PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI
Disusun
E0011023
FAKULTAS HUKUM
SURAKARTA
2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini dalam ilmu hukum pidana telah diterima baik di kalangan akademisi maupun di
kalangan praktisi, suatu kejahatan khusus yang melibatkan perusahaan yang disebut dengan
corporate crime (kejahatan korporasi). Sebelumnya, banyak kalangan yang tidak dapat
menerima jika suatu perseroan dianggap dapat melakukan tindak pidana. Mereka berpegang
teguh pada adagium Universitas Delinguere Nonprotest (Badan Hukum tidak dapat dipidana)
dengan alasan bahwa suatu badan hukum / perusahaan tidak memiliki mens rea (niat jahat), dan
badan hukum bukanlah pribadi meskipun dapat melakukan perbuatan hukum seperti orang
pribadi. Dalam perkembangannya sudah dapat diterima bahwa suatu badan hukum termasuk
perusahaan dianggap dapat melakukan tindak pidana sehingga konsekuensinya suatu badan
hukum dapat dipidana.
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi, kejahatan ini dipandang bukan lagi sebagai
masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi suatu negara karena masalah korupsi telah
ada sejak ribuan tahun lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk di
Indonesia. Bahkan, perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian
parahnya dan menjadi kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crime). Menurut hasil
penelitian (survey) yang dilakukan Transparency International (TI) tahun 2004, telah
menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup nomor 6 (enam) di dunia dan berada di
urutan kedua di Asia, dimana Indonesia hanya lebih baik dari negara Myanmar.
Jika pada masa lalu korupsi sering diidentikkan dengan pejabat atau pegawai negeri yang
menyalahgunakan keuangan negara, dalam perkembanganya sekarang korupsi juga telah
melibatkan anggota legislatif dan yudikatif, bankir, konglomerat, dan juga korporasi. Pengaturan
korporasi sebagai “Subyek Hukum” diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Korupsi. Sebelumnya,
dalam UU No. 3 Tahun 1971 “Subyek Hukum” yang dapat dijerat dalam kasus korupsi adalah
pegawai negeri. Dengan demikian UU No. 31 Tahun 1999 merupakan terobosan baru yang
sangat penting dalam hukum pidana dan hukum acara pidana dengan memperluas subyek hukum
2
pidana. Dalam hukum positif di Indonesia, istilah korporasi muncul pada tahun 1997 setelah
diundangkannya UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi ditinjau dari
teori hukum pidana ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah “white collar crime” sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai
“kejahatan kerah putih” atau “kejahatan berdasi”. Istilah ini dipopulerkan pertama kali oleh
seorang kriminolog Amerika Serikat, yaitu Edwin Hardin Sutherland (1883 – 1950). Istilah
“kerah putih” merujuk kepada pelakunya sebagai pihak terhormat/kelas tinggi (yang sering
memakai baju putih), warna yang jarang dipakai oleh penjahat-penjahat jalanan. Pelakunya disini
adalah pihak yang membuat kejahatan sebagai karirnya dan memiliki skill tertentu yang
dibedakan dengan habitual criminal (melakukan kejahatan sebagai kebiasaan) maupun street
criminal (kejahatan jalanan) yang meninggalkan korban secara berdarah-darah Yang dimaksud
“white collar crime” menurut Biderman dan Reiss adalah:
“Setiap pelanggaran hukum dengan ancaman hukuman, dengan menggunakan kedudukan yang
penting, kekuasaan dan kepercayaan dari pelakunya, dalam suatu ketertiban institusi politik dan
ekonomi yang legitimate dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak legal atau
untuk dapat melakukan perbuatan tidak legal untuk kepentingan pribadi atau organisasi tertentu”
Menurut Coleman yang dimaksud dengan “white collar crime” adalah :
“Suatu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang dalam menjalankan
tugasnya yang tergolong dihormati orang atau dalam melaksanakan jabatan yang legitimate, atau
dalam kegiatan-kegiatan bisnis.”
