Anda di halaman 1dari 8

Penegakan Hukum Oleh Hakim Dalam Putusannya terhadap Tindak Pidana Pencurian

Nila Permatasari
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Email: Nilapermata568@gmail.com
Abstract
Ketidakadilan sudah sering terjadi dalam penegakan hukum di negara Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum menjadi semakin berkurang. Untuk
mendapatkan keadilan adalah hal yang dibutuhkan oleh masyarakat. Inti dan proses
penegakan hukum (yang baik) adalah penerapan yang serasi dari dan kaidah, yang kemudian
terwujud dalam perilaku. Hakim dalam mengambil keputusan menggunakan bentuk pemikiran
deduktif dan induktif. Bentuk deduktif yang banyak digunakan oleh Hakim adalah bentuk
“silogisme” tujuannya untuk memutus suatu kesimpulan dalam perkara membuat hakim dapat
membuat kesimpulan.Sasaran akhir dari penegakan hukum pidana adalah menanggulangi
kejahatan dengan cara menghukum setiap orang yang bersalah. Dalam konteks inilah, maka
setiap proses peradilan pidana. Oleh karena sebagai proses “penentuan kebenaran” yang
menghadapkan seorang tersangka dalam pemeriksaan, di mana aparat hukum yang memiliki
kewenangan yang besar, maka proses peradilan pidana harus dilaksanakan menurut prinsip-
prinsip proses hukum yang adil Sehingga sebagai hakim yang baik, hal yang diutamakan
adalah keadilan dalam putusan hakim dalam memutus.
kata kunci: Penegakan hukum, Hakim, Silogisme,Pencurian
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan salah satu kaidah atau norma yang berlaku di dalam masyarakat.
Hukum lazimnya diartikan sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu
seharusnya berperilaku, bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan
orang lain terlindungi.

Hakim dalam menjatuhkan pemidanaannya, tentunya selain berdasarkan pada ketentuan


perundang-undangan (positif), juga mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, asas
kemanfaatan, efektivitas dalam menjalankan pemidanaan dan perubahan perilaku yang
menimbulkan efek jera pasca keluarnya dari lembaga pemasyarakatan. Hakim dalam putusannya
tanpa mempertimbangkan aspek tersebut, akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan di dalam memberikan pidana1

Tindak pidana yang terjadi di dalam masyarakat sangat mengganggu keamanan dan
ketertiban masyarakat. Tindak pidana merupakan bentuk pelanggaran hukum, karena sangat
merugikan kepentingan masyarakat, dan sudah menjadi tugas dan kewajiban untuk
memberantas segala bentuk tindak pidana yang terjadi di masyarakat.Melalui penegakan hukum
inilah, hukum menjadi kenyataan.Menurut Soerjono Soekanto, inti dan proses penegakan hukum

1
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282
(yang baik) adalah penerapan yang serasi dari dan kaidah-kaidah, yang kemudian terwujud
dalam perilaku.2

Penegakan hukum pidana, dapat dikonsepsikan secara sederhana sebagai proses kerja
aparat penegak hukum (pidana) dalam memeriksa seseorang yang diduga melakukan kejahatan
untuk memastikan bersalah tidaknya orang itu secara hukum.Pemeriksaan itu, merupakan suatu
proses bertahap: mulai dari penyelidikan/penyidikan, penuntutan, sampai pada penentuan
hukuman. Inilah yang dikenal sebagai proses peradilan pidana (criminal justice process).3
Menurut KUHP,Pencurian pada umumnya diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: pencurian biasa,
pencurian dengan pemberatan, pencurian ringan dan pencurian dengan kekerasan.

Dalam proses tersebut haruslah diperhatikan kebenaran untuk dapat berfikir logis.
Kebenaran ini hanyalah menyatakan serta megandaikan adanya jalan, cara, teknik serta hukuk-
hukum yang perlu diikuti. Semua hal ini diselidiki serta dirumuskan dalam logika, Dalam
menyimpulkan dalam mengadili perkara, hakim dituntut untuk melakukan suatu aktivitas atau
“kegiatan yuridis” sendiri dan menarik kesimpulan pada setiap perkara. Untuk ini hakim
mengamaikan "penalaran deduktif" dengan bekal pola berpikir yang disebut silogisme;
menetapkan kesimpulan dari adanya dua premis - premis mayor berupa aturan hukumnya dan
premis minor berupa peristiwanya.Sedangkan penalaran deduktif merupakan kegiatan berpikir
yang bertolak dari pernyataah yang bersifat umum untuk menarik kesimpulan yang khusus atau
individual sifatnya. Untuk ini seperti biasanya digunakan pola berpikir yang disebut "silogisme"
yang disusun dari dua pernyataan dan menarik sebuah kesimpulan. Dalam uraian latar belakang
ini urgensi penelitian mengenai mengembangkan putusan hakim silogisme yang berupa
simpulan.

