Anda di halaman 1dari 48

UNIVERSITAS INDONESIA

PEMBUKAAN RAHASIA KEDOKTERAN DEMI KEPENTINGAN


HUKUM DI PENGADILAN NEGERI BINJAI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

FANDIKA KHAIRUL LUBIS


1306451080

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
BULAN TAHUN

Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pembukaan Rahasia Kedokteran merupakan suatu pengecualian dari Kewajiban
simpan rahasia kedokteran yang merupakan salah satu tanggung jawab dan
kewajiban dari tenaga kesehatan. Pembukaan Rahasia Kedokteran pada dasarnya
tidak diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan, salah satunya ialah
dalam pasal 48 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, yang berbunyi :”Setiap Dokter atau Dokter gigi dalam melaksanakan
praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran”. Akan tetapi terdapat
pengecualian mengenai hal ini yang dijelaskan dalam ayat (2) dari pasal yang
sama yang berbunyi “ Rahasia Kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan.”
Penegak hukum adalah lembaga pelaksana hukum yang bertugas untuk
mewujudkan dan menegakkan hukum ditengah-tengah masyarakat dan
lingkungan. Dilihat dari aspek keorganisasian, lembaga hukum tidak statis tetapi
dinamis. Struktur keorganisasian lembaga hukum ini notabene adalah lembaga
dalam keadaan tidak bergerak. Apabila lembaga penegak hukum mulai bergerak
maka akan terjadi suatu interaksi antara lembaga dengan masyarakat dan
lingkungannya(Satjipto Rahardjo, 2009). Diantaranya ialah: polisi, personil
kepolisian (polisi) adalah penegak hukum didasarkan pada ketentuan UU No 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI khususnya bagian Menimbang huruf a
dan b; Pasal 1 angka 1, angka 5, dan angka 6; Pasal 2; Pasal 3; Pasal 4; dan
Pasal 5. Dari ketentuan pasal-pasal di atas, intinya, personil polisi merupakan
bagian dari kepolisian, yang merupakan satu kesatuan, yang salah satu fungsinya
adalah penegakan hukum, dan keberadaannya bertujuan, salah satunya, untuk
mewujudkan tertib dan tegaknya hukum. Jaksa, personil kejaksaan (jaksa) baik

Universitas Indonesia
sebagai pejabat struktural, fungsional maupun penuntut umum adalah penegak
hukum dibawah komando Jaksa Agung didasarkan pada ketentuan UU No 16
Tahun 2004 khususnya Pasal 1, Pasal 2, Pasal 33, dan Pasal
35. Hakim, kekuasaan kehakiman menjalankan fungsi penegakan hukum yang
diselengarakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, tempat
para hakim menjalankan tugas pokok dan fungsinya. “Kekuasaan kehakiman
dalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum…dst,” bunyi Pasal 1 UU No 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Advokat , “Advokat berstatus sebagai penegak hukum,
bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan,”
tegas Pasal 5 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Sebagaimana diatur oleh pasal 48 ayat (2) Undang-Undang No. 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, salah satu alasan diperbolehkannya membuka
rahasia kedokteran ialah memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum .Hal ini diatur pula oleh Pasal 170 KUHAP ayat (1)
“ Mereka yang pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal dipercayakan kepada mereka”, Ayat
(2) “Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan
tersebut”. Maka dari itu peneliti berinisiatif melakukan penelitian mengenai
pembukaan rahasia kedokteran di Pengadilan Negeri Binjai.
Dalam Penegakan hukum pidana secara garis terbagi atas 3 tahapan , yaitu
penyelidikan, penyidikan, dan persidangan, dan pada tahapan persidangan hasil
dari 2 tahapan sebelumnya dapat dilihat. Selain daripada itu tahap persidangan
dapat dianggap sebagai tahap akhir suatu proses penegakan hukum (baik perdata
maupun pidana) kecuali ada pengajuan banding dari salah satu pihak. Alasan lain
ialah pada tahap persidangan umumnya bersifat terbuka untuk umum, sehingga
informasi mengenai pembukaan rahasia kedokteran dapat diperoleh secara legal.
Di kota Binjai sendiri penelitian mengenai rahasia kedokteran masih sangat
sedikit, padahal di kota Binjai terdapat banyak rumah sakit besar dan praktik
dokter .

Universitas Indonesia
Untuk mempelajari bagaimana pembukaan rahasia kedokteran demi
kepentingan hukum di Pengadilan Negeri Binjai, peneliti menggunakan metode
penelitian yuridis normatif dengan melihat putusan-putusan yang berkaitan
dengan pembukaan rahasia kedokteran demi kepentingan hukum. Setelah
mencari-cari dibagian arsip peneliti menemukan 3 putusan yang mengandung
unsur pembukaan rahasia kedokteran yaitu : Putusan Nomor
373/Pid.Sus/2017/PN Bnj, Putusan Nomor 453/Pid.Sus/2017/PN Bnj, dan
Putusan Nomor 69/Pid.Sus/2017.PN Bnj .

Putusan Nomor 373/Pid.Sus/2017/PN Bnj,putusan ini mengadili perkara


atas nama terdakwa Galang Ricakdo Simatupang als Galang,yang ditahan atas
tuduhan “dengan sengaja dengan tipu muslihat melakukan galang ricakdo
simatupang perbuatan cabul dengan anak” sesuai pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 76E
UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Dalam putusan ini jaksa mengajukan alat bukti berupa Visum
et repertum No. 357-541 tanggal 29 April 2017 dari Rumah sakit Umum Daerah
Dr.RM. Djoelham yang ditandatangani oleh Dr. Herizal b.razali SpOg terhadap
saksi korban junita gracia siahaan, Visum et Repertum psychiatrum nomor :
YM.0106.5.910 dari Rumah Sakit Jiwa Prof.DR. Muhammad ildrem tertanggal 29
Mei 2017 oleh Dr. Ricky W Tarigan,M.ked(KJ),Sp. KJ yang menerangkan
terdakwa menderita gangguan jiwa yang didiagnosa sebagai Retradasi Mental
Sedang. Adapula keterangan ahli dari Dr. Ricky W. Tarigan dibawah sumpah
yang hadir langsung di pengadilan.
Putusan Nomor 453/Pid.Sus/2017/PN Bnj,putusan ini mengadili perkara
atas nama Terdakwa Eben nezer alias Juntak, yang ditahan atas tuduhan
“menyalahgunakan narkotika gologan I bagi diri sendiri”, sesuai pasal 127 ayat (1)
huruf a UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam persidangan jaksa
menghadirkan Dr. Harnex singh sebagai ahli untuk memberikan keterangan.Dr.
Harnex singh sendiri merupakan salah satu Dokter Adiksi di Klinik
Ketergantungan Napza Setia Budi Medan, dan terdakwa merupakan salah satu
pasiennya. Dipersidangan juga dihadirkan alat bukti surat Resume Medical
Record nomor 2586 tertanggal 19 Desember 2017 yang dikeluarkan oleh Klinik

Universitas Indonesia
Ketergantungan Napza Setia Budi yang menerangkan Terdakwa pernah menjadi
pasien di klinik tersebut.
Putusan Nomor 69/Pid.Sus/2017.PN Bnj,Putusan ini mengadili perkara
atas nama Terdakwa Tugino alias Tege, yang ditahan atas tuduhan
“menyalahgunakan narkotika gologan I bagi diri sendiri”, sesuai pasal 127 ayat (1)
huruf a UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam persidangan jaksa
menghadirkan Dr. Harnex singh sebagai ahli untuk memberikan keterangan.Dr.
Harnex singh sendiri merupakan salah satu Dokter Adiksi di Klinik
Ketergantungan Napza Setia Budi Medan, dan terdakwa merupakan salah satu
pasiennya. Sedangkan terdakwa mengajukan barang bukti berupa Surat
keterangan an. Tugiono als Tege dari Klinik ketergantungan Napza Setia Budi
Medan yang dintanda tangani oleh Dr,hanex Singh, Informed consent an. Tugiono
Als Tege, serta Resume Medical Record an. Tugiono als Tege dari Klinik
Ketergantungan Napza Setia Budi Medan yang ditandatangani oleh Dr. Harnex
Singh.
Ketentuan pasal 48 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran ditetapkan bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran,rahasia
kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan
pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Dan pasal 51
huruf c Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 adanya kewajiban merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.
Rahasia Kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui pada saat atau karena
melakukan pekerjaan di bidang kedokteran, sedangkan pada pasal 1 dan 2
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966 disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui oleh tenaga
kesehatan, mahasiswa kedokteran dan siswa yang bertugas di bidang pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan serta orang-orang yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan
kedokteran..

Universitas Indonesia
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 33 Tahun 1963 yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan termasuk
mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaaan,
pengobatan, dan/atau perawatan diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran. Versi
lafal sumpah dokter ini juga diintroduksikan oleh World Medical
Association ,konfederasi internasional yang independen yang terdiri dari asosiasi-
asosiasi profesi medis yang juga independen yang sering dijadikan acuan dalam
standar pelayanan medis secara internasional termasuk di Indonesia(Ikatan Dokter
Indonesia merupakan anggota dari World Medical Association), berbunyi: ”I will
respect the secrets which are confided in me, even after the patient has died” Pada
tahun 1968 di Sydney dirumuskan International Code of Medical Ethics : ” A
doctor shall preserve absolute secrecy on all he knows about his patient because
the confidence entrusted in him”. Sedangkan pada tahun 1981 Declaration of
Lisbon merumuskan : ” The patient has the right to expect that his physician will
respect the confidential nature of all his medical and personal details”.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter
juga disebutkan dalam lafal sumpahnya bahwa “dokter harus merahasiakan segala
sesuatu yang ia ketahui karena pekerjaaan dan karena keilmuannya sebagai
dokter”. Pasal 22 ayat (1) b Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan diatur bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam
melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan identitas
dan data kesehatan pribadi pasien.”.
Sedangkan menurut Pasal 1 Permenkes No. 36 tahun 2012 tentang Rahasia
Kedokteran ,adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang
diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya.
Pengertian Rahasia kedokteran menurut Permenkes No. 36 tahun 2012 adalah
data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan
pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya yang meliputi ; a. Identitas
pasien; b. Anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan
diagnosis, pengobatan dan/ tindakan kedokteran; dan c. Hal lain yang berkenaan
dengan pasien