Munir Fuady mendefinisikan “white collar crime” sebagai :
“Suatu perbuatan (atau tidak berbuat) dalam sekelompok kejahatan yang spresifik yang
bertentangan dengan hukum pidana yang dilakukan oleh pihak profesional, baik oleh individu,
organisasi, sindikat kejahatan ataupun oleh badan hukum.”
Selanjutnya dikatakan bahwa kejahatan tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan
bisnis atau kepentingan pribadi atau untuk mendapatkan uang, harta benda atau
kedudukan/jabatan tertentu dimana dilakukan dengan cara halus dan canggih yakni dengan jalan
menutup-nutupi, menipu, menyuap dan perbuatan tersebut dilakukan ketika pelakunya sedang
menjalankan profesinya
4
Sebenarnya kejahatan yang disebut dengan “white collar crime” bukanlah jenis kejahatan baru,
tetapi hanyalah :
- kejahatan dengan metode pengelompokkan baru
- kejahatan dengan nama baru
- kejahatan dengan modus operandi baru
- kejahatan dengan pelakunya merupakan pihak terhormat dalam masyarakat
Pengelompokkan terhadap “white collar crime” adalah sebagai berikut :
1. “White collar crime” yang bersifat individual, berskala kecil dengan modus operandi
yang sederhana;
2. “White collar crime” yang bersifat individual, berskala besar dengan modus operandi
yang kompleks;
3. “White collar crime” yang melibatkan korporasi;
4. “White collar crime” di sektor publik, yang terdiri dari :
- korupsi/penggelapan/money politic
- melanggar hak warga negara
- penyalahgunaan kekuasaan
- penipuan/kebohongan publik
- pembunuhan lawan politik
- pelanggaran oleh aparat
- pelanggaran prinsip pemilu
Kalau kita lihat penegelompokkan dari “white collar crime” di atas maka dapat dilihat
bahwa korupsi termasuk “white collar crime” di sektor publik, artinya bahwa melibatkan pihak-
pihak pemegang kekuasaan publik atau pejabat pemerin-tah, sehingga disebut dengan kejahatan
jabatan (occupational crime).
Korupsi berasal dari kata corruptio yang berarti kerusakan. Menurut Kamus Istilah Hukum
Latin-Indonesia, corruptio berati penyogokan. Gurnar Myrdal menyebutkan :
“Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan,
aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara
tidak patut serta kegiatan lainnya seperti penyogokan” .
5
Menurut Sudarto, perkataan korupsi semula hanyalah bersifat umum dan baru menjadi
istilah hukum untuk pertama kalinya adalah di dalam Peraturan Penguasa Militer No.
Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
Di Indonesia aturan tentang korupsi dapat kita temui dalam KUHP yaitu dalam Buku II
Bab XXVIII, walaupun dalam rumusan belum menggunakan istilah korupsi tetapi “kejahatan
jabatan”. Istilah korupsi untuk pertama kali diatur dalam Peraturan Penguasa Militer No.
Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Setelah itu pada tahun 1971 diundangkan UU
No. 3 Tahun 1971 tentang Korupsi, dan selanjutnya setelah era reformasi bergulir diundangkan
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah
dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang masih berlaku hingga saat ini. Kalau kita lihat bahwa
masalah korupsi sebenarnya telah diatur dalam hukum positif kita sejak Indonesia merdeka.
Tetapi sayangnya korupsi di Indonesia sungguh sangat luar biasa dan seperti telah disinggung di
atas bahwa Indonesia sebagai negara paling korup nomor 6 (enam) di dunia dan berada di urutan
kedua di Asia, dimana Indonesia hanya lebih baik dari negara Myanmar. Menurut Andi Hamzah
penyebab korupsi adalah :
1. Kurangnya gaji Pegawai Negeri dan aparat penyelenggara negara;
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab
meluasnya korupsi;
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien yang akan
memberikan peluang orang untuk korupsi;
4. Modernisasi mengembangbiakkan korupsi.
B. Tentang Korporasi
Konsep korporasi (badan hukum) pada mulanya dikembangkan oleh hukum Romawi lebih
dari seribu tahun yang lalu dan hingga Abad XVIII tidak mengalami banyak perkembangan.
