Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

POLITIK HUKUM PIDANA

TENTANG :

KEWENANGAN PENYIDIKAN KASUS SIMULATOR SIM


ANTARA KPK DAN POLRI

Oleh :

ADRIYANTI
NIM : 1121211065

Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. ISMANSYAH, SH. MH

JURUSAN ILMU HUKUM


PASCASARJANA UNAND PADANG

2012
0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perselisihan yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan

kepolisian kian memanas. Pihak Polri terus menyerang KPK, dan KPK terus berargumen

bahwa polisi tak berhak menangani kasus simulator SIM yang sebelumnya sudah

ditangani KPK. KPK merasa berhak menangani, karena merasa sudah mendahului

penyidikan, dan Polri pun mempunyai alasan yang sama untuk terus melanjutkan

penyidikan.

Menko Polhukam Djoko Suyanto secara khusus menggelar jumpa pers terkait

kisruh KPK-Polri. Menurutnya, perebutan kewenangan dalam menangani kasus alat

simulasi mengemudi di Korlantas ini sudah mengarah kepada polemik yang tak sehat.

Polemik ini harus dicarikan solusinya. Apalagi, kedua lembaga ini adalah lembaga

penegak hukum.

Sedangkan Kabareskrim Komjenpol Drs Sutarman, menyatakan bahwa KPK

telah melanggar etika antarlembaga ketika melakukan penyitaan barang bukti kasus

dugaan korupsi Simulator Ujian SIM di Markas Korlantas Mabes Polri, Senin-Selasa

(30-31/7/2012) lalu. Pasalnya, Polri dan KPK telah diikat MoU dalam penanganan kasus

korupsi yang dilakukan bersama-sama.

Secara hukum, MoU merupakan perikatan keperdataan yang mengikat kedua

belah pihak yang membuat dan menandatanganinya. Syarat-syarat supaya perikatan

demikian sah menurut hukum salah satunya adalah tidak bertentangan dengan undang-

1
undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban umum (vide KUH

Perdata Pasal 1320 jo 1337).

Padahal, banyak kalangan berharap ketegasan pemerintah untuk menguak

tuntas kasus ini. Jika tidak, perseteruan itu akan terus meruncing. Kasus seperti ini

memang harus ada sikap jelas, untuk hal-hal seperti ini adalah wewenang pemerintah.

Selama ini, penuntasan kasus yang berbau korupsi selalu ditangani KPK. Jadi, agar

persoalan kewenangan antarpenegak hukum tidak terus menggelinding harus

diselesaikan secara santun.

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk

membuat makalah dengan judul KEWENANGAN PENYIDIKAN KASUS

SIMULATOR SIM ANTARA KPK DAN POLRI.

B. Rumusan Masalah

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Apa Penyebab Utama Terjadinya Saling Rebutan Kewenangan Menyidik antara KPK

dengan Polri.

2. Bagaimana Kewenangan Penyidikan Kasus Silmulator Sim antara Polri dengan KPK.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyebab Utama Terjadinya Saling Rebutan Kewenangan Menyidik antara KPK

dengan Polri

Lepas dari motif apa di balik saling merebut kewenangan untuk menyidik kasus

dugaan korupsi pengadaan simulator mengemudi roda dua dan empat di Korps Lalu

Lintas (Korlantas) Polri, sumber dari penyebab utamanya adalah undang-undang itu

sendiri. Termasuk UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Karena undang-undanglah

yang masih memberi kewenangan menyidik kasus korupsi kepada tiga instansi sekaligus,

yakni kepolisian, kejaksaan, dan KPK.

Meskipun UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) mengutamakan

KPK sebagai lembaga khusus penyidik kasus korupsi, tetapi masih memberi

kemungkinan kepolisian dan kejaksaan untuk mengusut kasus korupsi juga. Termasuk

pasal-pasal yang dikemukakan sebagai dasar hukum opini yang mengatakan bahwa

KPK-lah yang paling berwenang menyidik kasus korupsi di Korlantas tersebut.

Di bawah ini adalah beberapa pasal di UU KPK yang menyatakan KPK adalah

yang instansi yang paling berwenang menangani kasus korupsi, tetapi sekaligus juga

memberi peluang/kemungkinan kepolisian dan kejaksaan juga bisa menangani kasus

korupsi.

Pasal 8 ayat (2): KPK berwenang mengambil-alih penyidikan atau penuntutan

terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau

kejaksaan.

3
Pasal 8 ayat (3): Kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan

seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu

paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.

