MATERI KE SEMBILAN PERLINDUNGAN KORBAN DALAM PERBANDINGAN SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA DAN PERANCIS
Disampaikan dalam Perkuliahan Untuk Mahasiswa Fakultas
Hukum UPS Tegal Semester 6-D KAMIS, 20 Mei 2021 Oleh : Dr. Fajar Ari Sudewo, S.H., M.H. KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Korban adalah sebagai pihak yang dirugikan dalam hal terjadinya suatu kejahatan atau tindak pidana, sehingga harus mendapat perhatian dan pelayanan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingannya dalam sistem peradilan pidana. Dalam sistem hukum formil, pengaturan tentang kedudukan korban seringkali tidak mendapatkan perhatian atau perlindungan hukum yang lebih baik dibanding pelaku kejahatan. Dalam system hukum di dunia, pengaturan perlindungan korban justru sering terabaikan dibanding perlindungan hukum terhadap pelaku kajahatan. PENTINGNYA PERLINDUNGAN KORBAN : Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, seringkali tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Barda Nawawi Arif : Masalah perlindungan HAM dan perlindungan korban merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama, keduanya tidak bisa dipisahkan. Kalau membicarakan perlindungan korban sama halnya membicarakan tentang persoalan HAM. Hak asasi manusia secara kodrati inheren, tidak dapat dicabut, dimiliki oleh individu semata-mata karena mereka manusia dan bukan karena mereka adalah kawula hukum suatu negara, sehingga perlindungan terbaik terhadap hak-hak asasi terdapat dalam kerangka demokratis dan batas-batas pelaksanaan hak tersebut hanya dapat ditetapkan atau dicabut dengan undang-undang. Masalah pentingnya perlindungan korban suatu kejahatan telah mendapatkan perhatian serius, yang dapat dilihat dari ketentuan yang dibuat oleh PBB dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, selain itu dapat dijumpai dalam The Seventh United National Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang dilaksanakan di Milan, Itali, September 1985 (dikenal dg Deklarasi Milan). Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan yang diberikan terhadap korban mengalami perluasan tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan dalam arti konvensional (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban sebagai akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). PENGATURAN DOKUMEN HAM YANG DAPAT DIJADIKAN LANDASAN BAGI PERLINDUNGAN KORBAN JUGA DAPAT KITA JUMPAI DALAM PENGATURAN2 TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT), YAITU PENGATURAN DALAM:
The European Convention for the Protection of Human Rights
and Fundamental Freedoms (“ECHR”), the American Convention on Human Rights (“ACHR”), dan the Inter- American Convention on the Prevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women (“Inter-American Convention on Violence Against Women”), serta dalam : The African Charter on Human and Peoples' Rights (“African Charter”). Dokumen HAM Internasional yang mengatur Hak Asasi Korban (KDRT) dapat dijumpai juga dalam: Universal Declaration of Human Rights (“UDHR”), the International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”), dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (“ICESCR”), dokumen ini menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, di mana para korban dari KDRT dapat menggugat negaranya masing-masing. Berbagai peristiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban. Padahal negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional berdasarkan pengaturan dalam Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (“CEDAW”), dan pengaturan dalam Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (“CAT”). KEDUDUKAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
Kedudukan korban dalam SPP di Indonesia hanya berfungsi sebagai
saksi, seperti halnya dijumpai dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, telah memberikan perhatian terhadap kedudukan pelaku kejahatan sebagai individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin menonjol. KUHAP yang meletakkan beberapa asas sebagai bentuk perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia justru lebih banyak mengatur tentang perlindungan pelaku kejahatan. Sedangkan porsi perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan terkesan menjadi tidak memadai. Padahal, sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan dan pelaku kejahatan adalah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan sebagaimana asas setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum (equality before the law). KEDUDUKAN KORBAN HANYA UNTUK PENEGAKAN HUKUM BELAKA
Dalam sistem peradilan Indonesia, ternyata
korban hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pihak penguasa dalam rangka menegakkan hukum, sehingga pada hakekatnya pihak korban dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan peradilan pidana tidaklah menegakkan hukum secara sempurna. KEADILAN RETRIBUTIF BAGI KORBAN KEJAHATAN: Di Indonesia, dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap korban menggunakan model pelayanan (services model) dimana korban (victim) tidak terlibat dalam proses peradilan pidana. Korban diwakili oleh negara (Kejaksaan), sehingga hak-hak untuk memberikan perlindungan terhadap korban tampak telah “hilang” dan tidak optimal, sebab tidak ada kesempatan untuk didengar pendapatnya disetiap tingkatan (stage) proses peradilan, bahkan dalam putusan pengadilan, padahal dalam kasus tersebut kedudukan korban sebagai Victim. Jadi dalam SPP Indonesia, terciptalah keadilan yang bersifat retributive karena orientasi hanya kepada pelaku kejahatan dan perbuatan yang telah dilanggarnya tanpa mendengar dan melihat secara penuh apa yang telah terjadi pada korban. Pengaturan terhadap korban di Indonesia, justru hanya ditempatkan sebagai saksi belaka, yang tidak bisa melakukan penuntutan secara