Ilmu hukum mengenal dua macam subyek hukum, yaitu subyek hukum pribadi (orang
perseorangan) dan subyek hukum berupa badan hukum. Salah satu ciri khas yang membedakan
kedua subyek hukum tersebut adalah saat lahirnya, yang pada akhirnya akan menentukan saat
lahirnya hak dan kewajibannya. Pada subyek hukum pribadi, status subyek hukum dianggap
telah ada bahkan pada saat orang tersebut belum dilahirkan (Pasal 2 ayat 1 KUH Perdata).
6
Sedangkan pada badan hukum, keberadaan status badan hukumnya baru diperoleh setelah
memperoleh pengesahan dari pejabat yang berwenang.
Terdapat alasan atau motivasi adanya pembentukan suatu badan hukum. Sejak kematiannya
maka manusia berhenti menjadi subyek hukum. Kewena-ngannya untuk memiliki harta dan
melakukan perbuatan hukum menjadi lenyap. Orang menghendaki agar sesudah dirinya
meninggal dunia, usahanya yang telah dikembangkannya dengan susah payah berjalan terus,
piutang-piutangnya dapat ditagih dan hutang-hutang usahanya dapat dibayar. Hukum
memperkenankan manusia membentuk badan hukum dan memberikan makhluk yuridis tersebut
harta kekayaan tertentu, dan atas nama tangggungannya sendiri melakukan perbuatan hukum.
Terdapat beberapa definisi mengenai badan hukum yang diberikan oleh para pakar :
7
Dahulu memang banyak kalangan yang tidak dapat menerima jika suatu korporasi
dianggap dapat melakukan tindak pidana. Mereka berpegang teguh pada adagium Universitas
Delinguere Nonprotest (badan hukum tidak dapat dipidana) dengan alasan sebagai berikut :
1. Badan hukum tidak mempunyai mens rea (keinginan untuk berbuat jahat).
2. Badan hukum bukan seorang pribadi meskipun badan hukum dapat melakukan berbagai
perbuatan hukum yang biasa dilakukan orang pribadi.
3. Badan hukum tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan yang aktual (no soul to be
damned and no body to be kicked).
4. Menurut doktrin Ultra Vires, jika ada kejahatan yang dilakukan oleh direksi suatu
perusahaan, hal tersebut sudah pasti merupakan perbuatan di luar anggaran dasar dari
perusahaan yang bersangkutan, sehingga yang bertanggung jawab adalah direksinya
secara pribadi, tetapi bukan perusahaan yang harus bertanggung jawab.
Saat ini sudah secara umum diterima bahwa suatu badan hukum/korporasi dianggap dapat
melakukan suatu tindak pidana sehingga konsekuensinya badan hukum tersebut dapat dipidana.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 59 KUHP, menurut S.R Sianturi bahwa sejak diundangkannya
berbagai peraturan perundang-undangan yang mencantumkan badan hukum, koperasi, yayasan
menjadi subyek tindak pidana dan tidak terbatas hanya dalam tindak pidana pelanggaran saja,
maka pandangan yang mengatakan bahwa hanya manusia yang merupakan subyek tindak pidana,
praktis sudah ditinggalkan. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam perkembangan hukum pidana
selanjutnya bukan hanya manusia yang dianggap sebagai subyek hukum, tetapi juga badan
hukum terutama dalam hal-hal yang menyangkut :
Singkatnya penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subyek tindak pidana adalah
karena kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan perekonomian dan kemanan negara yang
disesuaikan dengan perkembangan peradaban manusia. Namun pada hakekatnya manusia yang
8
merasakan/ menderita pemidanaan itu. Kejahatan korporasi di Indonesia dapat ditemukan dalam
undang-undang :
- UU No. 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer
- UU No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong
- UU No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
- UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
- UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
- UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
- UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
11
Pada mulanya orang tidak menerima pertanggungjawaban korporasi dalam perkara pidana.
