Anda di halaman 1dari 12

DOKTRIN IDENTIFIKASI

Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi

Disusun oleh:
Wahyu Pandhu Jatmiko (12100050)
Deby Amanda Putri (12100036)
Akhmad Fahrur Rozi (12100040)
Septian Dwi Cahyo (12100055)

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala berkat, rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul ”Doktrin Identifikasi”.

Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena
itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen amta kuliah serta
pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan maupun pengumpulan informasi untuk
maklah ini

Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan,
namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.

Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Malang, 23 November 2013

DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi

Bab I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Sistematika Penulisan

Bab II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Doktrin Identifikasi

2.2 Kelebihan Doktrin Identifikasi

2.3 Kekurangan Doktrin Identifikasi

2.4 Contoh Penerapan Doktrin Identifikasi

Bab III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan.

Korporasi kehadirannya memang diperlukan. Mulai dari sebelum lahir hingga


berakhirnya kehidupan seorang manusia dibumi, setidaknya korporasi telah mengambil adil
dalam setiap fase tersebut. Kehadiran korporasi tidak bisa dipungkiri lagi. Usaha mendorong
pertumbuhan dan perkembangan korporasi ini sejalan dengan tuntutan dalam memenuhi tahapan-
tahapan pembangunan yakni dengan meletakan dasar-dasar pembangunan industri dalam
menyonsong era pembangunan jangka panjang.

Pertumbuhan industri ini dapat dilihat dari berbagai bidang, seperti pertanian, makanan , farmasi,
perbankan, elektronika, otomotif, perumahan, transportasi, hiburan dan masih banyak lagi.
Hampir setiap harinya kita dibanjiri dengan produk-produk baru, mulai dari produk untuk
kebutuhan sehari-hari hingga untuk investasi. Kesemuanya itu, dapat dikatakan korporasilah
yang melayani kebutuhan kita.

Keberadaan korporasi, sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun pada waktu itu belum dikenal
istilah “korporasi” seperti sekarang ini. Korporasi seperti memiliki dua sisi yaitu sisi positif dan
negatif. Disisi positif, kehadiran korporasi telah menciptakan lapangan pekerjaan yang luas,
mengurangi angka pengangguran. Belum lagi, korporasi juga memberikan sumbangan yang
dihasilkannya baik berupa pajak, maupun devisa dan yang jelas sekali hasil dari korporasi
berguna dalam memenuhi kebutuhan hidup. Namun, disisi lain, korporasi ternyata mempunyai
perilaku negatif, yang mana perilaku tersebut dapat merusak keseimbangan ekosistem. Seperti
pencemaran, pengurasan sumber daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak,
eksploitasi terhadap buruh, mengeluarkan produk-produk yang membahaya-kan kepada
penggunanya serta penipuan terhadap konsumen.

Ketika perbuatan buruk ini dilakukan oleh korporasi baik sekali maupun terus menerus, maka
korporasi ini dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Karena dampak
yang diberikan akibat perbuatan melawan hukum tersebut dapat menimbulkan kerugian yang
sangat besar. Kerugian tersebut bisa saja meliputi kerugian di bidang ekonomi, kesehatan dan
jiwa serta kerugian di bidang nilai dan moral.

Seringkali masyarakat tidak menyadari dan kurang mengenal kejahatan korporasi. Padahal bisa
dikatakan kejahatan ini sangat dekat dengan kita. Penyebab ketidaktahuan masyarakat, bisa jadi
disebabkan oleh ketidak-nampakan kejahatan korporasi yang disebabkan oleh kompleksnya,
kecanggihan perencanaan dan pelaksanaannya, lemahnya pelaksanaan dan penegakan hukum,
lenturnya sanksi hukum dan sanksi sosial sehingga gagal dalam menguatkan dan menegakan
sentimen kolektif ikatan moral.

Sedianya korporasi berorientasi pada profit (keuntungan). Ketika korporasi melakukan


suatu tindak pidana yang dipengaruhi oleh pemikiran dari pejabat senior, yang diibaratkan otak
sebuah korporasi dan mampu mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama.
Serta perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar, tidak adil kiranya bila
yang diminta pertanggungjawaban pidana hanya kepada orang yang melakukan perbuatan
tersebut sedangkan hal itu diketahui orang yang melakukan perbuatan tersebut demi untuk
mencari keuntungan korporasi terkecuali orang yang melakukan bukan untuk tujuan korporasi.
Oleh karena itu, diperlukan juga meminta pertanggungjawaban dari korporasi akibat perbuatan
melawan hukum tersebut. Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan
oleh korporasi sekiranya belum ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Wetbook van
Strafrecht (KUHP WvS) Indonesia. Namun, dalam Konsep KUHP 2004 telah memuat mengenai
hal tersebut. Aturan tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan korporasi saat ini hanya
ditemukan dalam aturan khusus diluar KUHP, yakni dalam undang-undang. Seperti Undang-
Undang Nomor 13 tahun 2010 tentang Holtikultura, Undang-Undang Nomor 08 tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Pencucian uang, Undang-Undang Nomor
15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001, Undang-Undang Nomor 06 tahun 1984 tentang Pos, Undang-Undang Nomor 05 tahun
1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada undang-undang tersebut telah
menetapkan subjek hukum lain selain manusia yaitu korporasi sebagai pelaku dalam tindak
pidana.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan diatas, dapat dirumuskan
masalah yang akan diteliti, sebagai berikut :