Pasal 9, mengatur tentang alasan-alasan yang membuat KPK berwenang

mengambil-alih kasus korupsi dari tangan kepolisian atau kejaksaan. Antara lain, karena

laporan masyarakat tentang kasus korupsi tidak ditindaklanjuti, proses penanganan

tindak pidana korupsi berlarut-larut, dan seterusnya.

Pasal 50 ayat (1): Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan KPK belum

melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh

kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada KPK paling

lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

Pasal 50 ayat (2): Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus

dengan KPK.

Pasal 50 ayat (3): Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan

sebagaimana dimaksud ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi

melakukan penyidikan.

Dari membaca semua ketentuan pasal-pasal tersebut terlihat bahwa meskipun

KPK diberi kewenangan lebih penuh dan kuat daripada kepolisian dan kejaksaan,

undang-undang masih memberi ruang kepada polisi dan jaksa untuk menyidik kasus

korupsi. Jadi, ada tiga lembaga yang punya kewenangan untuk menyidik kasus korupsi,

yakni kepolisian, kejaksaan, dan KPK.

Seandainya UU KPK itu dan undang-undang lainnya yang terkait dengan

pemberantasan korupsi, dengan tegas mengatur bahwa hanya KPK saja yang punya

wewenang untuk menyidik kasus korupsi, baik kecil, maupun besar, maka hampir pasti

4
tidak akan pernah ada kasus saling memperebutkan kewenangan menyidik kasus korupsi,

seperti yang sekarang ini terjadi antara KPK dengan kepolisian tersebut.

Harus diatur, wewenang menyidik kasus korupsi hanya ada di tangan KPK.

Sedangkan kepolisian dan kejaksaan berwenang menyidik kasus kejahatan lain di luar

kasus korupsi. Seperti terorisme, penipuan, penggelapan, dan lain-lain.

Tentu saja pengaturan itu tanpa mengurangi kewajiban bagi ketiga instansi

tersebut untuk saling bekerja sama, bersinerji demi tercapainya hasil yang terbaik bagi

mereka semua. Demi kepentingan masyarakat luas.

Untuk lebih memperkuat kewenangan KPK tersebut, dasar hukum KPK dan

kewenangannya memberantas kasus korupsi juga harus dimasukkan ke dalam Konstitusi

(UUD 1945). Kalau KPK sudah diatur di dalam UUD 1945, maka tidak ada lagi seekor

tikus berkaki dua (dan berdasai) dari manapun, dan para cs-nya yang bisa

mempersoalkannya, membonsaikan kewenangan KPK, atau berupaya mengganggu

eksistensinya, termasuk niat membubarkan KPK.

Untuk mendukung kekuatan hukum yang telah diberikan kepada KPK itu, maka

perlu juga dibangun gedung baru KPK yang memadai, menambah tenaga-tenaga

penyidiknya, dan seterusnya. Bilamana perlu, mengingat luas wilayah Indonesia yang

sangat luas, diadakan pula beberapa kantor cabang KPK di daerah-daerah.

Niat untuk membangun infrastruktur (bangunan) KPK yang lebih baik dan

memadai, dalam kurun waktu dekat ini sulit direalisasikan. Apalagi ada segerombolan

anggota DPR yang terus menolak pembangunan gedung baru KPK itu. Tetapi, setidaknya

dengan pengaturan dasar hukum kewenangan tunggal penyidik kasus korupsi hanya ada

di tangan KPK, sudah relatif cukup menjamin bahwa tidak akan ada lagi saling rebut

kewenangan menyidik tersebut. Kendalanya kembali ke DPR, apakah mereka tidak akan

5
menjegal suatu pasal yang memberi kewenangan hanya kepada KPK sebagai lembaga

penyidik kasus korupsi itu.

B. Kewenangan Penyidikan Kasus Simulator SIM antara KPK dengan Polri


Sebelum membahas mengenai kewenangan penyidikan, perlu dijelaskan terlebih

dahulu perbedaan penyelidikan dan penyidikan. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Penyelidikan adalah

serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatuperistiwa yang

diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknyadilakukan

penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.


Sedangkan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan

bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP).


Penyelidikan dilakukan untuk mencari unsur tindak pidana dari sebuah peristiwa,

sedangkan penyidikan adalah tahap setelah penyelidikan karena peristiwa tersebut sudah

ditemukan unsur pidananya dan sedang mencari tersangkanya.


Saat ini tersangka kasus korupsi pengadaan simulator tersebut sudah ditetapkan,

walaupun berbeda versi, baik oleh Polri maupun oleh KPK. Oleh karena itu, kasus ini

sudah masuk dalam tahap penyidikan.


Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia (UU Polri), Kepolisian bertugas menyelidik dan menyidik

semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan

lainnya. Kewenangan penyidik Polri diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP:
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena

kewajibannya mempunyai wewenang :


1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6
6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan

perkara;
9. Mengadakan penghentian penyidikan;
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Di sisi lain, kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi diatur dalam Pasal

6 huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(UU KPK), bahwa KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.


Masing-masing pihak mengklaim lebih dulu megeluarkan surat perintah

penyelidikan (Sprinlid).
Polri mengklaim penyelidikan kasus dugaan korupsi simulator SIM sesuai dengan

Sprinlid /55/V/2012/Tipidkor tanggal 21 Mei 2012, di mana Polri telah melakukan

interogasi dan pengambilan keterangan dari 33 saksi yang dinilai tahu tentang pengadaan

simulator SIM roda 2 dan roda 4.


"Kalau dilihat dari Sprinlid itu, maka otomatis Polri melakukan penyelidikan

lebih dahulu," kata Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Sutarman, Jumat (3/8)

kemarin. Sedangkan untuk penyidikan kasus ini, Sutarman menyebut tanggal 31 Juli

2012 sebagai tanggal permulaan.


Padahal, KPK seperti disampaikan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, telah

lebih dulu melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus simulator SIM. KPK telah

menyelidiki kasus ini sejak 20 Januari 2012 dan menaikkan ke tahap penyidikan tanggal

27 Juli 2012.
"Kami menaikkan status ini ke penyidikan sejak 27 Juli 2012 dan menetapkan DS

(Djoko Susilo) dan kawan-kawan sebagai tersangka," ujar Bambang.


Bagaimana sebetulnya bunyi kesepakatan antar kedua instansi hukum itu soal

penanganan tindak pidana korupsi, jika masing-masing merasa paling berwenang

melakukan penyelidikan dan penyidikan?


Kesepakatan itu tertuang dalam Kesepakatan Bersama Antara Kejaksaan

Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan

7
Korupsi Republik Indonesia. Nomor: KEP-049/A/J.A/03/2012, nomor: B/23/III/2012,

dan nomor: SP3-39/01/03/2012 Tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.
Berikut kesepakatan dimaksud yang ditandatangani pada tanggal 29 Maret 2012

di Kejagung, yaitu bagian kedua tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi,

pasal 8:
1. Dalam hal PARA PIHAK melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk

menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyai

kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu

mengeluarkan surat perintah penyeledikan atau atas kesepakatan PARA PIHAK.


2. Penyelidikan yang dilakukan pihak kejaksaan dan pihak POLRI diberitahukan kepada

pihak KPK, dan perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama 3

(tiga) bulan sekali.


3. Pihak KPK menerima rekapitulasi penyampain bulanan atas kegiatan penyelidikan

yang dilaksanakan oleh pihak Kejaksaan dan pihak Polri.


4. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidan korupsi oleh salah satu pihak dapat

dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan

terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh PARA PIHAK, yang

pelaksanaannya dituangkan dalam Berita Acara.

Dengan demikian, baik Polri maupun KPK, berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g

UU Polri serta Pasal 6 huruf c UU KPK, keduanya memang memiliki kewenangan untuk

menyidik tindak pidana korupsi.


Namun, KPK memiliki kewenangan tambahan yaitu dapat mengambil alih

perkara korupsi walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal 8 ayat

(2) UU KPK). Akan tetapi, pengambil alihan perkara korupsi tersebut harus dengan

alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK.

Pasal 9 :
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,

dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan :

8
1. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
2. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda

tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;


3. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana

korupsi yang sesungguhnya;


4. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
5. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif,

yudikatif, atau legislatif; atau


6. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan

tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Selain kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi, ada hal lain yang

menjadi kewenangan KPK yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU KPK dan Pasal

50 UU KPK:

Pasal 11

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi

Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

tindak pidana korupsi yang :

9
1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada

kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum

atau penyelenggara negara;


2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah).

Pasal 50

(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi

belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan

penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan

kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja

terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi

Pemberantasan Korupsi.

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang

lagi melakukan penyidikan.

(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau

kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh

kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.

Mengutip artikel Polri Nyatakan Siap Dukung KPK , Polri menyatakan sudah

menangkap dan menahan para tersangka kasus korupsi pengadaan driving simulator

tersebut. Akan tetapi, bila melihat kembali Pasal 50 UU KPK, asalkan KPK juga sudah

memulai penyidikan kasus korupsi, maka Kepolisian atau Kejaksaan seharusnya patuh

pada undang-undang.