Universitas Indonesia
Berkaitan dengan pengungkapan rahasia kedokteran tersebut diatur dalam
pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008
Tentang Rekam Medis sebagai berikut: Informasi tentang identitas, diagnosis,
riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka
dalam hal :
a) untuk kepentingan kesehatan pasien;
b) memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum atas perintah pengadilan;
c) permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
d) permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan;
dan
e) untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang
tidak menyebutkan identitas pasien.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2012 mengenai Rahasia Kedokteran, dikenal adanya trilogi rahasia kedokteran
yang meliputi persetujuan tindakan kedokteran, rekam medis, dan rahasia
kedokteran karena keterkaitan satu sama lain. Jika menyangkut pengungkapan
rahasia kedokteran maka harus ada izin pasien (consent) dan bahan rahasia
kedokteran terdapat dalam berkas rekam medis.
Tujuan rekam medis adalah untuk menunjang tercapainya tertib
administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayan kesehatan di Rumah Sakit 1.
Sedangkan kegunaannya, pada lingkup lingkungan pelayanan kesehatan yang
penuh persaingan, informasi medis adalah kunci utama, dimana peran rekam
medis saat ini telah jauh melewati taraf asuhan pasien secara individu
Rekam medis(medical record) adalah keterangan berupa catatan medis
oleh tenaga/pelayan kesehatan baik yang tertulis maupun terekam tentang
identitas, anamnase, penentuan fisik laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan
tindakan medis yang diberikan kepada pasien, dan pengobatan baik yang dirawat
2
inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat .
Sedangkan rekam medis adalah himpunan fakta tentang kehidupan seorang pasien

1
Ery Rustiyanto, Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta,
2009., hlm. 6
2
Ery Rustiyanto, Op.Cit , hlm. 5

Universitas Indonesia
dan riwayat kepenyakitannya, termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan
lampau yang ditulis oleh para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan
pelayanan kesehatan terhadap pasien 3 . Sesuai Pasal 1 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis, yang dimaksud dengan
rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan. Catatan atau rekaman ini menjadi sangat berguna untuk mengingatkan
kembali dokter akan keadaan hasil pemeriksaan dan pengobatan yang telah
diberikan bila pasien datang kembali untuk berobat ulang setelah beberapa hari,
beberapa bulan bahkan beberapa tahun kemudian.
Rekam medis dapat dianggap sebagai alat bukti keterangan ahli sekaligus
sebagai alat bukti surat. Sebagai alat bukti keterangan ahli, rekam medis dapat
diberikan atas permintaan penyidik pada taraf penyidikan.Permintaan penyidik
yang dimaksud tentunya disertai dengan kuasa tertulis dari pasien. Atas
permintaan penyidik ini, tenaga kesehatan yang bertanggung jawab atas rekam
medis seorang pasien tertentu dapat memberikan fotocopy rekam medis pasien
tersebut atau membuat laporan tertulis berupa resume dari apa yang tercantum
dalam rekam medis4. Baik rekam medisnya sendiri maupun resume atas rekam
medis tersebut telah dibuat oleh tenaga kesehatan dengan mengingat sumpah pada
waktu tenaga kesehatan tersebut menerima jabatan.
Dengan tata cara dan bentuk laporan tenaga kesehatan yang demikian
tersebut, yaitu keterangan yang dituangkan dalam rekam medis maupun
resumenya, telah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut
undang-undang. Rekam medis juga dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah
karena rekam medis memenuhi syarat-syarat untuk dapat disebut sebagai surat
menurut Pasal 187 KUHAP, di antaranya dibuat di atas sumpah jabatan5.
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan lima macam alat bukti yang
sah menurut undang-undang yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan keterangan terdakwa.Oleh karena rekam medis berisi catatan-

3
Huffman dalam Enggar Normanto, Karya Tulis Ilmiah: Tinjauan Pelepasan Informasi Rekam
Medis Dalam Menjamin Aspek Hukum Kerahasiaan Rekam Medis Di RSUD dr. H. Moch. Ansari
Saleh Banjarmasin Tahun 2011, STIKES Husada Borneo, Banjarbaru, 2011, hlm.6.
4
J. Guwandi. Hukum Medik. Fukulas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2004. Hlm, 232.
5
Lihat Pasal 187 KUHP

Universitas Indonesia
catatan mengenai penyakit pasien yang dibuat oleh tenaga kesehatan berdasarkan
keahlian yang dimilikinya dan dibuat di atas sumpah pada waktu tenaga kesehatan
tersebut.Maka dapat disimpulkan bahwa rekam medis dapat digolongkan sebagai
alat bukti keterangan ahli sekaligus sebagai alat bukti surat.Dalam kedudukannya
sebagai alat bukti ini, rekam medis tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang
mengikat, melainkan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas.
Kenyataannya hakim masih sangat berperan dalam memutuskan ada atau tidaknya
kesalahan terdakwa berdasarkan rekam medis itu.
Terdapat ancaman pidana atas pembukaan rahasia kedokteran
sebagaiamana tertuang dalam Pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yang antara lain menyatakan: “Barang siapa dengan sengaja membuka suatu
rahasia yang ia wajib menyimpan oleh karena jabatan atau pekerjaannya, baik
sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”, namun
terdapat pengecualian atas pasal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 50
KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang tidak dipidana”, Pasal 51 ayat (1) KUHP yang
berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak dipidana”. Ketentuan
undang-undang yang dimaksud ialah peraturan perundangan yang membolehkan
pembukaan rahasia kedokteran dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana telah
dijelaskan diatas. Sedangkan perintah jabatan ialah seperti sebagaimana dimaksud
oleh pasal 48 ayat (2) Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran yang berbunyi “Rahasia Kedokteran dapat dibuka hanya untuk
kepentingan kesehatan, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan.”.
Tugas dokter untuk menjaga kerahasiaan informasi pasien merupakan dasar
pokok dalam etika kedokteran sejak jaman Hippocrates. Sumpah Hippocrates
menyebutkan: “Apa yang mungkin aku lihat atau dengar dalam perawatan atau
bahkan di luar perawatan yang saya lakukan yang berhubungan dengan kehidupan
manusia, yang tidak boleh disampaikan ke luar, saya akan menyimpannya sebagai

Universitas Indonesia
sesuatu yang memalukan untuk dibicarakan”. Sumpah ini, dan versi yang lebih
baru, tidak menempatkan perkecualian dalam tugas menjaga kerahasiaan. Kode
Etik Kedokteran Internasional dari World Medical Association (WMA)
menyatakan “Seorang dokter harus menjaga kerahasiaan secara absolut mengenai
yang dia ketahui tentang pasien-pasien mereka bahkan setelah pasien tersebut
mati”. Namun kode etik yang lain menolak adanya absolutisme kerahasiaan.
Kemungkinan mengapa rahasia dapat tembus/dibuka, kadang karena panggilan
hukum terhadap klarifikasi kerahasiaan itu sendiri
Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh WMA memuat
hak pasien terhadap kerahasiaan sebagai berikut:
a) Semua informasi yang teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien,
kondisi medis, diagnosis, prognosis, dan tindakan medis serta semua
informasi lain yang sifatnya pribadi, harus dijaga kerahasiaannya, bahkan
setelah kematian. Perkecualian untuk kerabat pasien mungkin mempunyai
hak untuk mendapatkan informasi yang dapat memberitahukan mengenai
resiko kesehatan mereka.
b) Informasi rahasia hanya boleh dibeberkan jika pasien memberikan ijin
secara eksplisit atau memang bisa dapat diberikan secara hukum kepada
penyedia layanan kesehatan lain hanya sebatas “apa yang harus diketahui”
kecuali pasien telah mengijinkan secara eksplisit.
c) Semua data pasien harus dilindungi. Perlindungan terhadap data harus
sesuai selama penyimpanan. Substansi manusia dimana data dapat
diturunkan juga harus dilindungi.
Terhadap kerahasiaan yang diminta oleh hukum, dokter mempunyai tugas
etik untuk membagi informasi dengan orang yang mungkin berada dalam bahaya
karena pasien tersebut. Dua keadaan dimana hal ini dapat terjadi adalah saat
pasien mengatakan kepada psikiater bahwa dia berniat menyakiti orang lain dan
saat dokter yakin bahwa pasien yang dihadapinya HIV Positif namun tetap
meneruskan hubungan seks yang tidak aman dengan pasangannya atau dengan
orang lain. dokter harus melihat secara hati-hati dan kritis terhadap semua
permintaan hukum untuk pembeberan kerahasiaan dan memastikan bahwa hal
tersebut benar sebelum melakukannya.

Universitas Indonesia
Tuntutan terhadap pembeberan kerahasiaan yang tidak diminta oleh
hukum namun harus tetap dilakukan adalah saat dimana akan ada bahaya yang
diyakini mengancam, serius dan tidak terbalikkan, tidak terhindarkan, kecuali
dengan membeberkan informasi yang sebenarnya tidak boleh dibeberkan. Dalam
menentukan proporsionalitas bahaya yang mungkin timbul, dokter harus menilai
dan membandingkan keseriusan bahaya dan kemungkinan terjadinya. Jika masih
diragukan, akan lebih baik bagi dokter untuk mencari masukan dalam hal ini dari
orang yang lebih ahli.
Jika dokter telah memastikan bahwa tugas untuk mengingatkan ahli
hukum akan hal pembukaan yang bertentangan dengan aturan sudah dilakukan,
maka dua keputusan lebih lanjut harus dibuat. Siapa yang diberi tahu?, dan berapa
banyak?, secara umum pembeberan hanya sebatas informasi yang memang
diperlukan untuk mencegah bahaya yang ingin diantisipasi dan hanya diberikan
kepada orang yang memang dapat mencegah bahaya tersebut. Langkah-langkah
yang logis harus diambil untuk meminimalkan bahaya dan serangan atas pasien
yang mungkin terjadi karena pembeberan informasi tersebut. Disarankan untuk
memberitahukan pasien bahwa telah terjadi pembeberan informasi namun hanya
untuk melindungi pasien tersebut dan korban yang mungkin akan timbul.
Kerjasama pasien harus diperoleh jika mungkin.6
Setelah mengetahui akan adanya UU , peraturan perundangan, peraturan
internasional serta kode etik yang mengatur mengenai tata cara, syarat, dan
konsekuensi hukum dari pembukaan rahasia kedokteran. Setelah membaca
pembukaan rahasia kedokteran yang terdapat pada :Putusan Nomor
373/Pid.Sus/2017/PN Bnj, Putusan Nomor 453/Pid.Sus/2017/PN Bnj, dan Putusan
Nomor 69/Pid.Sus/2017.PN Bnj,maka peneliti merasa harus diadakan penelitian
analisis mengenai pembukaan rahasia kedokteran dari kasus-kasus tersebut
dengan mengaitkannya dengan peraturan-peraturan perundangan terkait untuk
mengetahui apakah pembukaan rahasia kedokteran dan pertanggung jawaban
dokter terhadap pembukaan rahasia kedokteran di Indonesia telah berjalan sesuai
mekanisme serta norma hukum yang berlaku atau tidak .