Dari uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan mengenai:


Bagaimana peran hakim dalam menegakkan hukum melalui Putusannya terhadap Tindak Pidana
Pencurian? Dan Bagaimana putusan hakim terhadap tindak pidana pencurian dalam peran
silogisme?

PEMBAHASAN

Dalam hal ini, hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan
hukum inilah, hukum menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan sokoguru (tiang utama)

2
Soerjono Soekanto, 2016, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi Pertama, Cetakan
Keempatbelas, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 5.
3
Theodorus Yosep Parera, 2016, Advokat dan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama, Genta Press, Yogyakarta, hlm.
19.
yang memperkokoh fundamen yang menunjang kesejahteraan hidup masyarakat, dalam
berbagai aspek kehidupan.4

Pada dasarnya hukum dapat dipakai untuk melindungi masyarakat, atau menurut
Bredemeier, hukum ditempatkan pada kedudukan sentral, maka pada intinya fungsi dari hukum
adalah menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara teratur.Hukum
mempunyai sasaran yang hendak dicapai.Tujuan penegakan hukum adalah menciptakan tatanan
masyarakat yang tertib menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Akan tetapi keadilan ini tidak
absolut, karena adil bagi satu pihak, belum tentu adil bagi pihak yang lain. Keadilan sebagaimana
diungkapkan merupakan hasil dari suatu proses pemilihan dan pemilahan. Gagasan keadilan
bukan sebagai balas jasa, melainkan menghidarkan dari kesewenang-wenangan antar sesama
manusia yang mengakibatkan ketidakadilan kesewenang-wenangan kekuasaan. kekuatan
seseorang di atas orang lain digunakan langsung atau tidak melalui kekuasaan.5

Ada 2 (dua) konsep keadilan dalam hukum pidana yang mempengaruhi perubahan secara
fundamental sistem hukum pidana, yaitu keadilan retributif (retributive justice) dan keadilan
restoratif (restorative justice). Kedua konsep ini memiliki sejumlah perbedaan dalam melihat
beberapa hal tentang konsep-konsep dasar hukum pidana (formil dan materiil) dan
penyelenggaraan peradilan.6

Oleh Karena silogisme adalah penarikan konklusi yang sifatnya deduktif, maka
konklusinya tidak dapat memiliki sifat yang lebih umum daripada premisnya. Jadi silogisme
merupakan penarikan konklusi secara tak langsung, konklusi dari dua premis, tidak dari satu
premis saja sebagaimana halnya pada penarikan konklusi secara langsung.

Hakim dalam mengambil keputusan menggunakan bentuk pemikiran deduktif dan induktif.
Bentuk deduktif yang banyak digunakan oleh Hakim adalah bentuk “silogisma”. Silogisma adalah
bentuk formal dari deduksi yang terdiri atas preposisi-preposisi ketegorik. Silogisma merupakan
bentuk kesimpulan dari suatu preposisi. Pada umumnya Hakim menggunakan metode silogisma
deduktif yang dikenal dengan bentuk. Sehingga bentuk tersebut apabila diubah menjadi pola
berfikir:

Premis Mayor akan menjadi norma hukum

Premis Minor adalah fakta yang konstatir

4
Siti Malikhatun Badriyah, 2010, Penemuan Hukum Dalam Konteks Pencarian Keadilan, Cetakan Pertama, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 38

5
Morris Ginsberg, 2003, Keadilan Dalam Masyarakat, Pustaka Yogya Mandiri, Yogyakarta, hlm. 50-53
6
Mudzakkir, 2001, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Program
Pascasarjana FH-UI, Jakarta, hlm. 25.
Kesimpulan adalah keputusan hakim

