Disusun oleh:
Wahyu Pandhu Jatmiko (12100050)
Deby Amanda Putri (12100036)
Akhmad Fahrur Rozi (12100040)
Septian Dwi Cahyo (12100055)
Puji syukur panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala berkat, rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul ”Doktrin Identifikasi”.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena
itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen amta kuliah serta
pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan maupun pengumpulan informasi untuk
maklah ini
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan,
namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Sistematika Penulisan
Bab II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Pertumbuhan industri ini dapat dilihat dari berbagai bidang, seperti pertanian, makanan , farmasi,
perbankan, elektronika, otomotif, perumahan, transportasi, hiburan dan masih banyak lagi.
Hampir setiap harinya kita dibanjiri dengan produk-produk baru, mulai dari produk untuk
kebutuhan sehari-hari hingga untuk investasi. Kesemuanya itu, dapat dikatakan korporasilah
yang melayani kebutuhan kita.
Keberadaan korporasi, sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun pada waktu itu belum dikenal
istilah “korporasi” seperti sekarang ini. Korporasi seperti memiliki dua sisi yaitu sisi positif dan
negatif. Disisi positif, kehadiran korporasi telah menciptakan lapangan pekerjaan yang luas,
mengurangi angka pengangguran. Belum lagi, korporasi juga memberikan sumbangan yang
dihasilkannya baik berupa pajak, maupun devisa dan yang jelas sekali hasil dari korporasi
berguna dalam memenuhi kebutuhan hidup. Namun, disisi lain, korporasi ternyata mempunyai
perilaku negatif, yang mana perilaku tersebut dapat merusak keseimbangan ekosistem. Seperti
pencemaran, pengurasan sumber daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak,
eksploitasi terhadap buruh, mengeluarkan produk-produk yang membahaya-kan kepada
penggunanya serta penipuan terhadap konsumen.
Ketika perbuatan buruk ini dilakukan oleh korporasi baik sekali maupun terus menerus, maka
korporasi ini dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Karena dampak
yang diberikan akibat perbuatan melawan hukum tersebut dapat menimbulkan kerugian yang
sangat besar. Kerugian tersebut bisa saja meliputi kerugian di bidang ekonomi, kesehatan dan
jiwa serta kerugian di bidang nilai dan moral.
Seringkali masyarakat tidak menyadari dan kurang mengenal kejahatan korporasi. Padahal bisa
dikatakan kejahatan ini sangat dekat dengan kita. Penyebab ketidaktahuan masyarakat, bisa jadi
disebabkan oleh ketidak-nampakan kejahatan korporasi yang disebabkan oleh kompleksnya,
kecanggihan perencanaan dan pelaksanaannya, lemahnya pelaksanaan dan penegakan hukum,
lenturnya sanksi hukum dan sanksi sosial sehingga gagal dalam menguatkan dan menegakan
sentimen kolektif ikatan moral.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan diatas, dapat dirumuskan
masalah yang akan diteliti, sebagai berikut :
Untuk mempermudah makalah ini, maka penulis membagikannya menjadi tiga bab,
yaitu :
Bab I Pendahuluan, merupakan bab yang menjadi pedoman dalam penulisan yang terdiri dari :
(a) latar belakang masalah; (b) rumusan masalah; (c) sistematika penulisan.
Bab II merupakan pembahasan yang terdiri dari pengertian I.doktrin identifikasi, II.kelebihan
doktrin identifikasi, III.kekurangan doktrin identifikasi, IV.contoh penerapan doktrin identifikasi.
