.id
Moralitas sangat penting, misalnya bagi Hakim;
Hakim dalam mewujudkan rasa keadilan ketika
undang-undang tidak jelas, atau terjadi kekosongan
perundang-undangan. Hakim sendiri bertindak
selaku pencipta hukum melalui putusan yang ia
jatuhkan, perundang-undangan dan sebagainya
hanya pedoman dan inspirasi bagi hakim untuk
membentuk hukumnya sendiri, sehingga faktor
subjektivitas hakim sangat menentukan.
www.esaunggul.ac.id
Terima Kasih
www.esaunggul.ac.id