6
Tim penerjemah PSKI FK UMY “Panduan Etika Medis”( Pusat Studi Kedokteran Islam Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2005). Hal. 42-45

Universitas Indonesia
B. POKOK PERMASALAHAN
1. bagaimana pengaturan simpan rahasia kedokteran di Indonesia?
2. bagaimana pengaturan pembukaan rahasia kedokteran oleh dokter atas
perintah hakim dalam persidangan di Indonesia?
3. bagaimana tanggung jawab hukum dokter terhadap pembukaan rahasia
kedokteran di dalam persidangan di Indonesia?

C.TUJUAN PENELITIAN
1. mengetahui pengaturan simpan rahasia kedokteran di Indonesia
2. menganalisis bagaimana pengaturan pembukaan rahasia kedokteran oleh
dokter atas perintah hakim dalam persidangan di Indonesia
3. mengidentifikasi tanggung jawab hukum dokter terhadap pembukaan
rahasia kedokteran di dalam persidangan di Indonesia

D.MANFAAT PENELITIAN
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan antara lain :
1. Kegunaan yang bersifat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan sebagai instrumen pengembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang Hukum Kesehatan .
b. Penelitian ini dapat menjadi acuan ilmiah bagi pengembangan
Hukum Kesehatan di masa mendatang.
c. Penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka terutama
dalam bidang hukum kesehatan, menambah pengetahuan penulis
dan pembaca lainnya tentang Hukum Kesehatan.
2. Kegunaan yang bersifat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan Hukum Kesehatan, khususnya dalam lingkup rahasia
kedokteran. Dan sebagai acuan dalam wajib simpan dan kebolehan
membuka rahasia kedokteran dalam praktik pelayanan kesehatan.

Universitas Indonesia
E. DEFINISI OPERASIONAL
1. Kedudukan Hukum
Kedudukan hukum adalah keberadaan atau posisi Rekam Medis dan
Informed Consent dalam undang-undang sebagai alat bukti dalam
persidangan.
2. Rekam Medis
Rekam Medis adalah kompendium (ikhtisar) yang berisi tentang keadaan
pasien selama dalam perawatan penyakitnya atau selama dalam
pemeliharaan kesehatannya. Ikhtisar tersebut berupa informasi yang
disusun dalam bentuk rangkaian yang runtut serta logis (logical sequence),
meliputi : riwayat penyakit masa sekarang maupun masa lalu, faktor-faktor
sosial yang mempengaruhi timbulnya penyakit, temuan pada pemeriksaan
fisik, hasil temuan laboratorium, temuan/kesimpulan dari dokter konsultan,
diagnosis, terapi dan respon terapi.7
3. Informed Consent
Informed Consent adalah dokumen persetujuan didasarkan informasi yang
merupakan konstruksi dari hak-hak pasien, yaitu hak untuk mendapatkan
informasi dan hak untuk memberikan persetujuan sehubungan dengan
bantuan pelayanan medis yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Informed
Consent dalam tindakan medis adalah sebagai sarana untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan pasien untuk berperan serta dalam
upaya medis yang dilakukan agar dapat meminimalisir resiko.8
4. Alat Bukti
Alat Bukti adalah bahan-bahan yang digunakan hakim untuk membentuk
keyakinan bahwa telah terjadi suatu peristiwa baik dalam tindak pidana
maupun perdata. Alat bukti yang dibahas dalam penelitian ini adalah alat
bukti untuk membuktikan adanya tindak pidana.

7
Water dan Murphy dalam Sofwan Dahlan, 2000, Hukum Kesehatan Rambu-rambu Bagi Profesi
Dokter, BP Universitas Diponegoro, Semarang , hal 73
8
Veronica Komalawati, 2003, Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien Suatu Tinjauan
Yuridis, Citra Aditya Bakti, Bandung

Universitas Indonesia
5. Malpraktek
Malpraktek adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter,
yang di dalamnya termasuk kesalahan karena perbuatan-perbuatan yang
tidak masuk akal serta kesalahan karena ketrampilan atau kesetiaan yang
kurang dalam penyelenggaraan kewajiban dan atau kepercayaan
profesional yang dimilikinya.9 Malpraktek dalam penelitian ini difokuskan
terhadap kelalaian dalam ranah hukum pidana.
6. Visum et Repertum(VeR)
VeR adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah dan
telah memiliki kewenangan tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada
barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari
pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan, yaitu dalam tingkat
penyidikan untuk menetapkan tersangka, tingkat penuntutan sebagai dasar
untuk penuntutan, dan tingkat sidang pengadilan untuk menentukan salah
atau tidaknya terdakwa meski tidak mengikat pada hakim sebagai alat
bukti10

F. METODE PENELITIAN

Penelitian Hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada


metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. Selain itu
juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum, untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan- permasalahan yang
timbul di dalam gejala yang bersangkutan11. Jenis penelitian ini adalah penelitian
Yuridis normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder 12 . Pada

9
Azrul Azwar, 1996, Menjaga Mutu Pelayanan Rawat Jalan, Majalah Kesehatan Masyarakat
Indonesia Th. XX No.4 dalam Hendrojono Soewono, Ibid hal 86
10
Setno Trisnadi “Ruang Lingkup Visum et Repertum sebagai Alat Bukti pada Peristiwa Pidana
yang Mengenai Tubuh Manusia di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang”, Sains Medika, Vol. 5,
No. 2, Juli - Desember 2013 : 121-127
11
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 43.
12
Soerjono soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 13.

Universitas Indonesia
penelitian hukum normatif, seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
manusia yang dianggap pantas13. Dalam hal ini ialah bagaimana kaidah- kaidah
dan peraturan perundang undangan atas simpan rahasia kedokteran, pembukaan
rahasia kedokteran, maupun pertanggungjawabannya.. Dalam penelitian ini adalah
Case Study yang dilakukan terhadap Putusan Nomor 373/Pid.Sus/2017/PN Bnj,
Putusan Nomor 453/Pid.Sus/2017/PN Bnj, dan Putusan Nomor
69/Pid.Sus/2017.PN Bnj dengan peraturan peraturan mengenai wajib simpan
rahasia kedokteran. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif, yaitu
memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang
dianalisis14. penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah penelitian yang tidak
mengadakan perhitungan 15 . Contoh penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif adalah pengamatan dan studi kasus16. Meskipun skripsi ini dilengkapi
dengan data wawancara, tapi fokus utamanya ialah studi kasus terhadap putusan-
putusan yang berkaitan dengan simpan rahasia kedokteran di Pengadilan Negeri
Binjai, yaitu Putusan Nomor 373/Pid.Sus/2017/PN Bnj, Putusan Nomor
453/Pid.Sus/2017/PN Bnj, dan Putusan Nomor 69/Pid.Sus/2017.PN Bnj.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan menggunakan dokumen atau studi
pustaka dari bahan-bahan pustaka. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk
melakukan studi dokumen adalah dengan melakukan analisa isi (content analysis).
Content analysis adalah teknik untuk menganalisa tulisan atau dokumen dengan
cara mengidentifikasi secara sistematik ciri atau karakter dan pesan atau maksud
yang terkandung dalam tulisan atau dokumen suatu dokumen. Ada beberapa
sumber untuk mendapatkan data sekunder yaitu:
1. Bahan pustaka dari bidang non hukum

13
Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2006), Hal. 118.
14
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), hal.20-22
15
Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian : Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta :
Rineka Cipta, 2005) hal 26
16
Burhan Ashshofa, op.cit. hal. 20-22

Universitas Indonesia
Merupakan dokumen yang berisi pengetahuan ilmiah atau fakta
yang diketahui ataupun ide yang bersifat non yuridis. Yang digunakan
dalam penelitian ini seperti buku-buku ,makalah, artikel majalah , seminar,
kongres, dan referensi-referensi mengenai kedokteran yang tidak mengikat
secara hukum.
2. Bahan pustaka dari bidang hukum
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, Peraturan Perundang-
undangan. Dalam penelitian ini Bahan Hukum Primer yang
digunakan ialah : Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966, Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah
Dokter,KUHAP,KUHP, Putusan Nomor 373/Pid.Sus/2017/PN Bnj,
Putusan Nomor 453/Pid.Sus/2017/PN Bnj, dan Putusan Nomor
69/Pid.Sus/2017.PN Bnj P.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan-bahan yang tidak mengikat yang memberikan
penjelasan mengenai Bahan Hukum Primer ,seperti artikel,
skripsi,buku, hasil karya ilmiah mengenai hukum. Dalam
penelitian ini yang digunakanan antara lain ialah : Buku J.
Guwandi,Hukum Medik. Buku Water dan Murphy dalam Sofwan
Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-rambu Bagi Profesi Dokter.
Artikel Setno Trisnadi “Ruang Lingkup Visum et Repertum sebagai
Alat Bukti pada Peristiwa Pidana yang Mengenai Tubuh Manusia
di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang”, Sains Medika.
c. Bahan Hukum tersier
Yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus, ensiklopedia, buku tahunan, indeks . dalam penelitian ini
yang digunakan antara lain : Kamus Besar Bahasa
Indonesia,Kamus Kesehatan, Kamus Hukum.

Universitas Indonesia
Data –Data tersebut kemudian di analisa secara kualitatif sehingga
menghasilkan penelitian berbentuk deskriptif analitif.

G. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam skripsi ini penulisan disusun dalam 5 (lima) bab, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan 6 (enam) sub-bab yaitu mengenai Latar belakang
masalah, Pokok Permasalahan, Tujuan Penelitian, Definisi Operasional, Metode
Penulisan, dan Sistematika Penulisan

BAB II SIMPAN RAHASIA KEDOKTERAN DI DI INDONESIA


Adalah uraian mengenai teori, aturan-aturan,dan doktrin-doktrin mengenai
bagaimana simpan rahasia kedokteran diatur di Indonesia. Mencakup kewajiban
simpan rahasia kedokteran, pembukaan rahasia kedokteran, pembukaan rahasia
kedokteran demi kepentingan hukum, dan tanggung jawab dan konsekuensi dari
pembukaan rahasia kedokteran.

BAB III PEMBUKAAN RAHASIA KEDOKTERAN OLEH DOKTER ATAS


PERINTAH HAKIM DALAM PERSIDANGAN DI INDONESIA
Adalah analisa mengenai pembukaan rahasia kedokteran atas perintah hakim
dalam persidangan diatur di Indonesia menggunakan teori, aturan-aturan, dan
doktrin-doktrin yang berlaku. Disertai Study Case atas Putusan Nomor
373/Pid.Sus/2017/PN Bnj, Putusan Nomor 453/Pid.Sus/2017/PN Bnj, dan Putusan
Nomor 69/Pid.Sus/2017.PN Bnj

BAB IV TANGGUNG JAWAB HUKUM DOKTER TERHADAP


PEMBUKAAN RAHASIA KEDOKTERAN DI DALAM PERSIDANGAN DI
INDONESIA
Adalah upaya identifikasi atas tanggung jawab hukum dokter terhadap
pembukaan rahasia kedokteran mencakup sebelum, saat, dan sesudah persidangan
di Indonesia menggunakan teori, aturan-aturan, dan doktrin-doktrin yang berlaku.