Setiap putusan terdiri dari banyak silogisme. Banyaknya silogisme yang dibangun sangat
bergantung dari seberapa banyak unsur-unsur yang harus dibuktikan keterpenuhannya oleh
hakim. Misalnya, di dalam berbagai pasal ada kata “barangsiapa”. Kata “barangsiapa” ini pada
hakikatnya merupakan sebuah konsep hukum, yang termasuk dalam subjek norma. Misalnya,
kita ingin mencari jawaban apakah seorang pelaku bernama “X” dalam tindak pidana pada Pasal
156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah memenuhi unsur “barangsiapa”. Untuk itu,
sekalipun tidak secara eksplisit dan tidak mudah berubah (rigid) dirumuskan di dalam suatu
putusan, akan terkandung di dalamnya struktur yang menunjukkan silogisme yang pada akhirnya
menyimpulkan bahwa “X” adalah “barangsiapa” merupakan perkara itu atau bukan
“barangsiapa”. Kesimpulan itu sangat bergantung pada seperti apa rumusan proposisi yang
dibangun dalam premis mayor. 7

Premis Subyek hukum yang mampu dimintakan pertanggungjawaban secara hukum


Mayor mengemban hak dan kewajiban adalah “barangsiapa” sebagaimana dimaksud
dalam pasal 156a kuhp
Premis Minor Terdakwa “X” adalah subjek hukum yang mampu dimintakan
pertanggungjawban secara hukum mengemban hak dan kewajiban.
Konklusi Terdakwa “X” adalah “barangsiapa” sebagaimana dimaksud dalam pasal 156a
kuhp
Misalnya, dalam contoh di atas adalah konsep “barangsiapa”, tetapi apa makna dari
“barangsiapa” ini harus harus dibangun oleh si penalar hukum. Konsep “barangsiapa” ini perlu
didefinisikan dan dibentuk menjadi sebuah proposisi.

Apabila, harus mensilogismekan unsur “barangsiapa”, hakim biasanya cukup berangkat


dari pengertian bahwa setiap penyandang hak dan kewajiban (subjek hukum) adalah
“barangsiapa” menurut Pasal 156a KUHP. Dengan demikian, (obyek hukum) yang menjadi
terdakwa di dalam suatu kasus adalah penyandang hak dan kewajiban (subjek hukum), sehingga
(obyek hukum) tersebut adalah “barangsiapa” menurut Pasal 156a KUHP.

Pada bagian kondisi norma yang umum ini, relatif juga tidak banyak kendala ditemui.
Frasa kata “dengan sengaja” selama ini sudah dimaknai secara cukup luas oleh para hakim
sebagai “kesadaran penuh dan keinsyafan (pemahaman) tentang perbuatan dan apa akibatnya”.
Ditemukan ada satu putusan yang menggarisbawahi bahwa “kesengajaan”, yaitu kesengajaan
sebagai maksud kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan dan kesengajaan dengan

7
Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 13
menyadari kemungkinan. Para hakim biasanya akan mulai dari premis mayor ini untuk
menetapkan silogisme yang dibangunnya guna menentukan terpenuhinya kondisi ini.

Berikut dapat dicontohkan kasus pencurian yang dimana hakim memutus yang dimana
hakim akan menarik simpulan dengan menggunakan putusan silogisme sebagai berikut:

Bahwa terdakwa, RAHMAN ARDIANTORO al KUPLIK bin REBO, pada hari Sabtu
tanggal 21 April 2018 sekira jam 23.00 WIB, bertempat di depan GOR Gedangsewu Kecamatan
Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, atau setidak-tidaknya di tempat-tempat tertentu yang masih
dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tulungagung, telah mengambil sesuatu barang berupa
1 (satu) unit sepeda motor Honda Beat tahun 2014, warna putih biru No.Pol.AG-5884-RAN
berikut 1 (satu) lembar STNK atas nama KATENI alamat Dusun Bantengan Rt/Rw.02/05 Desa
Mulyosari Kec.Pagerwojo Kab.Tulungagung, kerugian seluruhnya kurang lebih Rp.11.000.000,-
(sebelas juta rupiah) atau setidak-tidaknya lebih dari Rp.250,(dua ratus lima puluh rupiah), yang
seluruhnya milik saksi RIHFATUL ASHAD bin KATENI, atau sebagian milik orang lain daripada
ia terdakwa dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hukum.8