Hal ini karena korporasi tidak memiliki perasaan seperti manusia sehingga tidaklah mungkin
melakukan kesalahan, dan pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap korporasi. Namun
sekarang ini karena adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi terhadap
kesejahteraan umum, maka secara umum sudah dapat diterima bahwa korporasi dapat diminta
pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh agen-agen-agen korporasi
yang bertindak atas nama korporasi tersebut. Menurut Supapto bahwa :
“korporasi bisa dipersalahkan apabila kesengajaan atau kealpaan terdapat pada orang-orang
yang menjadi alat-alat perlengkapannya. Kesalahan itu bukan individual akan tetapi kolektif
karena korporasi menerima keuntungan”.
Oleh karena korporasi sebagai subyek tindak pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan
(kerohanian) seperti halnya manusia (natuurlijk persoon), persoalan tersebut dapat diatasi
apabila kita menerima konsep keberlakuan fungsional (functioneel daderschap). Menurut
Wolter, keberlakuan keberlakuan fungsional (functioneel daderschap) adalah karya interpretasi
hakim, dimana hakim mengin-terpretasikan tindak pidana itu sehingga pemidanaannya
memenuhi persyaratan dari masyarakat.
Menurut Muladi pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana
dapat didasarkan atas hal-hal sebagai berikut :
1. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar
keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan
sosial;
2. Atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945;
3. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan);
4. Untuk perlindungan konsumen;
5. Untuk kemajuan teknologi.
Selanjutnya dikatakan oleh Muladi bahwa pemidanaan korporasi atas dasar kepentingan
masyarakat dan tindak masyarakat dan tidak atas dasar tingkat kesalahan subyektif. Dalam hal
ini strict liability yang meninggalkan asas mens rea merupakan refleksi cenderung untuk
menjaga keseimbangan dan kepentingan sosial.
Dalam pertangggungjawaban dalam hukum pidana, ada 3 (tiga) sistem kedudukan
korporasi sebagai pembuat dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, yaitu :
12
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab.
2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab.
3. Korporasi sebagai pembuat dan bertanggung jawab.
Korporasi / badan hukum yang banyak berekmbang di Indonesia adalah korporasi yang
berbentuk Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana dimaksud dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas (PT). Jika kita lihat ketentuan Pasal 82, 84, dan Pasal 85 UU No. 1 Tahun
1995 maka dapat dilihat bahwa disana menganut doktrin Ultra Vires, yang berarti apabila direksi
bertindak menyalahi wewenang atau melampaui batas yang digariskan korporasi dalam AD/ART
maka korporasi lepas dari tanggung jawabnya. Permasalahannya adalah jika doktrin Ultra Vires
ini diberlakukan maka akan banyak korporasi yang lepas dari jeratan hukum. Padahal trend baru
dalam tindak pidana korupsi di Indonesia adalah keterlibatan korporasi, dalam hal ini korporasi
sebagai ajang untuk memperoleh dana dari negara. Selain juga timbul masalah apabila pelaku
melarikan diri, maka yang dapat disita hanya saham yang dimilikinya. Saat ini banyak sekali
pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri ke luar negeri, dan yang menjadi tujuan
aadalah Singapura dan Cina. Kedua negara ini menjadi tujuan kaburnya para koruptor karena
belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Selain itu mereka juga “diperlakukan”
dengan baik karena dianggap sebagai “investor”.
Selanjutnya kita bicara tentang sanksi pidana. Karena bukan sebagai natuure person maka
korporasi tidak dapat dijatuhi pidana penjara. Dalam hal ini yang dapat dijatuhi adalah para
pengurusnya. Dalam Pasal 20 UU Tipikor disebutkan bahwa pidana pokok yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana
ditambah 1/3 (sepertiga). Akan tetapi pada umumnya pidana denda ini tidak efektif karena :
1. Korporasi akan menjadikan pengeluaran dana untuk denda ini sebagai pos pengeluaran
biasa yang merupakan cost of business dari perusahaan tersebut.