Universitas Indonesia
Disertai Study Case atas Putusan Nomor 373/Pid.Sus/2017/PN Bnj, Putusan
Nomor 453/Pid.Sus/2017/PN Bnj, dan Putusan Nomor 69/Pid.Sus/2017.PN Bnj

BAB V KESIMPULAN
Dalam bab ini penulis memberikan kesimpulan serta berusaha untuk dapat
mendeskripsikan hasil dari analisa, pembahasan, dan judicial case study atas
pembukaan rahasia kedokteran demi kepentingan hukum yang terjadi di
Pengadilan Negeri Binjai.

Universitas Indonesia
BAB II
BAB II SIMPAN RAHASIA KEDOKTERAN DI DI INDONESIA

A. DEFINISI DAN RUANG LINGKUP


Rahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisional dianggap
sebagai norma dasar yang melindungi hubungan dokter dengan pasien. Sumpah
Hipocrates berbunyi :“When i may see or hear in the course of the treatment or
even outside of the treatment in regard to the life of men, which on no account one
must spread abroad, I will keep to myself hording such things shamefull to be
spoken about.”,dalam kesempatan lain “all that may come to my knowledge in the
exercise of my profession or not in connection with it, or in daily commerce with
men, which ought not be spoken abroad, i will not divulge abroad and will never
real.”
Norma-norma kesusilaan yang bersumber pada Sumpah Hippocrates
tersebut dianggap tidak cukup karena banyak yang tergantung pada sifat dan
kelakuan seseorang yang berbeda-beda dan tidak selalu baik. Oleh karena itu, di
berbagai negeri ditegakkan norma-norma hukum. Norma-norma hukum itu pada
umumnya disusun untuk memperkokoh kedudukan rahasia jabatan sehingga dapat
menjamin kepentingan masyarakat.
Selain di dalam Sumpah Hipocrates, kewajiban menyimpan rahasia
kedokteran juga terdapat pada:
1. Declaration of Geneva
Declaration of Geneva ini adalah versi Sumpah Hipocrates yang di
modernisasi yang diintroduksikan oleh World Medical Association.
Khusus yang mengenai rahasia kedokteran berbunyi: “I will respect the
secrets which are confided in me, even after the patient has died”.
2. International Code of Medical Ethics
Pada tahun 1968 di Sydney diadakan perubahan pada declaration of
Geneva yang kemudian menjadi pedoman dasar untuk terbitnya
International Code of Medical Ethics ini. Khusus yang mengenai rahasia

Universitas Indonesia
kedokteran berbunyi:”A doctor shall preserve absolutte secrecy on all he
knows about his patients becouse the confidence entrusted in him”
3. Declaration of Lisbon 1981
Deklarasi ini menetapkan pula bahwa pasien berhak untuk meminta
kepada dokternya agar mengindahkan sifat rahasia dari segala data medik
dan data pribadinya.
4. Peraturan pemerintah Nomor 26 Tahun 1966 yang memuat Lafal Sumpah
Dokteran Indonesia.
Dalam Sumpah ini khusunya di dalam Penjelasan Pasal 1 Kode Etik
Kedokeran berbunyi:”Saya akan merahasiakan segala sesuatau yang saya
ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter”.
5. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 12 tercantum kalimat
sebagai berikut:
“Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal
dunia.”
Sumpah dalam hubungan dengan rahasia kedokteran ini jika ditinjau
secara yuridis tidak mempunyai arti. Sumpah hanyalah merupakan suatu ikrar,
suatu pernyataan kehendak secara sepihak yang pelaksaannya tergantung kepadan
hati nurani si pelaku itu sendiri. Oleh karena itu suatu sumpah tidak dapat
dipergunakan sebagai dasar hukum untuk penuntutan. Demikian pula Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang termasuk bidang etik yang sifatnya self
imposed regulations. Suatu kode etik ini bersifat intern dimana sanksi hanya dapat
dijatuhkan dalam kaitan organisasi dan oleh organisasi itu sendiri. Suatu KODEKI
juga tidak mempunyai nilai yuridis, sehingga tidak mempunyai akibat hukum dan
adapun dasar yuridis untuk menuntut yang menyangkut rahasia kedokteran.
Saat seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran telah selesai atau
menyelesaikan studinya, maka akan dilaksanakan upacara pelantikan dan
pengambilan sumpah dokter. Pada upacara ini dokter baru akan mengucapkan
lafal sumpah dokter yang berdasarkan atas Rapat Kerja Nasional Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (yang selanjutnya disebut MKEK) dan Majelis
Pertimbangan dan Pembelaan Anggota (yang selanjutnya disebut MP2A).

Universitas Indonesia
Sumpah Dokter berpegang pada sumpah yang diciptakan Hippocrates, Bapak
Ilmu Kedokteran. Dalam sumpah dokter yang berpegang pada sumpah
Hippocrates tersebut terdapat lafal yang terkait dengan wajib simpan rahasia
kedokteran. Selain terdapat dalam lafal sumpah dokter, masalah wajib simpan
rahasia kedokteran juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 434/ Men.Kes/SK/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik
Kedokteran Indonesia (selanjutnya disebut KODEKI) bagi para dokter Indonesia.
Sementara itu perundang-undangan kita yang mengatur tentang wajib
simpan rahasia kedokteran di dalam Pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP). Dari bunyi Pasal 322 KUHP di atas
maka terdapat perbedaan antara rahasia jabatan dengan rahasia pekerjaan. Rahasia
jabatan merupakan sesuatu rahasia yang diketahui karena jabatan atau kedudukan
seseorang,seperti pegawai negeri. Adapun rahasia pekerjaan merupakan rahasia
yang diketahui karena pekerjaan. Ko Tjai Sing membedakan jabatan sebagai
pekerjaan pegawai negeri, dan pekerjaan untuk pekerjaan non pegawai negeri,
seperti advokat, dan dokter. Apabila rahasia pekerjaan tersebut di bidang
kedokteran maka disebut rahasia kedokteran (rahasia medis). Rahasia kedokteran
merupakan salah satu hal yang diketahui berdasarkan informasi yang telah
disampaikan pasien (termasuk juga oleh orang yang mendampingi pasien ketika
berobat), termasuk juga segala sesuatu yang dilihat (diketahui) ketika memeriksa
pasien1.
Dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran menegaskan bahwa, Setiap dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran;
Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Sedangkan Pasal 51c UU Praktik kedokteran menyatakan bahwa dokter
dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban-
kewajiban: merahasiakan segala sesuatu yang telah diketahuinya tentang si pasien,

1
Ratna Dewai, “Wajib Simpan Rahasia Kedokteran Versus Kewajiban Hukum Sebagai Saksi Ahli”,
PERSPEKTIF,Volume XVIII No. 3 Tahun 2013 Edisi September hlm 141

Universitas Indonesia
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Pada Pasal 57 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa, setiap orang berhak
merahasiakan kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada
penyelenggara pelayanan; dan segala hal mengenai hak-hak atas rahasia kondisi
kesehatan pribadi tidak berlaku apabila: Perintah undang-undang, Perintah
pengadilan, Izin yang bersangkutan, Kepentingan masyarakat, atau Kepentingan
orang tersebut.
Di dalam sistematik Hukum Medis terdapat suatu bidang yang terdiri dari
beberapa pokok yang dinamakan sebagai “Trilogi Rahasia Medis”. 2 Dinamakan
demikian karena hubungan satu sama lain antara ketiga bidang itu sedemikian
eratnya, sehingga jika membahas salah satu bidang, bidang yang lain pun akan
terkait pula. Yang dimaksudkan disini adalah:
1. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent),
2. Rekam Medis (Medical Records),
3. Rahasia Medis (Medical Secrecy)
Istilah Informed consent dalam Undang -Undang Kesehatan kita tidak ada,
yang tercantum adalah istilah persetujuan , menerima atau menolak … tindakan
pertolongan setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut .
Informed consent atau persetujuan Medik adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien sesuai dengan pasal 1 Permenkes RI Nomor 585/
MEN.KES/ PER/ X/ 19893. Di mana pasal 1 (a) menyatakan bahwa persetujuan
tindakan medik ( informed consent) adalah persetuj uan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tind akan medik yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Informed consent mencakup peraturan
yang mengatur perilaku dokter dalam berinteraksi dengan pasien. Interaksi terseb
ut melahirkan suatu hubungan yang disebut hubungan dokter -pasien.
Informed consent secara harfiah terdiri dari dua kata yaitu informed dan
consent. Informed berarti telah mendapat penjelasan atau informasi; sedangkan
consent berarti memberi persetujuan atau mengizinkan. Dengan demikian

2
Ba J. Guwandi, Rahasia Medis, Jakarta: FKUI, 2005, hlm. 22.
3
Siswanto Pabidang , “ Pentingnya Informed Consent ” , Tabloid BIDI , 10 September 2004, hlm.3

Universitas Indonesia
informed consent berarti suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat
informasi4. Atau dapat juga dikatakan informed consent adalah pernyataan setuju
dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapa tkan
informasi dari dokter dan sudah dimengerti olehnya 5 .Istilah informed consent
menurut KKI 6 adalah Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi
yang mempunyai arti persetujuan pasien atau yang sah mewakilinya atas rencana
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter
gigi, setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan.
Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi adalah
pernyataan sepihak dari pasien dan bukan perjanjian antara pasien dengan dokter
atau dokter gigi, sehingga dapat ditarik kembali setiap saat. Persetujuan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi merupakan proses sekaligus hasil dari suatu
komunikasi yang efektif antara pasien dengan dokter atau dokter gigi, dan bu
kan sekedar penandatanganan formulir persetujuan.Persetujuan tindakan
kedokteran adalah pernyataan sepihak pasien atau yang sah mewakilinya yang
isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi, setelah menerima informasi yang
cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan. Suatu persetujuan
dianggap sah apabila: (1)Pasien telah diberi penjelasan/ informasi ; (2) Pasien atau
yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap (kompeten) untuk m emberikan
keputusan/ persetujuan ; (3) Persetujuan harus diberikan secara sukarela.

Ada dua bentuk Informed consent yaitu: (1) dengan pernyataan


(expression), dapat secara lisan ( oral) dan secara tertulis ( written ); (2) dianggap
diberikan, tersirat ( implied ) yaitu dalam keadaan biasa atau normal dan dalam
keadaan gawat darurat.

Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau


tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tinda kan

4
Husein Kerbala, “Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent” , (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2000 ), hlm. 57
5
J. Guwandi, “Informed Consent & Informed Refusal” , (Jakarta : Fak. Kedokteran UI, 2006 ),
hlm. 1
6
J. Guwandi, Informed Consent & Informed Refusal hlm. 1

Universitas Indonesia
yang biasa. Sebaiknya pasien diberikan pengertian terlebih dahulu tindakan apa
yang akan dilakukan. Misalnya,pemeriksaan dalam lewat anus atau
dubur atau pemeriksaan dalam vagina, dan lain -lain yang melebihi
prosedur pemeriksaan dan tindakan umum. Di sini belum diperlukan
pernyataan tertulis, cukup dengan persetujuan secara lisan saja. Namun bila
tindakan yang akan dilakukan mengandung resiko tinggi seperti tindakan
pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan invasif, harus dilakukan
secara ter tulis.

Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat,


tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap pasien
pada waktu dokter melakukan tindakan, misalnya pengambilan darah untuk
pemeriksaan laborator ium, pemberian suntikan pada pasien, penjahitan luka dan
sebagainya. Implied consent berlaku pada tindakan yang biasa dilakukan atau
sudah diketahui umum.

Pendapat Mertokusumo, menyebutkan bahwa informed consent dari pasien


dapat dilakukan dengan cara a ntara lain7: (1) dengan bahasa yang sempurna dan
tertulis; (2) dengan bahasa sempurna secara lisan; (3) dengan bahasa yang tidak
sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan; (4) dengan bahasa isyarat asal
dapat diterima oleh pihak lawan; (5) dengan diam atau membisu tetapi asal
dipahami atau diterima oleh pihak lawan.

Pernyataan IDI tentang informed consent yang tertuang dalam Surat


Keputusan PB IDI No 319/ PB/ A4/ 88 adalah:

1) Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan


apa yang hen dak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak
melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien,
walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.

2) Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif)


memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis

7
Anny Isfandyarie, Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana , (Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2005 ), hlm. 58

Universitas Indonesia
3) Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien,
setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang
perlunya tindakan medis yang bersangk utan serta risikonya.

4) Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan


persetujuan lisan atau sikap diam.

5) Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik


diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tid ak
boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat
merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ni dokter dapat
memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberi
informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien,kehadiran seorang
perawat/ paramedik lain sebagai saksi adalah penting.

6) Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang


direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi
biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan
dengan informed consent ).
Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang
berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan,
tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749/Menkes/Per/XII/1989
tentang Rekam Medis, dijelaskan bahwa rekam medis merupakan berkas yang
berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan,
tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Kemudian diperbaharui dengan PERMENKES No :
269/MENKES/PER/ III/2008 yang dimaksud rekam medis adalah berkas yang
berisi catatan dan dokumen antara lain identitas pasien, hasil pemeriksaan,
pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien. Kedua pengertian rekam medis diatas menunjukkan
perbedaan yaitu Permenkes Nomor 749/Menkes/Per/XII/1989 hanya menekankan

Universitas Indonesia
pada sarana pelayanan kesehatan, sedangkan dalam UU Praktik Kedokteran tidak.
Ini menunjukan pengaturan rekam medis pada UU Praktik Kedokteran lebih luas,
berlaku baik untuk sarana kesehatan maupun di luar sarana kesehatan. Namun
dengan terbitnya PERMENKES No: 269 / MENKES / PER/ III / 2008 sudah
tidak ada perbedaan lagi.
Rekam medis merupakan uraian tentang identitas pasien, pemeriksaan
pasien, diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain baik dilakukan oleh
dokter dan dokter gigi maupun tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan
kompetensinya. Dokumen merupakan kelengkapan dari catatan tersebut, antara
lain foto rontgen, hasil laboratorium dan keterangan lain sesuai dengan
kompetensi keilmuannya.8
Terdapat 2(dua) jenis rekam medis yaitu :
1) Berkas Rekam Medis Aktif, yaitu berkas rekam medis yang masih aktif
digunakan di sarana pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan masih
tersimpan di tempat penyimpanan berkas rekam medis
2) Berkas Rekam Medis In-aktif, yaitu berkas rekam medis yang jika telah
disimpan minimal selama lima tahun di unit kerja rekam medis dihitung
sejak tanggal terakhir pasien tersebut dilayani pada sarana pelayanan
kesehatan atau lima tahun setelah meninggal dunia9
Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran menegaskan bahwa dokter dan
dokter gigi wajib membuat rekam medis dalam menjalankan praktik kedokteran.
Setelah memberikan pelayanan praktik kedokteran kepada pasien, dokter dan
dokter gigi segera melengkapi rekam medis dengan mengisi atau menulis semua
pelayanan praktik kedokteran yang telah dilakukannya. Setiap catatan dalam
rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan. Apabila dalam pencatatan rekam medis
menggunakan teknlogi informasi elektronik, kewajiban membubuhi tanda tangan
dapat diganti dengan menggunakan nomor identitas pribadi/personal identification

8
Ulil Kholili, “Pengenalan Ilmu Rekam Medis Pada Masyarakat Serta Kewajiban Tenaga
Kesehatan di Rumah Sakit”, Jurnal Kesehatan Komunitas, Vol.1, No.2, Mei 2011,hlm 62-63
9
Si Manis, “Pengertian Rekam Medis, Tujuan, Manfaat, Kegunaan, Jenis dan Isi Rekam Medis
Menurut Para Ahli Lengkap” https://www.pelajaran.co.id/2018/24/pengertian-rekam-medis-
tujuan-manfaat-kegunaan-jenis-dan-isi-rekam-medis-menurut-para-ahli.html diakses 30
september 2019

Universitas Indonesia
number (PIN). Dalam hal terjadi kesalahan saat melakukan pencatatan pada rekam
medis, catatan dan berkas tidak boleh dihilangkan atau dihapus dengan cara
apapun. Perubahan catatan atas kesalahan dalam rekam medis hanya dapat
dilakukan dengan pencoretan dan kemudian dibubuhi paraf petugas yang
bersangkutan. Lebih lanjut penjelasan tentang tata cara ini dapat dibaca pada
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rekam Medis dan pedoman pelaksanaannya.
Sesuai UU Praktek Kedokteran, berkas rekam medis menjadi milik
dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis
dan lampiran dokumen menjadi milik pasien. Rekam medis harus disimpan dan
dijaga kerahasiaan oleh dokter, dokter gigi dan pimpinan sarana kesehatan. Batas
waktu lama penyimpanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan paling lama 5
tahun dan resume rekam medis paling sedikit 25 tahun10.

Bentuk Rekam Medis dalam berupa manual yaitu tertulis lengkap dan
jelas dan dalam bentuk elektronik sesuai ketentuan. Rekam medis terdiri dari
catatan-catatan data pasien yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan. Catatan-
catatan tersebut sangat penting untuk pelayanan bagi pasien karena dengan data
yang lengkap dapat memberikan informasi dalam menentukan keputusan baik
pengobatan, penanganan, tindakan medis dan lainnya. Tenaga kesehatan
diwajibkan membuat rekam medis sesuai aturan yang berlaku.
Menurut PERMENKES No: 269/MENKES/PER/III/2008 data-data yang
harus dimasukkan dalam Rekam medis dibedakan untuk pasien yang diperiksa di
unit rawat jalan dan rawat inap dan gawat darurat. Setiap pelayanan baik rawat
jalan, rawat inap dan gawat darurat dapat membuat rekam medis dengan data-
data sebagai berikut:
Pasien Rawat Jalan Data pasien rawat jalan yang dimasukkan dalam medical
record sekurang-kurangnya antara lain:
1) Identitas Pasien
2) Tanggal dan waktu.
3) Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit).
4) Hasil Pemeriksaan fisik dan penunjang medis.
5) Diagnosis

10
Kholili, Pengenalan Ilmu Rekam Medis Pada Masyarakat,hlm 64

Universitas Indonesia
6) Rencana penatalaksanaan
7) Pengobatan dan atau tindakan
8) Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
9) Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik dan
10) Persetujuan tindakan bila perlu.
Data pasien rawat inap yang dimasukkan dalam rekam medis, sekurang-
kurangnya antara lain:
1) Identitas Pasien
2) Tanggal dan waktu.
3) Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit)
4) Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang medis.
5) Diagnosis
6) Rencana penatalaksanaan
7) Pengobatan dan atau tindakan
8) Persetujuan tindakan bila perlu
9) Catatan obsservasi klinis dan hasil pengobatan
10) Ringkasan pulang (discharge summary)
11) Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan
tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan.
12) Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.
13) Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik.
Ruang Gawat Darurat Data pasien rawat inap yang harus dimasukkan
dalam rekam medis sekurang-kurangnya antara lain:
1) Identitas Pasien
2) Kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan
3) Identitas pengantar pasien
4) Tanggal dan waktu.
5) Hasil Anamnesis (sekurang- kurangnya keluhan, riwayat penyakit.
6) Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang medis.
7) Diagnosis
8) Pengobatan dan/atau tindakan
9) Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat

Universitas Indonesia
darurat dan rencana tindak lanjut.
10) Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan
tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan.
11) Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan
ke sarana pelayanan kesehatan lain dan
12) Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.
Contoh data identitas pasien antara lain:
1) Nama
2) Jenis Kelamin
3) Tempat Tanggal lahir
4) Umur
5) Alamat :
6) Pekerjaan :
7) Pendidikan :
8) Golongan Darah :
9) Status pernikahan :
10) Nama orang tua :
11) Pekerjaan Orang tua :
12) Nama suami/istri :
Data rekam medis diatas dapat ditambahkan dan dilengkapi sesuai
kebutuhan yang ada dalam pelayanan kesehatan.11
Sebenarnya informasi yang terkandung pada Rahasia medis dan Rekam
medis hampir sama, namun perbedaannya adalah rekam medis berbentuk
dokumen baik elektronik maupun tertulis , sedangkan rahasia medis adalah
informasi yang diketahui oleh pihak-pihak tertentu( tenaga kesehatan maupun
dokter) mengenai pasien yang wajib dirahasiakan. Jadi pada rahasia medis
person(manusia) lah yang menjadi fokus utama. Keterangan yang didapat oleh
para profesional dalam melakukan profesi, dikenal dengan nama rahasia jabatan,
sedangkan keterangan yang diperoleh dokter dan tenaga kesehatan dalam

11
Kholili, Pengenalan Ilmu Rekam Medis Pada Masyarakat,hlm65-66

Universitas Indonesia
melaksanakan profesinya, dikenal dengan nama rahasia medis.12
Dasar hukum pengaturan tentang rahasia medis di antaranya diatur dalam
UU Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan(UU Kesehatan). Pada ketentuan Pasal 48 UU Praktik Kedokteran
disebutkan bahwa:
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
pasien,memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-
undangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Sesuai dengan perintah undang-undang, rahasia medis ini diatur secara
khusus dalam Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran.
Bagian menimbang Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 dinyatakan bahwa tujuan
pembentukan Permenkes adalah untuk memenuhi ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU
Praktik Kedokteran dan Pasal 38 ayat (3) UU Rumah Sakit. Dalam ketentuan
Pasal 1 butir 1 Permenkes disebut dengan jelas bahwa yang dimaksud rahasia
kedokteran adalah “data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang
diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya”.
Dalam Permenkes ini diatur tentang kewajiban berbagai pihak untuk menjaga
kerahasiaan medis,seperti dirumuskan pada Pasal 4 bahwa:
1) Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran dan/atau
menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan rahasia
kedokteran.
2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki
akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien;
b. pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan;

12
Endang Wahyati Yustina”Hak atas Informasi Publik dan Hak atas Rahasia Medis: Problem Hak
Asasi Manusia dalam Pelayanan Kesehatan”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 2 -
Tahun 2014 hlm 259

Universitas Indonesia
c. tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan;
d. tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap data dan informasi
kesehatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan;
e. badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan; dan
f. mahasiswa/siswa yang bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan.
3) Perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasilitas pelayanan
kesehatan.
4) Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku selamanya,
walaupun pasien telah meninggal dunia.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa rahasia medis
merupakan hak pasien yang dijamin dalam perundang-undangan dan wajib ditaati
oleh semua pihak yang diwajibkan oleh undang-undang, seperti dokter, dokter
gigi, dan tenaga kesehatan, termasuk mahasiswa atau siswa, pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.
Informed consent, rekam medis, dan rahasia medis adalah 3 hal yang
saling berkaitan dan tidak bisa luput untuk dibahas saat membicarakan rahasia
kedokteran. Kesemuanya merupakan bagian dan cakupan dari rahasia kedokteran.