1. Apa pengertian dari Doktrin Identifikasi?


2. Apa kelebihan dari Doktrin Identifikasi?
3. Apa kekurangan dari Doktrin Identifikasi?
4. Contoh Penerapan Doktrin Identifikasi

1.3 SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah makalah ini, maka penulis membagikannya menjadi tiga bab,
yaitu :

Bab I Pendahuluan, merupakan bab yang menjadi pedoman dalam penulisan yang terdiri dari :
(a) latar belakang masalah; (b) rumusan masalah; (c) sistematika penulisan.

Bab II merupakan pembahasan yang terdiri dari pengertian I.doktrin identifikasi, II.kelebihan
doktrin identifikasi, III.kekurangan doktrin identifikasi, IV.contoh penerapan doktrin identifikasi.

Bab III merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN DOKTRIN IDENTIFIKASI (identification doctrine).

Menurut identification doctrine, bila seorang yang cukup senior dalam struktur korporasi
atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan dalam bidang jabatannya, maka
perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi
dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Dalam kasus semacam
ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu korporasi dan individu. Namun, suatu
korporasi tidak dapat diidentifikasi atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang
berada di level rendah dalam hirarki korporasi itu. Perbuatannya bukan perbuatan korporasi, dan
oleh karena itu korporasi tidak bertanggung jawab. Dalam kasus semacam ini tuntutan hanya
dapat dilakukan terhadap individu tersebut dan korporasi tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya. Dengan kata lain, perbuatan atau kesalahan oleh pejabat senior
diidentifikasi sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi karena pejabat senior diibaratkan
otaknya sebuah korporasi yang bisa mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-
sama. Teori semacam ini menarik untuk mereka yang menyatakan bahwa korporasi  tidak dapat
berbuat atau melakukan sesuatu kecuali melalui manusia yang mewakili mereka. Namun,
terdapat keberatan yang cukup signifikan atas identification doctrine ini, khususnya berkaitan
dengan korporasi-korporasi besar dimana sangat kecil seorang senior melakukan perbuatan
secara langsung atas suatu tindakan pidana dengan disertai mens rea (kesalahan).

2.2 KELEBIHAN DOKTRIN IDENTIFIKASI.

Doktrin ini mengambil keuntungan dari pengakuan bahwa dalam banyak kasus tidak
mungkin memisahkan seseorang yang telah melakukan kejahatan dengan niat dan doktrin ini
juga dapat mencegah korporasi dari mengubur tanggung jawabnya dalam-dalam di dalam
struktur korporasi.
Ruang lingkup tindak pidana yang mungkin dilakukan oleh korporasi sesuai dengan
prinsip ini lebih luas, dibanding dengan apabila didasarkan pada doktrin “vicarious”. Teori
tersebut menyatakan bahwa perbuatan atau kesalahan “pejabat senior” (senior officer)
diidentifikasi sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Konsepsi ini disebut juga doktrin
“alter ego” atau “teori organ”.                               

2.3 KEKURANGAN DOKTRIN IDENTIFIKASI.


Pada struktur korporasi yang besar dan kompleks, justru doktrin ini tidak efektif dalam
hal pencegahan. Sebab doktrin ini gagal memberikan peringatan lebih lanjut kepada korporasi
mengenai apa yang diharapkan akan dilakukan oleh korporasi agar mereka tidak terkena resiko
tanggung jawab pidana. Doktrin ini bukan menemukan seseorang yang pada korporasi
diidentifikasi, malah menemukannya pada beberapa orang. Doktrin ini mengabaikan kenyataan
bahwa esensi yang sebenarnya dari kesalahan mungkin bukan yang dilakukan oleh orang orang-
orang melainkan fakta bahwa korporasi tidak memiliki struktur organisasi atau kebijakan untuk
mencegah orang-orang melakukan apa yang mereka kerjakan yang secara kumultatif menjadi
suatu tindak pidana.