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum:

1. RAHMAN pada hari Sabtu tanggal 21 April sekitar jam 23.00 di depan GOR Gedangsewu
telah mengambil barang, yang kepunyaan orang lain, dengan maksud dimiliki secara
melawan hukum.
2. RAHMAN mengambil sebuah motor Honda Beat yang merupakan milik RIHFATUL
dengan bernomer polisi AG-5884-RAN warna putih biru.
3. Motor tersebut diambil terdakwa dari depan GOR Gedangsewu, lalu dijual terdakwa ke
pegadaian desa.dan terdakwa tertangkap polisi.
4. Akibat perbuatan terdakwa pencurian motor RAHMAN saksi korban mengalami kerugian
seluruhnya kurang lebih Rp.11.000.000- (sebelas juta rupiah). Jaksa penuntut umum
menjerat dengan pasal 362 KUHP dan terdakwa terjerat dengan hukuman penjara
selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam
tahanan dengan perintah terdakwa.

Melalui beberapa kali persidangan, pada tanggal 2 Agustus 2018, Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Tulungagung berkesimpulan bahwa terdakwa RAHMAN secara sah dan

8
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana pencurian dan menjatuhkan pidana 1
tahun 6 bulan.

Tidak ada perbedaan signifikan penalaran hakim pada Putusan PN, PT, dan MA. Dalam
kasus Hamdani, langkah pertama hakim adalah mengindentifikasi sumber hukum yang
dipakai berupa peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 362 KUHP sebagai premis
mayor. Hakim kemudian mengurai unsur-unsur Pasal 362 KUHP, yakni:9

1. Barangsiapa
2. Mengambil barang yang sama seklai atau sebagian kepunyaan orang lain
3. Dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum

Hakim mencocokan norma hukum sebagai premis mayor yang sudah tersaji dengan fakta
sebagai premis minor:

1. Premis mayor: unsur “Mengambil barang yang sma sekali atau sebagian kepunyaan
orang lain”:
a. Fakta: hari Sabtu tanggal 21 April 2018 sekitar jam 23.00 terdakwa Rahman mencuri
honda motor beat warna putih biru yang akan akan digadaikan di gadai desa.
b. Pemilik mengalami kerugian Rp11.000.000 atau setidak-tidaknya lebih dari Rp.250;
c. Motor honda beat digadaikan terdakwa ke pegadaian desa.
d. Kesimpulan Hakim: memenuhi unsur “Mengambil barang yang sama sekali atau
sebagian kepunyaan orang lain”.
2. Premis Mayor: unsur “dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan
hukum”.
Hakim menafsirkan “memiliki” sebagai orang yang punya, sedangkan “melawan hukum”
berarti tidak berhak, bertentangan dengan hak orang lain, tidak minta ijin terlebih dahulu
dari orang berhak.
a. Fakta: terdakwa mengambil motor honda beat tidak dengan ijin dari pemiliknya.
Padahal, perusahaan secara lisan melarang setiap karyawan mengambil dan
memakai sandal milik perusahaan sehingga hakim berpendapat.
b. Kesimpulan Hakim: terbukti memenuhi unsur “dengan maksud untuk memiliki barang
itu dengan melawan hukum.
3. Konklusi (Penilaian Hakim): semua unsur-unsur pasal 365 KUHP terpenuhi
Logika hukum yang digunakan para hakim cenderung bertitik tolak dari logika
deduksi (silogisme). Silogisme dalam bidang hukum dimulai dari suatu premis mayor yang
merupakan statement normatif. Penalaran hakim menjadi terbatas pada peraturan