10
Seperti disebutkan dalam artikel KPK Klaim Lebih Dulu Tangani Kasus

Simulator, Ketua KPK Abraham Samad menyatakan bahwa KPK sudah mengeluarkan

Surat Perintah Penyidikan termasuk menetapkan tersangka pada 27 Juli 2012, sedangkan

Polri baru menetapkan tersangka pada 1 Agustus 2012.

Dalam artikel lain, (Polri Serahkan ke KPK Jika Diperintahkan Pengadilan )

disebutkan bahwa Pihak kepolisian melalui Kabareskrim Komjen Pol. Sutarman

mengatakan polisi baru akan menyerahkan kasus ini ke KPK jika ada perintah

pengadilan.

Pendapat berbeda dilontarkan oleh ahli hukum pidana Universitas Indonesia,

Gandjar Laksmana dalam artikel UU KPK Lebih Kuat Ketimbang UU Polri.

Menurutnya, Pasal 50 ayat (3) dan (4) UU KPK bisa dikatakan sebagai fungsi supervisi

yang melekat di lembaga KPK. Sedangkan di dalam UU Polri, tak ada satu pasal pun

yang menyebutkan mengenai kewenangan supervisi itu. Dengan begitu, ia berharap,

Polri dapat segera memberikan perkara itu kepada KPK.

Sebenarnya ada batasan terhadap kewenangan penyidikan dalam Pasal 14 huruf

m Perkapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik

Indonesia(Perkapolri 14/2011) yang menyatakan Setiap Anggota Polri dalam

melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan

penyidik dilarang menangani perkara yang berpotensi menimbulkan konflik

kepentingan.

Berdasarkan uraian dan analisis di atas, kita tidak bisa menentukan siapa yang

lebih pantas untuk melakukan penyidikan karena keduanya (baik KPK maupun Polri)

11
memang memiliki kewenangan untuk menyidik. Tapi jika melihat dari segi etik, dalam

penanganan perkara memang sebaiknya objektivitas penyidik harus dijaga, yakni dengan

menghindari adanya konflik kepentingan.

BAB III

PENUTUP

12
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas mengenai kewenangan penyidikan kasus simulator SIM antara

KPK dengan Polri, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut :


1. Bahwa sumber dari penyebab utamanya terjadinya perselisihan penyidikan antara

KPK dengan Polri adalah undang-undang itu sendiri. Termasuk UU Nomor 30

Tahun 2002 tentang KPK. Karena undang-undanglah yang masih memberi

kewenangan menyidik kasus korupsi kepada tiga instansi sekaligus, yakni

kepolisian, kejaksaan, dan KPK.


2. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, penulis menyimpulkan KPK

lebih berwenang dan lebih kuat secara yuridis dalam menangani kasus simulator

SIM. Bahkan, untuk menjaga objektifitas dan mencegah konflik kepentingan dalam

penyidikan, KPK jauh lebih baik dan dipercaya publik.

B. Saran
Dari kesimpulan di atas, penulis menyarankan :
1. Sebaiknya undang-undang yang berlaku tidak memberikan kewenangan menyidik

kasus korupsi kepada tiga instansi sekaligus, yakni kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
2. Sebaiknya jika ada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, pengacara) yang

terlibat korupsi, maka KPK yang diprioritaskan untuk menanganinya. Ini

dimaksudkan agar lebih objektif, tidak menimbulkan benturan kepentingan, atau

melindungi pelaku sebenarnya untuk kepentingan korps.

DAFTAR PUSTAKA

Hartanti, Evi, S.H., 2005. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika : Jakarta

Marpaung, Leden, S.H., 1992. Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan Pemecahannya Bagian
kedua. Sinar Grafika : Jakarta

Undang-Undang Nomor8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

13
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan


Tindak Pidana

Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri
No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No.
Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara
Pidana (Mahkejapol)

http://news.detik.com/read/2012/08/03/182437/1982830/10/pshk-wewenang-penyelidikan-
simulator-sim-di-tangan-kpk

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

14
BAB I. : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN
A. Penyebab Utama Terjadinya Saling Rebutan Kewenangan
Menyidik antara KPK dengan Polri .. 3
B. Kewenangan Penyidikan Kasus Simulator SIM antara KPK
dengan Polri ... 6

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan 12
B. Saran .
12

DAFTAR PUSTAKA

15

Anda mungkin juga menyukai