langsung melalui ketentuan hukum yang tegas. Hal mana dapat diketahui dalam Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2006 TENTANG Perlindungan Saksi Dan Korban, yang mengatur hak-hak saksi ( dan korban) , sebagai berikut : a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; DLL PENGANTURAN SAKSI (TERMASUK SAKSI KORBAN) DALAM HUKUM MATERIIL INDONESIA Dalam praktik hukum pidana materiil, saksi (termasuk korban) justru hanya hanya dibebani kewajiban dan tidak mempunyai hak. Pasal 224 KUHP: “Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, dalam perkara pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”. Dari pasal ini nampak tidak ada perlindungan hukum terhadap saksi bahkan mereka yang tidak memenuhi kewajiban bersaksi di ancam dengan sanksi pidana. Upaya perlindungan saksi dan korban mendapatkan legitimasi sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Saksi dan Korban dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64. PROF. MULADI: DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA KEDUDUKAN KORBAN KEJAHATAN PERLU DILINDUNGI DENGAN ALASAN : Pertama : Proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier (dilaksanakan oleh hakim, lembaga pemasyarakatan, dan sebagainya). Dalam hal ini terdapat muatan moral, dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak dan sosiologis dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat dan penegakan hukum di lain pihak. Kedua : Pentingnya argumentasi yang mengedepankan perlindungan hukum bagi korban kejahatan adalah argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial. Negara yang mengambil alih kedudukan korban (sifat memonopoli) maupun terhadap seluruh reaksi sosial sebagai akibat timbulnya kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi (Eigen Richting dan balas dendam), oleh karena itu bila terjadi kejahatan dan membawa korban, negara harus bertanggung jawab untuk memperhatikan semua aspek kebutuhan para korban tersebut, baik aspek sosial maupun aspek material. Ketiga : perlindungan korban kejahatan biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yang dewasa ini banyak dikedepankan yakni penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. KUDUDUKAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA PERANCIS Berbeda dengan Indonesia, di Perancis dalam Code of Criminal Procedure (Hk Acara Pidana), membolehkan pihak korban atau keluarga korban secara langsung melakukan tindakan sipil untuk menuntut ganti rugi sebagai akibat kerugian yang dideritanya karena kejahatan atau tindak pidana (Pasal 2 dan Pasal 3). ADA DUA CARA YANG DAPAT DILAKUKAN KORBAN ATAU WAKIL KORBAN, YAITU : 1. Jika tersangkanya diketahui, korban dapat mengajukan gugatan kepada tersangka untuk hadir di pengadilan. 2. Jika tersangka tidak diketahui, mereka melaporkan pengaduan kepada hakim pengawas/penyidik. Proses beracara dalam hal terdapat tindakan sipil oleh korban, dapat dilakukan secara lisan atau secara tertulis. Syarat-syarat untuk melakukan tindakan sipil adalah seseorang harus merupakan korban langsung, termasuk menderita / dalam kondisi psikologis sebagai akibat dari kejahatan. Keuntungan mengajukan tindakan sipil di dalam proses acara pidana, adalah lebih murah, lebih sederhana, dan lebih cepat. Pihak yang dirugikan dapat memperoleh keuntungan dari bukti- bukti yang diajukan dalam penuntutan. KUHAP hanya mengatur dalam Praperadilan terhadap perkara pidana yang belum diajukan ke pengadilan, namun hal itu diperuntukkan tersangka dan atau terdakwa serta ahli warisnya. (Pasal 95 dan 96 KUHAP Jo. Pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 1970). ATAU: Pengaturan dalam Pasal 99 Ayat (1) KUHAP Jo. Pasal 101 KUHAP tentang Penggabungan Perkara gugatan kerugian: Yang mengatur ganti rugi terhadap biaya-biaya pengobatan, pemulihan cacat atau biaya-biaya perbaikan yang diderita korban. PERBEDAAN ANTARA PENYIDIKAN POLISI DAN PENYIDIKAN OLEH HAKIM (PENYIDIKAN JUDICIAL) DALAM SPP PERANCIS: Penyidikan oleh polisi memiliki wewenang lebih luas karena dapat menahan seseorang dan merekam pembicaraan telephone. Penyidikan oleh hakim hanya dapat dilakukan ketika telah dimulai proses penuntutan. Fungsi penyidikan judisial adalah untuk mengklarifikasi bukti- bukti yang diajukan penyidik polisi; dan menentukan apakah suatu kasus dapat diteruskan untuk diadili. PERBEDAAN ASPEK PENGATURAN HUKUM DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA DAN DI PERANCIS 1. Di Indonesia, terdapat beberapa pengaturan ketentuan mengenai jaminan-jaminan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh korban, akan tetapi pengaturan ketentuan tersebut tidaklah dapat dijadikan landasan yang kuat bagi korban untuk menuntut haknya, serta pengaturan tersebut tidak mengatur secara mendalam mengenai hak korban tersebut. Sedangkan di Perancis, dapat dilihat pada pengaturan ketentuan jaminan terhadap hak korban sangat di perhatikan serta dijamin keberadaannya, bahkan pengaturan ketentuannya yang lebih mendalam sampai kepada mekanisme pelaksanaan tekhnis perlindungannya. 2. Di Indonesia, pengaturan ketentuan jaminan mengenai hak korban di atur pada beberapa Undang-undang/pengaturan yang terpisah. Sedangkan di Perancis, mengenai hak korban cukup diatur dalam satu Undang-undang yaitu di dalam Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana-nya (Code of Criminal Procedure). 3. Di Indonesia, korban pada proses peradilan pidananya tidak dapat langsung menggugat/menuntut ganti kerugian kepada pelaku atas kejahatannya. Begitu pula dengan perbedaan lainnya seperti adanya hakim penyidik/pengawas, pelaksanaan perlindungan korban dan lain sebagainya. Sedangkan di Perancis, korban dapat langsung melakukan tindakan sipil yaitu tindakan untuk menggugat/menuntut ganti kerugian kepada pelaku/terdakwa atas kejahatan/tindak pidana yang dilakukannya, di proses peradilan pidana yang dilaluinya.