2. Jika denda sudah terlalu membebankan, perusahaan dpat mengajukan dirinya untuk
dipailitkan.
Dewasa ini telah berkembang model-model hukuman pidana nonkonvensional yang
dianggap cocok bagi korporasi yamng melakukan Corporate Crime, yaitu:
1. Hukuman percobaan, yaitu perusahaan tersebut diawasi untuk mempraktekkan Good
Corporate Governance dan mengikuti aturan main yan ada.
13
2. Denda Equitas (equity Fine), yaitu saham-saham harus disetor kepada pemerintah sebagai
denda dan pemerintah mendapatkan hasil dari saham itu.
3. Pengalihan menjadi hukuman individu, adalah mengalihkan hukuman pidana (penjara)
kepada pejabat yang paling bertanggung jawab dalam korporasi.
4. Hukuman tambahan, yaitu berkaitan dengan sanksi administratif seperti pencabutan ijin,
larangan untuk melakukan kegiatan tertentu, dll.
5. Hukuman pelayanan masyarakat, dimana korporasi melakukan sesuatu kepada
masyarakat/ mengganti kerugian kepada masyarakat.
6. Kewenangan yuridis pihak luar korporasi, yaitu pihak luar termasuk Bapepam diberi
otoritas untuk masuk dan mengambil kebijakan tyerhadap korporasi tersebut.
7. Kewajiban membeli saham, adalah kewajiban korporasi untuk membeli saham dari
pemegang saham yang merasa dirugikan akibat perbuatan dari korporasi.
14
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas maka diambil kesimpulan sebagai berikut :
Bahwa korporasi sebagai “subyek hukum” dalam tindak pidana korupsi diatur dalam UU No. 31
Tahun yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Berkaitan dengan pertanggung jawaban pidana maka prinsip utama yang berlaku adalah
harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Hal ini dikenal dengan asas “geen straf zonder
schuld” yaitu tiada pidana tanpa kesalahan, dimana kesalahan tersebut memiliki syarat : ada
tindak pidana yang dilakukan, adanya kesengajaan atau kealpaan, adanya kemampuan
bertanggung jawab, dan tidak ada alasan pemaaf. Dalam pertangggungjawaban dalam hukum
pidana, ada 3 (tiga) sistem kedudukan korporasi sebagai pembuat dan pertanggungjawaban
korporasi dalam hukum pidana, yaitu :
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab.
2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab.
3. Korporasi sebagai pembuat dan bertanggung jawab.
Dalam tindak pidana korupsi maka korporasi, sesuai doktrin dalam hukum pidana, dapat
dikenakan pertanggungjawaban secara pidana. Dalam hal ini, karena korporasi bukan natuure
person maka hukuman yang dapat dijatuhkan pada korporasi lebih menitikberatkan pada denda
dan sanksi nonkonvensional lain yang telah dijelaskan di atas.
Saran
Bahwa dalam perkembangan tindak pidana korupsi pada saat ini justru yang paling banyak
merupakan berasal dari hasil kejahatan korporasi sehingga para penegak hukum kita terutama
Polisi, Jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus lebih berani lagi dalam mengungkap
tindak pidana korupsi menyangkut korporasi. Jadi tidak hanya pengurus dan pembuat korporasi
saja yang dapat di tangkap tetapi juga bisa korporasnya juga dapat dijatuhi hukuman administrasi
seperti berupa pencabutan izin usaha ataupun yang lainnya yang berhubungan dengan sanksi
administrasi dan bisa juga dengan hukuman non konvensional yang telah dijelaskan diatas.
15
Daftar Pustaka
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Yongky Putra, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi,
http://karyatulisa.blogspot.com/2012/06/12_23.html, diakses tanggal 25 Oktober 2014.
Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, 2005, PUSDIKLAT Mahkamah Agung RI. Perseroan Terbatas dan Good
Corporate Governance, Lokakarya Terbatas Mahkamah Agung Masalah Hukum Bisnis, 2004, Editor
Emmy Yuhassarie.
16