B. PEMBUKAAN RAHASIA KEDOKTERAN

Apakah rahasia kedokteran itu boleh dibuka?,terkait dengan hal ini ada
beberapa pendapat yang dapat ditemui dikalangan kedokteran yakni13:
1) Pendirian yang Mutlak
Golongan yang menganut pendirian mutlak (absolut) berpegang
bahwa rahasia jabatan atau pekerjaan harus dipegang teguh tanpa ada
alternatif lain apapun konsekuensinya. Aliran ini tidak akan
mempertimbangkan apa ada kepentingan lain yang lebih utama.
Dalam segala hal sikapnya mudah dan konsekuen yakni tutup mulut.
2) Pendirian yang Hendak Menghapus Rahasia Pekerjaan
Golongan yang menganut pendirian ini secara prinsipil menolak tiap-

13
I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka,
Jakarta, 1992, hlm. 97

Universitas Indonesia
tiap pengakuan rahasia jabatan atau pekerjaan. Aliran ini hampir tidak
dikenal.
3) Pendirian yang Nisbi atau Relatif
Golongan nisbi atau relatif pada dewasa ini merupakan teori yang
terbanyak diikuti dan dapat dikatakan diikuti umum. Tetapi hal ini
tidak berarti penerapannya dalam praktek ada penyesuaian pendapat,
karena teori ini dalam praktek sering sekali mendatangkan konflik
moril dan kesulitan-kesulitan lain dalam masalah yang kompleks.
Rahasia kedokteran dapat dibuka untuk suatu keadaan tertentu, hal ini
dimaksudkan memberikan manfaat bagi pasien itu sendiri dan kepentingan
masyarakat lain. Kewajiban untuk menjaga rahasia pasien dan melindungi
privacy pasien merupakan kewajiban profesi medis yang penting, tapi tidak
bersifat absolut. Dengan kata lain, kadang-kadang ada alasan untuk membuka
informasi rahasia yang dipercayakan kepada dokter. Dengan peristilahan yang
sudah diterima umum dalam etika, dapat dikatakan juga konfidensialitas bagi
dokter merupakan suatu kewajiban prima facie, artinya kewajiban ini berlaku
sampai ada kewajiban yang lebih kuat lagi yang mengalahkan kewajiban yang
pertama.14
Nyatanya di Indonesia sendiri pendirian nisbi atau relatiflah yang belaku.
Ada beberapa keadaan yang dapat dijadikan alasan rahasia kedokteran tersebut
dibuka. Beberapa ahli telah mencoba menggolongkan beberapa keadaan dimana
dokter dapat membuka rahasia kedokteran menjadi dua golongan: Dengan
kerelaan atau pun izin pasien. Pasien dianggap telah menyatakan secara tidak
langsung bahwa rahasia kedokteran itupun bukan lagi merupakan rahasia,
sehingga tidak wajib dirahasiakan lagi; Pembukaan rahasia tanpa izin si pasien.
Dalam hal ini dokter terpaksa membuka rahasia kedokteran karena adanya dasar
penghapusan pidana (strafuitsluitingsgroden) yang diatur dalam Pasal 48 KUHP,
Pasal 50 KUHP dan Pasal 51 KUHP (Abdul Mun’im Idries dan Agung Legowo
Tjiptomartono, 2008:253).
Dalam ketentuan hukum tertulis hukum positif di Indonesia yang berkaitan
dengan ketentuan pidana (KUHP) yang melindugi dokter yang terpaksa melakukan

14
K. Bertens, 2015, Etika Boimedis, (Yogyakarta:Kanisius, 2015), hal. 164-165.

Universitas Indonesia
pelanggaran rahasia jabatan antara lain Pasal 48 KUHP (overmacht), yang berbunyi
barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana;
Pasal 50 KUHP; Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undangundang tidak dipidana; Pasal 51 ayat (1) KUHP, Barang siapa melakukan
perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang
berwenang tidak dipidana15
Pihak yang memiliki kewajiban untuk menyimpan rahasia kedokteran
padanya terdapat hak tolak ungkap (Verschoningsrecht), namun terdapat
pengecualian pengungkapan salah satunya apabila hal tersebut diatur di dalam
peraturan perundangundangan. Dalam permenkes Nomor 36 tahun 2012
peraturan pelaksana dari Pasal 48 ayat 1 Undang – Undang Nomor 29 tahun
2004,diatur mengenai pengecualian tersebut dan kondisi – kondisi bagaimana
yang menmungkinkan untuk pembukaan rahasia kedokteran. Hal ini diatur dalam
Pasal 5 yang menyatakan bahwa: “Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum
dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri atau berdasarkan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan kesehatan pasien
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi kepentingan pemeliharaan
kesehatan, pengobatan, penyembuhan, dan perawatan pasien untuk pembukaan
rahasia mengenai hal ini maka diperlukan persetujuan dari pasien dan keperluan
administrasi, pembayaran asuransi atau jaminan pembiayaan kesehatan, mengenai
hal ini diperlukan persetujuan tertulis maupun sistem informasi elektronik yang
diyatakan telah diberikan pada saat pendaftaran pasien di fasilitas pelayanan
kesehatan, bila pasien tidak cakap untuk memberikan persetujuan maka
persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat atau pengampunya. Hal ini
diatur dalam Pasal 6.
Pembukaan rahasia kedokteran untuk memenuhi permintaan aparatur
penegak hukum dapat dilakukan pada proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan sidang pengadilan. Pembukaan dapat melalui pemberian data dan
informasi berupa visum et repertum, keterangan saksi, dan/ atau ringkasan medis.
Untuk permohonan pembukaan rahasia kedokteran ini harus dilakukan secara

15
Widodo Tresno Novianto, Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan,hlm 120

Universitas Indonesia
tertulis dari pihak berwenang, bila pembukaan rahasia kedokteran atas dasar
perintah pegadilan atau dalam sidang pengadilan, maka rekam medis seluruhnya
dapat diberikan, hal ini diatur dalam Pasal 7.
Pembukaan rahasia kedokteran atas dasar permintaan pasien sendiri
sendiri dapat dilakukan dengan pemberian data dan informasi kepada pasien baik
secara lisan maupun tertulis, hal ini diatur dalam Pasal 8.
Pembukaan rahasia kedokteran berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dilakukan tanpa persetujuan pasien dalam rangka
kepentingan penegakan etik atau disiplin serta kepentingan umum. Untuk
kepentingan etik atau disiplin diberikan atas permintaan tertulis dari Majelis
Kehormatan Etik Profesi atau Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia. Untuk Kepentingan Umum maka identitas pasien tidaklah diberikan,
kepentingan umum ini meliputi audit medis, ancaman kejadian luar biasa/ wabah
penyakit menular, penelitian kesehatan atau kepentingan negara, pendidikan atau
pengunaan informasi yang akan berguna di masa yang akan datang dan ancaman
keselamatan orang lain secara individual atau masyarakat, hal ini diatur dalam
Pasal 9.

Dari bunyi tiga pasal dalam KUHP dan sebagaimana di atas itu dapat kita
ketahui bahwa wajib simpan rahasia kedokteran dikecualikan dalam keadaan
daya paksa, melaksanakan ketentuan undang-undang dan melaksanakan perintah
jabatan. Pengecualian terhadap wajib simpan rahasia kedokteran juga diatur
dalam Pasal 48 ayat (2) UU Praktik kedokteran dan Pasal 57 ayat (2) UU
Kedokteran.
Dari pembahasan di atas maka diketahui bahwa alasan yang dapat
dipergunakan oleh dokter untuk dapat membuka rahasia kedokteran adalah
sebagai berikut:
1) Adanya izin dari pasiennya
Rahasia kedokteran ini merupakan hak dan milik pasien, jadi hanya
pasien tersebut yang berhak memutuskan apakah orang lain boleh
mengetahui kondisinya atau tidak. Contoh kasus: Seorang pasien yang
tidak masuk kerja karena sakit lalu minta surat keterangan sakit untuk

Universitas Indonesia
dilaporkan pada tempatnya bekerja.
2) Adanya pengaruh daya paksa
Daya paksa disini bersifat relatif, yang terjadinya karena kondisi
darurat. Jika kondisi ini tidak ada maka keadaan daya paksa tersebut
juga tidak ada.
3) Adanya peraturan perundang-undangan
Secara formil justifikasinya karena terdapat pada perundang-undangan
dan secara materiil juga sudah dipertimbangkan oleh undang-undang
bahwa ada kepentingan yang lebih besar. Contoh kasus: Seorang
dokter yang diminta membuat Visum et Repertum.
4) Adanya perintah jabatan
Adanya perintah yang mengharuskan seseorang membuka rahasia
kedokteran dikarenakan jabatan yang dimilikinya. Contoh kasus
untuk menjelaskan kondisi ini adalah seorang dokter penguji
kesehatan yang diharuskan melaporkan hasil kesehatan pasien yang
diperiksanya kepada institusi yang meminta dan hal ini tanpa
memberitahukan terlebih dahulu kepada pasien tersebut.
5) Demi kepentingan umum
Disini rahasia kedokteran terpaksa dibuka karena ada kepentingan
yang lebih diutamakan, yaitu masyarakat umum. Contoh kasus:
Dokter melaporkan pasiennya seorang penjahat yang mendapat luka-
luka.
Sesuai dengan ketentuan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
kewajiban menyimpan rahasia kedokteran tidak bersifat absolut dapat dibuka
untuk kepentingan pasien sendiri dan kepentingan masyarakat. Walaupun rahasia
kedokteran tidak bersifat absolut, untuk membuka rahasia ini harus melalui
mekanisme-mekanisme yang ada. Ada beberapa alasan pengecualian yang
membolehkan dibukanya rahasia atas rekam medis pasien, yaitu: Izin pasien,
pembukaan rahasia medis dari sumber rekam medik harus mendapat izin dari
pasien terlebih dahulu sebagai pemilik rekam medik, karena sipemilik rekam