2.4 CONTOH PENERAPAN DOKTRIN IDENTIFIKASI DAN SANGKUTPAUTNYA


DENGAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA KORPORASI.
Teori identifikasi ini turut diadopsi oleh Kanada. Hal ini dapat dilihat dalam kasus R. v.
Fane Robinson Ltd., dimana perusahaan Fane Robinson dan dua orang direkturnya yang
merupakan pengelola yang aktif, dalam tingkat banding, didakwa melakukan tindak pidana
berkomplot atau berkonspirasi untuk menggelapkan uang dan memperoleh uang dengan cara
menipu. Pengadilan berpendapat bahwa tidak ada alasan mengapa suatu korporasi yang dapat
mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan individu atau korporasi lain tidak dapat
memenuhi unsur mens rea ketika korporasi tersebut melibatkan dirinya dalam perjanjian yang
menjadi dasar utama konspirasi dan penipuan tersebut. Pengadilan menyimpulkan bahwa secara
umum kedua orang direktur perusahaan merupakan kehendak bertindak dan mengarahkan
(acting and directing will) dari perusahaan. Niat untuk melakukan tindak pidana (mens rea) dan
tindakan hukumnya (actus reus) merupakan niat dan tindakan dari perusahaan dan bahwa
konspirasi untuk penggelapan uang dan penipuan merupakan kejahatan yang mampu diwujudkan
oleh perusahaan.
Dalam hal penerapannya, identification doctrine membutuhkan Aggregation doctrine
yang  merupakan sebuah alternatif dasar pembentukan tanggung jawab pidana untuk mengatasi
sejumlah permasalahan yang muncul dalam identification doctrine. Menurut pendekatan ini,
tindak pidana tidak bisa hanya diketahui atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu, perlu
mengumpulkan semua tindakan dan niat dari beragam orang yang relevan dalam korporasi
tersebut, untuk memastikan secara keseluruhannya tindakan mereka akan merupakan suatu
kejahatan atau senilai dengan apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang. Doktrin
ini mengambil keuntungan dari pengakuan bahwa dalam banyak kasus tidak mungkin
memisahkan seseorang yang telah melakukan kejahatan dengan niat dan doktrin ini juga dapat
mencegah korporasi dari mengubur tanggung jawabnya dalam-dalam di dalam struktur
korporasi.
Dengan demikian, jelas bahwa doktrin identifikasi (identification doctrine) ini
pertanggung jawaban pidana korporasinya ditekankan dan tuntutan hanya dapat dilakukan
terhadap individu tersebut dan korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya. Dengan
kata lain,perbuatan atau kesalahan oleh pejabat senior diidentifikasi sebagai perbuatan atau
kesalahan korporasi karena pejabat senior diibaratkan otaknya sebuah korporasi yang bisa
mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan mengenai hal tersebut sebagai berikut :
1. Suatu korporasi tidak dapat diidentifikasi atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh
seorang yang berada di level rendah dalam hirarki korporasi itu. Perbuatannya bukan
perbuatan korporasi, dan oleh karena itu korporasi tidak bertanggung jawab. Dalam kasus
semacam ini tuntutan hanya dapat dilakukan terhadap individu tersebut dan korporasi
tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.
2. Aggregation doctrine merupakan sebuah alternatif dasar pembentukan tanggung jawab
pidana untuk mengatasi sejumlah permasalahan yang muncul dalamidentification
doctrine.

3.2 SARAN.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan agar :
Doktrin identifikasi harus Menurut pendekatan ini, tindak pidana tidak bisa hanya
diketahui atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu, perlu mengumpulkan semua tindakan
dan niat dari beragam orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan secara
keseluruhannya tindakan mereka akan merupakan suatu kejahatan atau senilai dengan apabila
perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang. Doktrin ini mengambil keuntungan dari
pengakuan bahwa dalam banyak kasus tidak mungkin memisahkan seseorang yang telah
melakukan kejahatan dengan niat dan doktrin ini juga dapat mencegah korporasi dari mengubur
tanggung jawabnya dalam-dalam di dalam struktur korporasi.
Dalam konteks pertanggungjawaban pidana korporasi, doktrin identifikasi telah memenuhi aspek
kedua aturan pertanggungjawaban pidana baik dalam ius constitutum dan ius constituendum.
Seharusnya Doktrin Identifikasi ini, perumusan pertanggung jawaban pidana korporasinya diatur
dalam ius constitutum saja,agar lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Sebab,mengapa
penulis menyarankan agar pertanggung jawaban pidana korporasi dalam doktrin identifikasi
harus didasarkan atas ius constitutum? Karena ius constitutum merupakan undang-undang
khusus diluar KUHP, mengingat dampak yang diakibatkan suatu korporasi sangat luas sehingga
perlu ditetapkan dalam Undang-Undang Khusus.

Pidana denda seharusnya tidak dibatasi dengan jumlah maksimal. Jika korporasi mampu
membayar denda maka secara tidak langsung berakhirlah perkara pidananya. 
DAFTAR PUSTAKA

I. S. Susanto, Kriminologi, Cet. Pertama, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hal. 126.

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet. Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2010, hal. 246-252.

Barda Nawawi Arief, 1998, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sumber dari internet :

http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/

http://aredcakep.blogspot.com/2013/01/pertanggungjawaban-pidana-terhadap.html

Anda mungkin juga menyukai