Anda di halaman 1dari 3

ANILISIS PUTUSAN PROGRESIF

“TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PENGGUNAAN GANJA


UNTUK KEPENTINGAN MEDIS”
PUTUSAN HAKIM NOMOE 111/PID.SUS/2017/PN. SAG

diajukan untuk memenuhi tugas Pra Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah : Logika Hukum
Dosen Pengampu : Abdul Wachid Habibullah, S.H,. M.H.

disusun oleh :
MITA DEWI PUSPITA SARI
NIM. 170 1111 00 119
KELAS C

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2019
ANALISIS PUTUSAN HAKIM NOMOR 111/Pis.Sus/2017/PN. Sag
TENTANG TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA,
PENGGUNAAN GANJA UNTUK KEPENTINGAN MEDIS

Mita Dewi Puspita Sari


170 1111 00 119
Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan, Jawa Timur

Abstrak

Putusan No. 111/Pid.Sus/2017/PN Sag berkaitan dengan kasus penggunaan ganja untuk
kepentingan medis yang dilakukan oleh Fidelis Arie Sudewarto Alias Nduk Anak Fx
Surajiyo. Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan dakwaan alternative
yaitu melanggar Pasal 113 ayaat 2, Pasal 111 ayat 2, Pasal 116 ayat 1 UU No. 35 tahun 2009
tentang Narkotika. Dalam kasus ini, putusan yang disampaikan oleh hakim dapat
dikategorikan sebagai putusan yang progresif karena hakim berani menerobos pidana
minimum.

Kasus Posisi
Fidelis Ari Sudarwoto, seorang pegawai negeri sipil di Kabupaten Sanggau, Provinsi
Kalimantan Barat, mendekam di sel tahanan sejak 19 Februari lalu. Dia ditangkap Badan
Narkotika Nasional, BNN, Kabupaten Sanggau lantaran menanam ganja di kebun rumahnya.
Ganja itu diberikan ke istrinya, Yeni, yang didiagnosa mengidap penyakit
syringomyelia/sumsum tulang belakang (BBC Indonesia, 3 April 2017). Meski menggunakan
ganja untuk pengobatan istrinya, Fidelis tidak ikut menggunakan ganja apalagi menjualnya
(Tempo.Co, 12 April 2017).
Sebelum memberikan ekstrak ganja, Fidelis telah melakukan pengobatan medis bagi
sang istri berulang kali, namun kondisi sang istri makin memburuk bahkan hampir lumpuh
total. Ditengah situasi tersebut, Fidelis akhirnya mencari referensi di dunia maya. Beliau
akhirnya menemukan seorang penderita syringomyelia di Kanada yang mampu bertahan
hidup dengan ekstrak ganja sehingga dia akhirnya ingin mencobanya kepada sang istri
(Kompas, 4 April 2017). Saat masih mengonsumsi ganja, kondisi kesehatan Yeni membaik.
Akan tetapi, Yeni meninggal dunia pada 25 Maret lalu, setelah Fidelis ditahan dan tak ada
lagi yang memasok ganja untuknya (BBC Indonesia, 3 April 2017).

Analisis
Polemik yang muncul dalam kasus ini jika dilihat dari 2 sisi yang berbeda
mengandung kepentingan yang saling berseberangan. Pihak penegak hukum
mempertimbangkan bahwa penangkapan Fidelis merupakan suatu formal hukum. Hukum
hanya dilihat sebagai sebuah nilai formal yang mana harus di ikuti dan apabila dilanggar
harus diberi sanksi (Austin). Dan apabila Fidelis tidak ditangkap akan menimbulkan sebuah
ketidakpastian hukum di Indonesia. Itu merupakan pertimbangan daripada penegak hukum di
Indonesia. Sedangkan bagi mereka yang kontra terhadap penangkapan Fidelis menganggap
bahwa apa yang dilakukan oleh Fidelis merupakan tindakan manusiawi dengan kesehatan
istrinya sehingga layak mendapat dasar pemaaf. Dan ada pihak yang mengambil keuntungan
dengan kasus ini agar terjadi pelegalan penggunaan ganja di Indonesia seperti beberapa
negara di Eropa.
Bentham mengemukakan bahwa pembentuk hukum harus membentuk hukum yang
adil bagi segenap masyarakat secara individual. Tapi memang pada dasarnya bahwa tidak
semua manusia mempunyai ukuran yang sama mengenai keadilan, kebahagiaan dan
penderitaan. Dan inilah yang harus dicoba diberikan oleh hukum yaitu keadilan yang
berusaha menyentuh setiap individu tanpa terkecuali. Bentham dalam hal ini sudah
menyadari hal tersebut sehingga Bentham juga telah memberikan peranan yang moderen
terhadap hukum, yakni sebagai penjaga keseimbangan dari berbagai macam kepentingan
(balance of interests).
Keseimbangan kepentingan inilah yang harus diperhatikan oleh para penegak hukum.
Karena tidak selamanya dengan menegakkan hukum secara formal maka menjadi adil bagi
semuanya. Yang mana untuk mencapai keseimbangan tersebut diperlukan pertimbangan
kondisi social ekonomi orang tersebut. dengan pertimbangan social ekonomi itu maka akan
muncul pengecualian-pengecualian dalam penegakan hukum. Oleh dengan pertimbangan
tersebut maka penerapan kepastian hukum menjadi pudar tapi berfokus kepada konsep
keadilan.
Dalam kasus ini, putusan yang telah dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Negeri
Sanggau dengan Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag merupakan putusan yang progresif karena
hakim berani menerobos angka pidana minimum. Majelis Hakim menjatuhkan vonis 8 bulan
penjara kepada Fidelisa Arie Sudewarto dan mengenakan denda sebesar Rp. 1Miliar atau
subsider 1 bulan penjara. Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa. Sebelumnya oleh jaksa,
Fidelis dituntut 5 bulan penjara dan denda Rp. 800 juta subside satu bulan penjara.
Meski dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum memandang bahwa yang terbukti adalah
Pasal 111 ayat 2 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika namun Majelis Hakim
memandang bahwa pasal yang terbukti ialah Pasal 116 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yang memiliki besaran minimum 5 tahun dan maksimum 15 tahun penjara,
ditambah denda Rp. 1 Milyar sampai dengan Rp. 10 Milyar. Hal yang memberatkan menurut
hakim adalah Pasal 116 ayat 1 dan 3, kemudian hal yang meringankan adalah Majelis Hakim
menilai bahwa apa yang dilakukan terdakwa tidak berniat jahat atau menyelakai istrinya.
Putusan ini selaras dengan nilai yang coba dibangun melalui dua syarat edaran
Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015, yang secara literal membuka ruang penerobosan
ketika dihadapan sengan pemakai narkotika yang dikenakan pasal lain yang tidak sesuai. Dan
secara garis besar nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan juga memberikan andil dalam
putusan terhadap kasus ini.

Anda mungkin juga menyukai