Bab III merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut identification doctrine, bila seorang yang cukup senior dalam struktur korporasi
atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan dalam bidang jabatannya, maka
perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi
dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Dalam kasus semacam
ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu korporasi dan individu. Namun, suatu
korporasi tidak dapat diidentifikasi atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang
berada di level rendah dalam hirarki korporasi itu. Perbuatannya bukan perbuatan korporasi, dan
oleh karena itu korporasi tidak bertanggung jawab. Dalam kasus semacam ini tuntutan hanya
dapat dilakukan terhadap individu tersebut dan korporasi tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya. Dengan kata lain, perbuatan atau kesalahan oleh pejabat senior
diidentifikasi sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi karena pejabat senior diibaratkan
otaknya sebuah korporasi yang bisa mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-
sama. Teori semacam ini menarik untuk mereka yang menyatakan bahwa korporasi tidak dapat
berbuat atau melakukan sesuatu kecuali melalui manusia yang mewakili mereka. Namun,
terdapat keberatan yang cukup signifikan atas identification doctrine ini, khususnya berkaitan
dengan korporasi-korporasi besar dimana sangat kecil seorang senior melakukan perbuatan
secara langsung atas suatu tindakan pidana dengan disertai mens rea (kesalahan).
Doktrin ini mengambil keuntungan dari pengakuan bahwa dalam banyak kasus tidak
mungkin memisahkan seseorang yang telah melakukan kejahatan dengan niat dan doktrin ini
juga dapat mencegah korporasi dari mengubur tanggung jawabnya dalam-dalam di dalam
struktur korporasi.
Ruang lingkup tindak pidana yang mungkin dilakukan oleh korporasi sesuai dengan
prinsip ini lebih luas, dibanding dengan apabila didasarkan pada doktrin “vicarious”. Teori
tersebut menyatakan bahwa perbuatan atau kesalahan “pejabat senior” (senior officer)
diidentifikasi sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Konsepsi ini disebut juga doktrin
“alter ego” atau “teori organ”.
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan mengenai hal tersebut sebagai berikut :
1. Suatu korporasi tidak dapat diidentifikasi atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh
seorang yang berada di level rendah dalam hirarki korporasi itu. Perbuatannya bukan
perbuatan korporasi, dan oleh karena itu korporasi tidak bertanggung jawab. Dalam kasus
semacam ini tuntutan hanya dapat dilakukan terhadap individu tersebut dan korporasi
tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.
2. Aggregation doctrine merupakan sebuah alternatif dasar pembentukan tanggung jawab
pidana untuk mengatasi sejumlah permasalahan yang muncul dalamidentification
doctrine.
3.2 SARAN.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan agar :
Doktrin identifikasi harus Menurut pendekatan ini, tindak pidana tidak bisa hanya
diketahui atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu, perlu mengumpulkan semua tindakan
dan niat dari beragam orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan secara
keseluruhannya tindakan mereka akan merupakan suatu kejahatan atau senilai dengan apabila
perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang. Doktrin ini mengambil keuntungan dari
pengakuan bahwa dalam banyak kasus tidak mungkin memisahkan seseorang yang telah
melakukan kejahatan dengan niat dan doktrin ini juga dapat mencegah korporasi dari mengubur
tanggung jawabnya dalam-dalam di dalam struktur korporasi.
Dalam konteks pertanggungjawaban pidana korporasi, doktrin identifikasi telah memenuhi aspek
kedua aturan pertanggungjawaban pidana baik dalam ius constitutum dan ius constituendum.
Seharusnya Doktrin Identifikasi ini, perumusan pertanggung jawaban pidana korporasinya diatur
dalam ius constitutum saja,agar lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Sebab,mengapa
penulis menyarankan agar pertanggung jawaban pidana korporasi dalam doktrin identifikasi
harus didasarkan atas ius constitutum? Karena ius constitutum merupakan undang-undang
khusus diluar KUHP, mengingat dampak yang diakibatkan suatu korporasi sangat luas sehingga
perlu ditetapkan dalam Undang-Undang Khusus.
Pidana denda seharusnya tidak dibatasi dengan jumlah maksimal. Jika korporasi mampu
membayar denda maka secara tidak langsung berakhirlah perkara pidananya.
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet. Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2010, hal. 246-252.
Barda Nawawi Arief, 1998, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/
http://aredcakep.blogspot.com/2013/01/pertanggungjawaban-pidana-terhadap.html