9
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 362
dengan dan logika (sistem logika tertutup), yakni unsur dalam norma hukum diolah
dengan logika. Penganut positivisme hukum percaya apabila sistem logika tertutup ini
diikuti, maka hanya akan menemukan satu kebenaran (kebenaran objektif), sehingga
memberikan jaminan kepastian hukum. Cara berpikir positivisme hukum yang demikian
terjadi karena hukum dilihat sebagai sesuatu yang otonom penuh, dan sebab itu terpisah
dari persoalan sosial masyarakatnya.10
Penafsiran silogisme memindahkan bunyi teks (premis mayor) kepada fakta
(premis minor), seakan-akan bunyi teks adalah realitas yang dapat berbicara sendiri.
Kalau teks (bahasa) menjadi “kendaraan” untuk menyampaikan pikiran.
Perbuatan Rahman mengambil motor honda beat warna putih biru milik Rihfatul
dan bukan milik terdakwa, ditafsirkan memenuhi unsur “mengambil barang yang sama
sekali atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki barang yang
sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki barang
itu dengan melawan hukum. Hakim tinggal mengumpulkan peraturan-peraturan yang ada,
memilah, atau mengorganisir hukum yang akan dicocokan dengan fakta.
Dalam silogisme, norma dikategorikan sebagai premis mayor dan fakta dianggap
sebagai premis minor. Karena norma didudukan sebagai premis mayor, maka ia (norma)
diasumsikan lebih luas dari fakta. Premis mayor berposisi yang dapat diterima dianggap
mampu mencakup dan bahkan mengantisipasi semua persoalan di masyarakat.
sehinggan dalam premis mayor mengikat dan menyerap fakta-fakta apapun
permasalahnya, misalnya pasal 362 KUHP dianggap mengantisipasi dalam tindak
pencurian.
Pertimbangan hakim dalam putusan kasus Rahman dingin, datar, dan bebas nilai,
seolah mengandaikan tidak adanya “pertemuan” sisi kemanusiaan hakim dengan sisi
kemanusiaan pihak yang berperkara. Kata “barangsiapa" mereduksi eksistensi manusia
sebagai benda mati, sehingga hati nurani dan pertimbangan kemanusiaan tidak
mendapat tempat dalam pertimbangan hukum. Dalam ajaran positivisme hukum, hukum
untuk hukum, harus dipisahkan dari sesuatu non-hukum seperti pertimbangan
kemanusiaan. Hakim ketika menafsirkan “barangsiapa” sebagai subjek hukum.Hakim
tidak berusaha melihat “barangsiapa” secara filosofis dan sosiologis.

KESIMPULAN

Penegakan hukum pidana, dapat dikonsepsikan secara sederhana sebagai


proses kerja aparat penegak hukum (pidana) dalam memeriksa seseorang yang diduga
melakukan kejahatan yaitu salah satunya pencurianuntuk memastikan bersalah tidaknya

10
Widodo Dwi Putro, 2011, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Cetakan Pertama, Genta Publishing,
Yogyakarta, hlm. 193 dan 201
orang itu secara hukum.Pemeriksaan itu, merupakan suatu proses bertahap : mulai dari
penyelidikan/penyidikan, penuntutan, sampai pada penentuan hukuman. Inilah yang
dikenal sebagai proses peradilan pidana (criminal justice process).
Hakim dalam mengambil keputusan menggunakan bentuk pemikiran deduktif dan
induktif. Bentuk deduktif yang banyak digunakan oleh Hakim adalah bentuk “silogisma”.
Silogisma adalah bentuk formal dari deduksi yang terdiri atas preposisi-preposisi
ketegorik. Silogisma merupakan bentuk kesimpulan dari suatu preposisi (premis mayor)
dengan perantara preposisi lain (premis minor)
Dalam Putusan Hakim menggunakan metode silogisma deduktif yang dikenal
dengan bentuk. Sehingga bentuk tersebut apabila diubah menjadi pola berfikir
argumentasi dalam penalaran hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 164/Pid.B/2018/PN

Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 13.

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 – 282.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 362.

Morris Ginsberg, 2003, Keadilan Dalam Masyarakat, Pustaka Yogya Mandiri, Yogyakarta, hlm.
50-53.

Mudzakkir, 2001, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi,
Program Pascasarjana FH-UI, Jakarta, hlm. 25.

Siti Malikhatun Badriyah, 2010, Penemuan Hukum Dalam Konteks Pencarian Keadilan,
Cetakan Pertama, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 38.

Soerjono Soekanto, 2016, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi


Pertama, Cetakan Keempatbelas, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 5.

Theodorus Yosep Parera, 2016, Advokat dan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama, Genta
Press, Yogyakarta, hlm. 19.

Widodo Dwi Putro, 2011, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Cetakan Pertama,
Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 193 dan 201.

Anda mungkin juga menyukai