Universitas Indonesia
medik lah yang berhak kepada siapa ia mengungkapkannya. 16 Apabila pasien
telah memberi izin dokter dibebaskan untuk berdiam, izin ini dapat dinyatakan
secara jelas, baik lisan, tertulis maupun tersirat. Adapun kepentingan umum yang
lebih tinggi adakalanya seorang dokter (tenaga kesehatan) terbentur kepentingan-
kepentingan yang berlawanan, dalam hal ini dokter diperbolehkan untuk
mengungkapkan rahasia penyakit pasien selama alasan pengungkapannya diatur
dalam undang-undang. Demi kepentingan-kepentingan pihak lain yang
membutuhkan akses atas rahasia kedokteran harus mendapatkan izin pasien yang
bersangkutan untuk pembukaan untuk kepentingan pasien sendiri dilakukan
dengan persetujuan pasien meliputi kepentingan pemeriksaan kesehatan,
pengobatan, penyembuhan dan perawatan pasien dan keperluan administrasi,
pembayaran asuransi dan jaminan pembiayaan kesehatan, pembukaan rahasia
kedokteran untuk memenuhi permintaan aparatur pengadilan Ini dapat dilakukan
melalui visum et repertum, keterangan ahli, keterangan saksi dan/atau ringkasan
medis. Dalam sidang pengadilan seluruh rekam medis dapat diberikan17. adapun
pembukaan rahasia kedokteran dapat juga dilakukan tanpa mendapatkan
persetujuan tertulis maupun tidak tertulis yaitu dalam rangka kepentingan
penegakan etik atau disiplin serta kepentingan umum (audit medis, ancaman
Kejadian Luar biasa (KLB), penelitian kesehatan, pendidikan dan ancaman
kesehatan orang lain). Ini diberikan atas permintaan tertulis Majelis Kehormatan
Etik Profesi (MKEK) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI). Pembukaan atau pengungkapan rahasia kedokteran dilakukan oleh
penanggung jawab pelayanan pasien, yang dapat menolak membuka rahasia
kedokteran apabila permintaan tersebut bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan

C. TANGGUNG JAWAB DAN SANKSI RAHASIA KEDOKTERAN

Seorang dokter sama halnya seperti manusia pada umumnya, mempunyai

16
Eko Yudhi Haryanto, Kedudukan Rekam Medis Dalam Pembuktian Perkara Malpraktik di Bagian
Kedokteran, Vol IV No 2, 2015, hal.155
17
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, “Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan”, (Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran, 2017), hal. 105-106

Universitas Indonesia
tanggung jawab terhadap setiap perbuatan dan tindakannya, dimana seorang
dokter erat kaitannya dengan tanggung jawab dalam upaya pelayanan kesehatan
(YANKES).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah
kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, dan diperkarakan. Di dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah
suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan
kepadanya18.
Tanggung jawab menurut hukum adalah suatu akibat atas konsekuensi
kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral
dalam melakukan suatu perbuatan 19 . Pertanggungjawaban harus mempunyai
dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk
menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum
orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya20.
Tanggung jawab hukum adalah kewajiban menanggung suatu akibat
menurut ketentuan hukum yang berlaku atas kesadaran manusia akan tingkah
laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung
jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Secara umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk
melakukan sesuatuatau berperilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari
peraturan yang telah ada21.
Tanggung jawab hukum adalah kewajiban menanggung suatu akibat
menurut ketentuan hukum yang berlaku dan di sini ada norma atau peraturan
hukum yang mengatur tentang tanggung jawab. Ketika ada perbuatan yang
melanggar norma hukum itu, maka pelakunya dapat dimintai
22
pertanggungjawaban sesuai dengan norma hukum yang dilanggar . Pada

18
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005
19
Soekidjo Notoatmojo dalam Merli Yunita Sari, Skripsi: ”Tanggung Jawab Rumah Sakit Dalam
Transaksi Terapeutik”, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2013, hlm. 8
20
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2010, hlm 48
21
Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,
Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hlm. 96
22
Dendri Satriawan, Skripsi: “Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Yang Diakibatkan
oleh Tenaga Kesehatan”, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2014, hlm. 9

Universitas Indonesia
dasarnya, tanggung jawab dalam hukum perdata dapat dimintakan berdasarkan
pertanggungjawaban kerugian karena perbuatan melawan hukum
(onrechtsmatigedaad) atau pertanggungjawaban kerugian karena wanprestasi.
Menurut Abdulkadir Muhammad ada beberapa teori tanggung jawab dalam
perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa, yaitu23:
1) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
dengan sengaja (intentional tort liability), tergugat harus sudah
melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat
atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan
mengakibatkan kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan-perbuatan
penyerangan berupa ancaman (assault), penyerangan langsung
(battery), pencemaran nama baik (defamation), penahanan tanpa
alasan yang patut (false imprisonment), masuk perkarangan orang
tanpa izin. (trespass), pengawasan kekayaan pribadi orang lain tanpa
izin (conversion), dan penipuan (fraud)24.
2) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep
kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum
yang sudah bercampur baur (interminglend). Syarat terpenuhinya
negligence yaitu, yang pertama, tergugat harus sudah mempunyai
kewajiban kepada penggugat. Kedua, tergugat harus sudah tidak
memenuhi kewajibannya kepada penggugat (wanprestasi). Ketiga,
tidak terpenuhinya kewajiban itu harus sudah terjadi dan menimbulkan
kerugian bagi penggugat. Keempat, bahwa kerugian itu harus diakui
oleh hukum dan boleh dibayar dengan sejumlah uang25.
3) Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa
mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada
perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya
meskipun bukan kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian

23
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm.
535
24
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, hlm 537-540
25
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, hlm. 542

Universitas Indonesia
yang timbul akibat perbuatannya.
Tanggung jawab dokter secara hukum dapat dibedakan antara lain :
1) Tanggung jawab hukum yang tidak berkaitan dengan profesinya
2) Tanggung jawab hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan profesinya,
yang dapat dibedakan menjadi tanggung jawab terhadap ketentuan-
ketentuan profesional (KODEKI) dan tanggung jawab terhadap ketentuan-
ketentuan hukum (hukum pidana, dan hukum perdata, dan bidang
administrasi).
Menurut Bambang Poernomo kesalahan melaksanakan tugas profesi
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :
1) Kesalahan Medis yaitu kesalahan melaksanakan profesi atas dasar
ketentuan profesi medis yang profesional.
2) Kesalahan yuridis yaitu kesalahan melaksanakan tugas profesi atas dasar
ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku26
Tanggung jawab dokter adalah tanggung jawab hukum atau lebih dikenal
dengan tanggung jawab kedokteran (medical liability)27. Tanggung jawab hukum
dokter didasarkan atas kode etik profesi, pengembangan kode etik profesi untuk
dipatuhi dan dilaksanakan oleh para pendukungnya mengandung 3 (tiga) tujuan,
yaitu28:
1) Suatu kode etik profesi memudahkan untuk pengambilan keputusan secara
efisien.
2) Secara individual para pengemban profesi ini seringkali membutuhkan
arahan untuk mengarahkan perilaku profesionalnya.
3) Etik profesi menciptakan suatu pola perilaku yang diharapkan oleh para
pelanggannya secara profesional.
Dengan demikian, dalam pelayanan kesehatan, setiap tindakan dokter yang
merugikan pasien yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya
dokter dalam melakukan tindakan medis yang dianggap merugikan pasien dapat
diminta pertanggung jawaban.

26
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana (Yogyakarta:Ghalia Indonesia,1982) hlm 175
27
Achmad Muchsin, “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan
Kesehatan Dalam Transaksi Terapeutik”, Jurnal Hukum Islam, STAIN Pekalongan, Pekalongan,
2013, hlm. 6.
28

Universitas Indonesia
Tanggung jawab terhadap ketentuan-ketentuan profesional, menurut
KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) tercantum dalam pasal 12 yang
berbunyi “setiap dokter wajib merahasiakan segala yang diketahuinya dari
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”.
Pelanggaran terhadap Rahasia kedokteran bukan saja terkait pelanggaran di
ruang lingkup kedokteran atau tenaga kesehatan saja, pelanggaran atas rahasia
kedokteran juga merupakan pelanggaran rahasia jabatan sebagaimana diatur
dalam KUHP Pasal 322 (1) barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang
wajib disimpannya, karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang
ataupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau denda sebanyak enam ratus rupiah. (2) apabila kejahatan ini dilakukan
seorang tertentu, kejahatan ini hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan orang
itu. 29 Pembocoran rahasia kedokteran atau rahasia jabatan merupakan delik
aduan.
Dalam ketentuan hukum tertulis hukum positif di Indonesia yang
berkaitan dengan ketentuan pidana (KUHP) yang melindugi dokter yang terpaksa
melakukan pelanggaran rahasia jabatan antara lain Pasal 48 KUHP (overmacht),
yang berbunyi
barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana;
Pasal 50 KUHP; Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang- undang tidak dipidana; Pasal 51 ayat (1) KUHP, Barang siapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang tidak dipidana.30
Ketentuan tentang rahasia kedokteran selain diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) ketentuan ini juga diatur dalam Undang-undang
khusus dalam hukum kesehatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48
Undang-Undang No 24 Tahun 2009 berbunyi: ayat (1) setiap dokter atau dokter
gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia
kedokteran; ayat (2) rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka

29
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 322 Ayat (1) dan (2)
30
Widodo Tresno Novianto, Sengketa Medik, (Surakarta:UNS Press, 2017), hal. 120

Universitas Indonesia
penegakkan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan 31 . Adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap
ketertiban umum relevansinya dengan pelanggaran pidana terkadang dokter
dipanggil sebagai saksi ahli dalam proses penyelidikan dan proses peradilan di
pengadilan yang di dalamnya harus memberikan keterangan yang wajib
disimpannya, tidak dipidana. Hal ini disebabkan perbuatan memberikan
keterangan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya yaitu mendahulukan
kepentingan yang lebih besar yang berupa kepentingan hukum untuk tegaknya
keadilan. Meskipun demikian ketentuan Pasal 48 UU Nomor 29 Tahun 2004
tersebut tidak mengkriminalisasikan perbuatan menyimpan rahasia kedokteran,
tetapi ketentuan pasal 322 KUHP tetap dapat diberlakukan terhadap pekerjaan
dokter32. Pelanggaran terhadap kerahasiaan kedokteran selain pelanggaran hukum
pidana juga pelanggaran hukum administrasi dan pelanggaran etik, pelanggaran
admisnitrasi dan etik dapat diberikan oleh masing-masing organisasi profesi baik
profesi dokter ataupun organisasi profesi lain, misalnya perawat, bidan dan
seabagainya. Dalam pasal 64 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 dijelaskan
bahwa tugas dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia antara lain:
menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin
dokter dan dokter gigi yang diajukan, dan menyusun pedoman dan tata cara
penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi. Hal ini berarti
bahwa keberadaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia hanya
sebatas memeriksa dan memutus kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi dan tidak diberikan tugas atau kewenangan memeriksa dan memutus perkara
pidana. Sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (3) Undang- Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu: “Pengaduan sebagaimana diatur
dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk
melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau
menggugat kerugian perdata ke pengadilan.”33
Jika seseorang berbuat kesalahan terhadap pihak lain dan ada unsur

31
Endang Wahyati Yustina, Hak atas Informasi Publik dan Hak atas Rahasia Medis: Problem
Hak Asasi Manusia dalam Pelayanan Kesehatan, Vol. 1 No. 2, 2014, hal. 259.
32
Widodo Tresno Novianto, Sengketa Medik , Cetakan I,(Surakarta: UNS Press, 2017), hal. 86
33
Widodo Tresno Novianto, Sengketa Medik, hal. 99-100

Universitas Indonesia
kerugian terhadap pihak tersebut, tentunya pihak yang mengalami kerugian akan
meminta pertanggungjawaban, pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung
jawab, yang berarti kewajiban menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu
hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya)34. Dalam istilah
Belanda, pertanggungjawaban hukum juga dikenal dengan istilah, ‘aansprakelijk’
yang berartiterikat, bertanggung jawab, bertanggung jawab menurut hukum atas
kesalahan atau akibat suatu perbuatan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,
istilah liability merujuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat
akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum35.
Dalam ketentuan pidana adanya perbuatan melawan hukum atas kesalahan
seseorang akan diminta pertanggungjawaban, karena akibat Tindakan seseorang
membuat pihak lain mengalami kerugian. Menyangkut perbuatan melawan
hukum sebagai dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Tanpa suatu perbuatan
yang bersifat melawan hukum, maka sudah tentu tidak ada pertanggungjawaban
pidana.
Berkaitan dengan istilah ‘melawan hukum’, Andi Hamzah memberikan
defenisinya.“melawan hukum adalah mengenai perbuatan yang abnormal secara
objektif. Kalau perbuatan itu sendiri tidak melawan hukum berarti bukan
perbuatan abnormal. Untuk hal ini tidak lagi diperlukan jawaban siapa
pembuatnya. Kalau perbuatannya sendiri tidak melawan hukum, berarti
pembuatnya tidak bersalah. Kesalahan adalah unsur subjektif, yaitu untuk
pembuat tertentu36.
Setelah melakukan Tindakan atau perbuatan seseorang yang
mengakibatkan kerugian kepada orang lain, atas kesalahan yang diperbuat
tentunya timbul berbagai alasan dari pelaku tersebut dalam rangka pembelaan
terhadap dirinya sendiri, istilah kesalahan (schuld) dalam hukum pidana
berhubungan dengan pertanggungjawaban dan beban pertanggungjawaban yang
merujuk kesengajaan (dolus/opzet) dan kelalaian (culpa). Kesalahan (schuld)
unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum pada saat memulai
suatu perbuatan sehingga unsur ini akan selalu melekat pada diri pelaku/pembuat

34
Widodo Tresno Novianto, Sengketa Medik, hal. 91
35
Widodo Tresno Novianto, Sengketa Medik ,hal. 92
36
H. Muntaha, Hukum Pidana Malpraktik, (Jakarta:Sinar Grafika, 2017), hal. 215.

Universitas Indonesia
bersifat subjektif. Dan unsur ini menghubungkan antara perbuatan dan akibat
serta sifat melawan hukum perbuatan dengan sipelaku atau pembuat37.
Seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat diindetifikasi dengan
menilai kesalahan yang dilakukannya. Melihat kedudukan kesalahan dalam
perbuatan pidana sangat penting artinya, karena dengan menentukan ada tidaknya
kesalahan itu akan menentukan pula berat ringannya pidana yang dijatuhkan
kepada seseorang. Tidak dapat dipungkiri, dan hal ini bukan rahasia umum lagi
bahwa dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia dari dulu sampai sekarang
masih dianut doktrin tidak ada pidana tanpa adanya kesalahan38.
Hubungan antara pasien dengan dokter maupun rumah sakit adalah apa
yang dikenal sebagai perikatan (verbintenis). Dasar dari perikatan yang berbentuk
antara dokter pasien biasanya adalah perjanjian, tetapi dapat saja terbentuk
perikatan berdasarkan Undang-Undang.39
Perikatan antara rumah sakit/dokter dan pasien dapat diartikan sebagai
perikatan usaha (inspanning verbintenis) atau perikatan hasil (resultaats
verbintenis). Disebutkan perikatan usaha (inspanning verbinbentis) karena
didasarkan atas kewajiban berusaha, misalnya dokter harus dengan segala daya
usahanya untuk menyembuhkan pasien. Dokter wajib memberikan perawatan
dengan penuh kehati-hatian dan penuh perhatian sesuai dengan standar profesinya
(met zoorg en inspanning). Sedangkan perikatan hasil (resultaats verbintenis)
adalah merupakan perikatan dimana seorang dokter berkewajiban menghasilkan
suatu hasil yang diharapkan, misalnya seorang dokter gigi yang menambal gigi
yang berlubang, pembuatan gigi palsu, dan lain sebagainya.40
Perjanjian yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan yaitu perjanjian
(transaksi) teraupetik. Transaksi teraupetik adalah perjanjian antara dokter dengan
pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak. Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk

37
Widodo Tresno Novianto, Sengketa Medik, hal. 33
38
H. Muntaha, Hukum Pidana Malpraktik, hal. 227
39
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung:Mandar Maju, 2001), hal.29.
40
Sunarto Adi Wibowo ,Pertanggungjawaban Rumah Sakit dalam Kontrak Teraupetik (Studi Kasus
Antara Rumah Sakit dan Pasien di R.S.U. Dr. Pirngadi, R.S.U. Haji dan R.S.U. Sundari),Tesis
Universitas Sumatera Utara, 2005, hal. 38-39.

Universitas Indonesia
penyembuhan pasien41. Sebagaimana umumnya suatu perikatan, dalam transaksi
teraupetik juga terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan
atau perjanjian, yakni dokter sebagai pihak yang melaksanakan atau memberikan
pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis.
Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang
berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang unsur-unsurnya sebagai
berikut:
1) adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya
(toesteming van degenen die zich verbinder);
2) adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om
eene verbintenis aan te gaan);
3) mengenai sesuatu hal tertentu (een bepaald onderwerp);
4) suatu sebab yang diperbolehkan (een geoorloofdeoorzaak).
Berdasarkan perjanjian teraupetik, dasar untuk pertanggungjawaban medis
adalah wanprestasi (Pasal 1234 KUHPerdata) dan onrechtmatige daad (perbuatan
melawanhukum) yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Terdapat
perbedaan antara pengertian wanprestasi dengan perbuatan melanggar hukum
(onrechmatige daad). Wanprestasi (ingkar janji) adalah suatu keadaan dimana
debitur dalam hal ini rumah sakit dan/atau tenaga medis tidak melakukan
kewajibannya bukan karena keadaan memaksa (overmacht). Prof. Subekti
menyatakan bahwa seseorang itu dikatakan wanprestasi apabila ia:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
2) Melaksanakan apa yang diperjanjiaknnya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan.
3) Melakukan apa yang dijanjikan tapi terlambat.
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya42
Perbuatan melawan hukum, hingga saat ini belum ada pengertian yang
positif. Menurut Yurisprudensi yang dianut di Belanda sejak perkara Lindenbaum

41
Bahder Johan Nasution, Hukum KesehatanPertanggungjawaban Dokter, (Jakarta: Rineka
Cipta,2005), hal.11
42
Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Intermasa, 1990), hal. 45

Universitas Indonesia
Cohen Arrest Hoge Raad 31 Januari tahun 1919, bahwa berbuat atau tidak
berbuat merupakan suatu perbuatan melawan hukum, jika memenuhi beberapa
persyaratan:
a. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
b.melanggar hak orang lain;
c. melanggar kaidah tata susila;
d. bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap kehati-hatian
yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga
masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Dokter yang melakukan penyimpangan berupa ingkar janji atau cedera
janji atas perjanian teraupetik, maka dokter tersebut memliki tanggung jawab
secara perdata seperti diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata, yaitu:“Tiap
perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu,wajib
diselesaikan dengan memberikan pergantian biaya, kerugian,dan bunga, bila
debitur tidak memenuhi janjinya.”43.
Seorang pasien atau keluarganya yang menganggap bahwa dokter tidak
melakukan kewajiban-kewajiban kontraktualnya dapat menggugat dengan alasan
wanprestasi dan menuntut agar meraka memenuhi syarat-syarat tersebut. Pasien
juga dapat menuntut kompensasi secara materiil dan immaterial atas kerugian
yang dideritanya.
Dalam hal wajib simpan rahasia kedokteran, kewajiban dokter untuk
menyimpan rahasia pasien dianggap sudah masuk dalam perjanjian teraupetik
yang mana seorang wajib simpan rahasia kedokteran itu sendiri merupakan
bagian dari pelayananan kesehatan. Segala bentuk atas pembukaan rahasia
kedokteran bisa dianggap sebagai wanprestasi.
Sedangkan untuk bocornya rahasia kedokteran tanpa alasan yang
dibenarkan oleh hukum, maka seorang dokter dapat dikenai pasal 1365
KUHPerdata :” Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.”. yang ditinjau disini adalah unsur kerugian yang di
derita pasien akibat dari bocornya rahasia kedokteran tanpa memandang adanya

43
Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Visimedia, 2007), hal. 316.

Universitas Indonesia
kesengajaan atau tidak sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1366 KUHPerdata :”
Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan
perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian
atau kesembronoannya.”
Seorang dokter selain bertanggung jawab atas diri juga dimintai
pertanggung jawaban perdata atas kebocoran rahasia kedokteran disebabkan oleh
orang-orang yang berada dibawah tanggungannya sebagaimana diatur dalam
pasal 1367 KUHPerdata : “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas
kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya
atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”, misal
dalam hal mahasiswa yang melakukan studi kerja dibawah bimbingan seorang
dokter, maka seorang dokter wajib mengingatkan akan wajibnya simpan rahasia
kedokteran.

Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai